Bab 13. Rasa Peduli Hazel

1414 Words
“Hazel, apa yang kamu lakukan di situ?” tanya Oliver seraya beranjak dari tempat duduk. Tangan kanannya masih menempelkan kantong berisi es batu ke lengan kiri sebelah atas. Pria itu mengayun kaki meninggalkan sofa. Sementara Rachel menatap perempuan yang baru ia ketahui sebagai istri Oliver. Dia tidak diundang di acara mendadak pernikahan Oliver. “Dok,” panggil Tom yang akhirnya berhasil mengalihkan perhatian Rachel dari Hazel. Wanita yang berprofesi sebagai seorang dokter itu segera mengeluarkan barang bawaannya. Perlengkapan untuk pertolongan pertama pada korban perkelahian termasuk penembakan. Sudah lebih dari satu tahun ia menjadi dokter yang selalu dipanggil Oliver untuk mengurus anak buah pria tersebut setiap ada masalah seperti sekarang, “Kembalilah ke kamar,” ujar Oliver sambil menghampiri Hazel yang masih berdiri di tempatnya semula. “Pengawalmu bisa mati kehabisan darah.” “Bukan urusanmu. Kembalilah ke kamar. Sudah ada yang akan mengurus mereka.” “Dia tidak akan bisa menangani dua orang itu secara bersamaan. Aku akan membantunya.” “Hazel.” Suara Oliver terdengar dalam dan penuh tekanan ketika memanggil nama sang istri. Pria itu mencekal sebelah tangan Hazel ketika Hazel berniat untuk melangkah. “Aku bilang naik.” Sepasang mata Oliver menatap tajam netra sang istri. “Kamu juga terluka. Biar aku melihatnya,” ujar Hazel sambil memperhatikan lengan atas Oliver yang bersimbah darah. “Sudah kukatakan tidak perlu.” “Aku seorang dokter, Tuan Oliver. Bagaimana bisa aku berdiam diri sementara di depan mataku aku melihat orang yang terluka. Ini sudah naluriku sebagai dokter.” “Jadi kamu dokter?” Mendengar percakapan Oliver dan Hazel, Rachel mengangkat kepala, menoleh ke arah Hazel. Melihat Hazel mengangguk, wanita itu kemudian berkata. “Kalau begitu cepat ke sini, bantu aku.” Lalu Rachel memutar kepala ke arah seorang pria yang duduk menyandar tembok sambil memegangi perutnya. Sementara darah terus mengalir. Napas pria itu sudah putus-putus. “Dia juga tertembak.” “Jangan sembarangan memerintah, Rachel. Dia istriku.” Rachel langsung terdiam begitu ditatap tajam oleh Oliver. Dokter itu segera melanjutkan pekerjaannya. Wanita itu membersihkan luka di daada kanan pria yang sudah tergeletak pingsan. Setelah itu ia mengambil pisau bedah untuk membuka luka tersebut agar bisa mengeluarkan peluru yang masih bersarang di dalam tubuh korban. “Ger … Ger, Buka matamu, Ger.” Tom menepuk-nepuk pipi pria yang sebelumnya masih sadar, namun kini sepasang amtanya sudah tertutup. Tubuh yang sebelumnya menyandar dinding, kini mulai roboh ke samping. Melihat apa yang terjadi, Hazel menarik lepas tangan kiri Oliver lalu berlari menghampiri pria yang kini sudah terbaring di lantai. Oliver menggeram, namun pria itu akhirnya membiarkan. Oliver menghentak keluar karbondioksida dari mulutnya. Pria itu kemudian melangkah ke arah Hazel yang kini sudah berlutut di lantai. "Ini.” Rachel mendorong tas besarnya ke arah Hazel setelah mengambil barang-barang yang ia butuhkan untuk menyelamatkan satu pasien yang sedang ia tangani. Tangannya hanya dua, dia tidak bisa menyelamatkan dua orang yang sama-sama terkena tembakan secara bersamaan. Hazel langsung mengambil hand sanitizer untuk membersihkan kedua tangan, sebelum kemudian memakai sarung tangan medis. Dengan cekatan wanita itu menggunting kain yang masih membungkus tubuh pasiennya. Di bagian yang terkena tembakan. Melihat luka menganga dengan darah yang terus mengalir, Hazel merasa pasokan oksigen di dalam paru-parunya habis seketika. Wanita itu menarik pelan, namun panjang napasnya sebelum melanjutkan pekerjaannya. Menyiram luka itu dengan alkohol. “Argghhhh ….” Pria yang terbaring dengan sepasang mata tertutup itu mengerang kesakitan. “Dia masih sadar.” “Pegangi dia. Tidak ada obat bius di sini. Pasti akan sakit sekali.” Hazel sudah mengobrak-abrik isi tas besar Rachel, namun tidak menemukan obat bius.” Hazel mengambil pisau bedah. Tom memegangi tubuh salah satu anak buahnya. “Aku akan mulai sekarang,” ujar Hazel seraya menggulir bola mata ke arah Tom. Melihat anggukan kepala Tom, Hazel menurunkan pandangan. Tangan kanan wanita itu mulai menggerakkan ujung pisau, lalu merobek cepat luka tembakan di perut sebelah kiri pasiennya. Suara lolongan kesakitan terdengar memenuhi ruangan tersebut. Salah satu anak buah Tom yang hanya mengalami luka ringan, menyelipkan lipatan sapu tangan ke mulut temannya, lalu mengatupkan kedua rahang sang teman yang sudah kehilangan setengah kesadarannya. Oliver menghentak napasnya. Pria itu akhirnya ikut berlutut di samping Hazel, kemudian mengambil senter untuk menerangi bagian luka anak buahnya. Mempermudah Hazel untuk melanjutkan pekerjaannya. Pria itu melirik sang istri yang sedang tampak begitu fokus. Dengan sepasang mata mengecil, Hazel mencoba menarik keluar satu peluru yang bersarang di perut pasiennya. Hazel menjepit ujung peluru yang terlihat, kemudian menariknya perlahan. Sangat perlahan lantaran ia khawatir jika ada pembuluh darah rusak yang akan mengeluarkan darah setelah benda mematikan itu diangkat. Dan benar saja, saat ia nyaris berhasil menarik keseluruhan peluru itu, darah sedikit muncrat hingga mengenai tangannya. Oliver langsung menghentak keras napasnya sekali lagi, melihat apa yang baru saja terjadi. Sementara Hazel masih tetap fokus pada pekerjaannya. Setelah peluru itu berhasil dikeluarkan, Hazel mengambil jarum. “Kita tetap harus membawa mereka ke rumah sakit. Mereka kehilangan banyak darah.” “Benar. Mereka bisa mati kalau tidak segera mendapatkan tambahan darah.” Hazel membenarkan apa yang dikatakan oleh Rachel. Dua dokter perempuan itu kini sudah sama-sama menjahit luka pasien yang mereka tangani. Rachel selesai terlebih dahulu, hingga ia bisa beralih pada pasien lainnya dengan luka yang lebih ringan. Hazel menyelesaikan jahitannya. Saat ia hendak mengambil gunting, Oliver bergerak lebih dulu. Pria itu mengambil gunting kemudian menggunting benang. “Terima kasih,” ujar Hazel seraya menoleh, menatap Oliver tidak lebih dari dua detik. Hazel masih belum benar-benar selesai. Wanita itu membersihkan seputaran luka, kemudian memberikan salep antibiotik sebelum menutup luka dengan perban steril. Hazel mengalihkan perhatian pada Oliver sekali lagi. “Aku akan membawa mereka ke klinikku. Kamu pasti tahu golongan darah mereka, kan? Beritahu aku supaya aku bisa langsung memberikan kebutuhan darah mereka.” Oliver membalas tatapan Hazel. Beberapa detik keduanya hanya saling tatap. Oliver menahan geraman melihat keteguhan dalam sorot mata Hazel. Pria itu berdecak sesaat kemudian. “Tom akan menemanimu.” Hazel mengangguk sambil tersenyum kecil. Wanita itu segera beranjak. Menoleh ke arah Rachel, melihat wanita itu sedang mengobati luka gores di kaki seorang pengawal. Hazel kemudian berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dia harus mengambil kunci kliniknya. “Bawa mereka ke mobil, Tom.” “Baik, Tuan.” “Pastikan kamu menjaga istriku.” “Saya mengerti, Tuan.” Oliver beranjak dari lantai, kemudian berjalan ke sofa. “Biar kulihat lukamu setelah ini,” ujar Rachel sembari mengambil plester. Wanita itu menoleh ke arah Oliver yang kini duduk menyandar di sofa. Oliver tidak menyahut. Pria itu memperhatikan tom dan dua anak buahnya yang kini membawa keluar dua orang yang terkena tembakan. Pria itu menekan-nekan katupan rahangnya. Dia bersumpah akan membalas setimpal orang yang bertanggung jawab pada penyerangan di dermaga. Beruntung anak buahnya bisa meringkus dua orang yang berusaha melarikan diri. Ia juga sudah memastikan kapal yang membawa barang dagangannya berlayar, sebelum akhirnya kembali ke mansion. Meskipun begitu, ia kehilangan empat orang anak buahnya. Oliver menoleh saat mendengar suara derap langkah mendekat. Bola mata pria itu bergerak mengikuti pergerakan Hazel. Wanita yang sudah menjadi istrinya itu menoleh ke arahnya. Hazel mengedip saat tatapannya bertemu dengan netra sang suami. Detik berikutnya Hazel meluruskan pandangan ke depan. Dua kakinya bergerak cepat keluar dari dalam mansion. Keluar dari pintu, sebuah mobil dengan pintu yang terbuka sudah menunggunya. Hazel setengah berlari menuruni beberapa undakan teras. Hazel langsung masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibuka. Duduk di kursi penumpang belakang, kepala Hazel bergerak. Tarikan napas panjang wanita itu lakukan. Sepasang matanya menatap ke arah teras. Oliver berdiri di sana. Menatap ke arahnya. Hazel mengalihkan pandangan matanya. Sepasang bibirnya terbelah. Hembusan karbondioksida keluar perlahan. Mobil mulai bergerak, melaju menjauh dari teras mansion menuju gerbang besar yang berada beberapa ratus meter dari bangunan besar mansion utama. Beberapa menit melaju, dua mobil yang bergerak beriringan itu baru keluar dari pagar besi tinggi kokoh yang berdiri menjulang, mengintimidasi siapapun yang ingin melewatinya. Hazel mendorong punggung ke belakang. Perempuan itu menyandarkan punggung lalu memutar kepala ke samping—memperhatikan gemerlap lampu yang menerangi jalanan di tengah pekatnya suasana dini hari tersebut. Mobil yang ditumpangi Hazel masih terus melaju tanpa menyadari bahaya yang mungkin saja sedang mengintai mereka. Sebuah mobil van berwarna hitam keluar dari tempat persembunyiannya. Mobil tersebut bergerak di belakang dua mobil yang melaju beriringan di depannya. “Baik, Bos. Kami akan pastikan mendapatkan paket itu.” Pria yang duduk di sebelah pengemudi mobil van, berbicara melalui sambungan telepon. Sepasang matanya menatap lurus ke depan—ke arah dua mobil sedan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Seringai muncul, mencipta kengerian di wajah yang sudah tampak garang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD