Pagi-pagi sekali Ilham mendatangi rumah tetangganya itu. Dengan perasaan kesal dan malas karena pagi-pagi sudah harus berhadapan dengan Alin. Sungguh, pagi ini rasanya ia ingin tidur lagi saja andai tidak ada tuntutan pekerjaan yang harus ia pertanggung jawabkan.
Sekali lagi Ilham mencoba mengetuk pintu rumah Alin dan berharap segera dibuka oleh si pemilik, "Permisi..."
"Permisi..."
"Iyaa.. sebentar," pintu terbuka, sosok wanita yang sudah tak muda lagi namun kecantikannya masih seperti anak remaja nampak dihadapan Ilham.
Itu Nawang, Ibu tiri Alin—begitu yang Ilham tahu tentang posisi Tante Nawang ini.
"Eeeh, Ilham.. ada apa Ham? Nyariin Aiden, ya?"
Sedikit mengeluarkan ekspresi demi menghargai orang yang lebih tua, Ilham tersenyum ramah dan menggeleng. Ia kemari bukan untuk mencari Aiden. "Bukan, Tante. Saya mau ngambil laptop—,"
"Ooh laptop yang kemarin dibawa Alin, ya? Ayo masuk Ham, Tante panggilkan Alin dulu. Dia kayaknya lagi mandi deh." Nawang menyela ucapan anak tetangganya itu. Jujur, ia sedikit malu pada Ilham karena kelakuan Alin yang semena-mena itu.
Setelah mempersilakan Ilham untuk duduk lebih dulu di ruang tengah, Nawang menghampiri kamar anak sulungnya. Kamarnya sepi tapi terdengar suara shower menyala. Kepala Nawang menggeleng sabar, padahal Alin mandi dari jam setengah enam tapi sampai sekarang bahkan waktu sudah menunjukkan pukul enam pun gadisnya itu tak kunjung selesai mandi. Sebenarnya, apa sih yang Alin bersihkan di kamar mandi sampai bisa bertahan berjam-jam didalam sana.
"Lin..." Nawang berteriak sambil mengetuk pintu kamar mandi, "itu si Ilham kesini nyariin laptopnya..."
"ALIN... LAPTOPNYA ILHAM KAMU SIMPAN DIMANA??" sekali lagi Nawang berteriak.
"HAAAH? ADA APA, MA?" sahut yang didalam.
"KERANNYA DIMATIKAN DULU.."
"APA MA?"
"KERAN... KERAN AIR MATIKAN DULU."
Sudah tidak terdengar suara keran air lagi, "Laptopnya Ilham kamu simpan dimana? Dia nyariin."
"Ooh Laptop, ada dibawah selimut."
Mulut Nawang ternganga mendengar jawaban Alin. Menyimpan laptop orang dibawah selimut? Apa faedahnya? Ya sudahlah, terserah Alin saja. Yang penting laptop Ilham sudah ada dan siap dikembalikan.
"Ham, ini laptopmu?" Tanya Nawang usai tiba dihadapan Ilham.
Kepala Ilham menoleh cepat dan melotot tak percaya pada benda yang dibawa Nawang. "Iya, Tante. Itu laptop saya, terimakasih." Ucapnya setelah menerima barang kesayangan yang sudah berhari-hari tidak ia gunakan karena di sita oleh anakonda jadi-jadian. "Kalo gitu, saya permisi dulu, Tante."
"Eeeh, nggak sekalian sarapan disini aja? Kamu pasti belum sarapan, kan? Yuk, kita sarapan bareng aja. Ayoo.."
"Nggak usah Tan, saya sarapan dirumah aja sama Bunda."
"Sekali-kali lah sarapan disini. Kamu kan seringnya ikut makan malam disini, kalo sarapan belum pernah. Iya, kan? Ayoo.. ada Om Arsan juga udah nungguin di meja makan. Sini laptopnya simpan dulu dimeja."
O-ow, sepertinya Ilham tidak bisa menolak ajakan sarapan kali ini karena tangan Nawang sudah lebih dulu menariknya menuju dapur yang terdapat meja makannya disana.
"Lhoh, ada Ilham." Arsan terkejut mendapati istrinya membawa Ilham kedalam dapur.
"Pagi Om..." Sapa Ilham.
"Bang Ilham?/Oppa?" Itu suara Aiden dan si ceriwis Citra.
Tanpa menunggu lama lagi Citra mengambil duduk disebelah Ilham, padahal tempat duduk itu biasa dipakai Alin. "Oppa udah sembuh total nih?" Tanyanya sok perhatian.
"Udah dong, udah bergas juga." Balas Ilham, seperti biasa tak ketinggalan untuk mengacak rambut Citra.
"Jjinja (benarkah)? Berarti hari ini aku bisa nebeng Oppa dong?"
"Nggak boleh, adek berangkat sama Ayah." Timpal Arsan menatap tajam pada si bungsu yang sudah diatur sejak keluar dari rahim ibunya.
"Nggak usah Yah, nggak usah repot-repot. Aku sama Oppa aja." Tolak Citra.
Kontan saja Ilham dibuat terkekeh oleh jawaban Citra. Anak ini memang selalu membuat mood-nya menjadi baik. Apapun yang dilakukan Citra selalu mengundang hal positif untuknya. Itulah kenapa Ilham lebih suka Citra dibanding Alin yang sudah dewasa namun kekanak-kanakan.
"Kamu berangkat sama Ayah kamu aja ya? Harus nurut sama Orangtua." Bujuk Ilham. Ia tidak mau hanya gara-gara Citra ingin berangkat bersamanya, Arsan justru marah pada Citra.
Citra terlihat memanyunkan bibirnya. Gadis SMP itu melirik malas pada sang Ayah sambil bergumam, "Kalo bukan Oppa yang bujuk, nggak bakal deh aku turutin!"
Sambil menyiapkan makanan, hampir saja Nawang mengeluarkan tawanya melihat ekspresi Citra, namun ia berusaha menahannya karena takut Citra akan marah jika ditertawakan. Sedang Aiden terlihat abai saja pada semuanya dan sibuk dengan ponsel.
"Lhoh, Mas Ilham.. kok masih disini?" Suara Alin terdengar. Gadis itu muncul dengan pakaian rapi seolah bersiap untuk berangkat kerja padahal masih menjadi pengangguran.
Semua pasang mata menatapnya kecuali Ilham. "Udah dari tadi kali!" Sahut Citra.
"Nggak nanya! Minggir, ini tempat duduk Mbak." Usir Alin sambil menarik paksa punggung kursi.
"Apaan sih! Itu didepan masih kosong. Siapa cepat dia dapat."
"Tapi Mbak biasa duduk disini."
"Ngalah napa!"
Nah, sifat inilah yang tidak Ilham suka terhadap Alin. Untuk sedikit mengalah pada adik sendiri saja rasanya sulit sekali untuk Alin.
"Ngalah gundul—," ucapan Alin terhenti karena Arsan menyela.
"Mbak... Ngalah udah, ngalah."
Mau tak mau Alin terpaksa mengalah untuk kali ini. Biar saja, ia akan membalas dendam nanti malam. Masih dengan wajah dongkol ia duduk tepat di hadapan Ilham dan mulai menyantap sarapan. Kini semuanya sibuk dengan isi piring masing-masing.
"Mas Ilham, aku boleh ikut nebeng nggak? Hari ini aku mau kasih surat lamaran ke kantor Kembang Publisher. Itu tempatnya dekat sama kantor Mas Ilham kayaknya." Ujar Alin setelah menuntaskan sarapan.
"Bukannya Mbak mau kesana sama teman?" Itu suara Nawang.
"E-eeumm.. nggak jadi, Ma. Orangnya nggak jadi kesini."
"Kenapa?" Arsan mulai ikut-ikutan.
"Dia nggak jadi ngelamar," jawab Alin lantas pandangannya beralih kembali pada Ilham. "Jadi gimana, boleh nebeng nggak Mas?"
"Nggak boleh ih apaan sih! Naik mobil sendiri juga bisa, kan?"
"Yeee, sirik aje."
"Yaa Allah kalian ini kalo nggak ribut sehari aja nggak bisa ya? Kuping Mama panas dengar kalian cekcok tiap hari." Nawang mulai menengahi. Wanita beranak tiga itu melirik Ilham dan bertanya untuk memastikan. "Jadi gimana Ham, Alin boleh ikutan nggak?" Tanyanya.
"Boleh Tante. Kalo gitu saja permisi dulu. Terimakasih untuk sarapannya, saya tunggu Alin diluar."
***
Suasana didalam mobil Ilham pagi ini terasa mencekam. Alin sudah berusaha mengajak Ilham bicara namun si pemilik mobil sepertinya enggan sekali untuk menyahut pertanyaan-pertanyaan basi dari Alin. Padahal kan, niatnya nebeng di mobil Ilham adalah agar ia bisa leluasa ngobrol berdua dengan Mas Ilham-nya.
Tapi Alin tidak boleh putus asa, demi masa depan yang cerah bersama Ilham. Sejenak ia berdehem untuk sedikit meredakan suaranya. "Emm.. Mas Ilham beneran udah sehat?" Tanyanya sehati-hati mungkin.
"Menurut kamu?" Sahut Ilham.
Alin meneliti wajah Ilham lebih dekat. Pagi ini memang sudah terlihat bergas dan tidak pucat lagi. "Kelihatannya udah sehat sih, hehehe."
Tepat itu pula Ilham menghentikan mobilnya didepan gedung bertingkat tempat Alin akan melamar pekerjaan. "Sudah sampai," ujarnya tanpa menatap si lawan bicara dan justru menatap gedung diluar.
Alin mengikuti arah pandang Ilham lantas kembali menatap pemilik mobil dengan senyum secerah mentari pagi. "Makasih ya Mas. Aku turun dulu sebentar."
Setelah mendapat anggukan kepala dari Ilham, Alin beranjak turun dari mobil. Dengan segala kepercayaan diri yang ia miliki sejak lahir, Alin mulai mendekati tempat security dan menanyakan hal basi seperti apakah disini ada lowongan atau tidak.
"Saya titip lamaran ya Pak." Katanya menyerahkan amplop coklat yang sudah dirinya siapkan dari rumah.
"Iya. Ini nomornya sudah benar, Mbak?" Tanya si satpam.
"Benar Pak. Saya permisi."
Ketika Alin berbalik badan dan sudah berprasangka baik pada Ilham bahwa lelaki itu pasti akan menunggunya, Alin menatap tempat kosong dimana Ilham menurunkannya. Ternyata Ilham memang sejahat itu padanya. Ia kira Ilham akan sedikit menunggunya sampai selesai menyerahkan surat lamaran kerja. Alin tidak berharap Ilham akan mengantarnya pulang kembali, tapi setidaknya lelaki itu menunggu sebentar saja agar Alin bisa pamitan sebelum Ilham benar-benar pergi untuk bekerja.
Ah sial! Pagi cerahnya dirusak total oleh pujaan hatinya sendiri. Terpaksa ia pulang naik ojol dengan muka dongkol. Kalau Alin tahu akhirnya akan seperti ini, lebih baik tadi ia berangkat bareng saja dengan si Tata— temannya yang juga akan melamar pekerjaan di kantor ini.
Tiba di rumah, langkahnya segera menuju kamar tanpa ada yang mengetahui bahwa dirinya sudah pulang. Alin terduduk di tepi ranjang masih dengan perasaan dongkolnya karena ditinggal Ilham begitu saja.
Ia benar-benar bingung harus berbuat apa agar dirinya bisa dekat dan mengobrol berdua dengan Ilham. Rasanya sulit sekali untuk mencapai hal yang menurut orang-orang sepele ini. Termenung, Alin diam-diam memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa lebih dekat dengan Ilham.
Dan sepertinya Tuhan menyayangi Alin dan memberinya ide. Walau ide ini sedikit gila dan penuh pengorbanan, Alin akan mencoba cara gilanya ini agar bisa lebih dekat dengan Ilham.
Ia akan merusak laptopnya sendiri. Ya, itu idenya. Segera Alin meraih laptop dan mulai memindai berkas-berkas penting untuk di pindahkan lebih dulu ke memori eksternal agar tidak hilang begitu saja saat ia merusak laptop satu-satunya ini. Biarlah, toh Ilham akan membenarkan laptopnya.
Butuh waktu berjam-jam untuk memindahkan semua berkas. Sambil menunggu, Alin menyibukkan diri membantu Nawang masak dan bersih-bersih rumah. Akhir-akhir ini ia memang rajin sekali membantu Mamanya. Alin pikir, tidak ada salahnya jika ia mulai membiasakan diri mengerjakan tugas rumah tangga agar nanti saat sudah menikah ia tidak kagok dan kaget.
Menjelang sore, Alin memulai aksinya dengan mengetuk keras laptopnya dengan posisi tertutup, tentunya setelah berkas sudah ia pindah ke memori eksternal. Setelah beberapa kali di ketuk, Alin membuka laptop dan mencoba untuk menyalakannya. Ternyata masih bisa. Saat dicoba berulang kali tetap saja laptop mahalnya ini masih bisa menyala.
Emosi karena selalu gagal merusak laptop, Alin membawa masuk segelas air dan menumpahkannya pada keyboard lapop. Benda canggih itupun mati tidak bisa dinyalakan kembali.
Bukannya sedih, Alin justru tersenyum kesenangan. Sekarang, yang harus ia lakukan hanyalah menunggu Ilham pulang dan bergegas menghampiri pria itu untuk dimintai tolong.
Waktu berlalu cepat. Adzan isya sudah berkumandang sejak setengah jam lalu namun Ilham masih belum pulang juga. Didalam kamar, Alin mulai resah. Resah karena Ilham yang tidak pulang-pulang dan resah juga karena perutnya mulai lapar. Karena sejak sore tadi ia sama sekali belum keluar kamar dan hanya berdiri didepan jendela kamar menunggu kepulangan Ilham.
"Apa gue ke rumahnya aja ya? Siapa tahu waktu gue lagi sholat isya, Mas Ilham ternyata udah pulang." Mulutnya mulai bermonolog.
Menuruti perkataan sendiri, Alin bergegas keluar kamar membawa serta ponsel dan laptop rusaknya. Ruang tengah terlihat sepi, mungkin adik-adiknya sedang sibuk mengisi PR.
Tiba di rumah Ilham, Alin tidak melihat mobil pria itu. Aaah.. sial! Ternyata belum pulang. Tapi ia akan tetap bertamu, siapa tahu sebentar lagi Ilham pulang sambil membawa buah tangan sekedar Martabak atau Kerak Telor.
"Permisi.. Tante.. Tante Irma..." Serunya.
Berkali-kali Alin mengetuk pintu namun tak kunjung ada yang menyahut. Ketika tangan mendorong kenop, pintunya terbuka. Kebiasaan Tante Irma selalu tidak pernah mengunci pintu rumah, padahal itu penting.
Alin kembali penutup pintu setelah dirinya masuk begitu saja kedalam rumah megah ini. "Tante Irma..." Serunya.
Memasuki ruang tengah, disana sepi tanpa penghuni. "Tante..."
"Lhoh Alin.. maaf ya tadi Tante baru sholat isya jadi nggak dengar." Itu Tante Irma. Wanita itu kini menuruni anak tangga menghampiri Alin.
"Iya Tante nggak apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf, soalnya main masuk aja kerumah orang, hehehe."
"Dari kecil juga kamu udah sering main masuk aja kerumah Tante..."
Alin malu. Ia menundukkan kepala dan tersenyum malu-malu kucing.
"Yuk duduk," ajak Tante Irma membawa Alin duduk di ruang tengah seperti biasa sambil mulai menonton televisi. "Kamu kesini bawa laptop? Rusak ya?" Tanyanya.
"Iya Tante, tadi sore nggak sengaja kesiram air terus mati total." Alin memulai aksinya dengan membohongi Ibu Ilham.
"Tenang.. Ilham pasti bisa benerin kok. Tapi anaknya sampai sekarang belum pulang juga nih."
Alin mulai beranjak dari duduknya. "Nggak apa-apa Tante, Alin pulang aja dulu. Nanti kalo Mas Ilham udah pulang bisa kesini lagi."
"Eeeh, nggak usah pulang. Tunggu aja disini. Sambil temenin Tante nonton Haji Muhidin, ya? Sebentar lagi Ilham pulang kok kayaknya." Bujuk Tante Irma sambil melirik layar televisi yang menayangkan sinetron tukang bubur naik haji.
Baiklah. Calon mertua sudah memegangi tangannya seperti ini. Itu tandanya Tante Irma ingin sekali ditemani. Walau sebenarnya ia enggan melihat wajah tokoh Haji Muhidin di sinetron kesayangan emak-emak. "Yaudah Tante, Alin tunggu deh." Pasrahnya mulai duduk kembali dan meletakkan ponsel dan laptop di meja.
Sekitar satu jam Alin menunggu, sinetron kesukaan Tante Irma pun sudah bersambung dan berganti sinetron lain. Ilham akhirnya menampakkan sosoknya. Pria yang malam ini berkemeja kotak-kotak hitam itu menyalami Bundanya dan menyerahkan kotak Pizza.
"Tumben kamu mau beliin pesanan Bunda, biasanya ogah."
"Mumpung lewat," balas Ilham.
Lalu tanpa melirik sedikitpun pada Alin ia bergegas pergi dari ruang tengah. Rencananya telah gagal. Gagal total hanya gara-gara keberadaan Alien saat ini. Ilham membeli Pizza karena ia ingin memakannya berdua dengan sang Bunda sambil mengobrol manis tentang pekerjaannya di kantor yang kian menyibukkan. Tapi rupanya ada sosok lain di rumah ini. Yaitu Alin. Ah, sial! Mengganggu saja.
"Eh, eh, mau kemana? Ini ada Alin lhoh. Dia mau minta tolong benerin laptop. Laptopnya kesiram air katanya." Seru Tante Irma.
Ilham menghentikan langkahnya sejenak. Ia berbalik badan dan menjawab, "Ilham capek Bun, mau mandi terus tidur."
"Tapi ini Alin udah nunggu kamu lama banget."
"Siapa suruh nunggu?"
"Bunda yang nyuruh dia nunggu. Makanya sini dulu, kasian laptopnya mati total."
"Nanti aja," abainya lantas kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.
"Hamm..."
"Udah Tante nggak usah. Nanti Alin benerin di tukang servis aja." Alin mencoba menghentikan Tante Irma.
"Lhoh ngapain? Ilham bisa kok benerin laptop kamu."
"Tapi kan—,"
"Besok sore kamu kesini lagi aja, ya? Malam ini kayaknya dia lagi capek banget. Gimana? Nggak apa-apa kan?"
"Iya udah, nanti Alin kesini lagi. Makasih ya Tante."
"Iya. Maafin Ilham ya Lin?"
"Nggak apa-apa Tante."
Berhubung sudah tidak adalagi yang bisa ia harapkan, Alin bergegas mengambil laptop dan pulang.
Ini sudah kesekian kalinya ia mendapat tolakan dari Ilham. Lantas, harus berapa ribu lagi? Ilham sama sekali tidak mau membuka jalan untuknya bisa mendekat.
Dengan mata menatap kosong kedepan, Alin berusaha berjalan dengan selama memasuki rumah. Ia bahkan tidak menutup pintu rumah kembali dan masuk begitu saja.
Citra yang kebetulan melihat itu segera menghampiri sang Kakak. Bukan karena pintu yang belum ditutup, melainkan gadis ini penasaran pada benda yang dibawa Alin. Seperti tidak asing dimatanya.
"Mbak nyuri laptop Oppa lagi, ya?" Tebaknya.
"Ini punya gue."
"Bohong!"
"Ini emang laptop gue!"
"BOHONG!"
"Kalo nggak percaya—,"
Tanpa menunggu penjelasan Alin, Citra menyerobot paksa laptop ditangan sang Kakak dan membukanya. Disamping layar atas, terdapat stiker bergambar Stroberi, itu berarti laptop ini milik Alin.
Bukan Citra namanya kalau dia memiliki sifat pemalu. Ia menyerahkan kembali laptop bodol itu pada kakaknya. "Yaaa kan kirain Mbak nyolong lagi."
Alin mengambil alih barang itu dan mencibir, "Makanya jangan sok tahu!"
"Oppa?"
Dahi Alin mengernyit bingung melihat adiknya memanggil sebutan itu. Ia lantas berbalik badan dan alangkah terkejutnya melihat Ilham diambang pintu rumah dengan pakaian yang tentunya sudah berganti.
"Mas Ilham? Mas Ilham mau benerin—,"
"Hape kamu ketinggalan." Sela Ilham sembari mengangsurkan ponsel milik Alin.
Masih dengan senyum yang merekah Alin menerima ponsel ditangan Ilham dan berterimakasih.
"Mas Ilham—,"
"Saya pulang dulu."
"Hati-hati Oppa," sahut Citra yang dibalas senyuman oleh Ilham dan bergegas pergi.
Senyum Alin pudar. Sialan si Citra! Ia lantas berbalik badan dan menatap garang pada sang adik. "Bisa nggak sih nggak usah sok kecentilan sama Mas Ilham?"
"Yaaa habisnya Oppa care banget sama aku, jadi—,"
"Nggak usah ke-ge-eran deh. Dia kayak gitu tuh karena kamu masih kecil."
"Biarin!" Ledeknya pada sang kakak.
Keduanya berakhir saling meledek dan masuk ke kamar masing-masing.