“f**k!” Oliver berteriak keras melihat salah satu anak buahnya tumbang.
Pria yang sudah dikuasai oleh amarah itu dengan cepat mendorong tubuh Tom yang berdiri di depannya, kemudian melepas tembakan dengan cepat. Bukan hanya satu peluru yang melesat dari moncong senjata api pria itu, namun seperti hujan peluru--moncong senjata tersebut memuntahkan timah panas ke berbagai arah yang berbeda.
‘DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!’
Tidak terdengar suara teriakan dari mulut beberapa orang yang tubuhnya langsung tumbang setelah satu peluru menembus kepala mereka. Suara umpatan keras terdengar dari teman-teman mereka yang langsung berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Beberapa mencoba membalas tembakan Oliver. Namun tak satupun berhasil mengenai tubuh sang miliarder yang dengan gesit menghindar.
Sementara semua tembakan Oliver tepat sasaran, melepas nyawa dari setiap raga yang disasar.
Tom sendiri sudah berguling sambil ikut melepas tembakan. Suasana di tempat itu mendadak kacau balau. Suara teriakan keras terdengar, penuh umpatan di tengah suara letusan peluru yang saling bersahutan.
Bukan hanya orang-orang dari lawan Oliver yang tumbang bersimbah darah dengan kepala berlubang. Empat orang Olver pun turut kehilangan nyawa. Darah berceceran dimana-mana. Lebih dari lima menit suara tembakan terus bersahutan.
“Sial!” Oliver mengumpat ketika jarinya bergerak menarik pelatuk, namun tidak ada peluru yang keluar. Melihat lawannya bergerak menarik peluru, Oliver melempar senjata api ke arah kepala lawannya dengan kuat sambil melompat ke samping untuk menghindari tembakan musuhnya.
“f**k!” Lawan Oliver mengumpat lantaran tidak berhasil menghindar dari lemparan senjata api Oliver. Benda keras itu mengenai kepalanya. Ia sedang fokus mengarahkan moncong senjata saat Oliver melemparkan benda tersebut. Pria itu menarik lepas penutup kepalanya. Tak lagi menyembunyikan wajah.
Pria itu menghentak gelengan kepala, berharap bisa menghilangan rasa nyeri di kepalanya. Lawan Oliver kemudian menggeser bola mata bersamaan dengan arah tangan yang memegang senjata api. Berniat untuk kembali menembak, namun satu tendangan membuat senjata api di tangannya terlempar.
Sepasang mata lawan Oliver langsung membesar seketika. Pria itu refleks berlari—berusaha untuk mengambil senjata apinya kembali.
Sementara Oliver bergerak cepat, menarik tangan lawannya dengan tangan kiri sementara tangan kanan yang sudah terkepal langsung terayun.
‘BUHG!’ Suara keras ketika kepalan tangan Oliver menghantam pipi kiri lawannya terdengar. Membuat sang lawan berteriak marah, merasakan sakit luar biasa.
Tak berhenti di situ, Oliver menjejak keras kaki sang lawan yang baru saja terhuyung setelah menerima pukulannya.
“f**k! f**k!” Lawan Oliver tak henti mengumpat sambil meloncat-loncat dengan satu kaki. Pria itu buru-buru menegakkan posisi berdiri. Tadi dia belum siap. Sekarang dia akan membalas pukulan dan tendangan Oliver dua kali lebih menyakitkan, batin marah pria dengan kepala plontos tersebut.
Lawan Oliver langsung melipat tangan di depan wajah begitu melihat kepalan tangan Oliver kembali terayun ke arahnya.
Pukulan kanan Oliver tertahan oleh perisai tangan sang lawan. Pria itu menyeringai. Oliver ganti mengayun kepalan tangan kirinya dengan cepat. Membuat sang lawan menarik kaki ke belakang sambil kembali membuat perisai dengan dua tangan terlipat di depan wajah.
Namun, Oliver masih belum berhenti. Kali ini pria itu mengangkat tangan kanan yang terkepal hingga mengenai ulu hati sang lawan. Kaki lawan Oliver kembali terdorong beberapa langkah ke belakang. Suara erang kesakitan terdengar seperti alunan musik di telinga Oliver. Membuat pria tersebut semakin bersemangat.
Oliver melangkah maju sambil kembali melepas pukulan kerasnya, lalu menendang. Tubuh sangh lawan yang belum benar-benar berdiri dengan tegak setelah menerima pukulan bertubi dari Oliver itu akhirnya terjatuh.
Pria berkepala plontos itu mengerang kesakitan sambil berusaha untuk kembali berdiri. Baru saja menumpu dua tangan ke lantai untuk mengangkat tubuhnya, suara Oliver membuat pria itu mengangkat kepala.
Melihat moncong senjata api miliknya kini sudah berada tepat di depan matanya—bola mata pria itu membesar—tampak nyaris meloncat keluar dari kelopaknya. Apalagi ketika pria itu menggeser bola mata dan melihat seiring mengerikan sang miliarder.
“Go to hell, b******k!’
‘DOR!”
Cukup satu kali tarikan pelatuk, dan timah panas itu melesak menembus kepala sang pemilik. “Ini namanya senjata makan tuan, Sialan. Itu hukuman karena kalian berani bermain-main denganku.”
“Tuan Oliver, awas!”
‘DOR!’
‘DOR!’
Tom menembakkan peluru bersamaan dengan seorang musuh menembak peluru ke arah Oliver.
Oliver yang sedang tidak siap, menoleh. Pria itu berusaha menghindari peluru yang melesat cepat ke arahnya, namun gerakan pria itu setengah detik terlambat hingga peluru berhasil merobek lengan atas sebelah kiri Oliver.
‘DOR!’
Tubuh pria yang baru saja menembak Oliver akhirnya tumbang setelah satu peluru dari senjata api Tom menembus daada kiri pria tersebut.
“Lari … Lari!”
“Jangan biarkan mereka kabur! Tangkap mereka hidup-hidup! Kita harus tahu siapa yang membayar mereka!”
Dua orang lawan yang tersisa berusaha melarikan diri setelah teman-teman mereka semua tewas. Mereka berlari menembus semak-semak belukar, berharap bisa lepas dari beberapa orang yang berlari mengejar mereka.
“Berpencar!” Salah satu dari dua orang itu memberi perintah supaya mereka berlari ke arah yang berbeda untuk memecah fokus pengejaran.
Tom yang memimpin pengejaran, dengan gerak tangan memberi kode, meminta tiga orang mengejar ke kiri, sementara ia dan dua orang lainnya mengejar ke kanan.
Sementara itu, Oliver menggeledah tubuh pria berkepala plontos. Mencari sesuatu yang bisa memberi petunjuk siapa mereka, dari kelompok mana, atau mereka hanya pembunuh bayaran yang disewa oleh orang yang ingin menjatuhkannya.
Pria itu mendesis saat merasakan perih di lengan kirinya. Menoleh, Oliver melihat darah membasahi mantelnya. Pria itu menghentikan kegiatan mencari barang bukti di tubuh sang lawan. Oliver melepas mantel kemudian melemparnya. Pria itu kemudian mengambil dasi yang ia simpan di kantong bagian dalam jas.
Oliver menggunakan dasi tersebut untuk mengikat lukanya. Berusaha menghentikan pendarahan yang ternyata cukup banyak. Dengan menggunakan bantuan giginya, Oliver berhasil membuat simpul ikatan. Setelah itu Oliver kembali mencari sesuatu di dalam kantong pakaian yang lawannya kenakan.
“b******k!” kesal Oliver ketika tidak menemukan bukti apapun. Benar-benar bersih.
Oliver beranjak. Pria itu melangkah menghampiri tubuh lawannya yang lain, yang juga sudah menjadi mayat. Oliver berjongkok. Pria itu menarik lepas penutup kepala lawannya. Oliver mendengkus melihat wajah di balik penutup tersebut.
Oliver merogoh kantong rompi jaket yang pria itu kenakan. Sama seperti pria berkepala plontos, ternyata di kantong pakaian pria yang ternyata berpotongan rambut cepak ala tentara itu juga kosong.
“Sialan.” Olvier beralih pada mayat yang lain.
****
Hazel terbangun ketika merasakan kandung kemihnya penuh. Wanita itu mengangkat tubuh lalu menoleh ke samping. Kosong. Bagian tempat tidur Oliver masih rapi. Menandakan pria itu belum kembali.
Turun dari ranjang, Hazel berjalan cepat menuju kamar mandi. Refleks kepala wanita itu terangkat, melihat benda penunjuk waktu yang menggantung di salah satu dinding kamar. Sudah jam 3 dini hari ternyata. Oh, berarti pria itu tidak pulang malam ini. Bagus lah, batin hazel.
Hazel bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Langkah kakinya terayun cepat menuju kloset. Mendesah lega setelah akhirnya ia bisa mengosongkan kandung kemihnya. Suara guyuran air terdengar setelah hazel menekan tombol flush. Wanita itu kemudian membersihkan area sensitifnya sebelum beranjak dan kembali memakai celananya.
Hazel merapatkan kain kimono yang membungkus tubuhnya. Keluar dari dalam kamar mandi, langkah kaki Hazel bergerak ke arah pintu. Matanya sudah terbuka. Akan sulit untuk kembali tidur. Dia akan menghangatkan tubuh dengan secangkir teh.
Meskipun di lantai tiga juga ada pantry, tapi entah mengapa Hazel ingin pergi ke dapur di lantai satu. Dia belum pernah menggunakan dapur besar itu.
Untuk apa? Di rumah itu banyak asisten rumah. Dia tidak perlu memasak seperti ketika ia tinggal di Ekuador, atau di rumah orang tua angkatnya. Di sana ia masih sesekali memasak meskipun ada dua orang asisten rumah.
Hazel turun ke lantai satu dengan lift. Suasana di mansion besar itu benar-benar sunyi. Lampu masih sebagian menyala, hingga membuat sausana tampak remang-remang. Hazel tidak merasa perlu menyalakan lebih banyak lampu.
Begitu masuk ke dalam dapur, barulah Hazel merasa perlu untuk membuat tempat tersebut terang benderang. Hazel menyapukan pandangan matanya. Wanita itu mengusapkan kedua telapak tangannya. Baiklah, sepertinya makan spaghetti akan enak. Tidak apa-apa sesekali ia makan berat dini hari.
Tak lama kemudian Haze sudah sibuk dengan panci dan bahan-bahan untuk membuat spageti. Hazel memasukkan batang-batang spaghetti ke dalam panci dengan air yang sudah benar-benar mendidih.
Batang-batang itu bergerak turun. Menjadi lembek setelah terkena air mendidih. Membiarkan spaghetti dalam air mendidih lebih dulu, Hazel beralih pada panci lainnya. Ia memasukkan beberapa kondimen tambahan ke dalam saus yang sudah meletup-letup dan mengental.
Hazel mencium aroma harum saus. Wanita itu tersenyum. Perutnya langsung lapar. Seperti seorang chef profesional, Hazel bergerak cepat meniriskan spaghetti lalu mengambil piring saji. Memindahkan spaghetti yang sudah tiris ke atas piring ceper, lalu menuang saos berwarna merah pekat.
Selanjutkan Hazel membawa hasil masakannya ke meja makan. Meletakkan piring ke atas meja, lalu menarik punggung kursi. Hazel duduk. Wanita itu menuang teh di dalam teko yang masih mengepulkan asap. Aroma chamomile langsung terhirup hidung Hazel.
Hazel baru akan mengambil garpu saat sayup ia mendengar derap langkah kaki di kejauhan. Suasana mansion yang benar-benar hening disaat nyaris semua penghuni sedang berkutat di alam mimpi, membuat suara itu terdengar dari tempat Hazel berada.
Mendengar suara langkah kaki berbalut sepatu pantofel yang semakin mendekat, Hazel mengarahkan perhatian ke pintu yang masih tertutup. Tak berapa lama kemudian Hazel melihat daun pintu itu terkuak dari luar.
Tom yang baru saja masuk ke dalam ruang makan terkejut mendapati seseorang duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan. Langkah kaki pria itu sempat berhenti, sebelum dua detik berikutnya kembali bergerak cepat.
Tanpa mengatakan apapun pada Hazel, Tom menghampiri lemari pendingin lalu membuka pintunya. Pria itu mengeluarkan tempat berisi butiran kristal es batu. Setelah itu Tom menutup kembali pintu freezer.
“Apa yang terjadi?” tanya Hazel setelah melihat penampilan berantakan orang kepercayaan Oliver. “Siapa yang terluka?”
Tom tidak menjawab. Suara langkah kaki kembali terdengar mendekat. Hazel menoleh ke arah pintu. Seorang pria dengan penampilan sama berantakannya masuk sambil berkata. “Tom, dokter Rachel sudah datang.”
Hazel beranjak dari tempat duduk. Melupakan teh dan spaghetti yang sudah ia buat, wanita itu berjalan mengikuti Tom dan satu pengawal lain yang sudah berlari keluar dari ruang makan yang menyambung dengan dapur.
****
“Kenapa tidak bisa menjaga diri? Lihat ... ini harus dijahit.” Seorang wanita dengan rambut ikal pendek, memarahi Oliver. Wanita itu berdecak melihat luka di lengan Oliver.
“Obati mereka dulu. Mereka tertembak,” ujar Olvier seraya mengedik kepala ke arah dua orang anak buahnya yang terkena tembakan di daada dan juga perut.
“Ini es batunya, Tuan.” Tom menghampiri Oliver. Pria itu memasukkan beberapa butir kristal es ke dalam kantong lalu memberikan kepala Oliver.
Oliver mengambil kantong itu lalu menempelkan ke arah lukannya.
Di tempatnya berdiri, Hazel terdiam melihat pemandangan di depannya.
“Sepertinya dia kehilangan banyak darah. Dia harus segera dibawa ke rumah sakit setelah aku menjahit lukanya.”
“Cari saja darahnya. Dia tidak mungkin ke rumah sakit.” Oliver menolak.
“Mana mungkin aku bisa mendapatkan darah jam segini tanpa ke rumah sakit, Oliver?”
“Kamu bisa pergi ke rumah sakit setelah mengeluarkan pelurunya dan menjahit lukanya. Tom akan menemanimu.”
“Waktunya tidak akan cukup. Dia bisa mati menunggu darah datang.”
“Sudah kukatakan dia tidak bisa ke rumah sakit. Apa kamu mendengarku?” Tom menatap tajam sang dokter.
“Bawa dia ke klinikku saja. Apa golongan darahnya?”
Suara Hazel membuat Oliver menoleh dengan cepat. Pria itu terkejut melihat sang istri berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.