Lima Belas

2012 Words
Malam ini di kediaman keluarga Arsan Arsyad terdengar ramai oleh suara rengekan dari anak bungsunya. Siapa lagi kalau bukan Citra. Anak itu sejak pulang dari sekolah, tiba-tiba saja merengek pada sang Mama, memintanya untuk membuat adik bayi. Ingat, adik! Alin yang baru saja pulang dari kantor dengan tubuh basah kuyup karena menerjang hujan di jalanan, mendengar suara rengekan Citra yang ingin memiliki adik bayi kontan saja naik pitam. Tidak! Ia tidak ingin memiliki adik lagi! Cukup Aiden dan Citra saja sudah cukup merusuhi hidupnya. Dengan tubuh yang masih dibalut pakaian kerja basah, Alin menghampiri sang adik yang saat ini tengah menangis di pelukan Arsan. "Ngapain sih minta adik segala. Udah bener kamu piara foto oppa-oppa, nggak usah minta adik. Lagian, kalo kamu punya adik, kamu mau nanti boneka-boneka BT21 kamu dimainin sama dia nantinya?" Ujar Alin, berusaha memberi pencerahan pada Citra agar tidak melulu merengek. "Biarin! Pokoknya aku pengin punya adik, titik! Yah .. cepetan Yah, bikin adik .." Citra justru merengek sejadi-jadinya sambil sesekali menampol muka Ayahnya yang jelas-jelas tidak salah apa-apa. Mengabaikan drama menye-menye yang dibuat oleh Citra, Alin bergegas meninggalkan ruang tengah dan masuk ke kamar. Lebih baik ia mandi membersihkan tubuh lalu menyantap makan malam! Daripada harus menonton rengekan Citra. Bahkan setelah Alin selesai mandi dan makan, Citra masih menangis dengan posisi yang sama sekali belum berubah. Menangis di pelukan sang Ayah. Sungguh, tangisan Alin benar-benar membuat gendang telinganya sakit dan pikiran tidak bisa berpikir jernih. Sepertinya ia harus turun tangan untuk menghentikan tangisan Citra. "Kamu maunya apa? Mbak belikan." Ujar Alin setelah tiba di ruang tengah. "Adik bayi!" "Jangan adik bayi, yang lain." "Tapi aku maunya adik bayi!!" "Mbak bilang, selain adik bayi. Kita beli sekarang apa mau kamu." "Mbaaak.. itu ngomongnya jangan terlalu ngotot gitu, Mama ngeri lihatnya." Timpal Nawang yang sedari tadi diam karena kesal setengah mati pada Citra. "Citra tuh kalo dibilangin nggak sambil ngotot nggak bakalan tunduk, Ma." Balas Alin. "Aku mau ke mall!" "Yaudah, sana ganti baju cepetan mumpung hujannya udah reda. Lebih dari lima menit, Mbak tinggal." "AYAAAH..." Rengek Citra. "Iya-iya nggak. Udah cepetan sana ganti baju." Tidak mau rencananya gagal, Citra akhirnya turun dari pangkuan Ayahnya dan berlalu secepat mungkin masuk ke kamar. "Lihat Citra minta adik bayi, Ayah jadi keinget dulu waktu kamu minta adik, Mbak." Ujar Arsan. Mata Alin melotot tajam. "Apaan! Nggak ada ya aku minta adik!" "Kamu lupa? Dulu kamu nangisnya bahkan melebihi Citra. Semua barang-barang di buang, ngamuknya kebangetan." Arsan masih berusaha mengingatkan Alin saat kecil. Alin tidak menyahut kembali ucapan Arsan. Ia malas jika diingatkan saat-saat semasa kecilnya yang teramat bar-bar itu. Setelah Citra sudah rapi mengganti piyama Doraemonnya, Alin mengajak Citra ke mall. Di mall Citra benar-benar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia minta dibelikan ini dan itu pada Alin, sampai-sampai Alin kuwalahan membawa beberapa belanjaan Citra. "Mbak aku mau beli sepatu." Pinta Citra menunjuk gerai sepatu yang ada di mall tersebut. "Mbaaak..." "Mbak Alin .." Berkali-kali Citra menggoyangkan tangan Alin, namun kakaknya itu tak kunjung menyahut, justru diam mematung dengan tatapan fokus pada gerai pakaian disebelah gerai sepatu. Tentu saja Alin begitu fokus memandangi toko tersebut. Bukan karena terpana pada satu setelan pakaian yang dipajang di toko itu, namun salah satu calon pembeli toko tersebutlah yang membuat Alin tak henti menatap. Disana, dengan sangat jelas menampilkan sosok pria bernama Rivaldo Hendriksen sedang menilik beberapa model pakaian bersama seorang wanita bule. Saat ini Alin tidak bisa berpikir jernih. Untuk mengalihkan pandangan sedikit saja rasanya sulit sekali. Ia seperti tidak percaya bahwa didepannya ini adalah seorang Rivaldo. Ya.. tidak ada salahnya jika Rivaldo jalan bersama wanita bule, tapi entah kenapa Alin tidak ingin mempercayai penglihatannya ini. Seperti yang Alin dengar dari cerita Hardi, Rivaldo tidak pernah bermain dengan wanita karena pria itu selalu dipermainkan oleh wanita. Tapi ... "MBAK ALIN!!" Entah yang keberapa kali Citra memanggil Kakaknya itu, namun akhirnya berhasil menyadarkan Alin. Sambil terus memantau interaksi Rivaldo bersama wanita bule, Alin menggandeng Citra untuk masuk ke toko sepatu. Didalam toko Alin dibuat uring-uringan. Ia ingin sekali melihat situasi toko sebelah, dimana Rivaldo dan wanita bule itu berada. Tapi sayang sekali, Citra tidak memperbolehkannya untuk keluar sebentar saja. Jangankan sebentar, mundur lima langkah dan Citra melihatnya, sudah dipastikan anak itu menjerit takut ditinggal. Aaah sial! Padahal ia harus menilik lebih jelas tentang keberadaan Rivaldo bersama wanita bule. Ia yakin, Rivaldo memiliki hubungan spesial dengan wanita itu, jika dilihat dari interaksi mereka saat berada di toko pakaian. Atau jangan-jangan .. mereka memang sudah menjalin hubungan? Tapi, bukankah ada rumor yang mengatakan bahwa Rivaldo itu pria jomblo yang sudah putus asa terhadap cintanya pada seorang wanita? Tapi .. Alin menggeleng keras saat pikirannya ingin membandingkan gosip yang Nisa bawa mengenai Rivaldo pernah tertangkap tengah dugem bersama para wanita. Tidak. Alin masih tidak percaya dengan gosip tersebut. Tunggu, Kenapa Alin jadi sibuk dan pusing sendiri memikirkan kehidupan asmara seorang Rivaldo? Itu bukan urusannya! Ah sial! Sekarang ia jadi lebih seperti Nisa, yang selalu kepo terhadap kehidupan asmara si Boss. *** "Lin .. ayo dong Lin .. mau ya?" Entah sudah kali keberapa Nisa membujuknya, namun Alin sama sekali tidak menggubris dan tetap fokus pada naskah yang saat ini ia tangani. Juga, tidak ada faedahnya jika ia menanggapi bujukan Nisa yang memintanya untuk menemani wanita itu ke kelab, hanya untuk memantau aktivitas Rivaldo. Ya, begitulah seorang Nur Anisah. Dia tanpa malu meminta Alin untuk menemani ke kelab dengan alasan yang tidak masuk akal. Jadi, Alin lebih baik diam saja tidak merespon. "Ayoo dong Lin, kamu juga sebenarnya penasaran kan sama Pak Rivaldo? Makanya ayo kita coba ke kelab, lihat  sendiri yang sebenarnya." Nisa masih terus membujuk. Alin menghentikan aktivitas membacanya dan menolehkan kepala pada Nisa. Penasaran? Ya, Alin memang penasaran. Sejak melihat Rivaldo jalan bersama wanita bule beberapa hari lalu, ia jadi penasaran dengan sosok Rivaldo, serta rumor-rumor tentang hubungan asmara Rivaldo yang selalu berujung tragis. Tapi jika ia harus menemani Nisa ke kelab hanya untuk melihat Rivaldo, sepertinya Alin harus memikirkan itu matang-matang. "Lin .. masa iya aku harus minta temenin sama Mas Fahmi?" "Kok Mas Fahmi?" "Terus siapa lagi? Temanku kan kamu sama Ma Fahmi .." "Friska? Kenapa nggak sama Friska aja? Tadi dia kan yang ngasih tau Mbak kalo nanti malam Pak Rivaldo mau ke kelab?" Suara Alin yang terdengar keras kontan membuat semua pasang mata di ruangan ini menatap keduanya tajam. "Kalian kenapa sih ributin masalah Pak Rivaldo melulu? Aku yang rumahnya dekat sama Orangtua Pak Rivaldo aja, diem-diem bae." Salah satu dari mereka membuka suara. "Itu kan kamu, bukan aku." Balas Nisa. "Yaa .. nggak segitunya juga kali, sampai nguntit dia ke kelab." "Suka-suka orang kepo dong! Lagian ya, nggak usah munafik deh, kamu juga pasti sebenarnya penasaran kan sama Pak Rivaldo?" "Mana ada aku penasaran sama Pak Rivaldo? Mending aku kecengin adiknya dia, Rivaldi .. yang gantengnya kinyis-kinyis." "Ya .. itu kan—," "Udah dong Mbak, nggak usah diperpanjang lagi. Selerah kan beda-beda." Sela Alin saat Nisa hendak menyahut kembali percekcokan antara keduanya. "Yaudah makanya ayo kita ke kelab!" "Iya-in aja kenapa sih Lin? Telingaku udah pengang dengar suara cempreng dia." Timpal Husni. "CK! Iya deh iya!! Tapi disana kita nggak harus minum alkohol kan?" "Nggaklah! Lagian siapa juga yang mau mabuk!" Malam harinya, Nisa menjemput Alin dan langsung berangkat menuju lokasi. Dan tanpa mempersiapkan diri lebih dulu, Nisa menggandengnya masuk ke tempat hiburan malam itu. Aroma rokok bercampur alkohol langsung memenuhi indera penciuman Alin. Ini bukan kali pertama ia masuk kelab, tapi yang jelas ia tidak sering ke tempat seperti ini. Selain udaranya yang tidak cocok, ia juga berpikir dua kali jika harus ke kelab. Takut-takut ayahnya tahu. Ia bisa di bantai. Kini keduanya duduk di satu sofa, setelah berhasil melewati kerumunan orang-orang yang tengah berjoged dibawah lampu disko. Nisa memanggil waiters untuk memesan minuman tanpa alkohol. "Soda, dua ya Mas." Ujarnya. "Mbak, ini kita cuma duduk-duduk aja kan?" Tanya Alin setelah waiters undur diri untuk membuatkan pesanan. Bola mata Nisa memutar jengah. "Yaelah Lin! Kita kesini kan mau jadi detektif! Ini baru permulaan, jadi kita duduk-duduk aja dulu. Tapi jangan lupa, matanya sambil mantau. Siapa tau Pak Rivaldo ada disekitar kita." "Ribet banget!" Sungut Alin. "Yaudah sih. Mana tau kita bisa lihat cowok yang lebih tampan dari Boss kita." "Terus mau diapain?" "Ajak hotel!" "Gila lu Ndro!" Setengah jam keduanya duduk di sofa dengan mata pecicilan mencari-cari sosok Rivaldo ditempat yang minim pencahayaan ini. Dan sungguh, Alin ingin segera keluar dari tempat ini lalu pulang untuk merebahkan tubuh lelahnya ini! "Kayaknya Mbak dibohongi Friska deh." Ujar Alin yang sudah putus asa mencari keberadaan Rivaldo. "Maksud kamu?" "Sekarang lihat, nggak ada Pak Rivaldo kan?" "Tapi Friska bilang dia dengar sendiri kalo Pak Rivaldo mau kesini, malam ini!" Dahi Alin mengernyit heran, "Kok Friska bisa tau?" Tidak mungkin jika Rivaldo dengan gamblang mengatakan pada Friska jika pria itu akan pergi ke kelab ini. "Pagi tadi dia ke percetakan buku, terus disana ada Pak Rivaldo. Karena lihat doi lagi telponan, jadi dia nguping! Terus Pak Rivaldo ada bilang katanya mau ke—," penjelasan Nisa terpotong oleh deringan ponsel wanita itu. "Sebentar ya, Mama aku telpon duh! Jangan kemana-mana ya, Lin? Aku mau angkat telpon Mamaku dulu." "Iya udah sana." Kini Alin duduk seorang diri. Ia memandangi gelas kaca berisi soda, lantas pandangannya beralih menjelajahi area kelab malam ini. Semuanya terlihat bahagia. Beberapa ada yang tengah bermesraan. Ada juga yang berusaha menahan mabuk. Juga ada satu pria duduk di satu sofa bersama dua orang wanita di kanan dan kirinya, sedang teman laki-lakinya duduk di sofa lain dan hanya memandang kemesraan satu pria dengan dua wanita itu. Sungguh sulit untuk menjelaskan situasinya, karena Alin kini sudah sibuk menatap lekat pada pria tersebut. Karena dia adalah Rivaldo. Ya, Rivaldo Hendriksen yang katanya sudah putus asa pada makhluk Tuhan yang berjenis kelamin perempuan itu kini tengah bermain dengan dua wanita sekaligus dalam satu malam. Lihatlah, bahkan tanpa malu Rivaldo mengecup satu persatu pipi dua wanita itu, sedang teman-temannya langsung bersorak saat setelah Rivaldo melakukan kecupan. Posisi Alin yang memang hanya berjarak dua meter membuatnya jadi lebih jelas apa saja yang Rivaldo lakukan saat ini. Alin berusaha menelan ludahnya susah payah. Siapa sebenarnya Rivaldo ini? Apa dia sejenis p****************g? Atau pria yang memiliki kepribadian ganda? Saat mengunjungi kantor, pria itu terlihat berwibawa walau hanya mengenakan celana pendek selutut dan kaos oblong jika mengunjungi kantor. Tapi sekarang, tidak ada tampang wibawa yang saat ini ia lihat. Hanya ada mata merah yang menyala penuh hasrat. Sekarang Alin percaya. Ia percaya pada kenyataan yang mengatakan kalau Rivaldo bukan pria baik-baik, seperti yang selalu Hardi bilang. Terlalu fokus memandangi Rivaldo sambil membatin terus-menerus dalam hati, Alin sampai tak sadar bahwa orang yang ia pandang, saat ini juga tengah memandangnya. Rivaldo sudah melihat keberadaan Alin. Saat Rivaldo sengaja memagut bibir satu wanita di sebelah kanan sambil memandangi Alin, Alin langsung tersadar. Tanpa pikir panjang ia segera memutus pandangannya. Sial! Sial! Sial! Rivaldo melihatnya! Itu artinya Alin harus keluar dari sini. Ia memanggil satu waiters untuk meminta bill.  Setelah selesai membayar minuman, Alin beranjak meninggalkan tempat ini dan menghampiri Nisa di toilet. Namun sebelum benar-benar pergi, Alin menyempatkan diri untuk menilik sedikit pada Rivaldo. Rupanya pria itu masih memandangnya. Namun kali ini dengan ulasan senyum. Entah apa makna senyum tersebut, yang jelas terlihat menakutkan bagi Alin. "Lhoh, Lin? Kok kamu kesini?" Tanya Nisa ketika mendapati Alin berdiri di pintu toilet wanita seorang diri dengan raut wajah piyas dan cemas. "Kamu kenapa?" "Kita pulang yuk, Mbak?" Pintanya sambil meremas tangan Nisa. "Kok pulang? Terus itunya .." "Aku takut Mbak, tadi aku di godain sama cowok-cowok!" Lebih baik berbohong. "Hah? Serius? Ya ampun .. maaf ya Lin, sumpah tadi Mama aku lama banget ceramahnya. Terus minumannya?" "Udah aku bayar." "Yaudah, kita pulang aja." Putus Nisa dan menggandeng tangan Alin yang gemetar. "Jangan lewat depan, Mbak. Lewat belakang aja, tadi ada yang berantem soalnya didepan." Elak Alin. Karena ia tidak sanggup melihat Nisa kejang-kejang menonton Rivaldo beradegan mesra bersama dua wanita sekaligus berada di kedua sisinya. "Yaudah. Oiya, aku nginep di rumah kamu ya Lin?" "Iya," "Jam empat aku langsung cuss pulang." "Nggak usah, pake baju aku aja terus sekalian berangkat." "Oke deh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD