Tiga

2239 Words
Menurut Alin, masa depan adalah tentang apa yang kamu kerjakan sekarang, bukan apa yang akan orang lihat nanti. Masa depan adalah rencana, pondasi untuk melanjutkan hidup dimasa yang akan datang. Seperti sekarang ini, setelah menyelesaikan pendidikannya, kini ia harus memulai menyusun tahapan-tahapan untuk membuat pondasi di masa yang akan datang. Sebenarnya ini yang membuat Alin sedikit takut untuk melangkah kedepan. Karena jujur saja, ia sama sekali belum memiliki gambaran untuk kelangsungan hidupnya nanti. Berbicara mengenai masa depan, dipikiran Alin hanya tergambar sosok lelaki tampan, mapan dan sopan yang tak lain bernama Ilham Hendrawan. Hanya sosok itu yang ada di pikirannya. Sedikit pun ia tidak memikirkan mengenai profesi apa yang akan ia ambil setelah lulus kuliah. Lagi, Ayahnya sudah mulai mempertanyakan mengenai pekerjaan apa yang akan ia ambil. Seperti tadi pagi ketika sarapan, ia meminta uang pada Nawang, namun Citra malah meledeknya dengan menyuruhnya untuk cepat-cepat mencari pekerjaan. Ledekan itu justru ditanggapi oleh Arsan. Dia setuju dengan ucapan anak bungsunya. Hingga pertanyaan yang Alin hindari sejak lulus kuliah akhirnya dipertanyakan juga. “Jadi, kapan kamu mau cari-cari kerjanya? Sudah punya rekomendasi perusahaan?” tanya Arsan. Karena Alin belum memulai apapun, bahkan rencana untuk bekerja di perusahaan mana, ia akhirnya menggeleng. “Belum.” “Atau mau kelola restoran Ayah aja?” “Nggak!” “Terus mau kemana? Coba kamu sebar-sebar lamaran, jangan cuma diam aja.” “Iya Ayah, nanti aku coba.” Dan sekarang, dengan posisi duduk di kursi meja belajarnya semasa SMP yang masih ada hingga sekarang ini, ia benar-benar memikirkan apa yang Ayahnya bilang tadi pagi. Sungguh, ini situasi tersulit menurutnya. Kepala Alin menggeleng cepat berusaha menghilangkan ucapan-ucapan Ayahnya yang terus terngiang di pikiran. Agar sedikit tidak stres, Alin membuka laptopnya, mulai menulis sesuatu disana. Begitulah caranya untuk menghilangkan stres. Yaitu dengan menulis. Sebenarnya, menulis adalah hobi sekaligus pekerjaannya. Ya, ia sudah bekerja. Ia bekerja di perusahaan situs berita online. Pekerjaannya yang satu ini sudah berjalan sejak masih duduk di bangku perkuliahan. Dengan hobinya yang menyukai dunia tulis, ia dipercaya untuk membuat artikel-artikel di bagian berita Teknologi. Dimana Alin harus selalu mengupdate berita terkini mengenai gadget ataupun laptop, spesifikasi berbagai produk dari mulai harga dan rating produk tersebut. Selain itu, ia juga anak blogger. Akhir-akhir ini ia suka menulis cerita mengenai percintaan. Tentu percintaannya dengan Ilham. Ya, sejak bertemunya kembali dengan Ilham, Alin mulai menulis sejarah cintanya dengan Ilham dari zaman SD hingga sekarang. Bosan menulis, Alin menutup laptopnya dan beralih pada ponsel. Hari ini ia niatnya akan berkunjung ke restoran Ayahnya yang ada di Jakarta. Ia rindu dengan Mbak Tut—seorang waiters di restoran Ayahnya. Selain itu juga ia rindu pada salah satu juru masak disana yang dulu sering sekali mengajarinya masak. “Mbaaaak...” Teriakan Mamanya membuat Alin segera menyelesaikan menata makeup-nya dan keluar untuk melihat situasi. “Apasih Ma...” sahutnya sambil membuka pintu kamar. “Anterin Mama ke pasar yuk?” Alin langsung menolak dengan gelengan kepala. “Nggak bisa, aku mau ke resto.” “Ngapain?” “Temu kangen sama Mbak Tut.. terus sama Mas Fahmi.” “Nanti malam kan bisa, Mbak. Sekarang anterin Mama ke pasar dulu, ya? Lagian sebentar doang kok belanjanya,” paksa Nawang. “Ck! Kapan sih Mama belanja cuma sebentar? Ayah aja sampe kapok kalo nemenin Mama belanja. Lagian, aku nggak bisa Ma, aku udah janji sama mereka. Yaudah, aku berangkat dulu. Assalamualaikum!” sebelum akhirnya menghilang, Alin mencium telapak tangan Mamanya lantas lari ngacir keluar rumah. Tak peduli teriakan Mamanya yang sekeras toak Masjid. Baru saja Alin menutup kembali pintu rumah, tak sengaja matanya menangkap sosok wanita tengah berdiri di depan pagar rumahnya. Itu Tante Irma. Buru-buru Alin menghampiri calon Ibu mertuanya itu. “Ada apa Tante?” tanyanya seraya membuka pagar rumah agar lebih sopan untuk bertanya. “Nah kebetulan banget kamu keluar. Kamu hari ini ada kegiatan nggak Lin? Tante mau minta tolong temenin ke pasar. Mau?” Ke pasar? Jangankan ke pasar, nemenin Tante mertua ke Dufan juga Alin jabanin. Tanpa pikir lama Alin segera mengangguk menyetujui permintaan Ibunya Ilham. “Boleh Tante, aku juga bosen dirumah terus,” katanya. “Oke, Tante ambil dompet sama tas dulu. Nanti kamu kerumah Tante ya, pake mobil Tante.” “Siap!” Setelah itu keduanya saling berpisah. Alin kembali masuk kerumah untuk meletakkan tas selempangnya. Ini ke pasar bukan ke Mall. Jadi menurut Alin, membawa tas selempang bukanlah hal yang wajib. Lagi, ia juga disana hanya menemani saja. Melewati ruang tengah, ia berpapasan dengan Mamanya. “Kok balik lagi? Nggak jadi ke resto ya? Yaudah, mendingan anterin Mama ke pasar Mbak, yuk?” ternyata Mamanya itu selain suka dangdut koplo, juga suka maksa-maksa orang. “Aku jadi pergi, tapi bukan ke resto.” balas Alin sambil melepas tas selempang dan menyerahkan pada Nawang, “Titip ya, Ma. Nggak jadi dibawa soalnya,” lanjutnya lantas berlalu begitu saja meninggalkan Nawang yang diam namun menyimpan emosi. *** Pasar Tradisional. Alin kira selera belanja Bundanya Ilham itu berbeda dengan Mamanya. Namun ternyata sama. Sama-sama suka belanja di pasar ketimbang Supermarket. Secara, mereka—keluarga Ilham dari golongan orang kaya. Ternyata sama saja, ibu-ibu lebih suka yang murah. “Kita beli bumbu dapur dulu ya.. biar nggak lupa, yuk,” Tante Irma menggandeng pergelangan tangan Alin, membawa anak tetangganya itu menuju penjual bumbu-bumbu dapur. Sambil berjalan, tante Irma berceloteh memberi rekomendasi pada Alin. “Nanti, kalo kamu udah berumahtangga, belanjanya di pasar Tradisional aja, ya. Selain harganya murah juga disini kualitasnya nggak kalah sama yang Supermarket.” Sedang Alin hanya bisa mengangguk dan menjawab iya-iya saja, yang penting cepat kelar. Selanjutnya, setelah membeli bumbu dapur, Tante Irma mengajak Alin membeli sayuran, buah, ayam, daging, ikan dan tidak lupa dengan cumi-cumi—menu laut yang sangat Ilham sukai. “Ini nih, makanan kesukaan Ilham, cumi-cumi. Kamu suka nggak Lin?” tanya tante Irma setelah berhasil menyimpan cumi-cumi kedalam tas. Alin bergidik ngeri. Ia tahu, bahkan tahu sekali bahwa Ilham sangat menyukai bahkan tergila-gila pada cumi-cumi. “Aku nggak doyan, Tante.” Baginya, cumi-cumi itu menggelikan. Ia tidak kuasa jika harus memakannya. Melihatnya saja sudah mampu membuat bulu kuduknya berdiri. “Kalo tante nggak terlalu suka. Yaah, namanya juga selera, ya beda-beda,” tanggap Tante Irma. “Yaudah, kita pulang yuk?” ajaknya. Setibanya dirumah, Tante Irma mengajak Alin untuk singgah lbih dulu dirumahnya, namun Alin menolak dengan alasan harus membantu Mamanya memasak. “Nggak usah Tante, aku langsung pulang aja. Kasihan Mama di dapur masak sendirian,” katanya. “Yaudah deh. Tapi makasih ya udah nemenin Tante belanja. Nanti kapan-kapan Tante ajak kamu lagi, boleh?” “Atur aja waktunya, Tan.” “Okelah,” Setelah berhasil lepas dari Tante Irma, Alin buru-buru masuk ke rumah. Membuka pintu, sosok pertama yang Alin lihat adalah Mamanya. Ya, Nawang berdiri tepat di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. “Mama? Ngapain berdiri depan pintu?” “Nungguin anak sendiri yang katanya lagi nemenin tetangga belanja di pasar,” balas Nawang. Alin menggaruk rambut kepalanya yang benaran gatal sambil tersenyum jumawa pada Mamanya. “Hehehe, aku nggak enak mau nolak, Ma.” “Sama orang lain nggak enakan, giliran sama Mama sendiri suka seenaknya,” sindir Nawang. “Iiih, kok Mama ngomongnya gitu?” “Memang bener, kan?” “Maaaa...” Alin mengikuti langkah Nawang, bahkan kini kedua tangannya sudah memeluk tubuh Nawang dari belakang sambil terus membuntuti kemanapun Mamanya itu berjalan. “Aku sebenarnya nggak mau nemenin, Ma. Tapi beneran deh, nggak enak mau nolak.” Nawang masih diam mengabaikan ocehan anak sulungnya. “Maa... Aku minta maaf deh. Janji nggak bakal kayak gini lagi.” “Harusnya janji bakalan selalu nganterin Mama ke pasar! Kayak gini apa coba maksudnya?” sahut Nawang. “Oke, aku mau nganterin, nemenin Mama ke pasar. Tapi, tapi harus di Supermarket.” “Kamu yang bayarin?” “Kok aku! Kerja aja belum!” “Udah ah, lepas. Mama mau masak. Mending kamu bantu Mama iris-iris bawang deh, biar berguna.” Pasrah. Alin mau saja disuruh membantu Mamanya masak. Janji untuk mengunjungi restoran pun ia lupakan. *** “Mbaaaak..disuruh turun cepetan..! Makan malam, oy! Annyeong...” Seruan Citra mampu membuat Alin segera menutup laptop dan membuka pintu kamarnya untuk menjewer telinga adiknya itu. “Nggak usah teriak-teriak kenapa sih?!” “Mbak kan b***t, mana denger kalo aku nggak teriak.” “Sialan lo!” Akhirnya sambil menuruni anak tangga, ia mengutak-utik ponselnya. Membalas satu persatu pesan w******p dari kerabat. Namun aktivitasnya itu terganggu oleh panggilan masuk tiba-tiba. Nama Bundanya Ilham muncul sebagai si penelepon. Langsung saja Alin mengangkatnya. “Hallo, Tan? Hah? Makan malam bersama? Maaf Tante, aku nggak bisa. Ini juga aku mau makan. Tapi Tante, i-iya. Iya, aku kesana sekarang.” Panggilan terputus. Alin semakin mempercepat langkahnya. Ia harus ke rumah Ilham sekarang juga atas undangan makan malam dari Tante Irma. Setibanya didepan rumah, tanpa permisi tangannya membuka kenop pintu lalu masuk begitu saja. Ini sudah biasa ia lakukan. Tante Irma pun tidak melarangnya. Tapi jika Ilham memergokinya membuka pintu lalu masuk begitu saja, tamatlah cita-citanya untuk menjadi istri Ilham Pradipa. Memasuki area dapur, suara gelak tawa langsung terdengar. “Eeeh Alin sudah datang. Sini Sayang, duduk ayo.” seperti biasa, Tante Irma selalu yang paling heboh. Beliau menarik tangan Alin untuk lebih dekat dengan meja makan. Disana bisa Alin lihat ada empat lelaki termasuk Ilham dan satu wanita yang entah siapa. Alin sekilas melirik Ilham yang hanya sibuk bermain ponsel. Dasar, ponsel sialan! “Naaaah..kenalin nih Lin, teman-teman Ilham di kantor. Ini namanya Sony terus ini Cakha, Jeno terus yang cantik itu namanya Niki. Ilham ngajak mereka makan malam sebagai bentuk syukur karena proyek kerja mereka akhirnya goal,” jelas Tante Irma. Alin menyalami satu persatu teman-teman kantor Ilham dengan kikuk. Setelah itu ia duduk berhadapan dengan Niki dan tepat bersebelahan dengan Ilham. Jodoh memang nggak kemana, yang jauh pun bisa didekatkan. Makan malam dimulai. Ragu-ragu Alin mengambil lauk didekatnya. Apapun itu yang penting dekat akan ia ambil. Namun ternyata tumis Cumi yang dekat dengannya. Akhirnya Alin hanya makan dengan lauk cah kangkung saja. Jika harus mengambil ayam, ia segan meminta bantuan pada teman Ilham. Sebenarnya bukan Alin sekali jika harus malu-malu kucing seperti ini. Tapi entsh kenapa, di depan teman-teman Ilham ia merasa kecil dan segan. “Nik, tolong ambilkan tumis Cumi dong,” pinta Ilham pada Niki. Padahal jelas-jelas tumis Cumi ada didekat Alin. Kenapa tidak meminta bantuan pada Alin saja? “Sekalian cah kangkungnya dong,” pintanya lagi. Alin segera meraih piring berisi cah kangkung dan menyerahkan didekat Ilham. “Nggak jadi deh, lauk cumi aja,” kata Ilham cuek. Bahkan teramat cuek. Dengan perasaan malu Alin meletakkan kembali cah kangkung di meja. Sambil menikmati makan malamnya, mata Alin mencuri-curi pandang pada Niki. Dia cantik sih. Rambutnya panjang, kulit putih, bersih, tinggi. Hanya saja tubuhnya terlalu kurus. Mungkin karena kebanyakan menghapal bahasa-bahasa pemrograman. “Eh, Niki. Di kantor barang kali ada lowongan pekerjaan. Tolong kabari Tante, ya,” tanya Tante Irma disela-sela makan. “Buat siapa Tante?” “Alin. Dia baru lulus kuliah dan lagi cari-cari info lowongan.” “Di kantor kami ada lowongan untuk Web Developer seperti kami. Kalo boleh tau, kamu lulusan apa Alin?” “Aku Sastra Indonesia.” “Bisa bahasa Pemrograman?” Kepala Alin menggeleng. Jangankan bahasa pemrograman, menghapal kalimat konjungsi saja dulu ia kesulitan. “Memangnya harus ya? Yang penting kan bisa komputer.” itu suara Tante Irma. Beliau ngotot mengajukan Alin untuk bekerja di perusahaan Ilham yang jelas-jelas bukan bidangnya Alin. “Iya, Bun. Bukan hanya bisa komputer tapi harus bisa dan hapal bahasa pemrograman. Karena perusahaan kami bergerak di bidang pembuatan website.” sahut Ilham akhirnya. Sungguh, ia sangat gemas dengan pertanyaan Bundanya. “Ooh, gitu.” akhirnya Tante Irma paham juga. “Coba kamu daftar di perusahaan penerbit, Lin. Barangkali mereka butuh Editor.” “Kalo itu juga gue tau!” balas Alin dalam hati. Namun kenyataannya ia menjawab, “Iya, nanti kucoba.” Setelah makan malam usai, belum beranjak dari meja makan, mereka menikmati hidangan cucu mulut. Sedang Alin dan Tante Irma sibuk memindai piring kotor ke wastafel untuk dicuci oleh Niki. Ya, atas keinginannya sendiri, Niki yang mencuci semua piring makan malam ini. “Oiya, Tante! Tante udah tau belum kalo Ilham sama Niki di kantor deket banget. Mereka sering lunch bareng, jalan bareng juga.” itu suara Cakha, salah satu teman Ilham. Langkag Alin terhenti sesaat setelah mendengar itu. Tante Irma yang tengah membersihkan meja menatap bingung pada Ilham. “Masa sih? Bener Ham?” “Cuma teman, Bun.” balas Ilham. Alin berusaha menguatkan diri untuk kembali melangkah dan duduk kembali di kursinya. “Yaa siapa juga yang bilang pacar. Tapi, kok kamu nggak ada bilang ke Bunda kalo di kantor kamu punya teman dekat,” jawab Tante Irma. “Kalo aku bilang, nanti kasihan Nikinya. Pasti disuruh mampir terus kesini.” “Yaaa kan biar akrab gitu. Iya nggak Lin?” “I-iya, Tante. Harusnya Mas Ilham sering ngajak Niki ke rumah biar Tante kenal.” “Jangankan lunch bareng, jalan bareng, ngobrol sama gue aja jarang!” Alin berujar dalam hati. Kali pertama, sejak makan malam dilangsungkan, Ilham melirik Alin. Yang dilirik segera melirik balik dan tersenyum manis pada Ilham. Nah, jiwa buncinnya mulai keluar. Bukannya membalas senyuman, Ilham justru bertanya, “Kamu nggak pulang?” “Boleh minta anterin nggak Mas? Soalnya takut, ini kan malam Jum'at.” Karena sudah terlalu risih pada Alin, akhirnya Ilham mengantar Alin pulang. “Yaudah, cepetan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD