Dua Puluh

2510 Words
Duduk disebelah orang yang sedang dimabuk cinta itu sama saja seperti kamu menjadi obat nyamuk saat harus mengantar teman ketemuan sama pacar. Entah setan apa yang saat ini menempel pada tubuh Nisa. Pasalnya wanita yang beberapa hari lalu baru di perikat oleh seorang Cheff itu tak pernah melepas senyuman manisnya dari bibir merah itu. Apalagi saat Nisa beberapa kali mengelus jemari manisnya yang diberi cincin pemberian Fahmi, senyumnya semakin melebar. Alin yang melihatnya sampai ingin cepat-cepat jam istirahat tiba dan segera keluar dari ruangan ini agar tak melihat ekspresi aneh Nisa hari ini. "Mbak, udah dong jangan senyum-senyum mulu ... Aku ngeri tau!" Protes Alin. Di dunia ini mungkin hanya Alin saja yang berani memprotes ora senyum. Padahal, senyum itu ibadah, begitu kata agama. "Jomblo harap diam." Balas Nisa tanpa menoleh sedikitpun pada Alin dan justru sibuk mengelus cincin. Bahkan sepertinya Nisa seharian ini tidak mengedit naskah. Mata Alin mendelik tak terima. Ia tidak jomblo! Hanya saja pasangannya dimasa depan saat ini tengah bersama hati yang lain. "Dasar bucin!" Balas Alin tak mau kalah. "Masih mending jadi bucin ye, daripada jomblo. Udah jomblo, ngenes pula." Ini bukan lelucon, tentu saja. Sehingga Alin membalasnya dengan suara sinis, "Baru juga dikasih cincin tunangan, bukan alat sholat yang dibayar tunai." "Semua butuh proses kali .. tunggu aja dua bulan lagi, kita bakal nyebar undangan. Jangan lupa datang, ya. Amplop harus tebal, nggak tebal jangan makan banyak-banyak di prasmanan nanti." Nah, ini baru namanya lelucon. Alin jelas tidak percaya dengan apa yang barusan Nisa katakan. Dua bulan lagi Nisa dan Fahmi akan menyebar undangan pernikahan? Yang benar saja! Tunangan saja baru kemarin-kemarin. "Orang kalo kebanyakan makan peyek, halunya kebangetan ya." "Oooh .. jadi kamu nggak percaya? Oke, nih aku buktiin!" Sambil mengulas senyum iblis, Nisa memainkan ponsel pintarnya untuk menghubungi nomor Fahmi. "Hallo, Sayang? Kamu lagi sibuk nggak?" Nisa menyapa terang-terangan pada seseorang di seberang sana. Alin melirik sinis sekaligus heran pada Nisa. Sayang? Sejak kapan Mas Fahmi-Nya mau dipanggil-panggil dengan sebutan alay itu? "Ooh nggak terlalu sibuk, ya? Aku mau minta tolong sama kamu, nih. Ceritanya ada orang yang sirik sama hubungan kita, terus dia nggak percaya kalo kita dua bulan lagi mau ngadain pernikahan. Kamu bisa bantu aku buat dia percaya?" mata Nisa melirik lamat-lamat pada Alin sambil menahan tawa, "Oke, ini orangnya." Lanjutnya menyerahkan ponsel pada Alin. "Calon suami mau ngomong sama kamu." Katanya menyombongkan diri. Bersungut-sungut Alin akhirnya menyerobot paksa ponsel Nisa dan menempelkannya di daun telinga. "Apa!" Ketusnya untuk menyapa Fahmi. Ketika Fahmi tengah menjelaskan hubungannya dengan Nisa, Alin terpaksa mendengarkan secara seksama. Huh! Padahal ia tidak meminta Fahmi untuk menjelaskan kisah cintanya dengan Nisa. Sebenarnya ia tidak Sudi mendengarkan kisah cinta Nisa yang terdengar .. manis? Kalian lihat saja, mereka bahkan tidak saling kenal namun kini keduanya sudah memasuki tahap pertunangan dan sebenar lagi akan menaiki tahap pernikahan. Bukankah itu terdengar manis? "Stop! Nggak usah dilanjutkan ceritanya! Langsung intinya aja, aku cuma mau tanya. Mas Fahmi sama Mbak Nisa beneran mau nikah dua bulan lagi?" Matanya membulat sempurna kala mendengar Fahmi mengucap kata 'ya'. "Ja-jadi, jadi kalian beneran mau nikah? Jadi suami istri? Punya anak?" "Nggak harus sedetail itu kali .." timpal Nisa. "Diam!" Bentak Alin pada Nisa. "Mas Fahmi nggak khilaf kan ini? Mas Fahmi dalam keadaan sadar kan? Atau jangan-jangan ..." Mata Alin melirik horor pada Nisa, "Mbak Nisa main dukun-dukunan?" Tuduhnya. "Sembarangan! Cintaku itu murni, tanpa tangan dukun!" "Nggak nanya!" Balas Alin lantas kembali fokus pada pembicaraannya dengan Fahmi. "Mas Fahmi, pokoknya Minggu ini kita harus bicara, empat mata! Aku masih belum percaya kalian memutuskan untuk menikah dua bulan lagi." Terdengar helaan napas dari seseorang di seberang sana. Setelah dirasa sudah puas berbincang banyak dengan Fahmi, Alin menyerahkan ponsel pada Nisa dan kembali bekerja. Besok hari peluncuran buku milik Seesaw. Jadi hari ini ia sibuk saling membalas pesan dengan si penulis buku. Ya, setelah sekian lama dan penuh tahap ia menangani naskah itu, akhirnya besok pagi buku tersebut akan siap edar. Sambil membalas pesan Seesaw, benak Alin membayangkan berapa banyak budget yang akan perusahaan kasih untuknya jika penjualan buku milik Seesaw ini melampaui batas target pencetakan buku. Pasti perusahaan akan memberinya banyak bonus. Secara, Seesaw penulis andalan di penerbitan ini, itu kata Rivaldo. Eh, tunggu. Rivaldo? Mengingat nama sialan itu, Alin jadi ingat kejadian kemarin saat ponselnya hilang dan alangkah sialnya ia saat ditawari pulang bareng dengan pria itu. Kemarin benar-benar hari tersialnya karena terlalu banyak momen bertemu dengan Rivaldo. Tak mau menyimpan kesialannya seorang diri, Alin lantas menghentikan aktivitas bekerjanya dan memutar sedikit kursi kerjanya agar berhadapan dengan Nisa. Ia akan membagi kisahnya pada Nisa. "Mbak," "Apa? Masih nggak percaya dua bulan lagi aku mau kawin?" Cecar Nisa. Alin memutar bola mata jengah. Dan lebih jengah lagi saat mulutnya hendak melontarkan kalimat namun bel istirahat menginterupsinya, sehingga Alin kini hanya bisa membuang napas gusar. "Kita ngobrol di kantin aja, yuk Mbak." Ajaknya menarik paksa tangan Nisa untuk segera keluar dari ruangan menyiksa ini. Menyiksa karena selalu dikejar-kejar deadline. "Apa? Kamu dibuatin ramuan tradisional untuk sariawan? HAHAHAHA..." Tawa Nisa menggelegar diseluruh penjuru kantin kantor. Baru saja Alin menceritakan kisahnya saat ia harus berhadapan dengan Rivaldo di pantry kantor. Secara detail, Alin pun juga bercerita tentang dirinya yang dibuatkan ramuan oleh pria itu, namun ia menolaknya dengan kabur begitu saja. "Terus-terus, gimana lagi ceritanya?" Todong Nisa padahal tawanya belum reda. Alin membuang napas sambil memalingkan pandangan. Sungguh, ia menyesal telah menceritakan ini semua pada Nisa. "Aku tinggalin dia gitu aja di pantry." Balas Alin acuh. Nisa memonyongkan bibirnya, "Sok jual mahal." "Aku kan emang mahal." "Biasa juga jual murah kalo ada cogan." "Iya, tapi Pak Rivaldo nggak termasuk." "Kamu kenapa sih sama Pak bos? Dendam banget kayaknya." Alin terdiam. Tentu saja ia dendam dengan Rivaldo, karena pria itu yang sudah merenggut ciuman pertamanya yang sengaja ia persembahkan kelak untuk Ilham. Ia masih tak terima dengan perlakuan Rivaldo. Sekalipun dia orang nomor satu di perusahaan ini. "Dendam? Enggak, biasa aja sih." "Hati-hati lhoh, nanti jatuh cinta." Cih! Alin berdecih dalam hati. Jangankan jatuh cinta, memiliki rasa percaya pada Rivaldo saja ia tak punya. "Impossible, Mbak." "Nothing is impossible in this world, Alin." Alin sebenarnya sudah malas membahas tentang Rivaldo. Ia jadi benar-benar menyesal telah memulai pembicaraan mengenai Rivaldo pada Nisa. Seharusnya ia simpan saja cerita ini dalam pikiran sendiri, bukannya malam membeberkan pada Nisa yang berujung membuatnya semakin muak pada Rivaldo. Kepala Alin menggeleng keras sambil menggidikan kedua bahu. "Udah lah nggak usah bahas dia lagi. Males." "Makanya jangan mulai ..." *** Pukul empat sore, usai membereskan meja kerjanya, Alin bergegas pulang. Bisa dibilang ini hari yang paling menyenangkan selama ia bekerja disini. Jika hari-hari biasanya ia akan disibukkan oleh setumpuk naskah yang harus diedit, hari ini justru pekerjaannya hanya membalas pesan-pesan Seesaw dan pura-pura sibuk pada layar komputer. Jadi, karena ia sudah tidak ada pekerjaan lagi, yang biasanya pulang pukul setengah lima, khusus hari ini ia bisa pulang jam empat. Tidak ada yang melarang, selagi pekerjaan selesai dan tidak ada masalah, perusahaan milik Rivaldo Hendriksen ini memperbolehkan karyawannya pulang cepat. "Pulang dulu ya, guys." Seru Alin pada semua rekan kerjanya yang satu divisi. Lantas kepalanya tertuju pada Nisa, "pulang dulu ya, calon bininya Mas Fahmi." Katanya. Nisa buru-buru menoleh, "Udah direstuin ya?" Tanyanya penuh semangat. "Nggak ada restu untuk kalian berdua!" Balas Alin ketus lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan. Alin sama sekali tidak peduli pada seruan Nisa yang menjerit-jerit minta restu padanya. Sembari mengendarai sepeda motor menuju rumah, bibir Alin tak henti-hentinya menyanyi. Senja sore ini terlihat sangat indah, sangat serasi dengan suasana hati Alin yang tengah berbunga-bunga hanya karena bisa pulang cepat. Ya, sebegitu bahagianya ia. Bahkan saat motornya telah tiba dipekarangan rumah dan ia masuk ke dalam rumah, bibirnya masih bersenandung ria. Sampai akhirnya ia menghentikan langkah tepat setelah melihat Mamanya sibuk pada barang-barang dimeja ruang tengah. Disana ada beberapa buah-buahan yang sudah dihias dalam parcel. "Parcel buah buat apa, Ma?" Tanyanya penasaran. "Anak tetangga ada yang mau ngelamar." Dahi Alin berkerut dalam. Anak tetangga ada yang mau ngelamar dan Mamanya ini ikut-ikutan membantu menghias parcel? Alin tidak salah lihat kan? Ini tidak seperti biasanya. Seorang Nawang Wulan yang terkenal jarang berbaur dengan para tetangga—kecuali tetangga depan rumah, tiba-tiba saja berbaik hati membantu dalam acara anak tetangga yang mau ngelamar. Hah! Sambil menggeleng-gelengkan kepala dan melangkah meninggalkan ruang tengah, Alin berujar. "Tumben Mama baik hati sama tetangga selain Tante Irma." "Kata siapa? Ini kan memang punya Tante Irma." Sahut Nawang. Langkah Alin berhenti di tempat. Punya Tante Irma? Jangan bilang yang mau ngelamar adalah Ilham! Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Alin menutup kedua telinganya sambil berbalik badan untuk memastikan apakah yang barusan ia dengar itu benar atau telinganya yang bermasalah. "Tadi Mama bilang apa?" Tanyanya sekali lagi. "Ilham mau melamar calonnya." Nawang justru memperjelas kenyataan. "Apa?" Dan Alin dengan segala tingkah laku anehnya, ia berusaha untuk tidak mendengar apapun. Sekali lagi Nawang menghela napas sabar. Dengan segala kelembutan yang dirinya punya, Ibu tiga anak ini lantas kembali menjawab pertanyaan Alin. "Ilham mau melamar calonnya, Mbak." "Apa?" Baiklah. Mumpung kesabaran Nawang masih setengah daya, akhirnya ia menghampiri lebih dekat anak sulungnya ini. Menarik kedua tangan Alin yang sedari tadi sengaja untuk menutupi daun telinga. Mengelus rambut kepala Alin penuh sayang dan menatap lembut pada mata sendu itu. Jujur, Nawang sangat kasihan pada Alin. Ingin rasanya menarik Alin dalam pelukan dan memberi beberapa kalimat penenang untuk anaknya ini, tapi ia tidak bisa melakukan itu semua untuk saat ini. "Ilham mau melamar Sania besok sore." Otak Alin blank. Mas Ilham-nya akan melamar wanita lain besok sore. Lalu apa yang harus ia lakukan? Alin hanya bisa berdiam diri ditempat dengan tatapan kosong. Rasanya hati ini sudah remuk berkeping-keping dan tak bisa lagi di tata ulang. Semangat hidupnya pun luntur seketika. Apa semua sudah terlambat? Tapi kenapa? Kenapa harus sekarang? Kenapa sangat tiba-tiba? Bahkan Alin sama sekali belum menyiapkan mental kuat untuk menghadapi ini. "Mbak?" Panggil Nawang hati-hati. Panggilan dan tepukan pundak dari Nawang mampu menyadarkan lamunan Alin. "E-e-eh, iya Ma, kenapa?" Tanyanya gamang. "Ini cuma lamaran kecil-kecilan kok, jadi kamu nggak usah ikut juga nggak apa-apa. Berangkat kerja aja." "Ta-tapi nggak enak sama Tante Irma, Ma." "Nanti biar Mama yang bicara sama Jeng Irma." Tidak menjawab, Alin hanya menghela napas. Rasanya berat sekali beban pikiran ini. "Sana mandi gih terus bantuin Mama beres-beres ini." Suruh Nawang mendorong Alin agar bergegas masuk ke kamar dan membersihkan tubuh. Alin hanya menurut saja, ia melanjutkan langkahnya memasuki kamar. Ia butuh mandi sekarang. Lalu ... Setelah mandi, ia harus membantu Mamanya membereskan pernak-pernik lamaran Ilham. Apa dunia sekejam ini? Waktu berganti malam, Nawang masih disibukkan oleh beberapa pernak-pernik lamaran yang belum sempat di bungkus ke parcel. Alin bahkan kini sudah bergabung untuk membantu Mamanya. Walau rasanya malas dan tidak ikhlas sekali membantu proses lamaran seseorang yang dirinya cintai. "Mbak, boleh minta tolong belikan plastik parcel? Ini plastiknya kurang." "Dimana?" "Minimarket depan gerbang komplek kayaknya ada." Kepala Alin mengangguk. Malas-malas ia beranjak bergegas melaksanakan perintah Mamanya. Sampai diluar, Alin tak sengaja melirik rumah Tante Irma. Haruskah ia kesana untuk memberi selamat pada Ilham? Alin tersenyum culas. Tapi ... Ya, Alin harus kesana. Tapi bukan untuk memberi kalimat selamat. Ia akan bertemu Ilham untuk memantapkan hati pria itu. Bukankah ini belum terlambat? Lamaran berlangsung besok sore dan ini masih malam, jadi Alin masih memiliki banyak waktu untuk memperjuangkan cinta pertamanya. Rumah Tante Irma kebetulan tidak ditutup. Alin sengaja masuk saja tanpa permisi. Terdengar suara gaduh dari arah ruangan tengah. Saat langkahnya menuju suara gaduh tersebut, ia dikejutkan oleh beberapa orang disana. Mereka belum menyadari kehadirannya, karena Alin sengaja bersembunyi. Ternyata Tante Irma tidak sendirian dalam mempersiapkan segala keperluan lamaran. Disana ada beberapa anggota keluarga lain yang ikut membantu, sepertinya saudara Tante Irma. Juga, yang membuat Alin mengelus d**a berkali-kali adalah saat ia tak sengaja melihat adiknya disana. Citra. Entah punya kepentingan apa adiknya ini, yang jelas Citra disana tengah berbahagia bermain dengan dua orang anak seusianya, entah itu siapa. Mungkin anak dari saudara Tante Irma. Dasar adiknya ini! Mungkinkah Citra sudah memberi restu pada hubungan Ilham dan Sania? Sedang seseorang yang sangat Alin ingin temui kini tengah duduk bersantai menonton acara televisi sambil beberapa kali memainkan gawai. Tak mau melepas kesempatan ini, Alin menguatkan diri untuk menampak disana. "Assalamualaikum ..." "Walikumsalam ... Eeeh ada Alin. Baru nampak kamu Lin." Balas Tante Irma. "Hehehe, iya Tan. Aku sibuk bantu Mama kemas parcel dirumah." "Duuuhh.. maaf ya, jadi ngerepotin keluarga kamu deh." "Nggak apa-apa Tan. Seru juga kalo bantu-bantu kemas." "Syukurlah. Tante sebenarnya agak nggak enak sama kalian hehehe. Bantu-bantu banyak banget." "Nggak kok Tan." Tante Irma tersenyum dan mengangguk. "Ohiya, kamu kesini mau ambil sesuatu atau gimana?" Alin gelagapan. Ia melirik Ilham yang justru sama sekali tidak menghiraukan kehadirannya sedikitpun. Lantas kembali menatap Tante Irma. "E-eeumm .. aku.. mau.. mau.. ambil plastik parcel! Iya, plastik parcel!" "Tuh kan! Plastik parcelnya pasti kurang. Ham, sana gih antar Alin beli pastik parcel." "E-e-enggak usah Tan. Aku beli sendirian aja." Tolak Alin. "Janganlah, udah malem takut ada apa-apa." Sebelum Alin mengeluarkan tolakannya, Ilham sudah berdiri dari duduknya. Sepertinya pria itu Sudi untuk mengantarnya membeli plastik parcel. "Sana ikut Ilham." Suruh Tante Irma. Alin sontak mengikuti langkah Ilham yang keluar dari rumah. Kini keduanya duduk disatu sepeda motor milik Ilham. Sungguh, Alin merasakan hal berbeda saat ia duduk berdekatan seperti ini dengan Ilham, setelah tahu pria ini sebentar lagi akan melamar kekasihnya secara resmi. Bukan rasa bahagia bergejolak yang Alin rasakan saat ini, melainkan rasa perih dan keki. "Mas Ilham," panggil Alin tiba-tiba. Ya ampun, ada apa dengan mulutnya ini. Kenapa tiba-tiba saja memanggil Ilham. "Hmmm?" Seperti biasa Ilham menyahut dengan deheman. Alin berpikir keras. Ia akan mengatakan apa sih? "Bo-boleh berhenti sebentar?" Tanpa menjawab, Ilham sudah menghentikan motor dan mematikan mesin motornya. Alin turun dari kereta roda dua itu dan berdiri disebelah Ilham. Mata Alin menatap lekat pria yang sebentar lagi akan menyematkan cincin pada wanita lain. "Ma-Mas Ilham be-beneran mau melamar Mbak Nia?" "Ya," balas Ilham. "Beneran mau nikah sama Mbak Nia?" Walau heran, Ilham tetap menjawab. "Ya." Setetes air mata keluar dari pelupuk mata Alin. "Te-terus, terus aku gimana? Ak-aku suka sama mas Ilham, aku cinta sama Mas Ilham. Bahkan saat kali pertama kita bertemu dan sampai sekarang aku masih cinta sama Mas Ilham, hiks hiks hiks..." Alin menyuarakan isi hatinya didepan Ilham sambil menangis tersedu-sedu. Tentu saja Ilham tahu itu. Dan menyadari itu sejak lama. Alin menyukainya. Ya, itu tidak membuatnya terkejut. Jadi Ilham menanggapi ini dengan biasa saja. "Tapi saya nggak punya rasa untuk kamu." Balas Ilham menohok. Entahlah. Walau ia lama mengenal Alin, anehnya Ilham tidak pernah memiliki perasaan lebih pada gadis ini. Bukan karena tipe ideal atau fisik, yang jelas Ilham hanya menganggap Alin sebagai adik kelas saat sekolah dan tetangga dekat saat dirumah. Kepala Alin menggeleng keras. Bukan itu yang ingin Alin dengar dari bibir Ilham. Bukan kalimat itu. Sudahlah, hatinya sudah tidak kuat lagi menahan gejolak rasa sakit ini. Persetan pada plastik parcel yang sudah Mamanya tunggu-tunggu, Alin kini berlari sekuat tenaga dan menghilang begitu saja ditelan gelapnya malam. Dan bodohnya lagi, Ilham hanya diam saja ditempat. Dia seperti pria yang tidak bertanggung jawab pada ucapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD