Mungkin jika Alin menceritakan kisah cinta antara dirinya dengan Ilham pada semua teman, mereka pasti akan mengatakan bahwa ia adalah wanita bodoh yang mau-maunya mengejar seorang pria, padahal sudah beberapa kali mendapat tolakan. Bukan sekedar tolakan, Ilham juga sering bahkan selalu mengabaikannya di hal-hal tertentu.
Alin menerima dan membenarkan perkataan temannya yang mengatakan bahwa ia wanita bodoh karena mengejar pria yang sayangnya juga bodoh. Tapi, bukankah ini yang namanya cinta?
Cinta itu selalu membuat seseorang sedih, bodoh, gila dan kemungkinan kecil membuat orang bahagia. Ada beberapa orang yang bahagia karena cinta. Dan orang itu bukan Alin, tentunya.
Kalau boleh, Alin sesungguhnya tidak ingin memiliki rasa cinta untuk Ilham. Tapi Tuhan begitu baik padanya, sehingga memberinya energi untuk terus mencintai dan mengejar Ilham yang sulit didapat itu.
Kesabaran dan ketabahan hati adalah kunci Alin dalam mencintai Ilham sejak kecil hingga detik ini. Ia tidak peduli walaupun Ilham saat ini sudah memiliki tambatan hati, sekalipun wanita itu seorang yang berprofesi dokter. Alin tidak takut bersaing dengan Sania.
Alin tau, sangat tau kalau Ilham memang benar-benar mencintai Sania. Bisa dilihat saat dua Minggu lalu, mereka liburan ke Bogor. Saat itu misi menguntitnya berhasil sampai Ilham membawa Bunda dan kekasihnya pulang kembali ke Jakarta.
Dari sana Alin juga bisa lihat, kalau Sania mulai terbawa arus cintanya Ilham dan membalas cintanya Ilham. Keduanya sangat romantis, ditambah lagi Tante Irma yang sangat perhatian sekali pada Sania. Mereka benar-benar sudah pantas untuk menjadi keluarga.
Satu yang ingin Alin klarifikasi kan, ia tidak iri. Tidak iri dengan posisi Sania, tidak iri dengan perhatian Tante Irma pada Sania. Ia tidak iri! Hanya saja, rasanya benci sekali melihat keharmonisan itu. Membuatnya semakin menjadi dan semangat untuk tetap berusaha membawa Ilham kedalam pelukannya. Seharusnya seorang pria yang mengatakan kalimat itu, tapi ini Alin! Alin bisa saja mengatakan apapun semaunya dan tidak boleh ada yang melarang.
"Lin,"
Panggilan Nisa membuat Alin tersadar dari bayangan keromantisan Ilham dan Sania saat di Little Venice beberapa Minggu lalu. "Kenapa Mbak?"
"Kapaaaan kita ke restoran Ayah kamu? Katanya kamu mau ngenalin Cheff ganteng..."
Setiap hari Nisa selalu menanyakan hal itu. Bukan sekali dua kali dalam sehari, tapi bisa puluhan kali. Sampai-sampai ia bosan mendengarnya dan ingin sekali segera membawa Nisa ke restoran, membungkam mulut teman sekantornya ini dengan memperlihatkan wajah Fahmi. Padahal Alin tidak pernah mengatakan Fahmi ganteng pada Nisa, tapi wanita itu bisa-bisanya bilang bahwa Fahmi itu ganteng. Tapi yaa.. lumayan sih.
"Hmm.. sore ini deh, tapi nggak janji ya."
"Nggak! Pokoknya harus janji! Janji!"
"Iya deh iya, udah jangan berisik mulu. Udah tua masih aja mulutnya berisik."
"Alin," suara lain menyapa Alin dari arah belakangnya.
Saat menoleh kebelakang, ia melihat sekertaris Hardi berdiri disebelah kursi kerja. "Ada apa Mbak?" Tanya Alin.
"Kamu dipanggil Mas Hardi. Langsung ke ruangan ya Lin."
"O-oh, iya Mbak aku kesana sekarang." Putusnya langsung beranjak dari tempat duduk dan berlalu ke ruangan Hardi bersama sekertaris itu.
Entah apa yang akan atasannya itu sampaikan, sampai-sampai ia harus ke ruangannya. Semoga saja tidak ada masalah yang serius, karena ini kali pertama ia disuruh masuk ke ruangan Hardi.
Kini Alin duduk di kursi depan meja kerja Hardi. Atasannya itu menatapnya dengan sumringah yang justru membuat Alin semakin ketar-ketir. "Ada apa Mas?"
"Sebenarnya nggak ada apa-apa sih," balas Hardi santai bahkan teramat santai sampai-sampai Alin yang mendengarnya jadi emosi karena merasa dikerjai.
Wajahnya yang mulai bersungut-sungut lantas menekan Hardi untuk menjelaskan, "Lhah terus?"
"Cuma mau ngasih tau, habis ini kamu ke ruangan Pak Rivaldo ya."
Alin mengganti ekspresi wajah menjadi bingung. "Memangnya Pak Rivaldo ada disini ya Mas? Bukannya kata Mbak Nisa, Pak Rivaldo kesininya sebulan dua kali ya?"
"Iyaa.. tapi ini kebetulan Pak Rivaldo habis ngecek keadaan percetakan buku. Terus tadi dia nyuruh saya buat undang kamu ke ruangannya. Kayaknya dia mau ngasih projek baru deh Lin ke kamu. Soalnya biasanya gitu, dia suka ngasih projek tiba-tiba ke editor baru." Jelas Hardi.
"Kenapa nggak Mas Hardi aja yang ngasih proyeknya ke saya?"
"Saya memang yang bertugas ngasih kalian projek, tapi untuk projek-projek awal, Pak Rivaldo bakalan turun tangan sekali dua kali untuk ngasih projek."
"Ribet banget. Yaudah, aku ke ruangan Pak Rivaldo sekarang aja deh biar cepat kelar."
"Oke. Yang sopan ya sama dia." Tanpa berbalik badan Alin mengacungkan jempol tangan kanannya keatas untuk menjawab pesan Hardi.
Bak berjalan di pemakaman, bulu kuduk Alin meremang disela-sela perjalanan menuju ruangan Rivaldo. Bukan apa-apa, ini kali pertama ia akan masuk ke ruangan orang pertama dan utama di perusahaan ini dan ia sangat gugup! Tidak biasanya Alin seperti ini.
Dulu, saat melaksanakan sidang, ia tidak segugup ini. Bahkan Alin sangat percaya diri saat mempresentasikan hasil skripsinya. Tapi entahlah, mungkin karena efek umur yang semakin tua jadi tingkat kepercayaan dirinya jadi semakin menciut.
Usai mendapat izin dari sekertaris Rivaldo bahwa ia boleh dipersilakan masuk, kini Alin mendorong pintu kayu berwarna coklat kemerahan. Sudah seperti pintu di keraton-keraton saja!
Pintu terbuka sempurna, kakinya mulai melangkah masuk dan pemandangan pertama yang menyambutnya adalah ruangan penuh rak buku serta meja kerja Rivaldo yang terletak ditengah-tengah ruangan. Di ruangan ini ada juga sofa, mungkin itu untuk menyambut tamu-tamu spesial Rivaldo. Dan ada satu pemandangan lagi yang membuat Alin masih setia berdiri di tempat. Adalah keberadaan Rivaldo yang tengah duduk di kursi kebesaran pria itu.
Tentu saja saat ini Rivaldo tengah memandang Alin. Bukan pandangan selamat datang apalagi pandangan cinta, melainkan pria itu bingung bin aneh melihat Alin diam saja disana tanpa berniat melangkah lebih dekat dan duduk di kursi depannya.
"Alin Kartika Putri?"
Deg!
Dua bola mata Alin mengerjap tidak percaya. Baru saja Rivaldo memanggil nama lengkapnya dengan jelas dan lantang. Tersadar, atas lamunannya yang sudah terlalu lama, Alin gegas melangkahkan kakinya menghampiri meja kerja Rivaldo dan duduk di kursi depan meja pria itu.
"Maaf Pak, tadi saya sempat terkesima dengan pemandangan ruangan Bapak, jadi ngeblank gitu hehehe."
"Tapi tadi saya liat sepertinya mata kamu tertuju ke saya, bukan ke suasana ruangan ini."
"Hehehe, maksudnya sekalian terkesima sama ketampanan Bapak. Habisnya, Bapak ganteng banget sih .. jadi saya terdiam ditempat deh."
Giliran Rivaldo yang dibuat terdiam sekarang. Rivaldo tidak percaya bahwa yang barusan ngomong adalah seorang manusia. Memangnya di jamin seperti ini masih ada manusia yang mau berbicara jujur? Rivaldo tidak yakin. Tapi sekali lagi ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang barusan bicara adalah Alin, salah satu karyawannya.
Sedang Alin kini merasa kepercayaan dirinya kembali membara. Ia pikir, saat didepan Rivaldo nyalinya akan menciut dan tidak bisa bicara apa-apa. Tapi rupanya ketakutan itu salah, karena nyatanya berada didekat Rivaldo sama sekali tidak membuatnya gugup. Apalagi melihat ketampanan Rivaldo sedekat ini, justru membuatnya percaya diri.
"Oke Alin, langsung saja ke pembahasan kenapa kamu saya suruh kesini. Saya akan memberi kamu projek baru. Naskah ini milik penulis terkenal, kamu kenal Seesaw?"
"Hah? Seesaw? Jungkat-jungkit maksudnya?"
"Bukan .. Seesaw penulis buku."
"Oooh Seesaw! Iya Pak, saya kenal. Sering juga baca karya-karyanya dia. Apalagi yang judulnya Everlasting Love, saya suka banget sama novel itu. Cintanya Maskulin itu tulus banget ke Kiandra... Duh jadi kangen sama novelnya, pulang kerja kayaknya harus baca ulang lagi deh, eh tapi—," Alin menghentikan aksi bicaranya kala melihat ekspresi wajah Rivaldo yang berubah. Pria itu diam, tapi matanya menatap lekat bola mata Alin. "Eh, ma-maaf Pak, silakan lanjut ke pembahasan projeknya, hehehe." Ujarnya merasa malu sendiri.
Berdehem sejenak, Rivaldo membenahi lengan kaos polosnya. Sungguh, Rivaldo tidak habis pikir pada karyawannya yang satu ini. Didepannya, tanpa malu dan segan Alin justru bercerita seenaknya sendiri. Apa gadis didepannya ini lupa bahwa Rivaldo-lah pemilik perusahaan ini!
Oke, baiklah. Mari kita lupakan aksi absurd Alin barusan. Mungkin Alin terlalu antusias dengan pembicaraan ini.
"Syukurlah kalo kamu kenal. Jadi, seperti yang sudah saya jadwalkan. Kamu akan menggarap satu naskah milik penulis Seesaw itu. Bagaimana, kamu sanggup?"
"Sanggup Pak, sanggup banget!" Tegasnya. Ingat pesan sang Ayah, jika didepan atasan, karyawan tidak boleh mengeluarkan kelemahannya atau terlihat lemah. Jadi sekarang, Alin bilang saja ia sanggup. Walau dalam hati ketar-ketir.
"Oke bagus. Siapa nama email kamu?" Dengan lantang Alin menyebut nama email-nya yang biasa ia gunakan untuk kepentingan kerja.
Kepala Rivaldo terangkat setelah selesai mengirim naskahnya ke email Alin. "Sudah saya kirim. Sekarang kamu bisa mulai mengerjakan."
Tersenyum sumringah dengan mata menatap Rivaldo, itulah yang saat ini Alin lakukan. Tidak ada rasa gentar apalagi segan. Sepertinya Alin sudah mulai terbiasa dengan wajah tampan Rivaldo. "Baik Pak, terimakasih. Kalo gitu saja permisi..." Pamitnya mulai mengangkat b****g dan berbalik badan.
Namun tak sampai lima detik, tubuh Alin kembali mengarah ke Rivaldo. "Ohiya Pak, untuk projek yang suruh nyari karya di Wetped apa masih harus berjalan? Maksudnya, saya masih harus mencari karya disana juga gitu?"
"Untuk yang itu tinggalkan saja. Toh kamu sudah dapat beberapa kan?" Balas pria keturunan Australia tersebut.
"Iya Pak, saya sudah dapat tiga."
"Tinggalkan saja projek yang itu. Fokus ke naskah Seesaw. Kamu bisa mengatur jadwal meeting bersama penulis kapan saja, diluar atau dalam jam kerja. Tapi ingat, jangan melampaui setengah hari jam kerja. Itu akan dikenakan sanksi."
"Oke, Pak!" Balas Alin. Bukannya langsung keluar dari ruangan Rivaldo, kini Alin justru memutar kepala untuk melihat rak-rak buku disekeliling ruangan Rivaldo. "Pak, saya boleh pinjam salah satu buku disini nggak?" Tanyanya tanpa rasa malu sedikitpun.
Astaga!
Rivaldo bahkan kaget mendengar pertanyaan Alin. Pertanyaan macam apa itu!
"Tidak. Ruangan saya bukan perpustakaan,"
"Sayang loh Pak, kalo bukunya cuma dibaca sekali atau dua kali saja. Mending di pinjam-pinjamkan ke orang lain, jadi bermanfaat." Alin masih berusaha membujuk.
"Tapi saya tidak berniat untuk meminjamkan ke kamu. Gimana dong?"
"Kok Bapak pelit sih?" Kesalnya.
"Bukan pelit. Saya hanya berusaha melindungi buku-buku ini dari orang yang tidak saya kenal."
Alin sedikit tidak paham dengan ucapan Rivaldo barusan. Tidak kenal? Bukankah tadi... "Bukannya tadi Bapak manggil nama panjang saya? Ooh saya tau! Mungkin Bapak lupa.. oke, mari kita berkenalan lebih dulu." Katanya menghampiri Rivaldo dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Tapi karena lama tidak mendapat respon, akhirnya Alin memutari meja kerja Rivaldo dan berdiri disebelah pria itu. Tanpa banyak kata ia menarik tangan Rivaldo untuk diajaknya bersalaman. "Perkenalkan nama saya Alin Kartika Putri, anak pertama Bapak Arsan Arsyad. Calon istri masa depannya Mas Ilham, tetangga depan rumah."
Bukan lagi terdiam, Rivaldo justru syok! Ia jadi bertanya-tanya sekarang, siapakah gerangan HRD yang merekrut editor sejenis Alin ini? Siapa?! Seperti tidak ada editor lain saja yang mendaftar di kantor ini!
Tapi tunggu. Rivaldo memiliki pemikiran lain. Bukankah ini .. menarik? Sepertinya Alin wanita yang pemberani, oh bukan! Dia wanita yang tidak tau malu lebih tepatnya.
Baiklah, Rivaldo akan sedikit meladeni permainan Alin. Pertama, ia menarik kembali tangannya dari genggaman tangan Alin. "Saya Rivaldo, pemilik PERUSAHAAN ini." Katanya menekan kata perusahaan dalam kalimatnya. "Karena kamu memaksa, baiklah .. saya akan sedikit berbaik hati. Kamu boleh meminjam buku saya. Tapi hanya dua buku, tidak boleh lebih."
"Padahal aku cuma mau pinjam satu .. tapi yaudah lah ya, Bapak Rivaldo Hendriksen sudah bersabda kalo saya suruh pinjam dua buku. Jadi saya pinjam dua deh! Saya pilih-pilih dulu ya Pak, buku-bukunya." Izinnya.
Setelah berhasil memilih dua buku untuk dipinjam, Alin kembali berdiri dihadapan Rivaldo. "Ini nggak perlu di stempel kan Pak?"
"Menurut kamu?"
"Hehehe.. bercanda kok. Yaudah, saya pamit keluar. Permisi Pak." Pamitnya segera keluar dari ruangan Rivaldo.
Bahkan tidak ada kata terimakasih yang keluar dari mulut gadis itu. Kepala Rivaldo menggeleng pelan melihat tingkah laku karyawan barunya itu.
Dari sekian banyak karyawan yang ia pekerjakan, hanya satu yang bertingkah seperti Alin. Yaitu ALIN KARTIKA PUTRI! Aaah... Sungguh, sepertinya Rivaldo akan mengatur ulang jadwalnya untuk pemeriksaan di kantor penerbitan ini. Dari yang sebulan dua kali, mungkin akan beralih menjadi sebulan sekali saja. Karena jika terlalu sering kemari, ia khawatir dibuat syok lagi oleh tingkah Alin.
***
Ternyata bukan Alin saja yang bar-bar jika sudah melihat pria tampan. Nisa pun juga! Selain mulutnya yang tidak bisa diam saat bekerja, Nisa juga pecinta pria tampan. Yaa.. siapa juga yang tidak suka!
Seperti sekarang ini, seperti janji Alin saat itu. Kini ia membawa Nisa ke restorannya. Dan coba tebak, apa yang dilakukan Nisa setelah masuk kedalam dapur restoran? Nisa langsung menghampiri Fahmi setelah Alin menunjuk nama yang namanya Fahmi.
Setelah menunggu beberapa menit untuk Fahmi segera menyelesaikan pekerjaannya, kini pira itu duduk satu meja dengan Alin dan Nisa.
"Ngomong-ngomong, Mas Fahmi udah berapa lama kerja disini?" Tanya Nisa sedikit mengeluarkan senyuman manisnya untuk menarik perhatian Fahmi.
Menurut Nisa, wajah Fahmi ini mengingatkannya dengan aktor kenamaan Indonesia Reza Rahadian. Sama-sama memiliki brewok dan tubuh tegap.
"Udah lama!" Sahut Alin setengah sewot. Bukan apa-apa, ia sewot karena melihat ekspresi wajah Nisa yang terlihat centil dan alay.
"Iiiih aku kan nanya ke Mas Fahmi, kok kamu yang jawab sih!" Sungut Nisa.
"Please deh Mbak! Nggak usah pasang muka centil kayak gitu, geli tau nggak? Biasa aja sih, Mas Fahmi juga nggak akan h***y liat muka centil Mbak tau."
Nisa segera mengganti ekspresi wajahnya. "Iya deh iya, apa kata Kanjeng Ratu aja."
"Nah gitu dong. Jadi diri sendiri aja."
"Ohiya Lin, bilangin dong ke Mas Fahmi maksud kedatangan kita kesini .."
"Mau makan kan?"
"Bukan .. iiiih kok ngeselin sih! Itu loh .. yang katanya kamu mau——,"
"O-oh, itu! Iya-iya ini aku bilang." Pandangan Alin beralih menatap Fahmi yang sedari tadi diam saja mendengarkan perdebatan Alin dan Nisa. "Jadi gini Mas, aku kesini itu karena mau ngecomblangin Mas Fahmi sama Mbak Nisa gitu. Mas Fahmi mau nggak?" Mulainya.
"Kemarin Ayah kamu juga ngenalin rekannya ke Mas, sekarang kamu juga ngenalin teman."
"Jadi Ayah beneran ngenalin cewek?"
"Iya,"
"Ceweknya guru SMA Satu, bukan?"
"Benar,"
"Dasar Orangtua, nggak mau ngalah sama anaknya! Pokoknya Mas Fahmi jangan sama guru SMA Satu, beneran deh! Mereka tuh galak-galak, Mas. Mau guru baru atau lawas tetap galak! Contohnya Ayah, galak kan? Nah, jadi mending sama Mbak Nisa aja, kalian cocok kok. Kalo nggak cocok, cocok-cocokin aja."
Mungkin ini waktu yang tepat untuk Fahmi menghapus nama Alin di hatinya. Karena tidak ada gunanya juga jika Fahmi terus-menerus menyimpan nama anak atasannya itu di dalam hatinya. Cinta yang tak terbalaskan itu menyakitkan. Alangkah baiknya jika ia menganggap Alin sebagai adiknya, bukan wanita yang dicintainya. Ya, itu lebih baik.
Usai mempertimbangkan dan memantapkan hati, Fahmi melirik sekilas pada teman yang dibawa Alin lantas beralih menatap Alin. "Kalo kamu mengizinkan Mas dekat dengan .. maaf, siapa namanya?"
"Nisa, namanya Nisa. Nur Anisa nama panjangnya." Sahut Nisa.
"Oh iya, Nisa. Mas fine-fine aja."
"Jelas dong aku ngizinin! Pokoknya aku dukung deh pendekatan kalian berdua!" Ucap Alin antusias.