Enam Belas

2092 Words
Pagi ini Alin terlihat tidak fokus bekerja, padahal pekerjaannya masih banyak dan harus dikirim ke Hardi sesegera mungkin. Pikirannya tak berpindah pada pekerjaan dan terus memikirkan tentang Rivaldo. Entah kenapa nama itu selalu menempel di pikiran Alin, semenjak kejadian semalam saat ia menemani Nisa ke kelab malam. Sengaja, Alin memasang airpod dan memutar lagu baru milik Justin Bieber featuring Quanvo berjudul Intentions. Itu lagu yang akhir-akhir ini ia dengar dan biasanya jika sudah mendengar lagu tersebut Alin akan fokus menikmati setiap bait dalam lagu tersebut. Namun, lagi-lagi karena pikirannya masih dipenuhi oleh wajah sialan Rivaldo yang mencium dua wanita sekaligus dalam satu malam, alhasil ia tidak bisa menikmati lagu tersebut. "Lin, pulang nanti kita mampir ke restoran baru yang di belakang kantor yuk?" Ajak Nisa tiba-tiba. Melirik sekilas pada wanita yang akhir-akhir ini semakin dekat dengan Fahmi, lantas lanjut menatap layar monitor. "Nggak bisa Mbak. Jam tiga aku mau meeting diluar sana Seesaw. Harus bahas cover buku barunya dia." "Mau naik apa? Tadi pagi kan kita berangkat pake mobilku." "Ojol dong." Nisa menatap pakaian yang hari ini ia kenakan. "Terus baju kamu gimana?" "Pake aja. Nanti kalo mau balikin jangan lupa dicuci." "Iya, nanti di laundry deh!" Ketus Nisa lantas menatap layar monitornya dengan sendu, "pulang kantor aku mau main ke restoran kamu aja deh Lin. Males balik ke kost-an. Ibu kost nagih mulu, pusing akutuh!" Lanjutnya malah curhat. Tak mau diam saja, Husni lantas menyahut, "Gegayaan ngajak makan di restoran baru padahal kost-an belum dibayar." "Yaa kan disana banyak makanan gratis, karena baru buka, Mas." Balas Nisa membela diri lalu penglihatannya kembali ia arahkan pada teman sebelahnya, "gimana Lin, masih mau makan di restoran baru?" Bujuknya sekali lagi. Melirik sinis pada Nisa adalah hal yang saat ini Alin lakukan. Tidak peduli Nisa lebih tua darinya, karena yang jelas ia tengah dilanda emosi karena Nisa selalu cerewet. Ditambah lagi beban pikirannya mengenai Rivaldo. Sial! Rivaldo akhir-akhir ini justru menjadi beban untuk pikirannya, padahal pria itu bukan apa-apanya. Tanpa menjawab ajakan Nisa, Alin beranjak dari kursi kerja untuk menuju pantry kantor. Segelas kopi instan di pagi hari sepertinya bisa membuat otaknya kembali berfungsi sebagai mestinya. Ya, akan Alin coba. Setelah menyeduh segelas kopi s**u instan, sejenak Alin duduk di kursi bar untuk menikmati karyanya pagi ini. Namun beberapa detik setelah kopi tersebut ia seruput, suara deheman asing terdengar, membuatnya tersedak minuman dan terbatuk-batuk. Sambil berusaha menghilangkan rasa tersedaknya, tubuh Alin berputar kebelakang melihat siapa yang mengagetinya sampai terbatuk-batuk. Lagi dan lagi tubuhnya terkejut. Ternyata Rivaldo. Pria yang baru saja berdehem adalah Rivaldo. Bergegas Alin beranjak dari duduknya dan berdiri untuk menyapa pria itu. "Pagi Pak .." Dengan stelan kaos oblong berwarna biru Dongker dipadukan celana jins pendek, Rivaldo menjawab sapaan Alin. "Pagi." Lantas memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana, membuat dirinya tambah semakin maskulin. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, kini mata Alin meneliti setiap lekuk tubuh pria keturunan Aussie didepannya ini. Lihatlah, Rivaldo dia terlihat sangat berwibawa padahal hanya berpakaian seadanya. Sangat berbeda dengan Rivaldo yang semalam Alin lihat di kelab malam. "Kenapa? Kamu nafsu sama saya?" Tanpa sedikit memfilter, Rivaldo melontarkan pernyataannya dengan lantang dan menantang. Tentu saja Alin terhenyak. Baru saja pria ini bilang apa? Nafsu? Ogah! Memutus pandangan pada Rivaldo, Alin memilih menundukkan kepala. "Maaf, Pak." "Mana buku saya?" Barulah Alin mendongak dan mendelik menatap Rivaldo. "Ohiya! Masih dirumah, Pak. Kemarin mau saya kembalikan tapi Bapak nggak kesini." Alibinya. "Kamu bisa mengembalikan ke sekertaris saya." "Maunya sih gitu, Pak. Tapi kebetulan waktu saya ke ruangan Bapak, Mbak-mbak sekertarisnya lagi keluar." Sedang Rivaldo hanya diam saja mendengar pembelaan diri dari Alin. Setaunya, kemarin tidak ada yang berkunjung ke ruangannya dan sekertarisnya juga tidak pernah pergi saat jam kerja. Rivaldo tentu tau karena setiap hari ia selalu memantau keadaan kantor lewat cctv. "Eumm .. Pak? Kok bapak ngeliatin saya sampe nggak kedip? Bapak nafsu ya sama saya?" Tembak Alin. Barulah Rivaldo mengerjapkan mata beberapa kali. "Iya, saya nafsu sama kamu." Jawabnya. Napas Alin tercekat. Jawaban Rivaldo membuat kedua kaki Alin seketika mundur sedikit demi sedikit karena takut. Mengingat semalam Rivaldo sangat beringas saat mecumbu dua wanita. Astaga! Sepertinya Alin harus segera keluar dari tempat ini jika tidak mau berakhir mengenaskan. "Per-permisi Pak, saya balik ke ruangan dulu." Pamitnya yang tidak diberi izin oleh Rivaldo. Karena pria itu kini sudah mencekal kuat satu pergelangan tangan Alin. "Mau kemana?" "B-b-balik, balik ke ruangan, Pak." Sekali hentakan, Rivaldo kini berhasil membuat tubuh Alin kembali dekat dengannya. Tanpa banyak cakap, ia mengecup bibir Alin. Membuat wanita didepannya ini terdiam dengan mata melotot tajam. Rivaldo justru tersenyum. Lantas sekali lagi ia daratkan bibirnya pada bibir Alin, sedikit lama lalu ia lepaskan. "Saya nafsu sama kamu." Alin tidak peduli dengan suara Rivaldo. Saat ini pikirannya justru hanya terfokus pada Ilham. Bibirnya, yang ia jaga untuk Ilham kelak nanti kini sudah ternodai oleh satu pria yang jelas-jelas tidak ia kenal asal-usulnya. "Gimana? Bukankah ciuman seperti itu yang kamu ingin? Lihat semalam, kayaknya kamu iri banget sama dua wanita saya." Rivaldo kembali menyuarakan suaranya. Kali ini Alin merespon. Ia tatap Rivaldo dengan kedua pelupuk mata yang sudah basah oleh air mata. Satu detik, hingga lima detik, suara tangis Alin kini dimulai. Ia menangis sekencang-kencangnya didepan Rivaldo yang justru kebingungan. "HUAAAAA BIBIRKU UDAH NGGAK PERAWAN LAGI.. HUAAA ...." Tangisnya menderai dengan teriakan keras namun tak merdu. "Mas Ilham ... Maafin Aku, Aku Nggak Bisa Jaga Bibir. Se-se-sekarang bibirku udah dicipok sama boss huaaa.. Kenapa sih, bapak suka banget nyipok-nyipok anak orang sembarangan?" Walau masih menangis, mulutnya tak bisa berhenti merecok. "Bukan cipok, saya hanya mengecup bibir kamu." Rivaldo mencoba meralat ucapan Alin. "Udah nggak usah diperjelas! Sama aja namanya! Lagian, kenapa sih Bapak nyipok saya? Salah saya apa?" Tanyanya menuntut. "Kamu nggak ada salah. Kamu semalam melihat saya mencium dua wanita, dan kelihatannya kamu menginginkannya juga. Jadi sekarang .. saya hanya memberi yang kamu inginkan." "Apaan sih! Saya ngeliatin Bapak cipokan itu bukan berarti pengin!! Ini bibir tuh buat suami masa depan saya, Pak! Ah sial! Kasian Mas Ilham, dikasih belasan huaaaa ..." Alin kembali menangis. "Saya hanya inisiatif." "Ini namanya bukan inisiatif, tapi mencari kesempatan dalam kesempitan!!" Cetusnya tepat didepan wajah pemilik kantor yang saat ini Alin tapaki. Masih dengan aktivitas tangisnya, Alin berusaha melepas tangannya dari cekakan tangan Rivaldo. "Lepassss .. saya mau balik ke ruangan!" Karena tak kuasa menahan air mata Alin yang kian menderas dan ia juga khawatir kalau-kalau ada karyawannya yang melihat situasi ini, akhirnya Rivaldo melepaskan tangan Alin dan membiarkan wanita itu pergi. Sebelum benar-benar pergi, Alin menyempatkan diri untuk sekedar menatap sinis pada Rivaldo lantas ia meraih gelas kopinya dan berlalu dari hadapan Rivaldo. Senyum Rivaldo terulas. "Mas Ilham?" Ujarnya lalu menganggukkan kepala. Kini, setelah melihat reaksi Alin saat setelah ia menciumnya, Rivaldo jadi memiliki rasa penasaran mendalam pada kehidupan pribadi satu editor baru di kantornya ini. Sepertinya mulai saat ini ia akan sering-sering berkunjung ke kantor ini, untuk sekedar menilik berita terbaru tentang Alin. Juga, sebenarnya kedatangannya saat ini pun karena ia hanya ingin menemui Alin. Niat awal Rivaldo mengunjungi kantor pagi ini karena ia ingin membawa Alin kedalam ruangan kerjanya dan menginterogasi wanita itu mengenai kejadian semalam. Rivaldo heran saja, untuk apa wanita setipe Alin datang ke kelab dan memesan dua minuman soda, bukan alkohol. Saat Rivaldo tanya pada satu waiters, ia mendapat info bahwa Alin tidak datang seorang diri melainkan bersama satu teman wanita. Dan itu membuat Rivaldo dilanda penasaran. Apalagi Alin sudah melihat kelakuannya saat diluar kantor atau jam kerja. Bagi Rivaldo, ini sedikit memalukan. Selama ini ia jarang tertangkap basah oleh para karyawannya saat bermain dengan wanita bayaran, namun kali ini satu karyawan barunya melihatnya dengan jelas! Wajah sendu Alin membuat fokus kerja Nisa jadi sedikit terganggu. Ia lantas menghentikan aktivitas mengetiknya dan menggeser kursi kerja agar lebih dekat dengan jangkauan Alin. "Kamu kenapa sih? Abis dari pantry dari tadi mukanya murung mulu, terus itu bibir kenapa ditutupi coba? Abis dicipok ya?" Kepala Alin menoleh cepat pada sosok yang baru saja bicara. "Kok Mbak tau?" "Lhoh? Jadi kamu abis ciuman? Sama siapa?" Alin justru dilanda kebingungan. Nisa ternyata hanya asal menebak saja dan bodohnya ia justru memperjelas! "E-e-enggak! Mana ada aku ciuman! Ciuman sama gelas mah iya!" Setelah memikirkan jawaban beberapa detik, ia memilih gelas untuk mengalibi. "Kirain kamu abis ciuman sama Mas-mas OB gitu. Oh iya, tadi kamu dicari si Boss." "Maksudnya, Mas Hardi?" "Bukaaaan! Big Boss loh, Big Boss .." Ragu-ragu Alin menebak, "P-p-Pak Rivaldo?" Dan dibalas anggukan oleh Nisa. "Ngapain dia nyari aku?" "Mau ngajak kawin lari kali! Yaa .. mana aku tau, mungkin mau tanya soal progres karyanya Seesaw. Seesaw kan salah satu penulis kesayangan disini." Alin tidak terlalu mendengar ucapan Nisa. Kini ia berpikir keras mengapa Rivaldo mencarinya. Ini tidak seperti biasanya. Jika pria itu membutuhkan informasi mengenai progres karyanya Seesaw, pasti Rivaldo akan meminta tolong pada sekertarisnya atau pada Hardi untuk memanggilnya ke ruangan pria itu. Alin yakin, ini pasti ada kaitannya dengan kejadian di kelab semalam. Tanpa sadar Alin meraba bibirnya sendiri. "Mbak," "Apa?" "Kayaknya aku harus resign dari sini deh." "Lhoh, kenapa?" "Disini udah nggak aman." "Apaan sih?" "KERJAAAA KERJAAA ..." Teriak editor lain yang tertuju untuk Alin dan Nisa. Keduanya lantas menyudahi aksi drama menye-menye itu dan berfokus untuk kerja. Sebentar lagi jam istirahat tiba dan hari ini ia hanya bekerja beberapa persen saja, selebihnya bermalas-malasan. Sepertinya jadwal meeting bersama Seesaw harus ia undur dulu. Bukan karena ia akan lembur mengerjakan naskah, tapi Alin hanya ingin buru-buru pulang ke rumah dan mengadu pada Ilham bahwa bibirnya kini sudah tidak tersegel lagi. Ilham harus dan wajib tau, karena Alin mendedikasikan dirinya untuk pria itu, termasuk bagian bibir. *** Sore hari usai membersihkan tubuh dari debu jalanan, Alin berkunjung kerumah Tante Irma. Kebetulan Tante Irma sedang sibuk membuat makan malam dan Ilham kini tengah santai menikmati waktu sorenya dengan bermain PlayStation di ruang tengah. Tentu saja Alin langsung menghampiri Ilham dan duduk disebelah pria itu. Sejenak Alin memperhatikan wajah Ilham yang tengah fokus bertanding, sambil otaknya berpikir merangkai kata yang cocok untuk ia utarakan. "Mas Ilham," mulainya. Seperti biasa, Ilham hanya menyahut dengan sekali gumaman. Tapi ini termasuk peningkatan, karena biasanya Ilham akan menyahut jika panggilan Alin sudah melebihi dua kali. Mungkin sore ini mood Ilham sedang baik. "Ada sesuatu yang mau aku kasih tau ke Mas Ilham." "Apa? Bilang aja," "Tapi berhenti dulu main PS-nya..." "Kasih tau aja sekarang, saya dengar." Belum memberitahu pada Ilham, namun Alin sudah menitikan air mata lebih dulu. Sambil menghapus air mata, ia lantas memulai ceritanya. "Aku mau kasih tau, kalo bi-bibirku, bibirku udah nggak perawan! Hiks.. hiks.." Ilham mem-pause game dan fokus pada Alin. "Maksud kamu?' "Ta-tadi pagi ada pria yang nggak tau diri nyium aku tiba-tiba." Ungkap Alin. Kini tangannya meraih tangan Ilham dan memohon, "maafin aku Mas .. suer aku nggak menginginkan ciuman itu. Mas Ilham jangan marah please .." Dibalas kekehan oleh Ilham. "Kenapa saya harus marah?" Kepala Alin mendongak, "Mas Ilham nggak marah?" Ilham menggelengkan kepalanya. "Tapi kalo saya kasih tau ini ke Ayah kamu, dia pasti marah besar." "Jangan kasih tau!" Teriak Alin. Baiklah. Ilham tidak akan membocorkan rahasia ini. "Siapa yang mencium kamu?" Tanyanya mulai ingin tau lebih jauh. "Udah lah nggak usah dibahas lagi. Intinya dia pria sialan! Hiks.. hiks.. tuh kan, jadi keinget lagi." "Setidaknya kasih tau ke saya dia siapanya kamu." "Bukan siapa-siapa! Dia tuh atasanku di kantor." Wow! Ilham terkejut mendengar jawaban Alin. Yang Ilham tau, Alin belum genap tiga bulan bekerja di tempat kerja barunya, tapi wanita ini sudah memikat atasan! Luar biasa! "Saran saya, jangan terlalu dekat dengan dia. Bahaya." Karena Ilham adalah pria baik dan tidak sombong, ia memberi sedikit saran pada tetangganya ini. "Kenal aja nggak!" "Baguslah." Suara seruan Tante Irma yang memanggilnya dari dapur membuat Alin segera melepas sedikit tak rela pada tangan Ilham uang yang sedari tadi ia genggam untuk memohon. Tiba di dapur, rupanya Tante Irma memintanya untuk menyiapkan piring. "Kamu sekalian Sholat terus makan malam disini ya, Lin?" "Nggak usah Tante, abis ini aku mau pulang kok." "Nanggung banget. Sekalian nanti aja pulangnya. Menjelang malam gini banyak setan." "Kan rumahku didepan, Tan." "Tetap aja. Udah makan disini aja." "Iya deh, kalo Tante maksa. Hehehe." "Nah gitu dong. Nanti lusa kamu mau ikut lihat-lihat rumah baru Ilham nggak, Lin?" "Lhoh, Mas Ilham udah beli rumah?" "Alhamdulillah udah. Gimana? Mau ikut? Dekat kok, setengah jam dari sini." "Boleh deh Tante." "Sekalian ajak Citra juga," Alin segera memberi alasan agar adiknya itu tidak ikut. "Nggak usah ajak Citra, Tan. Dia lagi sibuk belajar buat persiapan ulangan." "Ooh yaudah, kita berempat aja." "Berempat? Siapa aja, Tan?" "Sama Sania," "O-oooh .." kirain cuma bertiga aja! Lanjutnya dalam hati sambil membuang muka kearah lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD