Oliver keluar dari dalam mobil mobil. Tanpa memegang senjata api, pria itu bergegas menuju pintu klinik yang sudah terbuka. Pria itu mengumpat berulang kali dalam hati, melihat tiga orang anak buahnya terikat dengan mulut disumpal.
“Berhenti di situ!”
Belum juga masuk ke dalam klinik, seseorang menghentikan ayunan kaki Oliver. Oliver berdiri di ambang pintu dengan tatapan lurus ke depan. Sepasang rahang yang terkatup, kini saling menekan-nekan kuat. Bola matanya bergerak, menemukan Tom serta tiga orang lainnya yang juga sudah tak lagi berdaya. Duduk di lantai dengan tangan dan kaki terikat, sementara mulut mereka sumpal kain.
‘Bodoh!’ Ingin sekali Oliver mengumpat keras Tom dan anak buahnya yang lain. Bagaimana bisa mereka ditundukkan oleh orang-orang itu? Oliver merasa harga dirinya seperti diinjak-injak oleh kekalahan kali ini.
Oliver meremas kedua telapak tangannya. “Dimana istriku?” tanya Oliver begitu dua orang berderap menghadangnya. Keduanya menodongkan senjata api ke arahnya, membuat anak buah Oliver langsung ikut mengarahkan moncong senjata ke arah lawan.
“Kembalikan dulu dua orang teman kami.”
Oliver memutar kepala ke belakang. Pria itu mengedik kepala hingga dua orang pengawal yang semula berdiri di belakangnya langsung berbalik lalu berjalan cepat ke arah mobil van warna hitam.
Oliver mengembalikan fokus ke depan. “Kita lakukan barter secara bersamaan,” ucap Oliver. “Lepaskan mereka semua, atau kalian akan mati di sini.” Pria itu mengedik ke arah Tom dan yang lain.
“Diam! Jangan macam-macam. Istrimu di tangan kami. Kami bisa membunuhnya kapan saja.”
Di tempatnya duduk, Tom menggeleng-gelengkan kepala, berusaha memberi kode pada Oliver jika yang disampaikan oleh musuh mereka itu bohong belaka. Hazel sudah tidak ada di tempat tersebut. Mereka membawa pergi Hazel. Namun sayang, Oliver tidak menangkap kode darinya.
“Aku bisa mencari seribu perempuan sekaligus. Satu perempuan tidak ada artinya bagiku,” sahut Oliver yang detik kemudian langsung menyeringai. “Kalian pikir bisa menjatuhkanku karena seorang perempuan yang aku nikahi?" Oliver tertawa.
“Kalian salah. Cepat bawa semua tawanan kalian. Kita tukar bersamaan atau aku habisi kalian semua,” ancam Oliver. Membuat lawan bicaranya menggeram.
“Bawa mereka ke sini.” Lawan bicara Oliver memberi perintah pada teman-temannya yang lain. Mereka kemudian membuka ikatan kaki Tom dan tiga pengawal Oliver yang lain, lalu mendorong mereka ke depan Oliver.
“Apa yang kalian lakukan pada mereka, hah?!” teriak marah lawan bicara Oliver begitu melihat dua orang teman mereka kesulitan berjalan ketika didorong oleh orang-orang Oliver. Melihat wajah mereka babak belur, serta darah mengotori pakaian mereka. Bahkan mereka berjalan dengan kaki bergetar.
“Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Mana istriku?” tanya Oliver lagi tatkala ia masih juga belum melihat Hazel.
“Kamu pikir kami bodoh? Kalian pasti akan langsung menghabisi kami setelah kita melakukan barter. Kembalikan dulu orang kami. Setelah kami pergi, baru akan kami lepaskan istrimu.”
"F"ck! Kalian mempermainkanku?”
“Kami hanya berjaga-jaga. Kamu pikir kami tidak tahu kelicikanmu?”
Oliver menekan keras katupan rahangnya. Pria itu menatap membunuh sang lawan bicara. Dia dipermainkan. Berani sekali mereka.
“Ayo keluar. Bawa teman kalian ke dalam mobil.” Lawan bicara Oliver langsung memerintahkan teman-temannya untuk keluar lebih dulu, dan membawa dua teman mereka yang terluka parah ke mobil terlebih dahulu.
Setelah melihat teman-temannya masuk ke dalam mobil van mereka, lawan bicara Oliver melangkah, berniat untuk ikut keluar dari klinik. Namun, ayunan kaki pria itu tertahan ketika Oliver mencekal keras sebelah pergelangan tangannya.
“Dimana istriku, b*****t? Jangan pikir kamu bisa pergi sebelum mengembalikan istriku.”
“Lepas, Sialan. Istrimu akan dilepaskan setelah kami selamat sampai markas.”
“Apa?” Oliver melepas cekalan tangannya, mendorong daada pria tersebut kemudian mengayun kepalan tangan kanannya.
‘Bugh!’
“F*ck!" Lawan Oliver memekik seraya mengusap pipi kirinya. Sementara langkah kakinya terdorong ke belakang karena pukulan keras Oliver. “b******k! Kamu benar-benar ingin istrimu mati, hah?!” marah pria itu. Sepasang matanya menatap penuh kobaran kemarahan.
“Sudah kukatakan aku tidak akan melepaskanmu sebelum istriku berada di tanganku.”
“B*doh! Aku tidak akan melakukannya. Kamu pikir aku akan percaya pada kata-katamu?” Pria itu mengeluarkan ponsel lalu menggulirnya.
“Kalau kamu tidak melepaskanku, kamu tidak akan pernah menemukan istrimu dalam keadaan hidup,” ancam pria tersebut. Lawan Oliver mengangkat ponsel di tangannya. Mengancam sang miliarder.
Oliver tidak gentar. Pria itu menarik langkah ke depan lalu menarik kerah kemeja lawannya. Oliver mendorong tubuh sang lawan hingga membentur dinding. Lawan Oliver mendorong kuat d*da Oliver menjauh, lalu menendang. Namun oliver dengan sigap menangkis tendangan pria tersebut.
Oliver membalas dengan pukulan tangan kiri. Tidak berhasil mengenai wajah sang lawan karena pria itu menghindar dengan cepat, Oliver mengangkat kaki kanannya, menendang kuat sebelum kembali mengayunkan kepalan tangan kiri.
‘Paaak! Bugh!’
‘f**k!’ Lawan Oliver mengumpat saat tubuhnya terdorong sekali lagi. “Sialan, dasar gila! Kamu tidak peduli istrimu akan mati?”
“Tuan … mereka sudah membawa pergi nyonya Hazel. Nyonya Hazel tidak ada di sini.”
Suara Tom membuat Oliver mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Seperti seekor predator, Oliver menarik langkah ke depan—mengejar pria yang masih terjebak di dalam ruangan tersebut sendirian tanpa teman-temannya.
“Bunuh mereka semua!” Perintah Oliver yang terdengar menggelegar di dalam ruangan tersebut.
Tom dan yang lain langsung menarik senjata api mereka. Mereka berbalik, berjalan sambil melepas tembakan ke arah mobil van yang masih berhenti di halaman klinik, menunggu satu temannya yang belum keluar.
‘DOR! DOR! DOR! DOR!”
‘DOR! DOR!”
Suara tembakan bersahutan terdengar memecah keheningan dini hari itu. Peluru menghujani mobil van warna hitam dengan delapan orang yang berada di dalamnya. Suara ketika ujung peluru mengenai badan mobil terdengar nyaring.
Sementara orang-orang yang berada di dalam mobil van yang sedang dihujani tembakan itu mengumpat berkali-kali. Apalagi saat kaca mulai pecah dan peluru berhasil mengenai satu per satu tubuh mereka.
Kebingungan, mereka mengeluarkan senjata api sambil menyembunyikan tubuh—menghindari kaca mobil. Menembak ke luar sembarangan lantaran hujan peluru yang belum berhenti menyasar mereka.
Umpatan-umpatan terdengar disusul erang kesakitan saat satu per satu penumpang mobil van saat merasakan timah panas menembus kulit mereka.
Seperti kesetanan, Tom dan anak buahnya tidak berhenti melepaskan tembakan.
“Pergi. Jalan, Sialan. Jalan cepat.”
Mobil van yang sudah penuh dengan lubang serta pecahan kaca tersebut mulai bergerak.
Tom tidak membiarkan mereka kabur. Pria itu menyasar ban mobil hingga mobil yang sedang bergerak cepat itu oleng lalu menabrak pohon. Tom dan yang lain berlari sambil tetap melepaskan tembakan.
Di dalam klinik, Oliver duduk di atas tubuh sang lawan yang sudah terkapar di lantai. Tangan kiri pria itu menekan daada sang lawan, sementara tangan kanan pria itu mengayun kepalan tangannya berkali-kali. Membuat pria yang sudah terkapar tersebut tak lagi punya tenaga untuk melawan.
“b*****t. Dimana kalian membawa istriku, Sialan?”
‘BUGH!’
“Katakan, b******k!’
“Istrimu—”
Kepalan tangan Oliver menggantung di udara saat sang lawan mulai berbicara. Sebelah mata pria itu sudah tidak bisa terbuka. Sudut bibirnya berdarah. Wajahnya babak belur.
“Cepat bicara, Sialan!” marah Oliver. Kulit wajah pria itu sudah berubah merah padam. "Katakan atau--"
“Istrimu dibawa ke ... neraka.”
Bola mata Oliver langsung membesar. Kepalan tangan yang sempat menggantung itu mengayun keras ke wajah sang lawan.