Empat Belas

2188 Words
Memoles sedikit cairan merah bernama liptint itu diarea bibir atas dan bawahnya. Meratakan sejenak warna merah itu agar bibirnya tidak terlihat pucat dan penampilannya sedikit lebih baik. Ini pukul satu siang dan Alin berdandan di dalam ruang kerjanya. Itu karena ia akan keluar sebentar untuk menemui penulis bernama Seesaw yang naskahnya ia tangani. Alin tidak tau seperti apa rupa Seesaw ini. Jenis kelamin pun para pembaca setia karya Seesaw belum mengetahui. Jadi, ia sedikit bersyukur karena Rivaldo mempercayainya menangani satu naskah milik Seesaw, penulis yang ia kagumi karya-karyanya. Apalagi hari ini ia akan bertemu orangnya langsung, untuk membahas naskah baru penulis itu. Alin jadi tidak sabar. Ia bahkan tidak menyantap bekal makan siangnya, karena terlalu bersemangat untuk bertemu Seesaw. Alin juga hari ini sengaja membawa buku karya Seesaw yang berjudul Everlasting Love, untuk dimintai tanda tangan penulis satu itu. Setelah dirasa penampilannya sudah cukup memukau, Alin beranjak dari kursi kerjanya dan berpamitan pada Nisa serta Husni. Ya, ini kali pertama dirinya bertemu Seesaw jadi ia harus berpenampilan rapi dan memukau. Siapapun dan apapun jenis kelamin Seesaw, ia tidak peduli. Karena Alin berdandan seperti ini hanya agar tidak mempermalukan diri sendiri saja. Bukan untuk mencoba mencari perhatian pada orang yang akan ia temui siang ini. Cafe Lucky adalah tempat dimana ia akan bertemu dengan Seesaw. Sambil mencoba mengirim pesan singkat pada Seesaw untuk memberitahu bahwa dirinya sudah tiba di Cafe, Alin melangkahkan kakinya memasuki Cafe tersebut. Tepat setelah masuk, pesannya dibalas oleh Seesaw. Penulis ini rupanya juga sudah tiba di Cafe dan duduk di .. Alin berusaha memperhatikan meja Cafe satu persatu, mencari meja yang dibelakang dinding terdapat tulisan I Love You. Gotcha! Ketemu. Tapi tunggu. Dari kejauhan, Alin bisa melihat jelas bahwa Seesaw adalah seorang pria. Namun bukan itu yang membuatnya terkejut. Alangkah terkejutnya saat menyadari wajah Seesaw sama seperti aktor Jepang! Dengan mata menatap intens sosok Seesaw yang saat ini tengah sibuk dengan ponsel, Alin diam-diam menghampiri meja pria itu. "Anata wa Yamazaki Ken hitodesu ka? (Apakah anda Kento Yamazaki?)" Tanya Alin setelah berhasil berdiri didepan Seesaw yang masih belum menyadari kehadirannya. Mendengar suara Alin, Seesaw menghentikan aktivitasnya untuk melihat sejenak siapa yang berkata menggunakan bahasa Jepang didepannya ini. Dahi Seesaw berkerut melihat keberadaan Alin. Dan, apa tadi Alin bilang? Kento Yamazaki? "Īe, watashi wa Yamazaki no kendōde wa arimasen. (Bukan, saya bukan Kento Yamazaki)." Balas Seesaw ikut-ikutan menggunakan bahasa Jepang. Giliran Alin yang buat bingung oleh pria didepannya ini. Dia bilang buka Kento Yamazaki, tapi kenapa bisa bahasa Jepang?! Sambil mengambil posisi duduk didepan pria ini, Alin kembali melontarkan pertanyaan namun menggunakan bahasa Inggris. "You said you are not Yamazaki Kento, but why do you speak Japanese?" Tersenyum maklum pada Alin, pria dengan tatanan rambut berponi kanan ini lantas mengklarifikasi, "Because I was born in Japan, but grew up in Indonesia." Alin mengangguk paham. Karena ini pertemuan pertama mereka, ia menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. "Saya Alin, editor Kembang Publisher yang akan menangani karya terbaru kamu." "Saya Seesaw," Bola mata Alin memutar jengah usai menyudahi salamannya dengan Seesaw. "Yaelah, udah ketemu gini masih aja pake nama pena. Nama asli dong .." "Kenzo Yokato." "Hah? Apa? Kurang jelas, coba ulangi sekali lagi." "Kenzo," "Belakangnya?" "Yokato." "Ooh.. Kenzo Yakota .." "Yokato." "Yo .. Ka, to?" Kepala Seesaw alias Kenzo ini mengangguk. Jujur, ini kali pertamanya ia mendapat editor yang suka bercanda. "Jadi, saya manggilnya Kenzo aja atau Seesaw nih?" Tanya Alin. "Kenzo," "Takut ketawan yaaa .." ledeknya pada kliennya ini. "Nggak juga." Lantas Alin mulai mengalihkan pembicaraan mengenai naskah milik Kenzo. Ia sudah membaca sebagian isi cerita, dan isinya lumayan bagus. Dari mulai alur cerita, awalan, titik permasalahan sampai penyelesaian tidak ada cacat. Karya Kenzo tidak perlu diragukan lagi. Semua karyanya masuk ke best seller dalam hitungan hari setelah publikasi novel. Juga, karya Kenzo sudah memiliki rak sendiri di setiap Gramedia. Mungkin saking banyaknya karya-karya pria ini, jadi pihak Gramedia memberikan rak tersendiri khusus untuk karya penulis Seesaw. "Oke, untuk pembahasan naskah sampai disini saja. Kalo sampul bukunya nanti nyusul ya." Ucap Alin diakhir pembahasan naskah sembari menutup laptopnya yang ia bawa. "Ohiya, saya boleh minta tanda tangan kamu nggak? Saya suka banget sama buku kamu yang Everlasting Love, hehehe," sembari memasukkan laptop kedalam tas dan mengeluarkan novel yang membuatnya demam, kejang-kejang setelah membaca. Alin menyerahkan buku tersebut pada si penulis, "Boleh ya?" Pintanya. Dengan senang hati Kenzo menyabut buku ditangan Alin dan membubuhkan tandatangannya di halaman pertama buku tersebut, tak lupa menyertakan nama penanya dibawah tandatangan lantas menyerahkan kembali pada Alin. "Nggak usah diposting insta story," pesan Kenzo. Sebenarnya bukan pesan, tapi lebih ke menyindir. Karena, jaman sekarang apa-apa serba posting. Mau pergi saja rasanya tidak afdol jika tidak membuat postingan. Alin menyerobot begitu saja bukunya. "Yee.. sorry ya, saya bukan anak alay." "Tapi kelihatannya iya," "Dari mananya sih? Saya tuh nggak alay, cuma kece aja." "Narsis juga iya," "Dih, Kento Yamazaki KW kok ngeselin sih? Udahlah, saya mau balik ke kantor. Makasih ya buat tandatangannya. Next time saya bawain permen deh, sebagai bentuk terimakasih karena sudah ngasih tanda tangan." Bahkan didepan penulis yang karyanya terkenal dimana-mana, Alin sempat-sempatnya ngereceh. Tapi herannya Kenzo justru terhibur dengan ucapan Alin. Pria itu lantas menyahut, "Kamu lucu ya." Membuat ekspresi Alin berubah menjadi datar dan memandang Kenzo. Barusan pria itu bilang apa? Lucu? Sepertinya mata Kenzo sedikit rabun. Tak mau berbesar hati, Alin mengabaikan ucapan Kenzo yang mengatakan bahwa ia lucu. Setelah semua barang yang dibawanya sudah masuk ke dalam tas, Alin pamit pulang. *** "Gimana kemarin, meeting sama Seesaw?" Alin dibuat terkejut oleh suara Hardi yang tiba-tiba muncul. Pria berpotongan cepak itu ternyata sudah berdiri di belakang Sinta, rekan kerja Alin yang duduk tepat berhadapan dengan Alin. Alhasil Alin menghentikan aktivitas menatap layar monitor dan beralih fokus menatap atasan di divisinya ini. "Eumm.. lancar Mas." "Naskahnya gimana? Udah selesai kamu edit?" Salah satu hobi Hardi adalah menanyakan progres naskah secara tiba-tiba. Seperti sekarang ini. "Sudah, tapi ini lagi coba direvisi kembali. Finishing-lah istilahnya." "Selesai makan siang langsung kirim ke email saya ya, Lin." Pinta Hardi. Dan mau tak mau Alin harus menyanggupi permintaan atasannya ini. "I-iya Mas, siaaap!" Baru beberapa kali Hardi melangkahkan kakinya, Nisa mengeluarkan suara cemprengnya. "Mas Hardi, emang bener ya kalo Pak Rivaldo kemarin dugem di kelab?" Dan memberikan pertanyaan yang jelas-jelas tidak bermutu. Hardi berbalik badan untuk melihat siapa yang bertanya. "Kata siapa?" "Friska," sahut Nisa, menyebutkan nama teman rumpi barunya yang bekerja di bagian editor naskah genre fiksi. "Jadi kamu sekarang ngerumpinya sama anak Fiksi?" Tanpa malu Nisa mengeluarkan cengiran khasnya. "Hehehe, habisnya anak Romance nggak ada yang asik buat jadi teman gosip. Apalagi cewek disebelahku ini, mana mau dia ngegosip!" Curhatnya diakhiri dengan lirikan sinis tertuju pada Alin. Alin yang merasakan tatapan sinis dari teman sebelahnya berusaha acuh. Alin sebenarnya suka bergosip, tapi jika gosipannya selalu tentang Rivaldo, Alin sedikit bosan. Masalahnya, Nisa selalu membahas perihal Rivaldo disaat jam kerja tengah berlangsung. Sebenarnya tidak ada larangan, tapi masalahnya Alin takut kalau-kalau Rivaldo tiba-tiba muncul disaat Nisa tengah menggosipkan pria itu. "Kamu keberatan kalo Pak Rivaldo dugem?" "Enggak juga sih .. tapi masalahnya, dia dugem sama cewek! Mana kata Friska ceweknya cakep bener!!" "Yaaa normal dong kalo dia dugem sama cewek." "Iya normal. Aku kira Pak Rivaldo udah nggak doyan cewek setelah dipatahin berkali-kali sama makhluk Tuhan bernama perempuan." "Pikiran kamu itu kebanyakan baca naskah tentang pria-pria homo yang tiba-tiba jatuh cinta sama cewek biasa. Saya saranin ya Nis, kamu tuh kalo baca naskah owner jangan terlalu perasa. Lagipula Nis, saya nggak percaya sama gosip yang baru saja kamu bilang. Kamu tau kan Pak Rivaldo orangnya seperti apa? Saya rasa dia nggak suka masuk ke tempat-tempat semacam kelab atau sejenisnya." Ucap Hardi sambil menggelengkan kepala lantas berlalu masuk ke ruangannya. Wajah Nisa bersungut seperti tidak terima dengan saran Hardi. "Makan tuh baper!" Ledek Husni. "Mungkin si Friska-Friska itu salah lihat kali, Mbak .. Mas Hardi aja yang udah kenal lama banget sama Pak Rivaldo nggak percaya kalo Pak Rivaldo masuk kelab, dugem sama cecans pula."  Ucap Alin, berusaha memberi pencerahan pada Nisa agar temannya ini tidak terjerumus menyebarkan berita bohong. "Tau ah, pusing! Nanti deh aku coba tanya lagi ke Friska." "Sepenasaran itu ya Mbak?" "Heumm .. siapa tau beneran Pak Boss." "Terus, kalo beneran itu Pak Rivaldo, mau Mbak apain?" "Yaa .. nggak apa-apainlah! Cuma penasaran aja, itu beneran Pak Boss atau bukan." Ya ampun!!! Alin hanya bisa menggelengkan kepala melihat keukuhan teman satu divisinya ini. Tiba waktunya pulang, saat yang sangat Alin tunggu-tunggu. Namun sepertinya hari ini adalah hari sialnya. Ban belakang motornya bocor di tengah jalan! Dan yang Alin tau, di sekitaran area ini tidak ada tempat tambal ban. Karena ingin segera pulang dan rebahan di kamar, Alin terpaksa menuntun motornya sambil mencari-cari tempat tambal ban. Langit sore sudah mulai menghitam, peluh membasahi sekitaran pelipis Alin. Tapi ia terus menuntun motor maticnya ini. Sampai saat kakinya sudah benar-benar tidak kuat lagi melangkah dan berniat untuk meninggalkan motor ditengah jalan begitu saja, tiba-tiba sebuah mobil mengklakson dari belakang. Kontan saja membuat Alin berjingkat kaget dan menghentikan jalannya. Saat menoleh kebelakang untuk melihat siapa yang mengejutkannya. Alin seperti tidak asing dengan nomor plat mobil tersebut. Ia tahu sekali pemilik kendaraan ini. Disaat otaknya tengah mencari-cari nama pemilik plat mobil, mobil tersebut berhenti tepat di sebelahnya dan membuka kaca pintu. Alangkah terkejutnya saat sesosok pria terlihat duduk di kursi kemudi dan kini menatapnya tajam. Alin balas tersenyum sumringah untuk tatapan tajam dari Ilham. Ya, pria yang saat ini duduk di kursi mobil adalah Ilham. "Mas Ilham .." panggilnya tidak sadar. "Alin," Namun bukan suara Ilham yang menyahut panggilannya, melainkan seseorang yang saat ini sudah berdiri di belakangnya entah sejak kapan. Alin benar-benar tidak mengerti dengan situasi saat ini. Disaat yang bersamaan, Sania muncul secara tiba-tiba dibelakangnya. Atau jangan-jangan ... Sial! Alin hampir lupa dengan kenyataan bahwa Ilham selalu berangkat dan pulang bersama  Sania. Tidak mau terlihat menyedihkan didepan Sania, Alin tersenyum ramah menyapa wanita berjas snelli itu. "Motor kamu kenapa?" Tanya Sania. "Bannya bocor, Mbak." "Ya ampun!! Kenapa nggak telepon orang bengkel?" "Nggak punya nomornya." "Yaudah, mending motor kamu di titipkan ke rumah Saudara Mbak aja, rumahnya dekat dari sini kok. Terus nanti biar teman Mbak yang benerin ban motornya, dia anak bengkel. Ayo, Mbak temani." Ujar Sania sambil tangannya berusaha melepas jas snelli. "Heummm.. gimana ya .. aku jadi nggak enak sama saudara Mbak Nia." "Udah nggak apa-apa." Sebelum akhirnya bersiap menemani Alin menuntun motor, Sania menghampiri Ilham dan menyerahkan jas putihnya pada Ilham. "Aku mau nemenin Alin jalan. Dekat kok dari sini, kamu ikuti aku dari belakang ya?" Dibalas anggukan kepala oleh Ilham. Selesai menitipkan motor, Alin lagi-lagi diberi cobaan. Kini ia harus duduk di jok belakang mobil Ilham, yang otomatis membuat kedua bola matanya mau tidak mau harus melihat interaksi antara Ilham dan Sania. Sekali lagi, Alin tidak ingin terlihat jones dihadapan Sania, alhasil ia berusaha menyibukkan diri dengan bermain ponsel. Entah itu membuka akun i********: yang semata-mata hanya agar terlihat sibuk. Tak lama mobil Ilham sudah berhenti di depan rumah Sania. Saat mengangkat kepala, Alin dibuat baper oleh pemandangan Sania yang saat ini tengah menatap Ilham. "Kamu kenapa sih, kok dari tadi cemberut mulu? Masih marah ya?" Tanya Sania. Tidak ada jawaban dari Ilham. Sania justru menjawil dagu Ilham dan menggoda pria yang berstatus sebagai kekasihnya itu. "Udah dong jangan ngambek terus .. nggak malu tuh ada Alin." Melihat lirikan mata Sania, Alin tersenyum segan. "Aku pulang dulu, ya?" Pamit Sania. "Hmmm," balas Ilham tanpa menoleh sedikitpun pada kekasihnya. "Masih ngambek! Dah lah males nggak mau turun!!" "Iya ... Sayang," APA!? SEORANG ILHAM MEMANGGIL KEKASIHNYA DENGAN SEBUTAN SAYANG??? Alin berusaha menetralkan debar jantungnya yang berdegup kencang karena saking emosinya mendengar Ilham mengucap sayang pada kekasihnya. Kepala Sania menoleh, "Oke, aku turun." Putusnya lantas menoleh kebelakang untuk berpamitan dengan Alin. "Pulang dulu ya Lin. Motor kamu besok siang dipastikan udah bisa dipake lagi, nanti Mbak kasih alamat bengkelnya. Ohiya, kalo kamu nggak keberatan, besok kamu berangkatnya sama Ilham aja biar gampang, ya?" "I-iya Mbak. Makasih Mbak Nia." Balas Alin. "Iya sama-sama." Mobil kembali melaju setelah Sania turun. Alin segera beraksi dengan mencondongkan tubuhnya kedepan agar lebih dekat dengan Ilham. "Mas Ilham," "Hmm.." "Besok aku boleh nebeng kan?" "Boleh." "Beneran?" "Iya," Keesokan harinya, Ilham benar-benar memperbolehkan Alin nebeng. Kini Alin sudah duduk di jok sebelah kemudi, karena hari ini ternyata Sania mendapatkan shift malam. Tidak mau menyia-nyiakan momen terindah ini, Alin memberitahu pada Nisa bahwa pagi ini ia berangkat bersama Ilham. Nisa harus tahu, karena ini momen terlangka! Tak lama mobil Ilham sudah berhenti di depan kantor tempat Alin bekerja. Sebelum akhirnya turun, Alin memperingatkan satu hal pada Ilham. "Mas Ilham jangan jalan dulu. Tunggu aku turun, oke?" Ilham pasrah saja, mengangguk. Setelah turun, Alin berdiri di depan pintu mobil Ilham dan mengetuk beberapa kali kaca mobil tersebut. Membuat siempunya mobil membuka kaca pintu dan mengerutkan kening melihat keanehan anak tetangganya ini. "Makasih ya Mas Ilham udah mau nganterin aku berangkat ke kantor, hehehe." Ucap Alin. "Iya, sama-sama." Balas Ilham sekenanya walau masih terheran-heran. Setelah itu ia bergegas menutup kembali kaca pintu mobil dan melanjutkan perjalanan menuju kantor. Usai melihat kepergian Ilham, Alin buru-buru menelepon Nisa. "Gimana? Percayakan kalo aku berangkat sama Mas Ilham?" Ujarnya pada seseorang diseberang sana. Tentu saja Nisa!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD