"Pak, Bapak pernah di tampar pake p****t wajan nggak?"
"Kebetulan belum pernah. Kenapa?"
"Mau coba?"
Rivaldo mendengus. Lihat, bahkan ekspresi emosi Alin terlihat menggemaskan. Wanita itu akan melototkan mata dan menatap lawan bicaranya penuh nyalang. Rivaldo suka ekspresi itu. Rasanya sangat disayangkan jika hanya melihat sebentar saja. Jadi, ia akan mencari bahan obrolan yang bisa membuat Alin jadi lebih emosi.
Contohnya seperti, "Boleh. Tapi satu tamparan harus dibayar dengan satu kecupan. Bagaimana?"
Tak butuh waktu dua detik, Alin sudah langsung menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan sambil kepalanya geleng-geleng kecil. Tidak! Ia tak akan membiarkan Rivaldo kembali mencipoknya, walau Ilham sudah benar-benar menjadi milik orang lain. Yang jelas ia akan menjaga bibir dan seluruh tubuhnya untuk suaminya kelak, pastinya bukan Rivaldo. Tentu saja.
"Saya bisa saja mencium kamu disini." Ucap Rivaldo setelah meletakkan cangkir teh dimeja.
Mata Alin melotot lalu kembali netral kembali setelah menyadari di rumah ini bukan hanya ada dirinya, tapi ada juga orangtuanya. Jadi ia tak perlu takut kalau-kalau Rivaldo berbuat tak sopan. "Silakan. Yang jelas Orangtua saya akan membela saya sekalipun harus menggunakan tiga pengacara. Dan Bapak, akan hidup di jeruji besi."
Rivaldo terkekeh untuk kesekian kalinya. Tubuhnya bergerak beranjak berdiri untuk menghampiri Alin agar lebih dekat. Namun gerakannya terhalang oleh munculnya Arsan.
"Valdo, ayo makan malam disini. Istri saya hari ini masak banyak, kebetulan." Tawar Arsan, seperti sangat akrab dengan atasan Alin.
Alin saja sampai terheran-heran. Bagaimana mungkin Ayahnya dengan santai menawarkan makan malam pada Rivaldo? Ini Rivaldo bosnya kan?
"Pak Rivaldo mau pulang, Yah. Lagian, Ayah sok kenal banget, Pak Rivaldo kan orang sibuk." Ujarnya mencoba mencegah agar Rivaldo tidak makan di rumahnya.
"Lhoh? Siapa yang nggak kenal dengan Rivaldo Hendriksen William? Pemilik perusahaan perangkat ponsel, pemilik showroom mobil dan pemilik penerbitan buku tempat kamu bekerja? Tentu saja Ayah kenal bahkan sebelum kamu aktif di kantornya. Kami juga pernah mengisi seminar di satu kampus."
Mendengar penjelasan dari Ayahnya tentu saja membuat Alin membelalakkan mata tak percaya. Ini berita buruk. Ayahnya sudah mengenal Rivaldo. Ini ancaman untuknya. Dan ia tak boleh membiarkan ayahnya semakin dekat dan akrab dengan Rivaldo. Lantas kepala Alin melirik Rivaldo. Lihat, pria itu justru tersenyum malu usai Ayahnya membicarakan keakraban keduanya.
"Tapi Yah, saat ini Pak Rivaldo berperan sebagai atasan aku, bos aku dan Ayah nggak seharusnya menawari dia makan. Nggak sopan."
"Sejak kapan nawarin makan disebut nggak sopan? Saya bersedia kok gabung makan malam dengan kalian. Dengan senang hati, tentunya." Rivaldo akhirnya angkat bicara. Rasanya puas sekali bisa skakmat Alin sesuka hati, apalagi di depan Ayah wanita itu.
"Nah, orangnya aja nggak keberatan. Kamunya yang nggak mau aib cara makanmu terlihat sama atasan."
"Aku mau resign kok dari perusahaan Pak Rivaldo."
"Resign? Ayah pikir kamu nyaman bekerja disana."
Nyaman? Memang ya, yang terlihat Dimata itu belum tentu benar.
Baiklah, Alin jujur. Ia memang nyaman bekerja disana. Mendapatkan teman seperti Nisa adalah sebuah anugerah terindah yang Tuhan kasih secara cuma-cuma. Tapi yang membuatnya tak nyaman dan ingin sekali mengajukan surat pengunduran diri adalah kehadiran Rivaldo! Tekanan darahnya akan langsung naik jika sudah mendengar kabar bahwa Rivaldo akan berkunjung ke kantor. Apalagi akhir-akhir ini Rivaldo sering sekali berkunjung. Padahal saat Alin tanya pada Hardi tentang jadwal berkunjung Rivaldo ke kantor, tak sebanyak yang Rivaldo lakukan beberapa bulan belakangan.
"Ayo Valdo, ikut Om ke meja makan." Ajakan Arsan pada Rivaldo mampu membuat lamunan Alin tersadar.
"Baik, Om." Jawab pria itu.
Lantas Arsan tanpa sungkan merangkul bahu Rivaldo membawa atasan Alin itu memasuki rumah lebih dalam lagi.
"Inilah yang Om suka dari kamu, selalu menghargai ajakan orang."
"Iya Om, karena menurut saya menghargai itu memiliki nilai penting pada sifat seseorang."
Samar-samar Alin masih bisa mendengar perbincangan keduanya. Setelah dua orang tersebut menghilang dari pandangannya, Alin mengacak dan menggaruk rambut kepalanya frustasi. Sungguh, ini diluar dugaan. Rivaldo datang secara tiba-tiba dan lebih mengejutkannya lagi saat mengetahui Ayahnya ternyata kenal dekat dengan Rivaldo. Sekarang, apa yang harus ia lakukan dengan pakaian yang masih mengenakan setelah kerja dan rambut acak-acakan ini?
Bunyi cacing di perut Alin, membuat sang pemilik langsung memilih untuk ikut makan malam. Ia memang lapar, karena hari ini hanya makan sarapan pagi saja dan minum air dingin saat di restoran. Apalagi saat sore tadi ia menangis meraung-raung tak jelas di pelukan Fahmi, jadi membuatnya semakin lapar.
Memasuki area dapur, mata Alin otomatis tertuju pada Rivaldo. Pria itu bahkan kini sudah akrab dengan Citra. Bisa dilihat dari interaksinya saat ini. Citra tanpa sungkan meletakkan beberapa sayuran yang tidak disukainya pada piring makan Rivaldo.
"Adek.. nggak boleh gitu ah! Nggak sopan. Kalo nggak suka kasih ke Abang." Peringatan Nawang tak di respon apapun oleh si bungsu.
"Nggak apa-apa, Tante. Saya suka sayur." Justru Rivaldo yang merespon.
"Tapi nggak harus makan bekas Citra juga. Duh .. jadi nggak enak."
"Iiii Mama! Sayurnya tuh belum aku makan tau! Kalo udah masuk ke mulut aku mana mungkin aku tega ngasih bekasan ini ke Oppa."
Astaga! Bahkan Citra sudah memanggil Rivaldo dengan sebutan 'Oppa' yang artinya adiknya ini nyaman berteman dengan Rivaldo. Hmm.. Citra memang gampang sekali untuk mendekatkan diri pada siapapun sih. Adiknya ini tipe-tipe orang huble tapi ngeselin kalo sudah berteman lama. Beda lagi kalo Aiden. Adik laki-lakinya itu justru pilih-pilih teman. Lihat saja sekarang, Aiden terlihat tak berselera untuk mengobrol dengan Rivaldo dan lebih fokus pada makanan. Bahkan raut wajahnya sangat kentara bahwa anak itu tak menyambut baik kehadiran Rivaldo.
Alin melangkahkan kakinya lebih dekat, menampakkan dirinya disana dan dengan percaya diri tangannya menyeret kursi untuk duduk di sebelah Aiden.
"Mau apa kamu?" Tanya Arsan tertuju pada Alin.
"Makan ...?"
"Makan? Mandi dulu sana."
"Tapi Yah ..."
"Memangnya kamu nafsu makan dengan rambut berantakan kayak gitu?"
Apapun keadaannya, tentu saja nafsu makan tetap jalan bagi Alin. Tapi karena Juragan restoran sudah membentak dan menyuruhnya untuk mandi, baiklah ia akan mandi sebentar. Ah, tidak-tidak. Mandi tentu membutuhkan waktu lama. Jadi, ia akan mengganti baju saja dan sedikit membasahi rambutnya agar terlihat seperti orang yang baru mandi. Nah, ide bagus.
"Iyaa...iya!"
"Hiiiii jorok!"
Posisi Alin yang sudah berbalik badan siap untuk keluar, mendengar suara Citra sontak ia langsung berbalik badan. Ingin memberi sedikit ancaman pada adiknya namun ia urung saat matanya menyadari ada Rivaldo disana. Tentu ia tak mau tabiatnya yang suka ngomong kasar terbongkar. Ah sungguh, kehadiran pria itu membuatnya harus sedikit bersabar. Lantas Alin memilih abai setelah melototkan mata pada Citra.
"Mbak?" Panggil Nawang.
Lagi, Alin harus berbalik badan dengan kesal. "Apa lagi sih...?!"
"Itu di kamar mandi kamu ada shampo khusus untuk kutu, dari Jeng Irma jangan lupa di pake. Jeng Irma bilang itu ampuh banget. Kutu-kutu bisa mati kalo kamu pakenya rutin."
Jangan tanya bagaimana ekspresi Alin saat ini. Kalau kalian pernah melihat orang yang sedang menahan pup, kurang lebih begitulah kira-kira ekspresi Alin saat ini. Menghela napas sabar adalah senjata terbaik untuk meredam emosi sejenak. Lalu tanpa sepatah kata ia meninggalkan area dapur.
Rivaldo melihat semuanya. Ternyata, selain menjadi bucin bertahun-tahun, Alin juga memelihara kutu di rambut gadis itu. Pantas saja, tak jarang saat di kantor rambut Alin seringkali berantakan. Mungkin karena ulah kutu tersebut. Kepala Rivaldo geleng-geleng. Sungguh, Alin adalah wanita ajaib yang pernah dirinya temui di belakan muka bumi ini. Selama hidupnya, jujur ia tak pernah memiliki orang-orang terdekat yang memiliki kutu rambut.
Usai makan malam, Rivaldo berpamit untuk pulang. Sebagai karyawan yang baik dan tidak sombong, Alin mengantar Rivaldo keluar dari rumahnya. Ah, tidak. Sebenarnya ia tak benar-benar mengantar, hanya saja ia harus memastikan bahwa Rivaldo benar-benar pulang.
Setelah sampai didepan mobil pria itu, Alin berujar. "Lain kali tolong nggak usah kemari lagi, Pak." Ia tak peduli ucapannya akan menyakiti hati Rivaldo atau tidak.
Rivaldo menoleh, "Kenapa? Kamu dengar kan, tadi saya bilang ke Ayah kamu kalo saya akan sering-sering berkunjung kesini?"
"Lagian mau ngapain sih, Pak?"
"Tentu saja bertemu dengan Om Arsan. Memang siapa lagi? Berpikir untuk menemui kamu?" Sejenak Rivaldo tertawa sendiri, "kamu bukan alasan kuat untuk aku sering-sering berkunjung kesini." Lanjutnya, tak mau Alin gede rasa.
Alin kicep. Ya Tuhan, kenapa pikirannya sudah melayang bahwa Rivaldo benar-benar akan mengusiknya? Tentu saja pria itu akan sering-sering kemari untuk menemui Ayah, bukan dirinya.
"O-o-oh gitu, ya-yaudah gih pulang. Saya ngantuk!"
Bukannya bergegas, Rivaldo justru menolehkan kepalanya menatap rumah megah tepat di seberang rumah Alin. "Itu rumahnya?" Tanyanya terdengar ambigu.
Dahi Alin mengernyit. Bosnya ini tidak kenal Ilham, kan? Tidak mungkin sekali jika Rivaldo mengenal Ilham. Jelas-jelas bidang mereka berbeda. "Rumah siapa?"
"Orang yang kamu suka."
"Kok Bapak tau?"
Mudah saja untuk Rivaldo tau semua tentang Ilham. Pasalnya ia pernah menyewa detektif untuk menelusuri kehidupan Ilham. Bukan apa-apa, saat itu ia sangat penasaran pada sosok Ilham yang sangat digilai oleh Alin. Tapi sekarang ia sudah tak lagi peduli pada kehidupan pria itu. Pria yang dengan sombongnya menjadikan Alin b***k cintanya tanpa peduli seberapa besar cinta Alin. Sungguh, Rivaldo sangat benci pada pria sejenis Ilham-Ilham ini.
"Om Arsan pernah membicarakannya."
"Apa kalian sedekat itu?" Tanya Alin sangat penasaran.
Kepala Rivaldo mengangguk. Berkat pertemuannya kali pertama untuk mengisi seminar di sebuah kampus, Rivaldo jadi kenal seorang Arsan Arsyad. Pria berstatus pengajar yang memiliki bisnis restoran dimana-mana. Lalu kepala Rivaldo beralih fokus ke mobil Arsan berada. "Kamu lihat mobil baru Ayah kamu, itu beli di showroom saya. Dia minta saran mobil mana yang baik dan pantas untuk dirinya dan dia memilih rekomendasi saya."
Parah! Ternyata Ayahnya sudah benar-benar mengenal Rivaldo dari segi baiknya saja. Tidak tahu tabiat Rivaldo seperti apa dan bagaimana pada wanita. Sialan!
Tapi, kalau keduanya memang sudah mengenal dekat, kenapa saat Alin masuk ke Kembang Publisher Ayahnya hanya diam-diam saja? Seperti tidak tahu-menahu tentang seluk beluk perusahaan tersebut, padahal atasannya adalah temannya sendiri. Ini perlu di pertanyakan! Ayahnya harus diajak bicara empat mata saat ini juga!
"Saya masih nggak nyangka kamu anak Om Arsan."
Apa? Apa maksud dari kalimat itu?
"Memangnya kenapa kalo saya beneran anaknya Arsan Arsyad? Nggak pantas? Nggak seimbang dengan kepintarannya?"
"Nggak, bukan begitu. Saya nggak nyangka aja anaknya Om Arsan mau-maunya jadi bucin anak tetangga."
Mata Alin melotot. Sejak kapan sih Rivaldo ini tahu tentang kebucinannya pada Ilham? Siapa yang membeberkan indentitas pribadinya pada pria ini?
"Saya udah move on kok." Balas Alin serileks mungkin, walau sempat melotot mata karena saking emosinya mendengar suara Rivaldo terus-menerus.
"Baguslah kalo begitu. Lagipula, untuk apa mencintai seseorang yang jelas-jelas sudah tahu dia nggak mencintai kamu."
Astagaaaa ini lagi! Kenapa Rivaldo jadi sangat tahu tentang hubungannya dengan Ilham sih? Alin masih terheran-heran dengan ini.
Tak mau lebih pusing, Alin akhirnya mendorong tubuh Rivaldo untuk segera masuk ke mobil pria itu. "Udah deh, mending Bapak pulang sekarang juga. Ini udah malam, udara malam nggak baik untuk tubuh."
"Oke, saya pulang sekarang. Jangan lupa aktifkan ponsel kamu, dari siang saya telpon kamu nggak aktif-aktif."
Sejak kapan ia menyerahkan nomor ponsel pribadinya pada Rivaldo?
"Bapak salah nomor kali, hape saya aktif dua puluh empat jam kok. Udah cepetan sana pulang, besok kerja." Masih tetap mengusir.
Rivaldo masuk kedalam mobil. "Iya-iya saya pulang. Sampai ketemu besok."
"Jangan harap!" Ketusnya.
Mobil Rivaldo kini sudah melesat pergi. Alin menghela napas syukur. Akhirnya ia bisa mengusir dedemit kaya raya itu. Semoga malam ini ia bisa tidur nyenyak.
"AYAAAAAAH!" Teriak Alin ketika memasuki ruang tengah dan menemukan Arsan tengah santai menonton televisi bersama Nawang dan Citra.
"Oppa Rivaldo udah pulang ya, Mbak?" Tanya Citra.
Tak menggubris pertanyaan Citra dan fokus pada Arsan. "Yah, kenapa waktu aku masuk ke Kembang Publisher Ayah biasa-biasa aja?"
Dahi Arsan dibuat mengernyit oleh pertanyaan Alin. "Memangnya Ayah harus bersikap apa?"
"Jelas-jelas Ayah kenal pemilik perusahaan tersebut. Seharusnya Ayah ada bilang ke aku kalo pemiliknya itu teman Ayah sendiri."
"Ayah juga baru tau tadi kalo Rivaldo punya perusahaan di bidang publishing. Dari awal dia bilangnya cuma punya dua company aja. Showroom dan perusahaan perangkat ponsel."
"Beneran?"
Kepala Arsan mengangguk.
"Memangnya kenapa, Mbak?" Mamanya ikutan nimbrung.
"Nggak kenapa-kenapa sih. Tapi aku beneran mau resign dari sana." Matanya menatap bergantian pada Ayah dan Mamanya.
"Yaaaah... Berarti nanti Mbak Alin nganggur dong? Terus nanti yang antar jemput aku ke sekolah Mbak Alin dong? Maa... Citra nggak mau di antar jemput Mbak Alin..." Citra justru merengek.
"Pala kau nganggur! Ya cari kerjaan yang lain lah!" Tukas Alin, tak lupa memberi pelototan mata pada sang adik yang sekata-katanya.
"Mbak, jaga ucapan. Sehari aja ngomong kalem nggak bisa, ya? Lagipula, tadi Ayah udah bilang ke Rivaldo untuk titip kamudi perusahaannya. Dan kamu malah resign?"
"Titip? Itu kantor Yah, bukan pesantren."
"Setidaknya kalo dia tau kamu anak Ayah, Rivaldo akan bantu kamu kalau-kalau kamu ada masalah di tempat kerja."
"Aku nggak mau digituin! Pokoknya harus resign."
"Memangnya punya uang dua ratus juta?" Tanya Arsan yang tak sengaja mendengar perbincangan Alin dan Rivaldo sore tadi.
"Pinjam di Ayah dong."
"Nggak boleh!" Justru Citra yang menjawab.
"Tuh, nggak dikasih izin sama adik kamu."
Sialan! Keluarga sialan! Rivaldo sialan! Sekarang ia benar-benar menyesal telah bergabung di Kembang Publisher dan menandatangi kontrak disana. Ya, Tuhan ... Ia harus bekerja dua tahun lagi disana. Ia harus menghadapi Rivaldo selama dua tahun? Lebih baik ia menikah dengan Prayit saja! Jangan tanya siapa Prayit, dia anak komplek paling pojok yang hobinya nonton bokep di warnet.