Aku Butuh Kamu

1751 Words
Secepat kilat Nazra menyodorkan segelas air minum kepada Liam. Pria itu meliriknya sekilas, tetapi wajah Nazra tampak biasa saja. Sepertinya hanya dia saja yang terkejut mendengar penuturan ibu dari wanita yang baru saja dipacarinya itu. Ralat, wanita yang baru saja resmi menjadi ‘pacar pura-puranya'. Risa–ibunya Nazra–memang telah sering menanyakan perihal pernikahan kepada wanita itu. Namun, dia selalu menjawab masih ingin sendiri. Sekarang Tiba-tiba saja dia membawa kekasihnya pulang ke rumah. Risa berusaha sekuat tenaga menyembunyikan raut senang di wajahnya. Aku harus cerita ke Mas Ray nanti. Kalau misi kami berhasil tanpa hambatan, mulus seperti jalan tol. “Silakan dimakan, Nak Liam. Maaf, jika semua ini hanya ala kadarnya saja dan bukannya ala Korea atau ala western Ibu masaknya. Ini semua makanan kesukaan Rara. Dia sering telat makan jadi asam lambungnya suka kumat, makanya ibu masakin. Nanti tolong bantu Ibu jagain Rara, ya, apalagi soal makan.” Liam menatap wanita yang sedang asik mengunyah di hadapannya. Anak Ibu, sih, nggak usah diingatkan untuk makan. Masa, iya, dengan porsi banyak begitu asam lambungnya masih kumat? Mungkin cacing di perutnya saja yang kebanyakan. Liam senyum-senyum sendiri dengan pemikirannya. Nazra yang melihatnya menendang kaki pria itu di bawah meja. Sontak Liam mengaduh kesakitan. “Kamu kenapa, Nak?” tanya Bu Risa dengan wajah khawatir. Lain halnya dengan Nazra yang semakin asik dengan makanannya. Liam menggerutu kesal dalam hati, tetapi tetap menampakkan senyum di wajahnya. “Tidak apa-apa, Bu. Masakan Ibu sangat enak,” ucapnya tersenyum sembari menahan sakit di tulang keringnya. Setelah menandaskan makanannya, pria itu pamit pulang sebelum malam semakin larut. Tidak mengalah dia mendapat gelar sebagai anak SMP alias sudah makan pulang. Hari ini dia belum siap untuk diinterogasi oleh calon mertua. “Terima kasih sudah membantu dengan pura-pura jadi pacarku di depan ibuku, Am,” ucap Nazra saat Liam sudah duduk di balik kemudi. “Bukannya kita memang sepasang kekasih, hm?” Liam mengedipkan matanya sembari menampilkan senyuman maut. Setelah kepergian Liam, Nazra bergegas menuju kamarnya. Tidak ingin diinterogasi oleh ibunya. Malam ini dia terlalu lelah. Belum lagi dia masih harus menyelesaikan laporan yang dia bawa dari kantor tadi. Setelah membersihkan diri, wanita itu menatap tumpukan laporan di meja kerja yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Dia menghela nafas panjang. Belakangan ini pekerjaannya menumpuk dan mau tidak mau dia harus begadang untuk menyelesaikannya. Nazra berjalan meninggalkan kamarnya menuju dapur. Dia butuh kopi untuk menghilangkan kantuk dan memfokuskan pikirannya. Wanita itu mengambil sebungkus kopi instan lalu menyeduhnya dengan air panas. setelahnya dia kembali berkutat dengan tumpukan pekerjaan yang setia menantinya. *** Pagi ini mendung mendominasi. Matahari seolah-olah enggan menampakkan wajahnya dan bersembunyi di balik kumpulan awan kelabu. Nazra berangkat lebih pagi dengan menggunakan ojek online. Mobilnya masih tersimpan di parkiran kantor karena kemarin diantar pulang oleh Liam. Dia baru saja memasuki gedung kantor saat sebuah suara menegurnya. “Ciee, yang udah couple-an,” goda Dhanti menahan tawa sembari mengedipkan matanya. “Apa, sih? Gaje kamu,” jawab Nazra dengan wajah datar. Dia tidak ingin ambil pusing dengan godaan temannya yang memang sedikit aneh itu. “Alaah, pura-pura nggak tau kamu. Itu ....” Dhanti menunjuk dengan dagunya sekilas kemudian terkekeh. Nazra pun mengalihkan pandangan menuju arah yang dimaksud Dhanti. Tampak seorang pria tampan dengan setelan jas berwarna mocca berjalan dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Liam memang selalu berpenampilan sangat menarik setiap hari. Lihat saja style dan caranya berjalan sudah seperti model papan atas. Wajah tampan, tubuh tinggi, kulit putih, ditambah senyuman yang manis. Ah, tampilan itu sungguh bagaikan sebuah karya masterpiece dari Sang Pencipta. Nazra menelan salivanya tatkala melihat pria itu berjalan dengan gerakan slow motion disertai cahaya dan bunga warna-warni di sekitarnya. Seolah-olah matanya selalu dilengkapi filter cinta jika menatap pria itu. Tuhan, apakah ini gambaran dari blasteran bidadara dan manusia? Sungguh indah makhluk ciptaan-Mu ini, batinnya saat itu. “Pagi, Ra. Kakimu sudah baikan?” tanya pria itu mengibaskan tangannya tepat di depan wajah Nazra, membuat wanita itu kembali ke mode normal. “Aku enggak kelihatan, nih?” celetuk Dhanti melipat tangan di d**a dengan wajah cemberut. “Pagi Dhanti, sahabatku yang paling cantik sedunia,” sapa Liam kemudian. “Telat! Mentang-mentang sudah punya pacar lupa sama teman. Liat saja bajunya sampe couple begitu.” Dhanti menatap mereka dengan tersenyum sambil memiringkan wajahnya. Liam dan Nazra serentak memandang pakaian masing-masing, lalu saling menatap. “Kita enggak janjian, tuh. Aku duluan, ya.” Nazra melangkah meninggalkan kedua orang itu dengan wajah datar tanpa menunggu jawaban mereka. “Pacar kamu memang benar Ratu Es, Am. Selamat, ya,” ucap Dhanti sekilas menepuk bahu Liam dan meninggalkannya. Tinggallah Liam seorang diri di depan lift. Saat sadar pintu lift telah tertutup menyisakan dia seorang diri di sana. *** Cuaca yang sedang tidak bersahabat turut membuat mood Nazra menukik tajam. Mendung yang masih menghiasai seluruh langit ibukota dengan awan kelabu seolah-olah menggambarkan hatinya. Nazra melangkahkan kaki menuju ruangan dengan sebuah espresso di tangan kanannya. Dia ingin segera menyelesaikan pekerjaan, lalu istirahat sebentar, menikmati me time. Mungkin jalan-jalan sore bisa meningkatkan mood-nya setelah berkutat dengan laporan yang sialnya selalu setia menungggu dirinya . “Maaf, Bu Nazra, ini berkas yang Ibu minta.” Rini–asisten Nazra–menyerahkan sebuah dokumen kepada wanita itu. “Oke. Thanks, ya, Rin,” ucapnya sekilas kemudian kembali fokus pada kertas yang dipegangnya. “Oh my gosh,” pekik Rini menangkup wajah wanita itu dengan kedua tangannya. Dia memalingkan wajah wanita itu ke kiri dan ke kanan. “Stop, Rin. Jangan membuat mood-ku semakin hancur. Kamu tidak akan mau menanggung akibatnya.” Ancam wanita itu dengan nada dingin. “Astaga maaf, Bu. Saya hanya super terkejut dengan dark circle yang menghiasi bawah mata Bu Nazra. Sepertinya lingkaran hitam itu semakin lama semakin parah. Apakah saya perlu menutupinya dengan concelar ?” tanya Rini sambil menunjukkan sebuah pouch merah muda yang entah dia ambil dari mana. “Ugh, ini mimpi buruk. Cepat berikan masker mata milikmu saja. Saya tidak mau orang lain melihat penampilan saya yang seperti ini.” Wanita itu bermonolog sambil menatap pantulan wajahnya di cermin kecil yang diberikan Rini kepadanya. Setelah memasangkan masker yang dimaksud, Rini meninggalkan meja Nazra menuju kubikel di sudut ruangan itu, tempat mejanya berada. Sedangkan atasannya kembali melanjutkan pekerjaan. Nazra sedang fokus membuat laporan analisis strategi untuk membantu para manajer membuat keputusan terkait proyek kerjasama yang akan mereka kerjakan. Liam tiba-tiba saja memasuki ruangan Nazra dengan langkah yang tergesa. Sekilas dia memerhatikan wanita itu, kemudian menghampirinya. “Ikut aku sekarang.” Liam meraih pulpen yang dipegang Nazra kemudian meletakkannya di meja dan juga melepaskan masker yang melekat di bawah mata Nazra. Wanita itu menatapnya kesal. “Ada perlu apa Anda dengan saya, Pak?” “Aku butuh kamu. Ayo, cepat dan jangan banyak tanya.” Pria itu menarik lengan Nazra, mengikis jarak di antara mereka. “Maksudnya apa?” “Maksudnya, kamu ikut aku sekarang!” titah Liam tanpa memberi penjelasan apa pun. Pria itu menarik tangan Nazra dan menggenggamnya sepanjang jalan. Tentu saja hal itu menjadi tontonan bagi para karyawan. Apalagi, bos mereka itu dengan pedenya membawakan tas milik kekasihnya. Pajero sport hitam milik Liam berhenti di depan sebuah kafe yang padat pengunjung. Plang besar bertuliskan ‘Cafe Coffee’ menyambut mereka di depan pintu. Nazra memonitor seluruh penjuru kafe itu. Kesan nyaman dan instagramabel begitu kental kala mata memandang. Pantas saja jika banyak digandrungi anak muda. Bahkan, cabangnya sudah ada puluhan hanya dalam waktu yang terbilang singkat. Liam melangkah pasti dengan tangan kanan dimasukkan ke dalam saku celana. Sedangkan Nazra mengekor di belakangnya. Wanita itu menabruk tubuh bagian belakang Liam, tatkala pria itu menghentikan langkah tanpa aba-aba. Membuat gadis itu mengaduh memegang keningnya. Dia tidak menyangka jika tubuh bosnya yang tampak kurus itu ternyata padat dan keras. Liam tidak menghiraukan keluhan Nazra. Dia justru sedang bersapa ria dengan sepasang pria dan wanita. Sedangkan wanita yang baru saja bersalaman dengan Liam, justru menutup mulutnya menahan tawa melihat kejadian itu. Kesal, Nazra kemudian mengibaskan surai panjangnya lalu berjalan bak seorang model, sekilas kemudian menghampiri mereka. “Nazra,” ucapnya tersenyum menyalami kedua orang itu. “Dia partner saya hari ini,” jelas Liam kemudian diangguki oleh keduanya. “ini Raga pemilik kafe ini dan Daisy asistennya,” imbuhnya kemudian. “Silakan duduk Pak Liam dan Bu Nazra,” Raga mempersilakan dengan sangat ramah. Nazra memperhatikan percakapan ketiga orang tersebut sambil sesekali menyesap minumannya. Dia memang tidak banyak bicara karena datang tanpa persiapan. Lagipula, Liam hanya meminta untuk menemaninya bukan membantunya berbicara. Sedangkan Daisy sibuk memandangi Liam dengan wajah yang jelas terpesona. Pria itu seolah-olah keluar dari sebuah novel. Paras yang tampan, tampilan menarik, wangi menggoda, senyum memikat, ditambah lagi dia adalah seorang CEO dari perusahaan besar dan masih muda. Ah, sungguh gambaran pria idaman paket komplit yang paling lengkap edisi dunia nyata menurutnya. Nazra yang melihat pemandangan itu turut melakukan hal yang sama. Dia melirik pria di sampingnya yang tengah sibuk membicarakan kesepakatan dengan pihak kafe. Memang pantas Daisy terpesona, bos-nya itu memang sangat menawan. Apalagi saat sedang serius bekerja, kadar ketampanannya naik hingga 50%. Pantas saja Daisy sangat tertarik kepada pria itu. Liam yang menyadari tatapan itu, sekilas menatap Nazra lalu tersenyum manis padanya. “Dengan senang hati Saya menantikannya. Saya harap semuanya berjalan sesuai rencana, ya, Pak Liam,” ucap Raga tersenyum mengakhiri pembicaraan mereka. “Saya juga menantikan kerja sama dengan Anda,” jawab Raga membalas senyuman Liam. Apa-apaan wanita ini? Dia membiarkan atasannya yang menjelaskan segalanya, sedangkan dia hanya berleha-leha menikmati minuman. Sangat tidak kompeten. Makan gaji buta. Aku akan menggantikan bos-nya memberi pelajaran padanya, Daisy merutuki Nazra dalam hati. “Maaf, kalau boleh tahu, Bu Nazra ini asisten atau sekretarisnya Pak Liam?” tanya Daisy dengan tatapan menyelidik. Nazra menjawab dengan tersenyum tipis, “Ah, saya hanya seseorang yang bekerja di bagian keuangan, Bu Daisy. Tidak usah menghiraukan saya.” “Oh, orang keuangan. Pantas saja Bu Nazra tidak menanggapi pembicaraan kami, rupanya Anda tidak mengerti.” Wanita itu berdecak miris. Membuat kedua pria yang duduk bersama mereka saling pandang. “Yahh, kalian, kan, memang orang yang hanya bekerja di balik komputer. Menghitung nilai uang yang kami hasilkan, tanpa tahu bagaimana cara dan proses yang kami lakukan untuk mendapatkannya.” Wanita itu tersenyum remeh. Sepertinya dia berniat mempermalukan Nazra, lantaran tidak ikut membahas kerjasama yang akan dijalin antara perusahaan mereka dan kafe tempatnya bekerja. “Daisy!” Raga berbicara dengan intonasi memperingatkan, “jangan keterlaluan!” “Apa maksud Anda berbicara seperti itu?” Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD