Tujuh

2571 Words
Menjelang sore, Alin menyibukkan diri di dapur hanya untuk membuat semangkuk bubur ayam untuk Ilham. Sebelum ke dapur Alin sudah menanyakan lebih dulu pada Fahmi tentang bagaimana caranya agar bubur buatan sendiri bisa seenak bubur di restoran-restoran mahal. Hal terakhir yang Alin lakukan adalah menaburkan bawang goreng diatas bubur tersebut. Setelah semua dirasa sudah selesai ia membawa bubur tersebut ke rumah Ilham. "Mau kemana Mbak? Bawa bubur segala." Nawang yang tengah menyapu halaman depan bertanya ketika melihat anaknya melewat begitu saja dengan kedua tangan membawa semangkuk bubur lengkap dengan sendok. Langkah Alin kontan saja terhenti. Sebelum menjawab pertanyaan sang Mama, lebih dulu manik matanya melirik rumah Ilham. Ia bingung akan beralasan apa mengenai bubur ini. "E-eumm.. a-anu anu Ma, tadi aku coba-coba bikin bubur. Terus ini mau dikasih ke Tante Irma, sekalian minta pendapatnya enak apa nggak, hehehe." "Mama juga bisa kok ngasih pendapat. Sini coba Mama icip buburnya-," "JANGAN!" Alin berteriak refleks. Dahi Nawang mengernyit. "Loh kenapa?" "Didalam masih ada sepanci kok. Mama makan aja semuanya terus nanti kasih pendapat. Aku mau kasih ini ke Tante Irma dulu." Akhirnya... Setelah berhasil menghindari Mamanya, Alin menghela napas lega. Inilah resikonya mencintai dalam diam. Mau gimana-gimana susah. Apalagi cintanya ini dari dulu kala hingga sekarang yang entah kenapa tak kunjung terbalaskan. Bersabar. Mencintai seorang Ilham itu butuh kesabaran yang berlimpah. Dan dengan segala sisa-sisa kesabaran yang Alin miliki diusia ini, ia masih tetap sanggup menunggu balasan cintanya Ilham. Kini langkah Alin terhenti di depan pintu rumah Tante Irma yang terbuka begitu saja namun seperti tak berpenghuni. Ia sedikit melongokkan kepalanya kedalam sambil berseru memanggil Ibunda Ilham namun tak kunjung sahutan. Dan karena ia adalah seorang Alin, maka tanpa permisi ia melangkahkan kakinya memasuki rumah tetangganya itu sambil terus menyerukan nama Tante Irma. "Tante..." "Tante...." Masih tidak ada balasan bahkan sekalipun Alin berteriak menggunakan toak. Karena tujuannya kemari untuk menemui Ilham, Alin langsung saja memburu kamar Ilham. Tak peduli ini rumah tetangga yang penting sore ini ia bisa memberi semangkuk bubur untuk Cahayanya yang tengah dilanda sakit. Seharusnya Alin masih dalam mode marah pada Ilham. Tapi ya sudahlah, ia juga tidak bisa terlalu lama marah pada pujaannya. "Permisi..." Ujarnya sambil membuka kenop pintu dan mendorongnya tanpa mengetuk lebih dulu. Senyum Alin mereka kala melihat sosok Ilham tengah duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memainkan gadgetnya. Sedang si pemilik kamar tentu saja tidak menyambut kehadiran Alin dengan tersenyum, melainkan menakutkan kedua alis seolah bertanya 'Mau ngapain lagi sih si cecunguk itu!?' "Selamat sore Mas Ilham.. Gimana sakitnya, udah mendingan kah?" Tanya Alin setelah berhasil duduk di tepian ranjang Ilham. "Oh iya, ini aku bawakan Bubur, dimakan ya?" Sambungnya sembari mengaduk bubur buatannya dan mengambil satu sendok untuk disuapkan pada Ilham. Alin menyodorkan sendok berisi bubur buatannya dihadapan Ilham. "Nih, aku siapin. Aaaa..." Mulut Ilham terbuka, namun bukan untuk menerima suapan Alin melainkan untuk bertanya mengenai, "Mana Laptop saya?" Air muka Alin berubah sok marah. "Masih sakit pun sempat-sempatnya tanya Laptop! Laptop Mas Ilham aman kok, jadi nggak usah khawatir." "Saya udah sembuh." Balas Ilham. Untuk memastikan, Alin meletakkan kembali sendoknya diatas mangkuk dan tangannya kini terulur mengarah pada dahi Ilham. Menempelkan punggung tangannya disana. "Masih panas gini dibilang udah sembuh. Nggak usah maksain diri kenapa sih Mas?" Yang Ilham lakukan setelah Alin berkata seperti itu adalah menghela napas sepelan mungkin agar emosinya tidak meninggi. Hampir saja ia memuntahkan isi perutnya mendengar perkataan Alin yang seolah-olah wanita itu adalah istrinya. Nasib punya tetangga tak tau malu ya begini. Alin kembali menyodorkan sendok berisi bubur pada Ilham. "Dimakan dulu buburnya." Ilham diam saja dan lebih memilih menyibukkan diri dengan membalas pesan-pesan dari rekan kerjanya. "Janji deh kalo buburnya habis, Laptopnya bakalan cepat dikembalikan. Suer." Barulah Ilham mengangkat kepala. "Kenapa kamu yang ngatur? Itu Laptop saya." "Iyaa sih, tapi tindakanku ini ada benarnya juga. Biar Mas Ilham lebih fokus membubuhkan sakitnya gitu loh." Nendang cewek sejenis Alin dosa nggak sih? Masalahnya Ilham ingin sekali menendang Alin ke sungai sss biar sekalian dimakan Anakonda. "Ini beneran nggak mau coba sesuap aja buburnya?" Ilham tidak menyahut. Dia sibuk bermain ponsel. "Sesuap aja kok..." "Okelah, aku makan sendiri aja buburnya." "Beneran nih?" "Ck! Oke aku makan!" Berkali-kali bicara sendiri, akhirnya kini Alin menyuapkan bubur tersebut ke mulut sendiri. Sambil menelan, matanya masih tetap fokus menatap Ilham yang sama sekali tak mengalihkan pandangannya sedikitpun. Masih dengan menatap Ilham, ia kembali menyuapkan bubur kedalam mulut. Suapan ketiga, masih tetap pada posisi yang sama. Namun sebelum bubur tersebut masuk kedalam mulutnya, pintu kamar Ilham terbuka. Alin segera mengatupkan mulut dan menatap seseorang yang kini berdiri di ambang pintu sana. "Lhah ternyata ada kamu, Lin." Ujar Tante Irma. "Kamu lagi makan apa Lin?" Tanyanya. Alin terdiam sejenak untuk berpikir harus menjawab apa ia pada Bundanya Ilham. "I-ini bubur buat Mas Ilham Tan, hehe." "Oalah... Segala dikasih bubur. Jadi ngerepotin ih. Padahal ini Tante udah beli bubur dua porsi buat makan Tante sama Ilham." Balas Tante Irma sambil mengangkat tangan kanan yang memang menenteng plastik putih berukuran sedang. "Tapi yaudahlah, Ilham makan bubur buatan kamu aja ya Lin. Bagian Ilham biar Tante yang habiskan." "Tapi Bun-," "Udah nggak usah rewel deh. Kamu kan tau sendiri Ham, Bunda tuh suka nggak kenyang kalo cuma makan seporsi bubur." Sela Bunda Irma lantas wanita itu melesat dari bilik pintu kamar anaknya. Ilham hanya bisa menatap lesu kepergian Bundanya lantas beralih menatap Alin yang kini malah tersenyum sumringah padanya. Sungguh, siksaan apalagi ini ya Tuhan? Kenapa setiap kali berdekatan dengan Alin ia merasa sedang disiksa? "Gimana? Masih nggak mau makan bubur buatanku? Tante Irma aja percaya sama bubur buatanku." Ujar Alin sambil tersenyum malu-malu dengan tangan sibuk mengambil sesendok bubur untuk kembali berusaha menyuapkannya pada Ilham. "Buka mulutnya dong Mas... Sekali aja deh, biar aku nggak kecewa gitu loh." "Mas Ilham," "Mas," Bukan membuka mulut, Ilham justru mengulurkan tangannya sambil berkata. "Saya bisa makan sendiri." "Eh nggak usah, biar aku aja yang suapin. Tangan Mas Ilham dipake main Hape aja. Pasti Mas Ilham lagi sibuk banget balesin pesan-pesan temen kan?" Tolak Alin. Baiklah, agar Alin lebih percaya bahwa ia bisa menyantap sendiri bubur buatan wanita itu, Ilham meletakkan begitu saja gawai canggih tersebut disebelahnya sambil menatap Alin dengan tatapan seolah bilang bahwa ia sedang tidak sibuk dengan ponsel dan bisa makan pakai tangan sendiri. "Udah deh nggak usah maksain banget gitu. Aku tau kok Mas Ilham masih segan sama aku, nggak mau ngerepotin aku. Padahal aku suka kalo direpotkan sama Mas Ilham." Alin masih terus berusaha agar Ilham mau disuapi. Yaa Tuhan, apalagi ini? Sepertinya telinga Ilham sudah tidak kuat lagi untuk mendengar suara rengekan Alin. Alhasil kini ia terpaksa menanggapi permintaan Alin. Setelah memandang lama wajah sialan Alin, Ilham membuka mulut dan menyantap suapan Alin tanpa ekspresi. Walau sebenarnya dalam hati rasanya ingin sekali menarik paksa mangkuk ditangan Alin dan membuang isinya begitu saja. Tapi, setelah bubur tersebut masuk kedalam mulut dan mengalir kembali ke perut, Ilham memicingkan matanya pada Alin. Enak. Untung saja enak, jadi Ilham tidak sia-sia memakan bubur buatan Alin. Selesai makan bubur dan meminum obat, keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ilham kembali sibuk dengan ponsel, sedang Alin sibuk memandangi langit-langit kamar Ilham. Dia bingung ingin bicara apa, tiba-tiba saja stok basa-basinya jadi basi. "Mbaaaaaak..." Alin dan Ilham menatap pintu kamar yang terbuka begitu saja dengan masing-masing ekspresi berbeda. Jika Alin memberi ekspresi terkejut yang berlebihan dengan melototkan mata, Ilham justru tersenyum sumringah pada seseorang yang baru saja mendobrak pintu kamarnya. Citra kembali membuat darah tinggi Alin kumat dengan tindakannya yang kini duduk disebelah Ilham dan membelakanginya. "Oppa... Oppa lagi sakit, ya?" Tanya Citra pada Ilham dengan suara khawatir yang dibuat-buat. Astaga.. kenapa ia harus memiliki adik sebar-bar ini sih? Apa salah Mamanya ketika mengandung dulu? Kenapa yang keluar malah anak penggoda coba? Alin kini hanya bisa misuh-misuh dalam hati saja. "Nggak kok, cuma capek aja." Balas Ilham. "Hmmm.. harusnya Oppa jangan terlalu keras bekerja, jadi nggak kayak gini. Kekebalan tubuh orang kan masing-masing beda." Itu kalimat serupa seperti yang dikatakan Alin pada Ilham, tapi karena ini yang bicara Citra, Ilham justru menyahutnya dengan senyuman. "Makasih yaa sudah diingatkan." Sahut Ilham sambil tangannya mengacak rambut Citra sok gemas. Tiba-tiba saja Citra menengok kebelakang, "Ohiya, Mbak dipanggil Ayah, suruh pulang." Ujarnya pada sang kakak, "Dicariin Oppa Chef juga sama Mbak Tut." Sambungnya. Alin mengubah ekspresinya, "Mereka kesini?" "Iya," "Yaudah, ayo kita pulang." Dengan kekuatan superhero Alin menarik paksa Citra agar ikut berdiri dan segera keluar dari kamar Ilham sekarang juga. "Iiih, yang disuruh pulang itu Mbak, bukan aku!" Protes gadis kpoppers ini. "Udah sore, pulang, mandi. Lo belum mandi kan?" Naaah, kalau panggilan lo-gue sudah keluar, itu tandanya Alin sudah malas menghadapi Citra tapi harus tetap ia hadapi. "Aku mau jagain Oppa Ilham!" Bola mata Alin beralih menatap Ilham. Lelaki itu rupanya tengah menatapnya juga namun dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia marah? Terpaksa Alin membiarkan Citra tinggal lebih lama dikamar Ilham. Karena setelah melihat tatapan Ilham, ia jadi tidak enak kalau harus menyeret paksa Citra. Setelah mengambil mangkuk bekas bubur, ia benar-benar keluar dari kamar calon suaminya dimasa depan. "Oppa Chef itu siapa?" Tanya Ilham setelah Alin keluar dan menutup pintu. "Dia itu yang masak di restoran Ayah." "Ooh," "Ohiya, Oppa besok masuk kerja nggak?" Ilham mengangguk, rencananya memang besok ia akan kembali masuk kerja. Ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan lebih lama lagi. Sehari bolos kerja saja sudah membuatnya uring-uringan. *** "Lhoh, kok dimutasi sih? Kenapa nggak buka lowongan aja buat waiters? Bentar, aku mau protes dulu ke Ayah." Alin berdiri dari duduknya dan hendak melangkahkan kaki, namun Fahmi buru-buru menahan tangan Alin dan menyuruh Alin untuk kembali duduk. "Bukan begitu maksudnya. Ayah kamu memang mutasi Tuti, tapi disana dia bukan disuruh jadi waiters." Jelas Fahmi. "Terus?" "Tadi sih kata Pak Bos, aku disana kerjanya cuma mantau para pekerja aja, Lin." Akhirnya Tuti angkat bicara. "Bukannya udah ada yang mantau ya?" Tuti mengangkat kedua bahunya, "Mungkin karena aku udah lama kerja di resto, jadi Pak Bos kasih pekerjaan yang lebih ringan ke aku." "Yeee... Ayahku nggak sebaik itu tau Mbak." "Pak Bos baik banget kok. Buktinya setiap bulan aku dikasih bonus sama tunjangan." "Masa? "Iya, suer." "Ooh jadi dia sayangnya sama Karyawan, bukan sama anaknya sendiri. Oke sekarang aku tau." Tuti menoyor kepala Alin, "Dia sayang bangetlah sama kamu." "Tut, pulang yuk?" "Eh eh eh, kok pulang?" "Udah sore Lin, Mas belum mandi ini." "Mandi disini aja." "Nggaklah, nggak bawa pakaian juga." "Yaudah deh, yuk aku anter kedepan." Tiba di pekarangan rumah, Tuti tak sengaja menatap rumah megah diseberang sana. "Tadi kamu lagi dirumah Ilham ya, Lin?" "Iya, hehehe." "Ngapain?" Itu suara Fahmi. "Biasalah, kencan sore." Lagi-lagi Alin mendapat toyoran dikepala dari Tuti. "Ngomong sono sama Kuda Nil!" "Yeee ngapain ngajak ngomong Kuda Nil. Mbak aja sono." "Yaudah, kita pulang dulu ya." Fahmi segera menengahi tanda-tanda adu cekcok itu. *** Malam hari diruang tengah. Malam ini tumben sekali Ayahnya itu ikut gabung menonton televisi, karena biasanya Arsan lebih memilih diruang kerja ketimbang leha-leha nonton sinetron seperti sekarang ini. "Mbak, ambil pudding di kulkas sana." Suruh Nawang yang duduk di sofa bersebelahan dengan Alin. "Ambil sendiri." Itu bukan suara Alin, melainkan Arsan. Lelaki yang kini masih menjadi guru BK di SMA Satu itu tengah menikmati pijatan dipunggung dari tangan Alin. "Bukannya udah buat hidangan waktu ada Mas Fahmi sama Mbak Tut, ya Ma?" "Kan masih ada sisa." "Sisa? Sisa apaan? Orang sisanya udah dilahap semua sama Citra." "Masa sih?" "Iyaaa Mamaku Sayang..." "Mbak," panggil Arsan. "Apalagi sih Yah, ini lagi aku pijatin jadi nggak usah banyak bicara deh." Protes Alin. Karena memang malam ini Ayahnya itu aneh sekali. Selain tumbenan ikut gabung nonton televisi, Arsan juga lebih sering memanggilnya. Hanya memanggil tapi setelah itu tidak ada pembicaraan. Aneh memang. Sebenarnya apa sih yang ingin Ayahnya itu bicarakan sampai-sampai rela ikut nonton. "Ayah mau ngomong apa?" Tanyanya karena tidak tega. "Jadi gini...." Naaah kan, pasti ada yang mau dibicarakan. "Kamu kan belum dapat pekerjaan, gimana kalo sementara. Sementara aja kok, kelola restoran? Mau?" Itu lagi. "Ogah ah! Pasti nanti keteteran Yah. Aku nggak mau bolak-balik keluar kota." "Nggak Mbak, bukan gitu. Cuma di resto yang disini aja. Manager keuangan disini udah Ayah pecat, jadi disana kosong. Ayah penginnya kamu yang isi." "Ayah kan tau aku kuliah jurusan apa. Kenapa malah dikasih pekerjaan dikeuangan coba?" "Apa salahnya belajar coba?" "Ck! Kenapa dipecat sih?" "Dia korupsi, kamu mau usaha Ayah bangkrut?" "Yaa nggaklah!" "Nah, makanya. Mau ya?" Pijatan dipunggung Arsan semakin melemah, itu tandanya Alin kecewa pada Ayahnya. "Kenapa nggak Mas Fahmi aja yang isi posisi itu? Ayah kan udah kasih naik jabatan ke Mbak Tut. Nah, sekalian aja Mas Fahmi dinaik jabatkan." "Terus yang masak siapa?" "Mama," Nawang yang sedari awal diam tidak ikut campur dalam pembicaraan dan tiba-tiba saja namanya dikait-kaitkan segera menyahut. "Hush! Kalo Mama yang masak di resto, terus yang bersih-bersih rumah siapa? Yang masak dirumah siapa? Yang ngurus Aiden sama Citra siapa? Mbak mau?" "Ngapain mereka diurusin?" Nawang dan Arsan saling tatap dengan masing-masing mulut menganga lebar. Keduanya tidak habis pikir dengan jawaban Alin. "Keturunan kamu itu. Jadi salah asuhan." Sindir Arsan pada masa lalu Nawang. "Padahal aku dulu nggak gitu-gitu amat." Alin hanya diam dibuat bingung oleh kedua orangtuanya. Entah mereka sedang membicarakan apa. Keturunan? Salah asuhan? Entahlah, yang jelas ia tidak ingin menduduki posisi keuangan di usaha Ayahnya. Itu bukan passion-nya. Dari kejauhan, mata Alin tak sengaja melihat sosok Citra tengah berjalan kearahnya sambil memeluk laptop. Entah itu laptop siapa. "Laptop siapa, dek?" Tanya Nawang ketika Citra sudah tiba di ruang tengah masih dengan memeluk laptop. "Laptop Opp-," "Kamu ambil dimana itu laptop?" Alin segera menyela penjelasan Citra. "Dikamar Mbak, hehehe." "Memang itu laptop siapa?" Arsan ikut bertanya karena penasaran. Dia baru lihat laptop berstiker Ben10 dirumahnya. Padah ketiga anaknya sama sekali tidak ada yang suka karakter animasi itu. "Ini laptop Opp-," "Dasar maling!" Lagi-lagi Alin sukses menyela penjelasan yang akan Citra lontarkan. Setelah berhasil menghentikan ucapan Citra, ia beranjak dari duduknya dan menghampiri adiknya itu. Ia mengambil paksa laptop milik Ilham yang sedang dirinya sita untuk sementara waktu. "Bawa sini laptopnya... Ini tuh laptop Oppa Ilham Yah, Ma!" "Lhoh, kok ada di Mbak Alin? Mbak, kamu maling laptopnya Ilham?" Tanya Nawang. "Nggak Ma, bukan gitu. Aku cuma pinjem kok." "Pinjem tapi nggak kasih izin pemiliknya itu namanya nyolong! Ma, tadi Oppa nyuruh aku buat ambilin laptopnya dikamar Mbak, jadi ini mau aku bilikin ke Oppa. Kasihan Oppa besok mau kerja nanti nggak ada laptopnya." "Kenapa kamu yang repot?" Sahut Alin. "Mbak, kasih gih ke adek biar dibalikin. Lagian juga kamu udah punya laptop kan?" "Tapi Maa... Ini tuh buat kebaikan Mas Ilham..." "Kebaikan gimana? Kerja nggak ada laptop kok dibilang kebaikan." "Mas Ilham tuh lagi sakit, dia terlalu memforsir tenaganya buat pekerjaan. Jadi aku sebagai tetangga yang baik hati dan tidak sombong ini sengaja sita laptop Mas Ilham untuk sementara waktu, biar dia fokus ke kesehatannya, Ma." "Tapi besok Oppa udah bisa berangkat kerja. Jadi bawa sini cepetan laptopnya." "Kata siapa? Sok tau lo." "Kata Oppa sendirilah. Terserah deh kalo nggak percaya." Pungkas Citra lantas melangkahkan kakinya menghampiri Nawang dan Arsan. "Mending balikin deh laptopnya, Mbak. Walaupun kamu tetangga baik hati dan tidak sombong, tetap aja kamu nggak punya hak." Itu suara Arsan. "Tapi kan aku cal-," calon istrinya. Ingin sekali Alin memprotes seperti itu. "Iya-iya nanti aku balikin." "Sekarang!" Sahut Citra. "Biar orangnya kesini sendiri." "Keras kepala," sindir Nawang. "Kayak kamu." Balas Arsan. "Kok aku lagi? Bejatnya Alin ketularan aku, keras kepala pun kamu samain lagi ke aku." "Sensi banget Mama kamu, dek." "Biasa Yah, bulannya lagi datang." Sahut Citra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD