Satu

2060 Words
"Makasih ya Bang tumpangannya," ucap Aiden setelah mobil yang dikemudikan Ilham telah tiba didepan kediaman keluarga Arsan. Ilham mengangguk. "You're welcome, Den." balasnya dengan sedikit senyuman. Lantas Aiden turun dari mobil untuk mengambil koper sang Kakak. Sedang Alin sendiri, masih duduk di jok belakang. Ia sedikit kesulitan mengambil ransel yang ia letakkan di sebelahnya. Alin berusaha sekuat tenaga untuk bisa kembali mengenakan ranselnya yang bobotnya tidak main-main itu. Selesai itu, sebelum akhirnya benar-benar keluar. Alin menatap punggung Ilham. "Makasih ya Mas Ilham atas tumpangannya," ucapnya. "Hmmm." hanya dibalas deheman kecil tanpa anggukkan kepala oleh Ilham. Ternyata masih tetap cuek. Dari dulu hingga sekarang, ditahun yang menginjak angka 2019, bahkan Alin pun sudah lulus dari bangku kuliahnya. Ilham masih tetap tidak berubah. Dia masih tetap cuek. Tapi Alin tetap saja masih mengidamkan Ilham untuk menjadi suaminya kelak. Karena sudah mengucap terimakasih, walau dibalas dengan deheman saja, Alin keluar dari mobil Ilham. Ia berdiri di depan mobil Ilham, menunggu siempu melajukan mobilnya. "Assalamualaikum... Warahmatullahi waabarokatuh..." seru Alin ketika memasuki rumah. "Walikumsalam," balas seseorang. Alin semakin melangkahkan kakinya memasuki rumah. Tiba di ruang tengah, ia menemukan adik keduanya tengah duduk santai diatas sofa sambil memainkan gadgetnya. Sesekali tangannya mencomot camilan ringan yang dia letakkan diatas paha. "Oy, nggak berangkat sekolah, Kor?" tanyanya pada sang adik sembari mengambil duduk disebelahnya dan ikut mencomot makanan ringan. "Ini tanggal merah kaleeee..." balas yang di panggil Kor oleh Alin. "Aah, mosooo seh, Kor?" "Kar-kor-kar-kor, namaku Citra yah, bukan Kor!" "Yaa kan kamu pelakor, jadi wajar dong kalo Mbak panggil kamu Kor." Pelakor. Kependekan dari para Pecinta Lagu Korea. Ya, adiknya yang satu ini memang sangat menggilai lagu-lagu korea. Kpopers sejati. Bahkan, apapun yang berbau Korea, pasti adiknya suka. Apalagi boyband Korea yang bernama BTS. Disela-sela percekcokan antara Alin dan Citra, Aiden datang. Anak remaja itu duduk mendusel ditempat paling ujung sofa, sebelah Citra. "Iden, bawain ransel Mbak ke kamar dong..." perintah Alin. Bola mata Aiden seketika memutar jengah. Ya, Aiden paling malas jika Alin sudah memanggilnya dengan sebutan 'Iden' atau bahkan 'Aid'. Dan jika Alin sudah memanggilnya seperti itu, ia tidak akan membalas atau sedikit merespon. Lelaki itu bahkan kini benar-benar mengabaikan perintah Alin. Seolah tidak mendengar apa yang Alin katakan. "Iih, kenapa sih punya adik kok pada laknat-laknat semua! Awas aja ya kalian!" ujar Alin. "Sekarang Mama dimana?" tanyanya. "Masak," balas Citra. "Mending aku ketemu Mama! Kor, bawain tas Mbak ke kamar, hati-hati bawanya itu oleh-oleh semua isinya. Awas aja kalo Mbak kesini lagi terus ini tas masih disini," ketus Alin lantas melenggang pergi untuk menyapa sang Mama yang sedang sibuk di dapur. Memasuki area dapur, dilihatnya Nawang ternyata tengah menggoreng sesuatu. Langsung saja ia menghampirinya dan menubruk tubuh Nawang dari belakang. Ia memeluk erat tubuh itu sambil berkata, "Mamaa.. i'am back...yeay!" "Heummm, welcome back Mbak... Sana dulu ih, jangan peluk-peluk dulu," balas Nawang. "Iiiih aku kan kangen! Pengin ngasih pelukan hangat ke Mama..." "Hangat apanya, bau mah iya!" "Gitu banget. Aku tinggal lagi ke Jogja nih." ancam gadis itu seolah Mamanya peduli saja dia kembali ke Jogja lagi. "Iya-iya, nggak. Mna ini Mama lagi goreng ayam lhoh. Nanti tangan kamu kecip—." Pletok... Pletok, "A-aaaw..." Baru saja Nawang ingin memperingatkan, namun terlambat karena telah terjadi. Tangan Alin baru saja kecipratan minyak. "Tuh kan.. baru juga mau Mama bilangin. Sini-sini..." setelah mentiriskan ayang goreng dan mematikan kompor wanita pemilik tiga anak itu membawa Alin untuk duduk di kursi meja makan lantas dirinya pergi begitu saja. Tak lama, Nawang kembali dengan tangan membawa pasta gigi. "Mana yang kena minyak, sini diolesi pasta," perintahnya. "Nggak ah, perih Ma..," tolak Alin. Dia menyembunyikan kedua tangannya kebelakang. "Jadi, nggak mau sembuh?" "Ya mau.. tapi kan perih!" "Cuma sebentar, Mba... Cepetan deh, ini Mama mau masak lagi." Sedikit tidak rela, Alin menyerahkan kedua tangannya. Ketika Nawang sudah mencocolkan pasta ke jari, Alin segera menutup mata erat-erat. "AAAAAKKHH... SAKIT BANGKE...!!" Alin berteriak sekencang-kencangnya, tak peduli pada kondisi mulutnya yang kalau mangap bisa 10cm sendiri. Sedang Nawang langsung menjauhkan tangannya. Tak lupa ia menampol bahu Alin keras-keras. "Baru gitu aja jejeritannya udah kayak setan kerasukan jin! Gimana kalo disuruh sunat coba? Udahlah sana, Mama males obatinnya," katanya lantas kembali menyibukkan diri dengan dapur. Ia mengabaikan rengekan anak sulung. "Maa.. ini beneran perih banget... Beda sama sunat! Lagian aku kan cewek, kok disamain sama sunat! Maa... Mama ish!" "Diem deh Mbak. Sana itu lukanya di kipas-kipas biar cepat kering terus mandi!" ketus Nawang. Mematuhi perintah Ibunya, Alin menjauh dari dapur. Ia kembali ke ruang tengah untuk menyalakan kipas angin. Ternyata kedua adiknya masih saja duduk malas di sofa. Keduanya sibuk bermain ponsel sendiri-sendiri. Inilah yang Alin benci, selalu ponsel! Alin benci pada mereka yang sering menggunakan ponsel. "Kenapa sih tadi teriak-teriak kayak Tarzan?" tanya Citra ketika mendapati Kakaknya duduk di sofa depannya. "Gara-gara minyak sialan, tuh, tuh, tuh... Aaah! Banyak banget lagi!" terang Alin sambil memperlihatkan lukanya pada Citra dan Aiden. Aiden tersenyum mengejek. "Elah, gitu aja teriaknya kayak ketemu cowok telanjang!" Satu bantal sofa mendarat mulus didepan wajah Aiden. Dan tersangkanya adalah Alin. "Ngomong sekali lagi, Mba tarik lambemu!" "Ampun Nyai." Belum ada satu jam ia tinggal di rumah ini, musibah beruntutan menimpanya. Kalau tahu awalnya akan seperti ini, lebih baik Alin melanjutkan S2 di Jogja lagi. Ah, sial! "Assalamualaikum..." Tubuh Alin seketika tegak mendengar suara salam yang sepertinya dari sang Ayah. "Ayah..." ia meloncat dari sofa berlarian menghampiri Arsan yang baru saja menutup pintu. Wanita berusia 23 tahun itu menubruk tubuh Arsan, "Kangeeeeen..." "Bohong." Alin menjauhkan wajahnya dari tubuh Arsan, dengan posisi masih memeluk tubuh ayahnya tersebut. "Beneran ish! Harusnya aku pulang hari minggu tapi aku percepat jadi hari ini tahu!" lantas Alin melepas pelukan dan berganti dengan memeluk tangan sang Ayah. Sambil berbincang, keduanya berjalan beriringan, "Hemm iya deh percaya. Sampai jam berapa?" "Tad-i, adaww..." "Kenapa Sayang?" "Ini tangan aku kena percikan minyak, Yah.. nggak sengaja nyenggol kulit Ayah, perih..." nah, sifat manjanya mulai keluar. "Gimana sih, kok bisa sampai kena? Udah diobati belum?" Kepala Alin mengangguk. "Udah diobati sama Mama." "Yaudah, jangan dibawa mandi dulu biar cepat kering lukanya." "Iya, aku juga nggak mau mandi. Males. Hehehe." *** Usai makan malam, tanpa mandi atau sekedar mencuci muka dan gosok gigi atau bahkan menyentuh air kamar mandi, Alin memasuki kamarnya. Ia duduk diatas ranjang, bersiap membongkar ranselnya yang berisi oleh-oleh tersebut. Disana ada beberapa Bakpia, Wingko, Dodol khas Jogjakarta, batik, t-shirt dan beberapa souvernir. Alin lantas memasukkan satu box Bakpia, Wingko dan satu batik untuk wanita ke dalam paper bag. Sedang paper bag satunya, ia isi hanya dengan sesuatu yang sudah dikemas menggunakan kertas kado. Selesai itu, ia beranjak keluar dari kamar. Tak lupa, membawa ransel dan dua paper bag yang sudah ia isi. Menuju ruang tengah, dimana para anggota keluarganya berkumpul. Ia meletakkan ransel diatas paha Aiden. "Nih, oleh-oleh buat kalian. Jangan lupa, Mang Udin dikasih," katanya menyebut nama sopir sang Ayah lalu kembali melanjutkan langkahnya. "Lhoh, kamu mau kemana Mbak?" tanya Nawang. "Tante Irma..." "Jangan malam-malam pulangnya." itu suara peringatan dari Arsan. "Elah Ayah, rumah tante Irma kan cuma didepan!" timpal Citra. "Tetap nggak boleh, Adek..." balas Arsan mengelus puncak kepala si bungsu. Alin mengabaikan suara-suara dari para anggota keluarganya. Ia terus melangkah ke depan rumah, hingga tibalah di depan pintu rumah tante Irma alias Ibunya Ilham. "Assalamualaikum.. tante Irma..." Pintu mulai terbuka diiringi balasan salam. Wanita setengah baya muncul di depan Alin dengan wajah berseri-seri menatapnya. "Lhoh? Alin.. pulang kapan? Sini-sini masuk," tangannya menarik Alin untuk masuk kedalam rumah. "Ehe, tadi siang tante," balas Alin sedikit salah tingkah. Sambil menggiring Alin menuju ruang tengah, tante Irma tak henti-hentinya bertanya. "Pulang kok nggak bilang-bilang sih. Jadi kan tante nggak bisa bikin kejutan selamat datang." "Hehehe, ini juga dadakan pulangnya, Tan." Keduanya tiba di ruang tengah. Disana ada sosok Ilham tengah sibuk mengetik sesuatu di keyboard laptop. Tante Irma menyuruh Alin duduk di sofa. "Heumm.. pantas aja rumah depan kayaknya rame banget, ternyata kamu udah pulang." "Iya tante. Maaf kalo suara Alin ngeganggu, hehe." "Banget." Itu bukan suara tante Irma atau sejenis makhluk halus. Itu adalah suara lirih Ilham yang baru saja menimpali ucapan Alin. Lelaki itu masih sibuk dengan laptopnya seolah tidak terjadi apa-apa. Alin hanya melirik sekilas pada Ilham dan ya... Sedikit melototkan matanya pada lelaki itu. "Nggak ganggu kok. Justru tante seneng sama orang yang heboh dan banyak bicara. Daripada cuek macam Ilham, bikin suasana rumah jadi krik-krik ngebosenin." Nah, inilah tante Irma yang sebenarnya. Wanita rese yang suka sekali menyindir anaknya sendiri. Dari dulu sampai sekarang masih sama. Hobinya membuat Ilham jera. "Ham ini ada Alin lhoh, kok malah sibuk sendiri sama Laptop! Ajak ngobrol kek, diskusi gitu." "Ilham lagi sibuk, Bun..." balas Ilham. "Aah kamu mah sibuk terus. Nggak kasihan sama mata sendiri! Ham, udah ih! Tutup laptopnya..." kini tante Irma merengek bak anak kecil. Untuk menghentikan aksi merengek tante Irma, Alin menimpali dengan menyerahkan oleh-oleh. "Hmmm oiya tante, ini aku ada oleh-oleh dari Jogja." "Waaah... Makasih Sayang.. ih kok banyak banget." "Nggak kok, cuma makanan ringan doang. Terus ini buat Mas Ilham, hehe." Alin menyerahkan paper bag satunya pada Ilham. Satu. Dua. Tiga... Sepuluh detik, Ilham masih belum menerima pemberian Alin. "Ham, itu dikasih oleh-oleh dari Alin... Diterima dong, terus bilang makasih. Gitu aja harus di kasih arahan dulu masa," ujar tante Irma gemas dengan sikap sang anak yang kelewat pendiam dan tidak mau tahu. Akhirnya Ilham meraih paper bag dari Alin sambil berterimakasih dengan suara lirih, sampai Alin harus memajukan tubuh agar bisa mendengar suara terimakasihnya. "Lhoh, itu tangan kamu kenapa, Lin?" tante Irma meraih pergelangan tangan Alin. "Tadi sore kena percikan minyak, Tan." wajah Alin yang semula riang seketika lesu memandang luka di tangannya. "Terus ini yang putih-putih dikasih apa?" "Pasta gigi." "Kok pasta gigi sih? Harusnya pake lidah buaya, Sayang. Sebentar, tante ambil lidah buaya depan rumah dulu." Tante Irma kembali dengan tangan membawa baskom dan pisau kecil. Beliau meletakkan baskom berisi air dingin dan handuk kecil diatas meja. "Ini kamu bersihkan dulu pasta-pastanya. Tante mau petik lidah buaya." "Iya, tan." AKHIRNYAAAA... Inilah saat yang Alin tunggu-tunggu. Dimana ia hanya berdua dengan Ilham di ruangan yang sama. Ia bisa berbicara apapun pada lelaki itu tanpa orang lain tahu. Sambil membersihkan pasta di pergelangan tangan, Alin memulai topik. "Mas Ilham kayaknya sibuk banget. Lagi banyak kerjaan ya, Mas?" tanyanya. Tidak ada balasan. Itu sudah biasa. Alin sudah kebal. Suara Ilham memang mahal, jadi Alin harus tahu diri. "Eumm.. nanti kalau Mas Ilham mau buka oleh-oleh itu, jangan lupa baca bissmilah, ya. Biar nggak kaget sama isinya, hehe." "Bukan apa-apa sih isinya. Tapi.. kayaknya mampu buat Mas Ilham kaget. Tapi.. kalau nanti udah dibuka, tolong jangan dibuang ya Mas.. please... Itu berharga banget buat aku." "Kalau berharga kenapa dikasih ke orang lain?" tanya Ilham. Aaahhh... Akhirnya si batu mengeluarkan suaranya juga. "Karena aku percaya, Mas Ilham pasti bisa jaga barang itu dengan baik." Nah, gembel mode on. Ilham hanya menampilkan wajah datar. Dari dulu dia sudah kebal dengan gombalan-gombalan receh Alin. Sedikitpun tidak ada yang bisa membuatnya tersanjung. Semuanya receh, menurut Ilham. Sekaligus alay. "Ham, ini nanti kupasin lidah buayanya terus dioles-oleskan ke tangan Alin, ya. Mama mau bikin minum untuk kalian," ucap tante Irma seraya meletakkan lidah buaya di meja bersama pisau kecil. Kali ini Ilham menuruti perintah Bundanya. Setelah menyimpan berkas pekerjannya di laptop, ia mulai berpindah tempat duduk saling berhadapan dengan Alin. Lantas mengupas lidah buayanya. "Mana yang kena minyak?" tanyanya. "Ini nih, nih, nih, tuh, tuh, tuh, banyak banget kan.. sakit banget tahu Mas." tanpa tahu malu atau merasa tidak enak, Alin memperlihatkan lukanya. "Makanya kalau nggak bisa masak nggak usah sok-sokan masak," sindir Ilham sambil mengoleskan lidah buaya di luka Alin. Haruskah Alin menjawab, "Yaa kan, aku pengin belajar masak biar nanti kalau udah nikah, Mas Ilham nggak kelaparan." Begitu? Aah, sepertinya belum waktunya ia menggobal lebih banyak. Ini baru chapter satu, tidak epik jika ia menggombal terlalu banyak. Baiklah, akan Alin tahan gombalan ini untuk episode berikutnya. Jadi, Alin memutuskan untuk mengerucutkan bibir dan mengangguk. Lalu mendesis ketika lendir lidah buaya yang di oleskan di lukanya mulai bereaksi meresap masuk ke luka-luka kecil itu. Sebenarnya Alin enggan bersikap lemah dihadapan Ilham, tapi sungguh dia tidak bisa menahan perih di lukanya.   Ternyata Tante Irma bohong. Lidah buaya justru membuat lukanya perih, tidak berbeda dengan olesan odol dari Mamanya. Ahhh, tapi tidak apa. Dia masih punya keuntungan lain. Yaitu di sentuh oleh tangan Ilham. Tidak apa-apa perih itu menyiksanya, yang penting dadanya terasa menghangat karena sentuhan tangan Ilham.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD