“Ehm, aku sangat tahu, kalau ketampananku yang sejak lahir ini sangat menggoda. Tapi, bisa enggak kita lanjutkan dengan posisi yang lebih nyaman, Ra? Kurasa enggak lama lagi tanganku akan mati rasa atau keseleo,” desis pria itu tanpa mengalihkan tatapannya dan tetap mengunci pandangan mereka. Namun, sukses menghancurkan suasana romantis yang dicipta oleh semesta.
“Eh, i-iya, Pak. Maksudnya Li-Liam,” jawab Nazra dengan kikuk. Wanita itu merutuki dirinya yang terhanyut akan ketampanan si pria. Gegas dia berdiri untuk menghindari situasi awkard yang baru saja dialami. Namun, sekilas kemudian dia kembali terhuyung. Beruntung pria itu kembali menangkap tubuhnya.
“Sepertinya kakiku terkilir,” lirih Nazra sembari memegang pergelangan kakinya.
“Ya sudah, biar aku antar pulang, ya. Tapi lepas dulu high heels-mu ini. Kenapa kalian para wanita suka banget memakai benda yang menyiksa diri sendiri seperti ini, sih. Tunggu di sini, aku akan segera kembali.”
Liam berlari meninggalkan ruangan wanita itu. Ke mana perginya Nazra pun tidak ingin ambil pusing. Dia hanya fokus mengumpulkan berkas laporan yang jatuh berserakan di lantai tadi.
Tidak lama berselang Liam kembali menghampirinya dengan napas yang begitu memburu. Sepertinya pria itu terus-menerus berlari sejak meninggalkan ruangan Nazra.
“Kenapa kamu malah mengumpulkan kertas-kertas itu? Kakimu, kan, sedang terluka. Kenapa enggak menungguku, hm?” Liam bertanya sambil mengambil alih berkas itu dari tangan Nazra. Memapah wanita itu, kemudian mendudukkannya di kursi dengan hati-hati.
Pria itu kemudian berlutut untuk melepaskan high heels yang melekat di kaki Nazra. Pelan-pelan dia menariknya lalu memakaikan sandal flip flop berwarna hitam. Setelahnya, dia tersenyum senang menatap wanita itu. Seperti seorang anak yang meminta dipuji karena telah melakukan sesuatu yang hebat.
“Dari mana kamu mendapatkan sandal ini? Kamu enggak mencuri atau semacamnya, 'kan?” Wanita itu menaikkan sebelah alisnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah kakinya.
Sial! Dia terlalu so sweet. Apa kabar jantungku kalau terus seperti ini? Sabar, ya, jantung. Kamu jangan berdetak telalu keras, nanti pria tampan di hadapanku ini mendengarnya dan kita akan sangat malu pastinya, batin wanita itu berusaha meredam perasaanya.
Liam hanya terkekeh mendengar perkataan Nazra. “Heh, kamu anggap apa aku? Ini sandalku tahu. Aku berlari mengambilnya di ruanganku tadi. Lagipula aku ini bos, mana mungkin mencuri. Kecuali ... mencuri hatimu mungkin?” ucapnya tersenyum mengedipkan sebelah matanya.
Tentu saja kau mencuri hatiku. Tapi bukan saat ini, melainkan sejak dahulu kala, ucap Nazra dalam hati tentunya. Dia tidak akan mungkin memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya kepada Liam, di saat dia sangat tahu bahwa wanita lain yang menjadi idaman pria itu, bukan dirinya.
Liam tampak fokus mengumpulkan kertas laporan milik Nazra. Sedangkan pemiliknya sedang asik dengan ponselnya. Meskipun sesekali dia mencuri pandang pada pria itu, dan hal itu selalu sukses mempercepat degub jantungnya.
Liam kemudian memapah Nazra sampai di kendaraannya. Membukakan pintu mobil, lalu memegang puncak kepalanya saat memasuki kendaraan. Seolah-olah takut kepala wanita itu akan terantuk jika dia tidak melakukan hal itu.
Ah, perhatian sekecil ini saja sudah membuatku meleleh. Jika kamu sebaik ini saat kita berpura-pura pacaran, akan sebaik apa dirimu saat memacari Sisca nanti? Aku enggak sanggup melihatmu perhatian seperti ini kepada wanita lain, Am. Aku enggak akan ridho dunia akhirat. Sangat. Batin Nazra sembari menggigiti bibirnya mencoba menghalau rasa kesal yang tiba-tiba mencuat di hatinya.
Nazra terlalu larut dalam pikirannya dan tidak menyadari pandangan Liam yang menatapnya heran.
“Ra, Rara?” Untuk kesekian kalinya Liam memanggil wanita itu, tetapi dia tetap tidak menjawab. “Apakah tadi Nazra terlalu kaget hingga memengaruhi otaknya?” gumam pria itu heran sendiri.
Liam mendekatkan tubuh ke arah Nazra dengan satu tangannya terulur ke arah wajah wanita itu. Nazra sontak membeliak dan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a.
“Kamu mau apa? Jangan mentang-mentang kaki aku sakit kamu bisa seenaknya, ya!” geram wanita itu dengan tatapan tajam. Dia tidak boleh lengah, meski kepada pria itu sekali pun. Telah terpatri dalam sanubarinya untuk memberi kesucian hanya kepada suaminya kelak.
“Memangnya kamu mau aku apakan?” tanya pria itu heran mengerutkan keningnya. Dia kemudian melanjutkan aktifitasnya yang sempat terhenti. Memasangkan seat belt untuk wanita itu. “Jangan mentang-mentang aku baik, kamu berpikir seenaknya, ya,” imbuh Liam dengan nada mengejek.
Nazra mencebikkan bibirnya kesal. Bagaimana mungkin otaknya yang biasanya suci malah memikirkan hal yang iya-iya. Ah, dia terlalu malu walau hanya untuk menatap pria di sampingnya itu. Kini wajahnya pasti telah semerah kepiting rebus.
Sedetik kemudian wajahnya sudah kembali datar, seolah tidak terjadi apa pun. Meski warna merahnya tetap awet di sana. Nazra memang wanita hebat yang seolah memiliki ‘mode datar’, sangat pandai mengatur ekspresinya. Orang lain tidak akan mudah membaca isi hatinya, karena dia terbiasa memasang poker face.
Hening mendominasi perjalanan mereka tanpa kata. Sepertinya kedua insan itu larut dalam pikiran masing-masing, atau mungkin terlalu malu untuk saling berbicara. Liam sedang fokus di belakang kemudi, sedangkan wanita di sampingnya sibuk memerhatikan titik-titik air di kaca mobil yang mulai membasahi bumi sembari menopang dagunya.
Liam melirik sekilas wanita itu sesaat, lalu menekan music player. Alunan musik dari Bruno Mars berjudul ‘Leave The Door Open’ menggema memenuhi indera pendengaran, memecah keheningan yang menyesakkan di antara mereka.
Tepat pukul 09.15 WIB mereka tiba di kediaman Nazra. Liam kemudian mematikan mesin kendaraan.
“Ra, kita sudah sampai, nih,” ucap Liam melepaskan seat belt-nya dan memalingkan wajah ke samping.
Namun, wanita itu tidak bergeming. Rupanya Nazra sedang terlelap, terbukti dari nafasnya yang teratur. Lihat saja gayanya, mata tertutup dengan kedua tangan terlipat di atas perut. Persis seperti orang yang sedang berpikir dan bukannya seseorang yang sedang tertidur. Ah, sangat khas Nazra sekali bukan. Bahkan saat tidur pun dia tetap tampak sangat serius.
Pria itu memandang wajah Nazra lama. Kembali larut pada maha karya Tuhan yang tengah terbuai mimpi di sampingnya. Tanpa sadar tangannya terulur, merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya. Namun, tiba-tiba wanita itu membuka matanya membuat Liam gugup setengah hidup.
“Kita sudah sampai, Am?” tanya Nazra memandang lurus ke depan. Namun, pria itu hanya membalas dengan anggukan dengan tangan yang masih menggantung di depan wajah wanita itu. “kamu mau apa?” imbuhnya dengan tatapan menyelidik.
“Ehm, a-aku hanya ingin membangunkanmu. Iya, benar begitu. Memangnya mau apa lagi?”
Liam turun terlebih dahulu mencoba menyembunyikan perasaan gugupnya, lalu berlari kecil membuka pintu mobil untuk wanita itu. Dia memapah Nazra dengan tangan kiri yang melingkar di bahu kekasihnya. Sementara tangan kanannya memegangi payung kecil agar tidak basah oleh rintik hujan. Pria itu menuntun wanitanya dengan hati-hati saat mendapati beberapa anak tangga di teras rumah.
“Padahal kamu enggak perlu turun, loh. Cukup kasih aku payungnya, beres, 'kan? Lihat saja bajumu sampai basah begitu, Am.”
Nazra melirik pundak pria itu yang basah karena terkena air hujan. Bagaimana tidak, payungnya dia condongkan ke arah Nazra yang dituntunnya, hingga membuat pundaknya terkena air hujan.
Lihat saja pundak dan d**a yang lebar itu. Sungguh sangat sandaran-able sekali. Membuatku ingin .... Tidak! Waraskan dirimu Nazra! Kembali ke kenyataan pahit bahwa kalian hanya berpura-pura pacaran, batin Nazra.
“Eh, enggak bisa begitu, dong, Ra. Aku enggak mungkin setega itu membiarkanmu berjalan sendiri dalam hujan dengan keadaan seperti itu. Setidaknya biarkan aku menjalankan peranku sebagai pacar yang baik, hm,” ucap pria itu menatap Nazra, lalu melayangkan sebuah senyuman yang pastinya sangat menawan.
“Oh, jadi ini pacar kamu, Ra?” Sebuah suara menginterupsi percakapan mereka, membuat kedua insan itu secepat kilat mengalihkan pandangan ke arah sumber suara itu.
“Bukan, Bu.“
“Iya, Bu.“ Nazra dan Liam menjawab serentak, membuat keduanya saling pandang.
“Dia atasanku, Bu.“
“Dia pacar saya, Bu.“
Kompak. Mereka berdua lagi-lagi menjawab bersamaan, membuat Nazra melotot kepada pria yang tengah memeluk pundaknya itu. Kesal karena bos-nya itu tidak bisa diajak kerjasama. Ah, atau harusnya memang seperti ini? Bukankah dengan begitu dia tidak akan direcoki dengan perjodohan? Good job Liam.
Wanita paruh baya yang tengah duduk menikmati secangkir teh itu menatap mereka lekat dengan pandangan menyelidik. Sepertinya dia telah duduk di sana sejak tadi. Mungkin pengaruh hujan atau memang Nazra dan Liam yang terlalu terbawa suasana hingga tidak menyadari keberadaannya. Entahlah.
Apakah semenyenangkan itu bersama Liam sampai aku tidak menyadari keberadaan Ibu?Alamat bakal salah paham, nih, si Ibu. Semoga saja seperti itu, batin Nazra riang dalam hati.
“Rara kenapa?” tanya wanita paruh baya itu berjalan menghampiri mereka. Kemudian mengalihkan pandangannya kepada Liam yang masih memegangi pundak Nazra
“Aku cuma terkilir, Bu,” jawab Nazra pelan. Ibunya hanya ber-oh-ria sambil mengangguk-angguk.
Liam masih dengan setia membantu Nazra berjalan, lalu dengan penuh kehati-hatian dia mendudukkan wanita itu di samping ibunya. Tentu saja semua perlakuan pria itu tidak luput dari perhatian sang ibu.
“Terima kasih sudah membantu dan mengantarkan Rara pulang, ya, Nak ....” Wanita paruh baya itu sengaja menggantung ucapannya.
“Liam, Bu.” Pria itu menyalami Bu Risa–ibu Nazra–cepat, dan jangan lupa menampilkan senyum pepsodent andalan pastinya.
“Jadi, Nak Liam ini ...,” Bu Risa melirik anak gadisnya sesaat sebelum melanjutkan perkataannya, “atasan atau pacar anak saya?”
“Ehm, saya atasan dan juga pacar anak Ibu,” ucap Liam malu-malu sekilas kemudian menutup mulutnya, lalu memalingkan wajah menahan tawa.
Heh, kenapa anda tersipu seperti itu? Jangankan Ibu, bahkan aku juga bisa salah paham Pak Bos, gerutu Nazra kesal dalam hatinya.
Bu Risa lagi-lagi hanya ber-oh-ria sambil mengangguk-angguk. “Ya sudah, Nak Liam ikut makan malam bersama kami saja. Yuk, Ibu masak makanan kesukaan Rara. Nak Liam belum makan, 'kan?” tanya Bu Risa.
“Maf, Bu, saya hanya mengantar Rara pulang. Lain kali saja, ya , Bu.”
“Pamali, loh, kalau diajakin makan terus menolak. Bisa-bisa nanti jodohnya jauh,” celetuk Bu Risa.
“Eh, masa, sih, Bu? Kalau begitu saya ikut makan, ya, Bu. Maaf merepotkan.” Dia tidak ingin jodohnya jauh. Padahal, dia berpacaran dengan Rara agar dia bersatu dengan jodohnya dan bukan sebaliknya.
Memasuki ruang makan aroma masakan menguar menyapa indera penciuman Liam. Di atas meja beberapa menu makanan telah tertata rapi. Ada kerang hijau saus padang pedas, kepiting lada hitam, udang goreng mentega saus tiram, sayur sop dan jangan lupakan nasinya, karena makan tanpa nasi tentu tidak akan kenyang bukan?
Nazra mengambil makanan untuk ibunya dan Liam, sesaat setelah mereka duduk. Sebenarnya pria itu telah menolak dan ingin mengambil sendiri. Namun, Bu Risa melarangnya.
“Enggak apa-apa, Nak Liam. Biar dia terbiasa saat melayani suaminya nanti,” ucap Bu Risa santai, tetapi sukses membuat Liam tersedak salivanya.
Bersambung...