Dua

2244 Words
Kebanyakan orang, jika mereka begadang sampai larut malam maka paginya akan bangun malas dan pada akhirnya kesiangan. Berbeda dengan Alin, wanita yang katanya sudah merasa dewasa ini sering kali begadang hingga larut malam tapi bisa bangun lebih pagi daripada ayam. Alin bukan wanita pemalas. Hanya saja, jika masa menstruasinya sudah tiba maka ia akan berubah menjadi wanita menjijikkan yang jarang membersihkan diri dan hanya seperlunya saja jika harus mandi. Paling mentok, ia hanya mengganti pembalut saja. Seperti halnya hari kemarin. Itu hari terakhirnya menstruasi. Jadi ia malas mandi, padahal ia tahu tubuhnya sudah mulai terasa bau. Bahkan semalam Ilham sempat merasakan bau itu. Ilham sedikit mengendus bahu Alin dan bertanya dengan satu alis terangkat. "Kamu lagi mens ya?" Saat itu pula jantung Alin berdetak tak beraturan. Ilhamnya, cahayanya masih mengingat kebiasaannya sejak waktu pertama mens. Lantas, Alin menjawab, "Hehehe iya. Bau banget ya, Mas?" Dibalas anggukan oleh Ilham. Dia tahu Alin bau, tapi sama sekali tidak menjauhkan diri. Itulah satu sisi yang membuat Alin percaya bahwa suatu saat nanti Ilham akan menjadi lelaki terbaik untuk dirinya. Pagi ini, karena ia sudah tuntas dari masa menstruasinya, Alin bangun pukul lima pagi. Kini ia sudah siap menjadi Alin yang aktif dan pemberani. Memasuki dapur, dilihatnya sang Mama tengah memasak nasi goreng. “Sini Ma, biar aku aja yang lanjutin.” “Yaa Allah, itu bibir merah banget Mbak kayak habis makan daging mentah,” ujar Nawang, melihat anaknya pagi-pagi buta sudah mengenakan pakaian rapi dan tak lupa berdandan. “Mau kemana sih?” tanyanya. “Iiih Mama! Kayak nggak tau aku aja,” balas Alin sembari mengaduk-aduk nasi goreng diatas kuali. Ya.. Nawang tahu. Nawang tahu sekali bahwa anak sulungnya ini memang sangat menggilai dunia Make-up. Apalagi yang bernama lipstik warna merah cerah. Bahkan dulu waktu jamannya Alin SMA, jika lipstik anak itu habis maka lipstik Nawang yang menjadi korban. Bukan hanya lipstik, karena dulu Alin belum memiliki uang saku yang cukup karena masih sekolah menengah dan belum memiliki penghasilan, ia seringkali menyelusup masuk diam-diam ke kamar Nawang hanya untuk memoles wajah menggunakan bedak Nawang. “Yaa nggak usah dandan terlalu begitulah Mbak... Sayang makeup-nya. Nggak mau kemana-mana kok dandan,” sindir Nawang. Disindir seperti itu sudah biasa bagi Alin. Dulu waktu masih SMA, setiap kali akan berangkat sekolah, sindiran itu sudah bak lagu sehari-harinya. Jadi, sekarang ia hanya perlu diam tanpa membalas sindiran itu. Alin lebih memilih menyibukkan diri menyiapkan minuman dan piring untuk sarapan. “OPPA.. KAOS KAKI AKU YANG HITAM MANA..!?” itu suara teriakan Citra. “Mamaaa.. kaos kakiku dipakai Oppa...” suara itu semakin dekat. Alin sudah bersiap memasang wajah judesnya untuk menyambut Citra. Entah kenapa emosi ini tiba-tiba muncul setelah mendengar Citra memanggil Aiden dengan panggilan Oppa. Telinganya terasa panas jika sudah melihat jiwa Fangirl adiknya itu muncul. Baru saja dibicarakan, Citra menampakkan sosoknya. Dia sudah rapi mengenakan seragam Pramuka dengan tangan membawa sepatu dan raut wajahnya terlihat sebentar lagi akan menangis. Itu sudah biasa. “Maa.. masa aku cuma pake sepatu?” rajuknya pada sang Ibu. Nawang sama sekali tidak merespon rajukan anak bungsunya. Dia bahkan lebih memilih fokus membagi nasi goreng ke dalam piring. “Mama ih! Bilangin kek ke Oppa.. suruh kembalikan kaos kaki Citra.” lagi, anak itu masih belum menyerah agar Kakak laki-lakinya kena marah oleh ibunya. Selesai menyiapkan sarapan, Nawang meletakkan wajan begitu saja diatas bak cucian lantas menatap Citra. “Nyari-nyari kaos kaki warna hitam, memang kemarin kamu ngerasa nyuci kaos kaki warna hitam?” tanyanya. Nawang memang sudah membiasakan anak-anaknya untuk mencuci sepatu dan kaos kaki sendiri sejak kelas 6 SD. Mulai dari Alin, Aiden dan Citra. Semenjak itu, Nawang sama sekali belum menemukan keteledoran dari anak-anaknya. Mereka tidak pernah lupa atau sengaja melupakan untuk mencuci sepatu dan kaos kaki sendiri. Hanya saja, baru kali ini ia mendapati anaknya tidak mencuci kaos kaki. Padahal setiap minggu ia selalu mengingatkan untuk mencuci sepatu lebih dulu sebelum beraktivitas lainnya. “Mampus lo..! Memang enak!” maki Alin. Sungguh ia sangat puas jika melihat adik bungsunya kena marah. “Mama tanya, memang kamu ngerasa nyuci kaos kaki hitam? Kaos kaki putih aja kamu nyuri di lemari Mama kan?” tanya Nawang lagi. “Mama tau Dek, kamu Minggu kemarin cuma ngelap sepatu doang,” lanjutnya. Kepala Citra menggeleng. Matanya sudah memerah dan siap mengeluarkan air mata. “Makanya kalo disuruh cuci sepatu ya cuci, jangan main hape terus! Makan tuh Oppa-Oppa yang setiap hari kamu kepoin! Mampus!” lagi, Alin tak henti-hentinya memberi ujaran kebencian pada adiknya. Remaja SMP kelas 8 itu lantas melempar sepatu tepat mengenai kaki Alin lantas si pelaku menangis sekeras-kerasnya. “Anjiir!” Susah memang kalau anak Western disuruh akhur dengan anak Kpopers. Sekalipun mereka satu keluarga, tetap saja selera tidak bisa dibohongi. Alin selalu mengejek artis kebanggaan Citra seperti BTS dan semacamnya. Sedangkan Citra seringkali membalas ejekan kakaknya dengan mengolok-olok artis kebanggaan Alin yang kebetulan menggilai Shawn Mendes, Harry Style serta berkeinginan menjadi istri dari vokalis Maroon5 yaitu Adam Levine. Dapur semakin gaduh ketika Citra mulai sengaja menjatuhkan kursi meja makan. Singa kecil mulai beraksi. Nawang sebagai Ibu segera melerai. Ia menarik si bungsu ke pelukan dan menenangkannya. Sembari masih menangis, Citra mengadu, “Maa.. Mbak Alin nakal Ma...” “Iya-iya, nanti Mama hukum Mbak Alin. Jangan nangis ah, udah kelas delapan masa masih nangis. Malu dong.” “Loh.. masih pagi kok udah pada berantem. Ini kenapa adek pagi-pagi nangis?” tanya Arsan. Dia memasuki dapur dan duduk disalah satu kursi. “Biasa.. perang,” balas Nawang. “Pasti Mbak Alin dalangnya,” timpal Aiden, baru saja masuk. Dia mengambil kursi yang dijatuhkan oleh adiknya dan mendudukinya. “Enak aja! Tadi tuh Citra bilang kamu yang pake kaos kaki dia, tauk! Terus Mbak belain kamu! Dasar, ditulung mentung!” tukas Alin pada Aiden. “Maa... Mbak Alin Ma...” si Citra mulai memanas-manasi Ibunya agar memarahi Alin. “Udah-udah jangan pada dibut. Adek sini duduk sebelah Ayah.” akhirnya Arsan menengahi. Tentu saja Citra menurut, dia melepas pelukan dari sang ibu lantas menduduki kursi sebelah Arsan. “Kaos kaki di Mbak Alin dulu ya?” tanya Arsan hati-hati sambil mengelus rambut anak bungsunya. “Nggak mau! Pinjam kaos kaki Oppa aja!” “Gimana Bang?” tanya Arsan pada Aiden. “Iya deh, nanti Abang pake kaos kaki putih,” karena tidak mau memperpanjang masalah,remaja SMA kelas 12 itu akhirnya mengiyakan saja. “Terus nanti adek berangkatnya dianter Mbak Alin. Ayah mau bawa Mang Udin soalnya. Pulang ngajar Ayah mau langsung ke Bandung, cek resto.” “NGGAK!” “Mbak juga nggak mau!” balas Alin. “Yaudah kalo nggak mau, terpaksa kamu berangkat dianter Bang Aiden. Mau kamu?” timpal Nawang. Citra paling anti jika harus berangkat diantar oleh Aiden. Ia tidak mau kakak laki-laki satu-satunya ini di gerumungi oleh teman dan kakak kelasnya untuk dimintai nomor telepon. Secara, Aiden itu tampan. “Yaudah!” putus Citra. “Iih yaudah apaan? Nggak ya, Mbak nggak ma—.” bantahan Alin terhenti kala kakinya merasakan ada yang menginjak. Ia menoleh kesamping, mendapati Nawang melototkan mata padanya dengan kepala memberi instruksi untuk menoleh pada Arsan. Alin melirik sang Ayah. Benar, Ayahnya kini sepertinya akan marah besar. “Eeh, iya. Nanti Alin yang antar adek deh, hehe.” *** Usai sarapan, seperti yang sudah direncanakan. Alin akan mengantar Citra berangkat sekolah menggunakan motor maticnya semasa ia sekolah menengah keatas. “Kor.. cepetan!” teriak Alin. Dia sudah siap mengantar Citra. Motorpun sudah ia panasi. Yang diteriaki akhirnya muncul terpogoh-pogoh. “Iya..iya! Loh, kok pake motor? Aku nggak mau ah, nanti rambutku rusak, Mbak...” bantahnya. “Biar cepet pake motor. Udah cepetan naik!” “Tapi nanti rambutku rusak, awut-awutan!” “Pake helm kan bisa, dek!” “Berat, kepala pusing!” “Yaudah, tutup mata kamu. Mbak mau pasangin pengaman rambut,” perintah Alin. Ia mengeluarkan lempitan plastik yang disimpannya dalam saku. Lantas mulai memasangkannya pada kepala adiknya sambil berkata, “Ini bakalan aman, tanpa efek samping,” ia berusaha keras menahan tawa. Bahkan hampir tertawa, namun ia segera memalingkan wajahnya agar tawa itu tidak terlepas. Namun bukannya lega, ia malah membelalakkan mata dan kelabakan. Bagaimana tidak, disana, diseberang rumah ternyata ada Ilham. Lelaki itu bahkan berdiri memperhatikannya dari kejauhan. Terlihat jelas bahwa Ilham tidak suka dengan perlakuannya terhadap Citra. Alin segera melepas plastik tersebut dari kepala adiknya dan menyimpannya cepat-cepat. “Loh kok dilepas sih Mbak?” tanya Citra, matanya sudah terbuka dan menatap Alin bingung. “Nggak usah dipake lah. Ini kan pengaman rambut punya Mbak, nanti rambut kamu ketularan kutunya Mbak gimana?” alibinya. “Aiish! Yaud—loh ada Oppa! Mending aku nebeng Oppa Ganteng aja deh.” gadis berambut panjang itu lantas berlari keluar dari area rumahnya meninggalkan sang Kakak yang masih terdiam di tempat. Fyi, selain Aiden, Ilham juga dipanggil Oppa oleh Citra. Hal itu juga yang membuat Alin semakin benci jika adiknya itu menyukai K-Pop. Apalagi jika Ilham dan Citra berinteraksi, selain malu sebenarnya ia juga cemburu. Kini Citra terlihat sedang meminta izin pada Ilham agar dia dibolehkan menebeng. Dan, dilihatnya Ilham menganggukkan kepala. Hingga akhirnya keduanya masuk kedalam mobil dan melaju begitu cepat. Alin membuang plastik hitam yang sempat ia gunakan untuk mengerjai adiknya. Sambil memasuki rumah kembali, ia menggaruk-garuk rambut kepalanya keras-keras. “Citra udah kamu antar?” tanya Nawang. Wanita itu kini sedang menyapu lantai dibagian ruang tengah. Kepala Alin menggeleng. “Nggak, dia nebeng Mas Ilham.” “Kok kamu biarin sih? Mbak kan tau sendiri si Citra centilnya kayak apa kalo udah sama Ilham. Mama kadang-kadang malu sama sikap centilnya adik kamu itu, Mbak.” Ibunya pun malu. Padahal dia sendiri yang melahirkan. Mendidik dan menjaga. “Apalagi aku Ma!” balas Alin. Ia merebahkan tubuhnya diatas sofa dan menyalakan televisi. Siaran Upin&Ipin yang pertama Alin cari. Selain memiliki banyak kutu, selera nonton Alin pun cukup kekanak-kanakan. Dia lebih memilih nonton Upin&Ipin dibanding acara talkshow atau FTV. Setiap kali nonton, ia berharap Upin&Ipin memiliki episode-episode baru. Bukan hanya sekedar suka menonton siarannya saja. Ia juga memiliki beberapa pigura Upin&Ipin yang ia simpan baik-baik. Sebaik mungkin dan sejauh mungkin dari jangkauan Citra. Tidak hanya itu, nada dering teleponnya pun lagu Upin&Ipin. Sambil terus menyapu, Nawang kembali melanjutkan obrolan. “Dia tuh kayak kamu banget tau Mbak. Dulu kamu juga kayak gitu, centil-centil manja. Jangankan Ilham, ke sodara laki-laki aja kamu centilin sampai dianya ilfeel.” “Iiih siapa bilang? Memang aku centilin siapa sih?” “Terus dulu yang suka colek-colek, cium-cium pipi sembarangan ke keponakan-keponakan Mama siapa? Siapa lagi kalo bukan anak Mama yang sulung.” Ya, dulu memang setiap kali berkunjung ke rumah orangtua Nawang, selain sering bertengkar dengan Luna, Alin juga seringkali menjahili keponakan laki-laki Nawang. Tahu sendirilah, keponakan Nawang kan bejibun. *** Seharian aktivitas Alin hanya duduk-duduk santai di sofa, lalu beralih ke kamar. Setelah di kamar bosan, ia kembali keluar duduk di ruang tengah sambil menunggu siaran Upin&Ipin yang tayang di siang hari. Semua waktunya penuh dengan Upin&Ipin. Sama halnya ketika ia di kosan. Di hari-hari libur kuliah, Alin biasanya mencuci pakaian pagi-pagi sekali agar ketika ia menonton siaran Upin&Ipin tidak terganggu. Tepat pukul tiga sore, Alin mematikan televisi. Ia beranjak dari sofa menuju dapur untuk mengisi perut. Walaupun dirumah hanya duduk-duduk saja, ia sama sekali tidak mengisi perutnya dengan makana atau minuman. Itu juga yang membuat Nawang heran. Sambil menggaruk rambut kepala, ia membuka penutup makanan. Disana terdapat beberapa lauk. “Mbak, jemput adikmu gih. Udah jam tiga lhoh.” perintah Nawang. “Dia bawa hape kok Ma. Paling naik ojol.” “Kasiah, ih.” “Apanya yang kasian? Lebih kasian aku, tadi siang suruh jemput, sore juga suruh jemput. Lagian naik ojol tinggal ketik-ketik di hape terus nunggu beberapa menit doang, Ma.” “Ya Mama tau. Tapi—yaudah deh.” akhirnya Nawang mengalah. Walau sebenarnya ia agak was-was jika Citra menaiki ojol. “Makanya nggak usah ikut-ikutan eskul,” tukas Alin yang memang sejak sekolah malas mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Andai ada ekstrakurikuler Dandan, ia pasti akan ikut bergabung. Usai menghabiskan makanan, Alin segera keluar dari rumah. Untuk melihat apakah Ilham sudah pulang kerja atau belum. Rupanya lelaki itu sudah pulang. Baru saja mobilnya masuk ke dalam pekarangan rumah. Sebelum akhirnya si empunya keluar untuk menutup pagar rumah, Alin buru-buru menghampiri. Ilham tentu saja terkejut. Dengan kedua bola mata membesar, ia menatap wanita yang kini berdiri di depannya, entah untuk apa. Alin yang tahu arti ekspresi itu, lantas mulai mengutarakan tujuannya dis berdiri disini, “Eummm.. jadi gini Mas Ilham. Aku mau minta maaf soal tadi pagi. Mas Ilham pasti nggak nyaman banget ditebengi Citra. Aku benar-benar nggak nyangka sih dia tiba-tiba lari terus minta tebengan.” “Mas? Maafin Citra kan?” “Mas Ilham?” Ilham masih saja diam tanpa kata. Namun matanya tetap menatapnya. “Mas Ilham lagi sariawan ya?” “Mas? Jawab dong?” “Coba mana sini yang sariawan, aku lihat.” Alin mengangkat tangannya sedikit demi sedikit untuk menyentuh pipi Ilham. Namun sebelum menyentuh, Ilham lebih dulu mencekal pergelangan tangannya. Dan berkata, “Harusnya meminta maaf atas nama kamu.” “Kok jadi aku? Yang minta tebengan kan Citra.” “Dia nggak akan minta tebengan kalau kamu nggak jahilin dia pake plastik.” Seketika Alin membuang muka jauh-jauh. Malu. Sangat malu. “Sudah sore, mandi!” tukas Ilham lantas melepas tangan Alin. Lelaki itu pergi begitu saja. “Masih jam tiga, aku mandinya jam setengah empat biar seger,” pungkas Alin, padahal Ilham sama sekali tidak ingin tahu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD