Dua Puluh Satu

2225 Words
Ini hari ketiga Alin tidak menampakkan diri di kantor, semenjak Mas Ilham-nya mengikat Sania dengan sebuah cincin dihadapan para saksi. Oh tidak, tentu saja dia bukan lagi 'Mas Ilham-nya' melainkan seorang pria b******n yang sialannya Alin cintai sejak pertemuan pertama mereka. Oh, tidak-tidak! Alin tidak boleh mengingat itu. Bukan hanya menyakitkan, tapi juga membuatnya semakin keki para pria bernama Ilham itu. Seiring berjalannya waktu tiga hari belakangan ini, Alin mulai menyesali hatinya yang sangat-sangat bodoh sekali. Bisa-bisanya ia mencintai seseorang yang jelas-jelas tidak pernah menganggapnya ada. Dan alangkah bodohnya ia bahkan masih mencintai Ilham sampai detik ini, walau rasa menyesal dan benci terus saja ia ucapkan dalam hati. Tapi hatinya yang paling dalam justru masih memiliki rasa pada pria sialan itu. Mungkin ini yang dinamakan gagal move-on. Gamon. Dan rasanya sangat tidak nyaman. Ada rasa benci yang berdominan dengan rasa cinta. Membingungkan, bukan? Yaaah, begitulah cinta. Selalu membuat seseorang bingung dan gila mendadak. Kini ia benar-benar seperti manusia yang sudah tidak memiliki semangat hidup. Tiga hari belakangan ia memang tidak menampakkan diri di kantor, tapi dari rumah ia selalu berangkat pagi-pagi dan itu bukan untuk ke kantor melainkan ke restoran Ayahnya. Ini gila kan? Ya, Alin sudah gila. Seperti pagi menjelang siang ini, Alin hanya duduk termenung memandangi Fahmi dan para karyawan lain tengah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing.  Kegiatannya di restoran hanya duduk termenung saja. Dan setiap kali Fahmi mengajaknya bicara, Alin selalu menggelengkan kepala atau sekedar bilang 'lagi puasa ngomong'. Lalu Fahmi hanya akan menghela napas dan tidak lagi mengganggu lamunan Alin. *** Sedang suasana di kantor Kembang Publisher, Rivaldo tengah mondar-mandir didepan meja kerjanya sendiri. Entah apa yang membuatnya seperti orang bodoh, yang jelas otaknya tengah berpikir keras mengapa Alin tidak berangkat ke kantor selama tiga hari berturut-turut. Rivaldo jelas tahu Alin tidak berangkat. Dua hari ini ia berkunjung ke Kembang Publisher dan ruangan pertama yang dirinya masuki adalah ruang editor romance. Awalnya Rivaldo biasa saja saat melihat meja kerja Alin nampak kosong tak berpenghuni. Tapi saat esok paginya lagi ia kembali ke ruangan tersebut, Alin masih tetap tak terlihat disana. Saat Rivaldo bertanya pada Nisa, kenapa Alin tidak berangkat ke kantor, wanita itu justru menggeleng tak tahu. Juga, Nisa bilang bahwa Alin tidak masuk kantor selama tiga hari berturut-turut, tentu saja Rivaldo terkejut. Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Tidak masuk kantor selama tiga hari berturut-turut tanpa keterangan, harus menghadap dirinya. Ini kantor, bukan sekolahan yang dengan seenaknya bolos tiap hari tanpa ada sanksi berat. Berhenti mondar-mandir, Rivaldo kembali duduk di kursi kerjanya dan mengambil gawai di meja kerja. Sedikit menurunkan ego, kini Rivaldo mencoba untuk menghubungi nomor Alin yang dirinya dapat dengan cara anti mainstream. Panggilan pertama, operator bilang nomor yang Rivaldo tuju sedang tidak aktif. Sampai panggilan ketiga, operator selalu yang menjawab dengan jawaban sama. Baiklah. Jadi benar apa kata Nisa, nomor Alin tidak bisa dihubungi. Mungkin Alin sengaja mematikan ponsel agar tidak ada orang kantor yang mengganggunya. Pintar sekali wanita itu, pikir Rivaldo. Meletakkan gawai, Rivaldo beralih menggunakan telepon kantor untuk menghubungi sekretarisnya. "Tolong carikan alamat rumah karyawan bernama Alin dari editor romance." Perintahnya. *** Sepertinya kesabaran Fahmi sudah diambang ubun-ubun. Sore hari, setelah meminta tolong pada Cheff lain untuk menghandle pekerjaannya, Fahmi kini menarik paksa tangan Alin dan membawa adik besarnya ini keluar dari restoran. Tentu saja Alin tak melolak, ia hanya diam saja diseret sana-sini. Rupanya Fahmi mengajak Alin ke sebuah taman, yang kebetulan Fahmi lihat ketika mengendarai mobil. Fahmi membukakan pintu mobil agar Alin keluar lalu keduanya duduk saling bersebelahan disatu kursi. Kebetulan taman sore ini terlihat sepi. "Tatap mata Mas, Lin." Perintah Fahmi. Lamat-lamat Alin menuruti perintah Fahmi. Ditatapnya mata pria yang sudah tidak mengenakan apron itu. "Sekarang bicara, kamu ada masalah apa? Dari kemarin kamu bolos kerja dan malah ke restoran untuk melamun. Bahkan Mas bosan lihat kamu diam aja, Lin. Kalo ada masalah, cerita. Cerita sama Mas." Tutur Fahmi. Bukan jawaban yang Fahmi dapat tapi justru titikan air mata yang dirinya lihat. Alin menundukkan kepala dalam-dalam. Ia tak ingin terlihat lemah dihadapan Fahmi. "A-aku nggak apa-apa kok." Ucapnya sambil menahan tangis sesak. "Nggak apa-apa tapi nangis." Sahutan Fahmi mampu mendorong air mata Alin keluar. Kini ia benar-benar sudah menangis didepan Fahmi. Tubuhnya bahkan sudah lunglai tak dapat menopang sehingga Alin melaburkan tubuhnya pada Fahmi, merangsek dalam pelukan pria ini. Meminta perlindungan dan kekuatan pada Mas Fahmi-Nya yang sebentar lagi akan menikah dengan sahabatnya. Dengan sabar Fahmi mengelus rambut kepala Alin, memberi penenang dan kenyamanan. "Tenangkan diri kamu, Lin .. tenang. Disini ada Mas. Kamu aman dengan Mas." Ujarnya. Masih menangis tersedu-sedu, namun Alin memaksakan diri untuk melontarkan kalimat pada Fahmi. "Ma-Mas, Mas Ilham mau nikah sama Mbak Sania, HUAAAAA...." Tangisnya pecah selesai merangkai kalimat itu. Jujur, Fahmi sangat benci pada Alin yang menangis hanya karena soal pria. Dan lagi-lagi pada satu nama pria yang daridulu selalu membuat adik besarnya ini menderita karena cinta buta. "Masih banyak pria lain, Lin." Ucapnya. "Tapi-tapi, HUAAAAA.." rasanya Alin sudah tidak sanggup lagi untuk bicara. "Kamu cukup move on dari dia dan jangan mengharapkannya lagi." Tidak ada balasan dari Alin. Wanita itu tengah berusaha menghentikan tangisnya sendiri walau sesenggukan masih melanda. "Kamu tau kenapa Ilham ditakdirkan untuk Sania?" Tanya Fahmi tiba-tiba. Mendengar pertanyaan itu Alin mengurai pelukan. Ditatapnya wajah Fahmi dan menggeleng tak tahu. "Karena Tuhan sudah mempersiapkan pria yang lebih baik dari Ilham, untuk kamu." "Nggak ada yang lebih baik dari Mas Ilham." Balas Alin dengan setetes air mata yang entah kenapa masih saja keluar. Sepertinya Fahmi harus memiliki kesabaran ekstra untuk menyadarkan Alin dari kebucinannya pada Ilham. Tangan Fahmi terangkat untuk menghapus air mata yang keluar membasahi pipi Alin. "Berhenti memujinya, Lin. Kamu harus move on." "Gimana caranya, Mas? Rumahku dan Mas Ilham dekat. Aku keluar rumah, pasti ketemu Mas Ilham. Apa aku harus pindah rumah?" "Kalo kamu ketemu Ilham, saat itu juga kamu harus cari perbuatan-perbuatan jeleknya pada kamu. Contohnya Ilham yang selalu mengabaikanmu atau nggak menganggap kamu ada. Berusaha untuk membencinya juga boleh, tapi jangan terlalu dan jangan berlebihan." Kepala Alin mengangguk. Ia akan coba tips-tips dari Fahmi. "Dan kamu harus selalu ingat. Bahwa di dunia ini pria bukan hanya Ilham." "Memangnya siapa lagi? Pria yang ada di hidupku cuma Mas Fahmi, Mas Ilham, Ayah terus Aiden. Aku nggak punya doi, Mas." "Nisa bilang pria di kantor kalian kerja ganteng-ganteng." "Ganteng tapi nggak ada yang kenal!" "Perlu Mas carikan?" "Tapi yang kayak Mas Fahmi!" Jantung Fahmi seperti tak berdetak untuk beberapa detik setelah Alin mengucapkan itu. Yang seperti aku? Lalu kenapa dulu kamu sia-siakan aku? Rasanya ingin sekali Fahmi melontarkan kalimat itu. "Atau mau jadi pacar kedua Mas aja?" Tawar Fahmi. Lantas dibalas tonjokan di bahu oleh tangan nakal Alin. "Aku anti pelakor-pelakor klub!" Katanya. "Akan Mas carikan tapi nggak dalam waktu dekat ini. Tunggu usiamu beranjak 25 tahun." Bola mata Alin melotot tajam. "Keburu wajahku keluar kerutan itu Mas!" Kesalnya. "Kalo memang cinta, nggak akan memandang berapa kerutan di wajah yang pasangannya miliki." "Iya deh, tersehat yang sebentar lagi mau nikah. Ohiya, Mas Fahmi masih rahasiakan aku ke Mbak Nisa kan? Jangan sampai Mas Fahmi keceplosan bilang aku sebenarnya berangkat kerja dari rumah tapi malah ke resto." "Iya.. iya." "Jangan bilang juga ke Ayah." "Iya." "Oke, sekarang kita pulang." "Mau langsung Mas antar ke rumah atau ke resto dulu?" "Resto lah! Aku kan harus pulang pake motor, biar nggak ketawan." "Mau sampai kapan kamu bolos-bolosan kerja begini, Lin?" "Sampai hati yang ambyar ini bisa tertata kembali." Balas Alin lantas masuk ke mobil Fahmi. *** Mercedes-Benz C-Class yang dikendarai oleh Rivaldo kini memasuki perkomplekan. Sambil melirik layar yang menampilkan maps untuk menuju rumah Alin, Rivaldo berusaha fokus mengendarai. Ya, setelah berhasil mendapatkan alamat rumah Alin, tentu saja ia akan mendatangi rumah tersebut. "Nomor rumah 102 .. nomor rumah 102 ..." Rivaldo bergumam menghapal nomor rumah Alin. Sampai ia menemukan nomor rumah 102 dan turun dari mobil. Gerbang rumah yang tidak ditutup membuat Rivaldo tak perlu repot-repot menunggu seseorang untuk membukanya. "Permisi ..." Serunya bersamaan dengan ketukan pintu. Pintu dibuka dari dalam, tampaklah seorang wanita dengan balutan daster batik khas ibu-ibu. Itu Nawang, yang baru saja selesai mandi. "Iya, cari siapa Mas?" Tanya Nawang. Rivaldo tidak yakin pada tebakannya sendiri. Didepannya ini pasti bukan Ibu Alin. Jelas. Tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan Alin. Tapi untuk berjaga-jaga, siapa tau Ibu Alin memang awet muda dan Alin justru lebih mirip sang Ayah, alangkah baiknya Rivaldo memanggil seseorang didepannya ini dengan sebutan 'Ibu'. "Saya Rivaldo kerabat kerjanya Alin, ingin bertemu dengan Alin, Bu." "Ooh .. teman kerjanya Alin. Lhoh, tapi Alinnya..—," ucapan Nawang terpotong oleh seseorang yang baru saja muncul di belakang Rivaldo. "Lhoh Ma, ada tamu kok nggak diajak masuk..." Arsan muncul di belakang Rivaldo. "Ooh, iya. Ayo mari masuk, masuk. Sekalian bawa masuk juga mobilnya, takut ngehalangi jalan." *** Pikiran Alin sekarang sudah sedikit lega, setelah ia mengungkapkan semua keluh kesahnya selama ini pada Fahmi. Ia menyesal kenapa baru sekarang curhat pada Fahmi! Jadi buang-buang waktu saja. Sambil mengendarai sepeda motor menuju rumah, seolah-olah ia baru pulang bekerja seperti biasanya, Alin memikirkan kembali motivasi-motivasi yang Fahmi berikan. Benar kata Fahmi, jika Tuhan mentakdirkan b******n Ilham untuk Sania, itu artinya Tuhan sudah mempersiapkan pria lain yang lebih baik dari Ilham untuknya. Motor Alin memasuki pekarangan rumahnya dengan damai, karena ia berhasil tidak menatap sedikitpun pada rumah Tante Irma. Tapi disini, ia dibuat bingung oleh penampakan Mercedes Benz C-Class yang terparkir di halaman rumahnya. Siapa gerangan seseorang pemilik mobil mewah ini? Kerabat kerja ayahnya kah? Atau teman arisan Mamanya? Ah, sepertinya porsi kedua tidak mungkin. Penasaran, Alin segera memarkirkan motornya disebelah mobil mewah tersebut, biar ketularan mewahnya. Lantas ia bergegas masuk ke rumah. "Assalamualai...—kum..." Salahnya tercekat oleh penampakan sosok Rivaldo yang tengah duduk di sofa ruang tamunya bersama Ayah. "Pa-pa-Pak Bos? Nga-ngapain disini?" Tanyanya seperti melihat hantu di sore hari. "Baru pulang kerja, Mbak?" Tanya Arsan dengan nada sinis. Kepala Alin menoleh pada sang Ayah. "I-iya Yah," "Kerja dimana? Bos-mu bilang kamu nggak berangkat selama tiga hari berturut-turut tanpa keterangan." Mata Alin terbelalak. Ia menatap Rivaldo nyalang lalu beralih menatap sang Ayah untuk memberi penjelasan. "Bukan begitu, Yah—," "Selesaikan urusanmu sekarang. Ayah nggak pernah ngajarin kamu sebagai orang yang nggak bertanggung jawab." Putus Arsan lantas pergi. Ayahnya sudah kecewa. Semua rahasianya sudah terbongkar oleh Rivaldo. Sialan! Kenapa pria ini bisa menemukan alamat rumahnya?! Ooh tentu sangat gampang untuk Rivaldo meminta alamat rumahnya pada Hardi. "Pak, kita bicara diluar saja." Ujar Alin dan pergi mendahului. Sekarang keduanya duduk berhadapan di teras rumah yang kebetulan di fasilitasi oleh satu meja bundar kecil dan dua kursi kayu. "Pak, saya tau saya salah. Tapi nggak berangkat ke kantor tiga hari, nggak mengharuskan Bapak untuk ke rumah saya kan?" Mulai Alin. Rivaldo yang sedari tadi diam saja, hanya memperhatikan tingkah Alin kini justru terkekeh mendengar pertanyaan bernada emosi dari Alin. Benar kata Alin. Tapi ini bukan hanya karena pekerjaan, hanya saja matanya ingin sekali menatap Alin. Sungguh. Dan sekarang ia lega karena sudah menemukan orang yang dicarinya dari kemarin. "Kamu pikir perusahaan saya sekolahan Paud yang jika muridnya tidak berangkat seminggu, gurunya hanya memaklumi? Ini kantor, tempat kerja dan kamu tidak berangkat ke kantor selama tiga hari berturut-turut bahkan tanpa keterangan." "Saya berencana untuk resign." Emosi sudah di ubun-ubun, Alin tak kuat lagi menahannya. "Resign? Enak sekali kamu ngomong. Oke, baik. Kamu akan resign, tapi jangan lupakan untuk membayar denda kontrak dua ratus juta." "Dua ratus juta? Saya baru bekerja di perusahaan Bapak tiga bulan yang lalu dan saya masih ingat apa saja perjanjian-perjanjian kontrak itu! Nggak ada tulisan kalo resign harus bayar dua ratus juta tuh!" "Ini peraturan baru." "Sejak kapan?" "Sejak kamu meminta resign dengan seenaknya." Alin memejamkan mata kuat-kuat, menahan diri untuk tidak menonjok wajah Rivaldo sekarang juga. Rivaldo tersenyum samar kala melihat Alin menutup mata dan membuat kerutan di dahi terlihat sangat jelas. "Lupakan tentang resign, sekarang saya butuh penjelasan kamu kenapa tidak masuk kantor, padahal Orangtua kamu bilang anaknya setiap hari berangkat kerja." Katanya. Mata Alin terbuka dan menatap sebal pada Rivaldo. "Alasannya karena saya pengin resign dan orangtua saya nggak boleh tau tentang itu." "Saya tidak akan menandatangani surat resign kamu." Lantas Rivaldo beranjak dari duduknya, "saya mau minum teh manis buatan Ibu kamu." Pamitnya dan kembali masuk ke rumah Alin. Alin terbelalak. Entah ini kali keberapa ia membulatkan matanya karena terkejut dan syok, tapi yang jelas Rivaldo sudah sangat kelewatan. Terpaksa ia mengikuti Rivaldo dan duduk di sofa single depan pria itu. "Pak, ini udah jam lima, sebaiknya Bapak pulang." Ujar Alin. Sudah setengah jam jam lebih ia duduk seperti orang bodoh yang menemani Rivaldo minum teh. "Kamu ngusir saya?" Iya! Tapi sayangnya bukan kata itu yang keluar dari mulut Alin. "Nggak bermaksud mengusir, tali berkunjung ke rumah orang terlalu lama itu mengganggu sekali, Pak." "Teh saya belum habis, sayang jika tidak di habiskan. Rasanya enak. Ibu kamu pakai teh apa?" Rivaldo justru membuka obrolan. "Saya nggak tau, Pak." "Pasti kamu tipe-tipe wanita yang jarang masuk ke dapur dan lebih suka mematut diri berjam-jam di depan cermin." "Pak, Bapak pernah di tampar pake p****t wajan nggak?" "Kebetulan belum pernah. Kenapa?" "Mau coba?" Rivaldo mendengus. Lihat, bahkan ekspresi emosi Alin terlihat menggemaskan. Wanita itu akan melototkan mata dan menatap lawan bicaranya penuh nyalang. Rivaldo suka ekspresi itu. Rasanya sangat disayangkan jika hanya melihat sebentar saja. Jadi, ia akan mencari bahan obrolan yang bisa membuat Alin jadi lebih emosi. Contohnya seperti, "Boleh. Tapi satu tamparan harus dibayar dengan satu kecupan. Bagaimana?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD