Sembilan

2137 Words
Sembari menunggu kabar dari Kembang Publisher mengenai surat lamaran pekerjaannya, Alin menyibukkan diri dengan membantu restoran cabang Jakarta yang beberapa Minggu lalu ditinggal oleh Mbak Tut. Alhasil, satu waiters disana berkurang satu. Siang ini, Alin berpenampilan sama seperti karyawan restoran milik ayahnya. Ia mencoba untuk membantu pekerjaan waiters yang terlihat kuwalahan melayani para konsumen. Sebenarnya Minggu lalu ayahnya sudah merekrut satu pekerja baru untuk bagian waiters, tapi ternyata dia tidak bisa diandalkan. Dengan tanpa memberitahu atau sekedar memberi pesan lewat SMS, gadis lulusan SMA itu pergi meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Dan sampai sekarang satu posisi waiters masih belum ada yang mengisi. Disini tidak butuh karyawan yang berpenampilan menarik atau cantik. Tidak. Yang dibutuhkan hanya skill dan kegesitan saat bekerja. Untuk penampilan, rapi saja sudah cukup. Langkah Alin tak pernah lelah bolak-balik mengantar menu pesanan konsumen. Juga beberapa kali harus membersihkan meja makan yang sudah kosong. Fahmi yang tengah memasak sembari mengamati pergerakan Alin bahkan takjub pada wanita itu. Ini kali pertamanya ia melihat Alin melakukan pekerjaan berat. Dan ternyata anak atasannya itu bisa, bahkan sepertinya Alin tidak merasa keberatan saat menjalaninya. "Kamu nggak capek Lin? Bolak-balik dari tadi, beresin meja juga. Mending kamu suruh orang kasir buat jadi waiters aja terus kamu gantiin di kasir." Ujar Fahmi saat melihat Alin keluar dari toilet dan tengah memasang apron kembali ke badannya. Alin menoleh pada pemilik suara. "Nggak ah. Biasa aja. Mas Fahmi belum tau aja aku dirumah bantuin Mama kayak kerja rodi. Kalo cuma jadi waiters aja mah masalah kecil." Sahutnya sambil menjentikkan jari. Suara itu mengundang Fahmi untuk terkekeh. "Yaudah, terserah kamu aja. Yang penting kalo capek jangan ngadu ke Boss." "Ya nggak lah! Paling nanti minta di pijitin, hehehe." Alin mengering saat melihat Fahmi melototkan mata. Ia segera berlalu untuk kembali melayani pelanggan. Restorannya masih ramai pengunjung. Kebanyakan dari pada karyawan kantoran yang memilih untuk makan diluar karena bosan dengan menu makan kantin kantor, mungkin. Pukul dua, Alin akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaannya bersama tim. Kini ia sudah mengganti pakaian biasa dan bersiap untuk makan siang bersama Fahmi. "Mas, aku mau curhat deh." Ujarnya ketika sudah duduk berhadapan dengan Fahmi dan bersiap menyantap makan siang. "Curhat apa? Kerjaan? Emang yang di Kembang Publisher belum ada kabar?" Sahut Fahmi sekenanya karena ia tengah sibuk makan. "Bukaan, bukan masalah kerja. Kalo itu sih belum ada kabar. Ini masalah Mas Ilham. Ih asli!" "Kenapa? Kamu di tolak lagi ya?" "Iyaaa.. kemarin kan ceritanya aku, bla bla bla.." Alin menceritakan semua kejadian kemarin. Ia juga memberitahu pada Fahmi bahwa dirinya merusak laptop sendiri hanya karena ambisinya yang ingin dekat dengan Ilham. Sungguh miris sekali bucin yang satu ini. Fahmi bahkan sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Ini sudah diluar batas. "Mending kamu berhenti dari sekarang, Lin. Kamu udah tau dia nggak suka sama kamu tapi masih aja didekati. Itu sama aja kamu mencoba untuk menyakiti dan menyiksa diri sendiri." Jelas Fahmi. Sungguh ia ingin menyadarkan Alin dari cinta butanya itu. "Nggak bisa Mas.. aku udah terlanjur nge-love sama dia." Rengek Alin. Bahkan ayam geprek di meja sudah tidak selera lagi ia makan. "Coba kamu buka hati untuk pria lain. Mungkin itu akan mudah buat kamu bisa move on dari Ilham." Saran Fahmi. Dalam benak ia berharap pria yang nantinya akan memasuki hati Alin adalah dirinya. Yaaa Tuhan.. mencintai diam-diam ternyata rasanya tidak enak sekali. Selain harus bersabar juga harus tahu diri. "Dan menerima dia secara terpaksa? Aku nggak mau nyakitin hati orang, Mas." Sulit memang. "Yaudah, terserah kamu aja. Mungkin Ilham belum melihat diri kamu yang sebenarnya jadi dia bersikap seperti itu. Semangat dong.. biasanya kalo masalah Ilham selalu semangat, sekarang kok jadi loyo gini." Alin berusaha menegakkan tubuhnya dan tersenyum. "Oh iya, demi masa depan yang cerah bersama Mas Ilham! Makasih  Mas Fahmi, semangatnya. Duh, aku jadi nggak sabar nunggu Mas Ilham pulang kerja terus minta dibenerin Laptopnya." Katanya seraya mulai melunakkan nasi yang akan dimakan. Memberi ekspresi palsu, Fahmi tersenyum sumringah melihat Alin yang mulai semangat lagi untuk mencintai dan mencoba mendapatkan hati Ilham. Entahlah. Entah sampai kapan ia harus bersembunyi bersama rasa cintanya kepada Alin. Mungkinkah sampai Alin mendapatkan Ilham? Ya, sepertinya sampai disitu. Sampai disitu dan ia akan mencoba untuk mencari yang lain. Untuk saat ini, biarkan hatinya mendamba Alin dalam diam. "Kalo Mas Fahmi sendiri, gimana sama pasangannya?" Tanya Alin disela-sela mengunyah makanan. "Pasangan?" Fahmi justru balik bertanya. "Iya, Mas Fahmi kan pernah bilang kalau udah punya pasangan. Jadi gimana, udah mau tunangan kah? Cepetan di go publik dong, elah." Fahmi hampir lupa bahwa ia dulu pernah berbohong saat ditanyai Alin mengenai pasangan. Saat itu ia menjawab sudah memiliki pasangan. Dan rupanya Alin percaya pada jawabannya. "Udah nggak sama-sama lagi." Dustanya. "Lhoh, kenapa?" "Merasa nggak cocok aja. Udah cepetan makannya, dari tadi makan nggak kelar-kelar." "Mas Fahmi mau kemana?" "Lanjut masak," *** Pukul lima sore Alin berniat kembali mengunjungi rumah Tante Irma. Kini ia masih uring-uringan memantau didalam jendela kamar, menunggu Ilham pulang. Sambil sesekali memainkan ponsel untuk sekedar menghilangkan rasa bosan. Sampai akhirnya mobil yang ditunggu-tunggu kedatangannya telah tiba. Ilham terlihat keluar dari mobil. Tapi pria itu tidak langsung masuk ke rumah melainkan membuka pintu sebelah kemudi. Jantung Alin berdetak kencang menunggu siapa yang keluar dari kursi sebelah kemudi. Dan ia benar-benar syok melihat seorang wanita keluar dari mobil Ilham. Tidak! Ini tidak mungkin! Ini tidak boleh terjadi!!! Untuk melihat lebih jelas, Alin membuka pintu jendela dan melongok keluar. Ia kembali dikejutkan oleh kenyataan bahwa wanita yang dibawa Ilham ternyata Sania. Orang komplek depan yang Ayahnya dipercaya menjadi ketua RW di komplek ini. Alin dan Ilham sejak SD tidak pernah satu sekolahan dengan Sania, hanya saja pernah ngaji bareng. Kalau dihitung-hitung, Sania ini seumuran dengan Ilham. Dan sekarang, mau apa Sania berkunjung ke rumah Ilham? Apa mereka selama ini dekat? Setahu Alin, Ilham jarang dekat dengan wanita kecuali teman kerja. Sania jelas bukan teman kerja. Karena wanita itu berprofesi sebagai dokter anak di salah satu rumah sakit. Dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan Ilham yang sebagai programmer. Bergegas mengintai kedekatan keduanya, Alin mengambil Laptop dan keluar dari kamar. Rasa ingin tahunya memuatnya senekat ini. Diruang tengah, Alin menemukan kedua adiknya tengah asik nonton televisi. "Nanti kalo Mama Sam Ayah tanya, bilang aku ke rumah Mas Jul yah, mau benerin laptop." Pesannya. "Ngapain? Bang Ilham juga bisa benerin laptop, Mbak." Sahut Aiden. "Mahal," "Lhoh, gratis kok. Sini biar aku yang ngomong ke Bang Ilham." "Nggak bisa, mau benerin ke Bang Jul aja biar cepet kelar. Nggak usah nyariin Mbak." Elaknya lantas kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Ilham. Alin berdiam diri didepan pintu rumah Tante Irma. Ia mulai bimbang. Jika ia bertamu saat ada tamu Ilham, apa ia tidak diabaikan oleh Tante Irma? Bukan, Tante Irma jelas tidak akan mengabaikannya. Tapi Ilham. Pasti pujaan hatinya itu akan lebih memperhatikan tamunya lebih. Seolah memberitahu pada Alin bahwa dia sudah dekat dengan wanita lain. Hujan turun begitu saja. Semakin kesini semakin menderas. Namun Alin masih saja berdiri dipintu rumah orang, padahal rumahnya sendiri ada di seberang. Berusaha mungkin ia menyimpan laptopnya dibalik t-shirt yang dikenakannya agar tidak terkena cipratan air. Ia tidak peduli kaosnya mulai basah karena cipratan air. Sekitar sepuluh menit, hujan mulai mereda walau masih ada sedikit gerimis. Pintu rumah terbuka. Ilham kini berdiri didepannya dengan tangan membawa payung ungu. "Ngapain kamu?" Tanya lelaki itu bersamaan dengan kerutan didahi. "Mau benerin laptop, hehehe." Jawab Alin berusaha mungkin tidak menunjukkan bahwa dirinya sudah menggigil. Gila! Dingin banget. "Lhoh, kamu... Alin ya?" Itu suara Sania minyak goreng kelapa sawit yang tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Ilham. "Iya Mbak Nia, hehehe. Mbak Nia apa kabar?" Sedikit basa-basi mungkin akan terlihat baik didepan Ilham. "Baik. Kamu sendiri gimana kabarnya? Udah lama nggak ketemu, kamu makin cantik aja." "Mbak Nia juga makin cantik." Terdengar deheman dari Ilham. "Ohiya, aku pulang dulu ya Lin. Mumpung hujannya udah sedikit reda. Eh, kapan-kapan kita jalan dong.. ya?" "Iya Mbak, atur aja jadwalnya hehehe." Balas Alin sekenanya. Biarlah, kali ini ia ingin menjadi orang yang sok asik didepan Sania anak pemilik perkebunan kelapa sawit. "Siiip." Ilham terlihat mulai membuka payung. Sebelum akhirnya berjalan mengantar Sania pulang, ia sempatkan untuk melirik Alin dan berkata, "Masuk aja, tunggu didalam." "Oke siaappp.." balas Alin semangat dan segera masuk ke rumah Tante Irma. Memasuki rumah, Tante Irma girang saat mendapati Alin dengan pakaian basah, walau tidak semuanya. "Yaa ampun.. baju kamu kok basah begini.. habis darimana sih?" Tidak mau menunggu jawaban dari Alin, Tante Irma segera membuat keputusan. "Ayo ganti baju. Duh, mana baju Tante tua-tua semua lagi. Kamu pinjam baju Ilham aja nggak apa-apa ya?" "Nggak usah Tante, rumah aku dekat banget kok.. lagian udah nggak hujan." Tolak Alin. "Eeeh nggak boleh ngomong gitu. Sakit bisa datang kapan saja. Sebentar, Tante ambil baju Ilham dulu. Kamu tunggu di kamar mandi ya." Alin duduk di kursi meja makan setelah selesai mengganti pakaian dengan milik Ilham. Sekarang lihatlah penampilannya yang mengenakan t-shirt kebesaran milik Ilham. Tubuhnya berasa tenggelam menggunakan baju itu. Tapi tidak apa-apa, ia suka kok. Apalagi ada aroma tubuh Ilham yang melekat di baju yang ia kenakan ini. Lagi dan lagi, Tante Irma memaksanya. Kali ini Tante Irma meminta Alin untuk mencicipi makanan yang Sania bawa. Yaitu bolu pandan. Sedikit malas, akhirnya Alin menyantap makanan itu. Enak sih, tapi ia malas untuk mengakuinya. "Lin, kamu kenal Sania?" Tanya Tante Irma sudah duduk disebelah Alin. "Kenal. Kita dulu pernah ngaji bareng, sama Mas Ilham juga." "Oooh.. tapi katanya, nggak pernah satu sekolahan ya?" "Iya, nggak tahu deh Mbak Nia sekolahnya dimana. Katanya sih jauh-jauh gitu." Alin mencomot satu bolu pandan lagi, "oiya Tan, memangnya ada hubungannya apa Mas Ilham sama Mbak Nia?" Tanyanya serius. "Nggak tahu Lin. Tante tanya ke Ilham jawabnya lagi pendekatan." Tangan kiri Alin menyentuh dadanya. Sabar... Masih pendekatan, belum pacaran apalagi nyebar undangan. Masih pendekatan dan bisa dirusak. "Mereka udah lama dekatnya, Tan?" "Katanya tiga bulan belakangan ini mereka dekat." "Kok aku nggak tahu..." Gumam Alin. "Tante aja yang Bundanya nggak tahu, apalagi kamu." "Ohiya, gimana obat kutunya? Manjur nggak Lin? Udah lama banget, Tante hampir lupa nanyain itu." Tanya Tante Irma. "Lumayan Tante, yang kecil-kecil pada mati. Tapi masih gatel banget." Jawabnya sambil mulai menggaruk rambut kepala. "Yang besar enaknya pake sisir, Lin. Biar kena semua. Tadi siang kamu kemana? Tante cariin mau disisirin ternyata nggak ada dirumah." "Bantuin resto, Tan. Waiters kurang satu jadi kewalahan." "Rajin banget sekarang." "Hehehe, sekalian belajar." Langkah seseorang mulai terdengar, Ilham memasuki dapur dan menyimpan payung. Netranya tidak sengaja melihat Alin. Dahinya mengerut melihat pakaian yang dikenakan wanita itu. Seperti tidak asing. Saat Ilham semakin mendekati Alin, ia terkejut melihat kenyataan bahwa baju yang dipakai Alin adalah miliknya. "Bunda pinjam baju kamu buat Alin pakai. Tadi baju dia basah." Tante Irma mencoba untuk menjelaskan. Ilham tidak suka. Ia tidak suka barangnya di pakai oleh orang lain. Ia tidak nyaman. Tapi mau bagaimana lagi, bajunya sudah dipakai Alin dan tidak mungkin ia meminta Alin untuk segera melepas baju itu. "Nggak usah dibalikin bajunya." Katanya. Nyeri mulai memasuki dadanya. Alin tentu tahu maksud dan makna dibalik ucapan Ilham tadi. Pria itu tidak mau mengenakan pakaian bekasnya. Tapi ia tidak mau memperlihatkan rasa sakitnya. "Beneran Mas? Tapi ini mahal lhoh." "Udah Lin, buat kamu aja. Kenang-kenangan dari Ilham." Timpal Tante Irma. Kepala Ilham mengangguk lantas matanya melirik laptop dimeja. "Bawa laptopnya." Suruhnya dan berlalu begitu saja. Cepat kilat Alin mengikuti langkah Ilham yang berakhir di ruang tengah. Ia duduk disebelah Ilham dan menyerahkan benda mati bernama laptop. "Ini Mas, tadinya kena air terus nggak bisa nyala." Adunya dibuat-buat seolah merasa menyesal. Tidak menyahut, Ilham mulai membuka laptop Alin dan membalikkan benda itu. Selanjutnya lelaki yang memiliki rasa cinta terhadap komputer dan sejenisnya itu mulai membongkar laptop Alin. "Kalo punya barang itu dijaga, dibersihin jangan cuma pake aja." tutur Ilham masih fokus membenarkan laptop. "Yaa kan aku nggak tahu kalo didalamnya juga bisa kotor." "Harusnya kamu tahu." "Yaudah, nanti aku coba belajar di tutorial cara bersihin laptop." "Cuma tinggal dibuka begini terus dibersihkan. Nggak perlu tutorial. Ngerti?" "Iya.. ngerti-ngerti.." Nah, inilah. Ini yang Alin inginkan sejak kemarin. Mengobrol bersama Ilham walau topiknya hanya membahas masalah membersihkan laptop. Alin tahu, Ilham akan sangat antusias jika pembicaraan itu tidak jauh-jauh dari hal berbau komputer atau sejenisnya. Lelaki itu bahkan tidak pandang bulu jika sudah mengenai laptop. Siapapun jika memiliki masalah dan ingin konsultasi mengenai komputernya, maka dengan senang hati Ilham akan membagi ilmunya. Sekalipun dia adalah Alin, perempuan yang tidak dirinya suka. Setelah dirasa sudah beres, Ilham mencoba untuk menyalakan laptop tersebut. Laptop menyala, senyum Alin mengembang dan bertepuk tangan heboh. "Waaaah.. hebat Mas Ilham! Makasih ya Mas..." Ilham sedikit menyunggingkan senyum dan mengangguk. "Kalo masih bingung cara bersihinnya, kamu tanya aja ke Aiden." "Iya Mas. Jadi ini laptopnya udah bisa di pakai kan ya?" Ilham mengangguk. Aaah.. sungguh ini malam terbahagia yang pernah ia rasakan. Tidak sia-sia ia menunggu Ilham bermenit-menit didepan pintu rumah dengan keadaan hujan deras yang membuatnya harus meminjam baju pada Ilham.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD