Enam

2602 Words
Untuk hari ini Alin berhenti sejenak menjadi bucinnya Ilham. Itu sudah ia pertimbangkan sejak setelah kejadian kemarin waktu lari pagi. Jujur, sakit hatinya masih terasa, walau entah apa motif Ilham sampai-sampai tega meninggalkannya begitu saja. Padahal yang Alin tahu, Ilham itu tipe lelaki yang tidak tegaan. Tapi sekarang apa? Bahkan dia tega meninggalkannya seorang diri. Apa mungkin Ilham yang dulu bukanlah yang sekarang? Apa cahayanya yang dulu bukanlah cahayanya yang sekarang? Ilham seperti seseorang yang sama namun dengan sikap yang berbeda. Rasa kasihan Ilham pada orang lain sepertinya sedikit demi sedikit mulai memudar. Tidak seperti dulu. Walau cuek dan jarang bicara, namun tindakannya selalu diluar dugaan. Sekarang ini Alin tengah berdiri di teras kamarnya, memantau aktivitas Ilham yang sedang mengelap mobil sebelum berangkat ke kantor. Yaaa baiklah, Alin memang sudah memutuskan khusus untuk hari ini ia berusaha tidak terlalu menjadi b***k cintanya Ilham. Hanya saja, kegiatan mengintai Ilham diam-diam tidak bisa ia hentikan. Ini wajib dan tak boleh dilewatkan. Dilihatnya mobil Ilham mulai keluar dari area pekarangan rumah. Alin segera membuka kaca jendela dan melongokkan kepala sambil berteriak, "MAS ILHAM, HATI-HATI DIJALAN..." Jadi, inikah yang dimaksud Alin bukan Bucin? Baiklah, kita lupakan saja kebucinan Alin terhadap Ilham. Pagi ini, Alin akan mengawali paginya dengan menyiram tanaman depan rumah. Ini hal yang sangat langka. Jika biasanya Alin rajin menyirami tanaman hanya niatnya karena agar bisa melihat Ilham, sekarang niatnya menyiram tanaman agar ia tidak disuruh mengantarkan Citra berangkat sekolah. Ogah! Sebenarnya Alin malas rajin-rajin seperti ini. Ia inginnya nonton televisi menunggu siaran Upin Ipin tayang. Aaahh, malang sekali nasibnya setelah lulus kuliah. Apa sebaiknya ia lanjutkan saja ke S2? No! Otaknya bisa-bisa keluar asap jika benar ia akan melanjutkan ke studi S2. Kini Alin mulai menyalakan keran air. Dengan bantuan selang air, ia menyirami tanaman rumahnya satu persatu. Sambil sesekali mulutnya mengoceh menyanyikan salah satu lagu barat. "Mbak, tolong anterin Adek ke sekolah ya?" Suara Arsan tiba-tiba muncul. Seketika Alin membalikkan tubuhnya. Dilihatnya Ayahnya itu sudah rapi mengenakan seragam pangkatnya dan bersiap untuk berangkat mengajar. Disebelah Arsan ada Citra yang juga sudah rapi mengenakan seragam sekolah. "Eeummm... Maaf Yah, aku nggak bisa deh kayaknya. Ini aku lagi ngasih nutrisi tanaman-tanaman kesayangan Mama. Kasihan nggak pernah disirami." "Yah.. terus gimana? Siapa yang nganterin Citra berangkat sekolah? Aku nggak mau diantar Oppa Abang." Rengek Citra sambil menarik-narik lengan Ayahnya sok manja. "Yaa terpaksa sama Ayah. Tapi nanti bisa kan kalau jemput Adek?" Alin terdiam, berpura-pura seolah sedang berpikir. Namun setelahnya ia mencebikkan bibir sambil menggaruk rambut kepala. "Kayaknya nggak bisa juga deh, Yah. Siang nanti aku mau bantu Mama masak." "OPPA... TUNGGUIN CITRA, CITRA MAU NEBENG..." Tiba-tiba saja Citra berteriak keras. Kontan Alin dan Arsan mengikuti arah pandang Citra yang ternyata meneriaki Ilham. Dilihatnya Ilham tengah mengeluarkan mobilnya dari pekarangan rumah bersiap untuk laju menuju kantor. "Yah, aku nebeng Oppa Ilham aja deh yang sama-sama searah." Ujar Citra pada Arsan lantas mencium punggung tangan Ayahnya itu dan berlari sebelum akhirnya Ilham kembali melajukan mobilnya lebih jauh lagi. Yang dilakukan Alin hanya diam ditempat dengan mata melotot tajam pada sang adik. Ia tidak bisa berbuat apa-apa karena posisinya sekarang ada Arsan. Kalau saja Ayahnya itu tidak ada di TKP, sudah pastikan Alin menarik rambut Citra dan mengajak Citra untuk berangkat diatar olehnya saja. "Yaudah, Ayah berangkat dulu." Pamit Arsan lalu mengecup kening anak sulungnya. "Kok Ayah ngebolehin Citra nebeng di Mas Ilham gitu aja sih?" Tanya Alin sebelum akhirnya Arsan berbalik badan menuju mobil. "Kok kamu sewot gitu?" Arsan balik bertanya. Alin buru-buru merubah mimik wajahnya menjadi datar yang sebelumnya mengeras karena menahan amarah pada Citra. "Yaa.. yaa.." "Sudahlah, Ilham juga nggak keberatan kalo Citra nebeng." Iya dia sih nggak keberatan, tapi aku! Aku yang keberatan calon suamiku direpotkan terus-menerus. Ingin rasanya Alin menjawab seperti itu. Tapi nyalinya masih belum berani. Alhasil yang dilakukan Alin sekarang setelah kepergian Arsan, ia kembali melanjutkan menyirami tanaman sambil menyumpah serapahi Citra. "Baru juga jadi tetangga, gimana nanti kalo Mas Ilham jadi suami aku coba? Bisa-bisa mereka merajalela minta bantuin ini itu sama Mas Ilham!" Katanya pada dedaunan yang kini ia sirami. Usai menyirami tanaman tentunya dengan perasaan gundah gulana, Alin melanjutkan aktivitas hariannya yaitu duduk diruang tengah ditemani oleh siaran televisi. "Mbak, anterin Mama setor arisan di komplek sebelah, yuk?" Nawang muncul begitu saja didepan Alin. Bola mata Alin memutar jengah. Ini baru jam tujuh lebih dan Mamanya yang gila arisan ini sudah memintanya untuk mengantar ke tempat arisan. Sebenarnya arisan apa sih yang Mamanya ikuti? Dimana-mana arisan berangkatnya tidak sepagi orang-orang berangkat kerja, kali. "Bahkan aku belum sarapan deh, Ma." "Siapa suruh nggak ikut sarapan, malah pilih mainan air." "Akutuh tadi nyiramin tanaman Ma, bukan main air, yaelah!" "Sama aja. Udah cepetan anterin Mama. Nanti beli bubur aja di jalan, ayo." "Yaudah, mana kunci motornya?" Ia terpaksa harus mengantar Mamanya ke tempat arisan jika tidak ingin mendapat amarah dari sang Ayah. Ya, sekarang Mamanya itu sudah berani mengadu pada sang suami jika Alin sering menolak perintahnya. Dengan tampang yang sengaja di imut-imutkan Nawang menyerahkan kunci motor pada Alin. "Biasa juga pake Ojol, segala minta dianterin." Cerocos Alin sambil melangkahkan kakinya keluar rumah. Nawang yang mengikuti langkah anaknya dari belakang menyahuti, "Kan sekarang udah punya tukang ojek pribadi, ngapain pake Ojol." Dibalas helaan napas sabar oleh Alin. Sabar. Ia memang harus sabar memiliki Ibu tiri yang naik motor saja tidak bisa. Jangankan motor, sepeda saja Mamanya itu tidak bisa. Disela perjalanan, Alin masih belum puas mengomentari kegiatan arisan Nawang. "Sebenarnya Mama ikut berapa geng arisan sih? Seminggu kayak nggak ada liburnya." Yang ditanya hanya diam menikmati semilir angin pagi. Nawang menganggap pertanyaan anaknya hanyalah suara bising sebuah kendaraan. "Yang mana rumahnya?" Tanya Alin. "Itu didepan, yang cat dindingnya warna merah." Alin menghentikan kendaraannya tepat didepan rumah bercat merah. Disana rupanya sudah ada beberapa Ibu-ibu penguras uang suami berkumpul jadi satu. Setelah dirasa Nawang sudah turun dari motor, tanpa menunggu lama Alin membelokkan sepeda motornya. "Nanti jam sembilan Mama dijemput ya Mbak." Teriakan Nawang hanya dibalas anggukan kecil oleh Alin. Tiba dipekarangan rumah, baru saja Alin hendak turun dari motor, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia kembali duduk di jok motor dan meraih ponsel yang ia simpan pada saku celana. Rupanya Tante Irma yang menelepon. "Hallo Tante, ada apa? Mau ngapan Tan? Obat kutu? O-oh, oke aku kerumah Tante sekarang. Iya." Setelah panggilan telepon sudah tidak terhubung lagi, Alin meringis geli. Baru saja Tante Irma bilang bahwa wanita itu membelikan obat kutu untuk Alin. Akhirnya dengan langkah pelan Alin menuju rumah Ilham. Malu sebenarnya jika harus seperti ini didepan calon Ibu mertua. Ini bukan kali pertama Tante Irma membelikannya obat kutu, dulu juga pernah. Bahkan kutunya sempat hilang, tapi Alin kembali memiliki kutu saat masuk kelas SMP dan sampai sekarang. Kedatangan Alin langsung ditarik paksa menuju ruang tengah. "Sini biar Tante bantu oleskan obatnya." Ujar Tante Irma setelah berhasil membawa Alin ke ruang tengah. "Tapi Tante, ini masih pagi." "Nggak apa-apa, cuma dioleskan doang kok." Baiklah. Alin nurut saja. Tidak baik menolak perintah calon ibu mertua. Kini Alin sudah duduk dilantai, sedang Tante Irma duduk diatas sofa agar memudahkannya mengoleskan obat kutu pada rambut kepala Alin. Sembari menikmati olesan tangan Tante Irma di rambutnya, Alin memulai pembicaraan agar tidak terlalu canggih dan sepi. "Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini aku jarang lihat Tante dirumah. Tante habis darimana?" "Tante di Surabaya, Lin." "Ngapain?" "Adik anak Tante nikahan disana, jadi Tante nginep beberapa hari disana." Sambil menahan napas karena tidak kuat dengan bau menyengat dari obat kutu, Alin menyahut. "Adik anak Tante nikahan dan Mas Ilham nggak ikut?" "Hmmm kamu kayak nggak kenal Ilham aja. Jangankan adik anak Tante yang jauh di Surabaya, yang di satu kota aja dia ogah datang, Lin." Hah? Alin mengerutkan keningnya tidak paham. Kenapa Ilham bisa setega itu? Padahal mereka keluarganya, apa tidak ada sedikitpun rasa untuk menghormati? "Dia tuh nggak pernah mau hadir kalo ada keluarga yang nikahan. Dia malas ditanyain kapan punya pasangan, kapan nikah sama tante-tantenya." "Padahal usia Mas Ilham nggak tua-tua amat ya Tan, kok mereka nyuruh Mas Ilham cepat-cepat nikah?" "Ilham itu satu-satunya cucu laki-laki di keluarga kita, Lin. Jadi mereka nungguin banget nikahannya Ilham, gitu." Alin meringis. Bukan, bukan karena posisi Ilham yang sebagai cucu lelaki satu-satunya di keluarga besar dan disuruh cepat-cepat nikah. Ia meringis karena Tante Irma semakin banyak mengoleskan obat kutu pada rambutnya. Olesan tangan Tante Irma semakin cepat, membuat rambutnya acak-acakan. "Kasihan banget ya Mas Ilham." "Iya sih. Tapi Tante juga penginnya dia cepat-cepat nikah. Bosen hidup berdua terus sama Ilham. Tahu sendiri kan kamu Ilham itu kayak apa orangnya." Alin menelan ludah sendiri susah payah. Tante Irma ingin Ilham cepat-cepat menikah? "I-iya juga sih, Tan." Lantas keduanya kembali melanjutkan pembicaraan ke topik lain. Mulai dari pakaian jaman sekarang yang semakin kesini semakin pelit bahan dan mengenai harga emas yang tidak turun-turun. Sebenarnya bukan berdua yang berbicara, hanya Tante Irma yang terus saja membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak Alin sukai. Apalagi emas! Yaa ampun, Alin bukan wanita pengagum perhiasan. Ia hanya pengagum lipstik merah. Kegiatan keduanya terhenti kala melihat dua orang berjalan kearahnya. Itu Ilham dan Niki. Dilihatnya Niki membantu Ilham berjalan, lelaki memejamkan mata seperti tidak berdaya. "Yaa Allah Nak..." Tante Irma beranjak dari duduknya menghampiri Ilham dan membantu Niki untuk membawa Ilham ke kamar. "Ayo bawa Ilham ke kamar," Alin segera menyusul Tante Irma. Ia hanya bisa mengikuti ketiga orang tersebut dari belakang dengan raut wajah cemas. Tiba dikamar Ilham, Alin berhenti di pintu kamar. Ia memandangi dua wanita yang tengah berusaha membaringkan tubuh Ilham, memberi kenyamanan pada lelaki yang kini terlihat letih itu. "Tante ke dapur dulu ambil teh hangat. Tolong jagain Ilham ya, Nik?" "Iya Tante." Lantas Tante Irma keluar dari kamar Ilham begitu saja. Beliau seolah mengabaikan kehadiran Alin diambang pintu kamar Ilham. Alin maklumi itu. Karena ia tahu, jika Ilham kenapa-kenapa, yang ada di pikiran Tante Irma hanyalah tentang Ilham. Wanita itu tidak peduli pada lingkungan sekitar dan fokus terus pada Ilham. Dulu juga Tante Irma pernah bersikap seperti itu padanya saat Ilham kecelakaan motor. Semua orang diabaikan begitu saja saat menjenguk Ilham di rumah sakit. Melupakan sikap Tante Irma, Alin kembali menengok suasana kamar Ilham. Disana Niki duduk di tepian ranjang Ilham. "Kamu besok harus istirahat dirumah Ham, jangan berangkat kerja dulu." Ujar Niki. "Hmmm... Aku bisa berangkat agak siangan." "Dirumah aja, Ham. Nggak usah berangkat. Satu hari nggak berangkat kerja nggak akan bikin kamu jatuh miskin." "Tapi server kita butuh-," "Aku dan tim yang akan handle semuanya. Kamu cukup istirahat dirumah." "Baiklah, terimakasih." Alin memonyongkan bibirnya melihat perhatian Niki pada Ilham yang seolah tidak dibuat-buat. Gimana Ilham tidak respek pada Niki, wanita itu saja sangat tulus mau menghandle pekerjaan Ilham. Haruskah Alin memiliki sangian seberat Niki? Ini bukan disebut saingan lagi, tapi finish. Alin sepertinya harus mundur alon-alon dalam usahanya menggapai Ilham. Tante Irma kembali masuk ke kamar dengan tangan membawa segelas teh hangat. "Ini Ham, kamu minum dulu biar nggak lemes." "Letakkan di nakas dulu, Bun. Perut aku belum bisa dimasukkan apa-apa." Balas Ilham sambil meringis kesakitan. "Kok gitu? Ini cuma minum kok Sayang." "Bun..." "Iya-iya ini Bunda letakkan." Niki berdiri dari duduknya, "Tante maaf, kayaknya aku harus kembali ke kantor sekarang." "Loh kok cepat banget. Nggak mau minum dulu?" Kepala Niki menggeleng sambil tersenyum, "Kapan-kapan aja, Tante. Yaudah, aku permisi dulu. Ham, ingat pesanku. Dan, cepat-cepat sembuh ya." Lantas wanita berlipstik matte itu keluar dari kamar Ilham. Niki sempat menyapa Alin sambil cekikikan, tapi Alin mengabaikannya begitu saja. Ia fokus memperhatikan Ilham didalam kamar. "Bun, itu ada Alin." Ujar Ilham, memberi kode pada Bundanya bahwa diambang pintu ada anak dari tetangganya. Ilham juga baru sadar bahwa Alin ada disana. Entah sejak kapan. Lagi, Ilham juga sedikit heran dengan penataan rambut Alin yang tidak seperti biasanya rapi. Tante Irma mengikuti arah pandang mata Ilham, "Loh Alin, kamu ngapain cilukba disitu? Sini masuk." Ngapain? Cilukba? Suka-suka Tente deh! Alin masuk mengikuti perintah Tante Irma. "Duh, Tante lupa nggak sisirin ulang rambut kamu, Lin. Maaf ya?" Kedua mata Alin melotot sempurna. Ia menyentuh rambutnya sendiri yang ternyata masih awut-awutan akibat ulah Tante Irma. Sekarang Alin tahu kenapa Niki menyapanya sambil cekikikan. Ternyata dia menertawakan tatanan rambutnya. Sialan! "Iya, nggak apa-apa Tante." "Kebetulan ada kamu. Tante mau buatkan bubur untuk Ilham sama nyiapin obat, tolong jagain Ilham ya Lin?" "I-iya Tante." Usai kepergian Tante Irma, Alin mengambil posisi duduk di tepi ranjang Ilham. Sedang Ilham yang melihat Alin sudah duduk didekatnya segera memejamkan mata dan menutupi matanya menggunakan lengan. "Mas Ilham," panggil Alin. Ia berusaha memulai pembicaraan dengan Ilham. Setelah melihat interaksi antara Ilham dan Niki, Alin jadi ingin berbincang dengan Ilham. Siapa tahu ia di respon sama seperti saat Niki mengajak Ilham bicara. "Mas," "Mas Ilham." "Mas Ilham..." "Hmm," Akhirnya ada sahutan juga. Walau posisi Ilham masih sama yaitu menutupi kedua matanya dengan lengan tangan. Bukan maksud apa-apa Ilham bersikap seperti ini, ia hanya takut tawanya meledak karena terlalu dekat melihat tatanan rambut Alin yang sudah seperti sarang burung itu. "Kalo lagi sakit tuh nggak usah kerja, Mas. Dirumah aja, jangan dipaksain. Bener kata Mbak Niki tadi, sehari nggak berangkat kerja nggak bakal buat Mas Ilham miskin." Alin terpaksa membawa-bawa nama Niki karena ucapan Niki ada benarnya juga. "Kesehatan itu harganya mahal, Mas. Nggak bisa dibeli pake uang." Lanjut Alin mulai mendramatisir keadaan. Alin berhenti bicara sejenak. Ia memandangi Ilham yang masih belum mau menanggapi ucapannya. Giliran Niki bicara langsung direspon. Giliran Citra yang minta tolong langsung disanggupi. Tunggu dulu, Citra. Alin ingat nama itu. Nama seseorang yang tadi pagi sempat nebeng berangkat sekolah di mobil Mas Ilhamnya. "Atau jangan-jangan Mas Ilham jadi kayak gini gara-gara Citra? Tadi pagi Citra ngelakuin apa aja ke Mas Ilham? Dia nggak bikin-," "Citra bikin saya tertawa tadi pagi. Memang kenapa?" Astaga... Giliran nama Citra disebut langsung nyahut. "Mas Ilham suka ya sama Citra?" Kali ini Ilham tidak menyahut. "Jadi Mas Ilham naksir sama anak ingusan itu? Yang suka panggil Mas Ilham Oppa-oppa?" Masih diam, pemirsa. "Oke, sekarang aku tahu. Mas Ilham ternyata suka sama Citra. Nggak heran sih, karena dari dulu selalu respek sama Citra dibanding aku. Yaudah, aku pulang dulu." Alin sudah beranjak dari duduknya dan hendak melangkah keluar kamar, namun Ilham menahan tangannya dengan cepat dan tepat. Membuat Alin menengok kebelakang untuk melihat Ilham, "Apalagi?" Tanyanya sok ketus padahal dalam hati sudah tidak karuan. "Duduk," "Nggak, aku mau pulang!" Terpaksa Ilham menarik tangan Alin membuat wanita itu mundur kebelakang dan akhirnya duduk kembali di tepi ranjang. Ilham melepas tangan Alin, ia berusaha mengganti posisi menjadi duduk. Setelah itu ia pandangi wajah Alin lekat-lekat. "Ke-kenapa?" Tanya Alin bingung dengan sikap Ilham sekarang. Ilham tidak menjawab, tangannya justru terangkat dan tanpa diduga satu sentilan keras mendarat pada kening Alin. "Aaww..." Alin menyentuh keningnya dan mengelusnya sambil menahan pening. Sungguh, ini benar-benar menyakitkan. Ilham benar-benar menyentilnya dengan kekuatan penuh. Alin pikir Ilham hanya menyentil untuk iseng-iseng saja ternyata untuk balas dendam. "Otak kamu kayaknya harus di program ulang." Ucap Ilham tanpa beban. Setelah membuat anak orang sakit kepala akibat sentilannya, sekarang dia bilang otaknya harus di program ulang? Dimana urat kasihannya? Alin menatap Ilham sinis. "Kalo nggak suka bilang aja, nggak usah pake kekerasan!" Katanya lantas kembali berdiri untuk pergi. Tapi lagi-lagi Ilham menahan langkahnya. "Apalagi sih?!" "Ambilkan laptop saya dimeja kerja." Pintanya. Alin melirik meja kerja Ilham. Disana ada laptop kerja Ilham. Ia lantas melirik Ilham sekilas dan menarik tangannya sendiri dari genggaman Ilham. Alin menghampiri meja kerja Ilham. Sesuai perintah ia mengambil laptop lelaki itu. Tapi bukannya diserahkan pada Ilham, Alin justru memeluk laptop tersebut dan bilang bahwa, "Nggak ada laptop selama masih sakit!! Laptop Mas Ilham aku sita dulu. Bye!" Lantas ia keluar dari kamar Ilham membawa pulang benda yang bukan miliknya itu. Kepala Ilham geleng-geleng tidak habis pikir. Sekarang, haruskah ia meruqiyah anak tetangganya itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD