Untuk weekend kali ini, Alin berniat mengajak Nisa ke restoran Ayahnya. Bukan tanpa alasan ia mengajak Nisa kesana. Karena jelas Alin akan mencoba mencomblangkan Nisa dengan Fahmi. Tidak ada pemaksaan untuk misinya kali ini, karena sebelumnya Alin sudah memberitahu Nisa bahwa ia akan mengenalkan satu cheff disana. Dan tanpa pikir panjang, Nisa yang memang terkenal pengagum semua jenis tampang pria, mengangguk mau begitu saja.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi, Alin keluar dari kamar dan menghampiri kedua orangtuanya yang tengah duduk santai di kursi meja makan.
"Yah, aku mau pake mobil." Ujarnya setelah duduk di kursi meja makan.
Arsan yang posisinya tengah membaca koran sembari menikmati teh manis itu merespon tanpa menghentikan aktivitasnya. "Mau kemana?"
"Main ke rumah Mbak Nisa, teman sekantor aku. Niatnya sih mau ngajak Mbak Nisa ke restoran sekalian ngenalin Mbak Nisa ke Mas Fahmi."
Barulah Arsan bereaksi, melipat koran dan fokus pada pembicaraan. "Kamu mau jodohin mereka?"
"Yaa.. begitulah kira-kira, hehehe. Mbak Nisa orangnya baik kok, nggak neko-neko. Mereka pasti cocok."
"Nggak bisa. Ayah udah ngenalin cewek ke Fahmi untuk dia dekati."
Bola mata Alin membesar. Ayahnya juga berniat menjodohkan Fahmi?
"Emangnya Ayah punya teman cewek?"
"Ada, dia guru Seni Budaya di SMA Satu."
Menjodohkan Fahmi dengan seorang guru Seni Budaya? Memangnya Fahmi mau? Alin menggelengkan kepala, tidak setuju dengan niat Ayahnya. "Mending Mas Fahmi sama temanku aja. Pokoknya sama temanku!"
Arsan menghela napas sabar. Memiliki anak yang keras kepala bukanlah keinginan Arsan. Tapi mau bagaimana lagi, Tuhan memberinya Alin dan ia harus berlapang d**a menerima pemberian-Nya. "Terserah kamu deh," putus Arsan karena tidak mau debat dengan Alin.
Disela-sela perbincangan antara Alin dan sang Ayah, si bungsu datang dengan tangan membawa sisir rambut dan beberapa karet. Pakaian anak itu juga rapi sekali, seperti akan bepergian.
Mata Alin menyipit memperhatikan penampilan Citra pagi ini. "Mau kemana kamu?" Tanyanya.
"Mau OTW jauh, pake mobil." Balas Citra dengan tampang songong dan sengaja menjulurkan lidah pada Alin. Setelah itu beralih menatap sang Mama untuk meminta tolong, "Ma, kuncirin dong. Yang kencang ya Ma." Lantas duduk di kursi sebelah Nawang.
Alin memonyongkan bibir bawah, menyepelekan jawaban Citra. "Gaya banget, biasa juga kalo libur main boneka-bonekaan dikamar."
Melirik sekilas pada sang kakak, Citra membalas. "Sekarang udah nggak ya!"
"Emang mau kemana sih kamu? OTW sama siapa? Nggak usah jauh-jauh mainnya, jaman sekarang lagi banyak penculikan." Ini bukan kalimat berbentuk kekhawatiran. Kedengarannya memang seperti itu tapi nyatanya tidak. Karena ini hanyalah akal-akalan Alin saja untuk memancing Citra, agar adiknya itu memberi informasi.
"Aku tuh mau jalan-jalan sama Oppa Ilham, Tante Irma terus pacarnya Oppa juga diajak."
Gotcha!
Seketika Alin menegakkan tubuhnya dan menatap tajam pada Citra. Tidak, ia tidak boleh emosi. Ini bukan waktu yang pas untuk mengeluarkan emosi akibat terbakar api cemburu. Disini ada Ayah dan Mamanya, jadi ia tidak boleh merespon berlebihan mengenai jawaban Citra yang katanya mau jalan-jalan bersama Ilham, Tante Irma serta Sania.
Berusaha menampilkan raut wajah tenang dan biasa saja. "E-emangnya mau jalan-jalan kemana?" Tanya Alin.
"Bogooooor.."
"Bogor yang dimana? Wisata Bogor kan banyak."
"Yaa mana aku tau. Oppa cuma bilang kalo hari ini kita mau ke Bogor."
Mata Alin memicing. "Pasti kamu ngeyel minta ikut" tuduhnya.
"Enggak kok, Oppa yang nawarin."
Apa!? Jadi, Ilham berniat jalan-jalan ke Bogor bersama Tante Irma dan Sania, tapi sengaja mengajak Alin? Apa yang sebenarnya Ilham rencanakan? Jika memang ingin mengajak pacar jalan-jalan, kenapa harus ngajak anak tetangga juga?
Ini perlu klarifikasi langsung dari Ilham. Siapa tau adiknya ini berbohong. Demi masa depan yang sempurna bersama Ilham, Alin bergegas untuk mendatangi rumah tetangga didepan.
"Mau kemana Mbak?" Arsan membuka suara setelah tadi diam saja, karena malas menengahi perbincangan yang mendekati cekcok antara Alin dan Citra.
"Beres-beres kamar, Yah." Bohongnya dan berlalu dari dapur.
Baru saja menapaki halaman depan rumah Ilham, Alin dikejutkan oleh pintu rumah terbuka dan menampakkan sosok Tante Irma. Wanita setengah baya itu terlihat rapi khas orang yang mau bepergian.
Seperti biasa, jika mata Tante Irma sudah melihat Alin, maka rasa antusias akan keluar pada diri wanita itu. "Eeh Alin, ada apa Lin?"
"E-e-enggak Tante, nggak ada apa-apa. Eumm.. Tante mau pergi ya?" Gugup dan gagap. Karena memang ia kemari bukan untuk menemui Tante Irma, melainkan anaknya.
"Iya nih, Ilham ceritanya ngajak jalan-jalan gitu. Eh, Citra udah rapi belum, Lin? Soalnya dia juga ikut."
"Citra udah rapi kok, tinggal nunggu selesai dikuncir aja."
"Hari ini kamu rencananya mau kemana?" Basa-basi dimulai.
"Rencananya sih mau main ke rumah teman, Tan."
"Kirain cuma dirumah aja. Kalo cuma dirumah aja, mending kamu ikut kita ke Bogor, sekalian refreshing gitu. Sania juga ikut loh."
"Ke Bogor ngapain, Tan?"
"Itu.. si Sania tuh pengin banget naik Gondola yang kayak di Venesia. Di Bogor kan ada."
Kepala Alin mengangguk-angguk seolah mengerti. Padahal dalam hati merutuki Sania yang sok-sokan pengin naik gondola di Venesia tapi karena tidak kesampaian, jadi akhirnya naik gondola di Venesia KW. Jiwa nyinyir memang tidak bisa jauh-jauh dari diri Alin.
Seseorang tanpa permisi keluar dari pintu rumah dan melewati Alin begitu saja. Siapa lagi jika bukan Ilham, pria idaman sejagad kompleks.
Alin memperhatikan Ilham yang sudah masuk kedalam mobil namun kini kepala pria itu melongok keluar dari kaca pintu. "Bun, tolong ambilkan dompet di kamarku." Pintanya.
"Hmm dasar! Orangnya udah keluar, dompetnya malah masih didalam." Gerutu Tante Irma, "sebentar ya Lin." Katanya pada Alin.
"Iya Tante."
Setelah dirasa Tante Irma sudah melangkahkan kakinya cukup jauh dari cakupan, Alin gegas menghampiri Ilham. Ia tidak boleh meloloskan kesempatan ini. Sebelum Ilham dan Sania benar-benar pergi jalan-jalan, duduk berdua di jok depan, ia harus menatap lama wajah tampan pujaannya itu.
"Mas," panggilnya setelah tiba didepan pintu depan mobil Ilham.
Entah ini hari keberuntungan Alin atau hanya kebetulan saja, karena kini Ilham menolehkan kepalanya dan menyahut, "Ada apa?" Tidak seperti biasanya.
Apa karena mau pergi bersama Sania, dan mood Ilham menjadi bersahabat? Alin segera menampik pemikiran itu dan fokus menatap Ilham.
"Mas Ilham mau jalan-jalan ya?"
"Iya,"
"Kok cuma Citra yang diajak, aku nggak?"
"Usia kamu berapa?"
"Emangnya kalo mau ngajak anak orang jalan-jalan harus yang dibawah umur ya? Berapapun usianya kan boleh-boleh aja, Mas. Lagian, Mbak Sania juga ikut kan."
"Karena dia pacar——,"
"OPPAAAA-YAA..." Seseorang berteriak sehingga membuat Ilham menghentikan ucapannya dan menoleh kearah suara.
Untuk kali pertama, Alin benar-benar sangat berterimakasih pada teriakan Citra karena sudah membuat ucapan Ilham terpotong. Alin tau, ia tau sekali kalau Mas Ilham-nya sudah memiliki kekasih. Tapi, tidak bisakah pernyataan itu tidak perlu diperjelas lagi?
Karena sudah ada Citra, Alin segera hengkang dari hadapan Ilham. Lagi pula, ia sedikit sakit hati pada ucapan terakhir Ilham, jadi lebih baik ia tidak dekat-dekat dengan Ilham.
Tapi bukan Alin namanya jika ia tidak mengingkari ucapannya sendiri. Dalam hati ia bilang tidak akan dekat-dekat dengan Ilham dalam waktu ini. Nyatanya kini ia sibuk menghubungi Nisa untuk meminta tolong menemaninya ke Bogor. Bukan untuk jalan-jalan seperti Ilham dan Sania, ia ke Bogor lebih tepatnya untuk menjadi penguntit dua sejoli itu.
"Halo, aku sekarang mau on the way ke rumah Mbak nih. Buruan ya dandannya, sebentar lagi aku sampai." Cerocosnya saat setelah panggilan telepon terangkat.
"Lhoh, bukannya kita mau makan siang di restoran Ayah kamu ya? Ini kan masih jam delapan pagi, Lin..."
"Ke restoran ayahku nanti kapan-kapan aja Mbak. Kita ke Bogor aja, ke Little Venice Kota Bunga aja, oke? Aku tutup ya, bye!"
Panggilan terputus secara sepihak. Alin tidak punya waktu lagi untuk berbasa-basi. Ia memasuki kamar, menyambar kunci mobil dan tanpa ganti pakaian atau sekedar memoles bibir dengan sedikit sentuhan lipstik saja ia melajukan mobilnya.
Terlihat mobil Ilham sudah tidak ada dipekarangan rumah, itu berarti pria itu sudah jalan lebih dulu. Alin menghela napas sabar. Mobil Ilham sudah jalan lebih dulu dan kemungkinan besar saat ini pria itu tengah menjemput Sania. Jadi, karena Alin sayang pada hatinya sendiri, lebih baik ia menghentikan mobilnya dulu sembari mengira-ngira apakah Ilham sudah kembali melajukan mobilnya atau belum.
"Ini beneran kita ke Bogor, Lin?" Tanya Nisa. Keduanya sedang berada diperjalanan menuju Bogor dan tak henti-hentinya Nisa menanyakan hal yang sama.
"Iya Mbaaak.."
"Mau ngapain sih? Nggak mungkin banget kamu tiba-tiba pengin ke Bogor. Kalo kamu lagi hamil, itu wajar karena pasti ngidam. Lhah ini, nggak ada angin nggak ada petir tiba-tiba ngajak ke Bogor."
"Jadi begini Mbak, aku ke Bogor punya tujuan. Bukan buat jalan-jalan sih."
"Terus?"
"Nguntit orang pacaran."
"Apaan sih nggak jelas banget asli!"
Bola mata Alin memutar jengah. Sambil terus fokus menyetir, ia akhirnya memberitahu tujuan utamanya ke Bogor. Tak tanggung-tanggung, Alin sekalian membeberkan pada Nisa bahwa ia secinta dan sebucin itu pada Ilham.
"Seganteng apa sih si Ilham-Ilham itu. Sampai kamu bela-belain ngejar dia ke Bogor." Respon Nisa. Walau setampan apapun, menurut Nisa, Alin tidak perlu sampai mengejar Ilham seperti ini. Karena kodratnya wanita itu dikejar, bukan mengejar.
"Bagiku sih ganteng banget Mbak. Bukan cuma ganteng, dia pinter banget. Apalagi masalah komputer, dia mastahnya."
"Gantengan mana sama Pak Rivaldo? Pinteran mana sama Pak Rivaldo?"
Dengan wajah bersungut Alin menyahut pertanyaan Nisa, "Beda jauh lah! Lagian, bandingin sama yang kelas kakap. Harusnya Mbak bandingin Mas Ilham sama Mas Husni atau kalo nggak Mas Hardi gitu, jelas Mas Ilham yang paling utama lah!!"
"Lagian, kamu kayaknya bucin banget sama si Ilham-Ilham itu. si Ilham-Ilham itu cuek bebek banget sama kamu, tapi kamu masih aja dekati dia. Heran deh."
"Namanya juga cinta."
Diam sejenak, namun beberapa menit kemudian Nisa kembali menggunakan mulutnya untuk memanggil Alin.
"Eh Lin,"
"Kenapa Mbak?"
"Perasaan kamu kalo berangkat ke kantor pakaiannya bagus-bagus deh, tapi kok giliran mau pergi pakaiannya kaos oblong gini sih?" Katanya sambil menarik kaos Alin sok jijik.
Jelas saja Nisa bertanya seperti itu, karena memang Alin saat ini hanya mengenakan celana jins hitam dan t-shirt putih lengan pendek. Rambutnya ia gerai begitu saja.
"Tadi tuh gugup, jadi nggak sempat ganti baju. Hehehe."
"Terus itu muka juga nggak dipoles apa-apa?" Kepala Alin menggeleng sebagai jawaban.
"Dasar bucin akut!!"
Tiba di wisata Little Venice Kota Bunga, Alin memulai aksinya dengan mencari sosok Ilham di kali buatan yang bernama Venesia. Ia melongok kebawah sana, menatap satu persatu Gondola yang tengah mengambang membawa penumpang. Namun ia tidak menemukan batang hidung Ilham, atau setidaknya ia melihat Citra. Kemana perginya mereka?
"Mereka kira-kira kemana ya, Mbak?" Tanyanya seperti sudah putus asa mencari keberadaan Ilham.
"Yakali si Ilham kesini langsung naik Gondola. Pasti mereka jalan-jalan ke tempat lain dulu lah, atau cari minum mungkin. Mending kita kelilingi tempat ini dulu."
"Yaudah ayo."
Akhirnya dua cewek ini mengelilingi Little Venice dari ujung ke ujung. Tapi tetap saja tidak ada sedikitpun nampak seorang Ilham.
"Lin, jangan cepat-cepat jalannya..."
Tidak menanggapi permintaan Nisa, Alin kini sibuk berjalan cepat sambil menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya. "Eh Mbak, itu.. itu Mas Ilham! Ayoo Mbak cepetan.." serunya pada Nisa saat matanya sudah yakin bahwa disana, ditempat penyewaan Gondola ada sosok Ilham.
Sampai di petugas gondola, Ilham, Sania, Tante Irma serta adiknya sudah mulai mendayung Gondola. Ilham terlihat menaiki gondola bersama Sania sedang Tante Irma dengan Citra. Dasar! Buang-buang duit saja!
Alin menggaruk rambut kepala frustasi. Ia ingin mengintai mereka dan itu artinya harus menyewa Gondola.
"Mbak?" Panggil Alin pada Nisa.
"Apa?"
Alin menengadahkan tangannya didepan Nisa dengan raut wajah memelas. "Pinjam duit buat naik Gondola."
"Ini nih, definisi ngebucin tapi nggak modal." Sindir Nisa namun tetap memberi uang pada Alin. "Untung sayang!"
"Yaudah sih, ini juga buat kita naik berdua,"
"Aku nggak naik juga nggak apa-apa."
Kini Gondola yang dinaiki Alin dan Nisa sudah turun ke air. Matanya melongok-longok mencari keberadaan Ilham yang rupanya tidak jauh dari jangkauannya. Tapi ia tidak melihat Tante Irma, mungkin gondola Tante Irma sudah mendayung jauh dan sengaja meninggalkan Ilham agar mereka berdua bisa pacaran. Ah sial!
"Pak, dicepetin lagi dong ndayungnya. Kejar gondola yang itu, Pak.. yang orangnya pake baju warna merah." Pinta Alin pada petugas sambil menunjuk tubuh Ilham.
"Iya Mba,"
"Sabar ngapa Lin,"
"Nggak bisa sabar!" Bentak Alin.
Selang beberapa menit gondola Alin semakin mendekat. Sampai akhirnya perahu dayung itu bisa saling sejajar. "Mas Ilham," panggil Alin langsung.
"Lhoh, ada Alin..." Ujar Sania terkejut melihat kedatangan Alin yang tiba-tiba sekali.
"Ya amplop! ADIPATI DOLKEN! Ini Adipati Dolken kan Lin?" Nisa berteriak kegirangan menatap minat pada Ilham.
"Namanya Mas Ilham dan bukan Adipati Dolken!!"
Nisa menatap Alin tidak percaya. "Beneran? Jadi ini yang namanya Ilham?"
"Iya.."
"Kamu ngapain disini?" Ilham mengeluarkan suaranya.
Bola mata Alin melirik ke sekeliling untuk melihat keadaan. "Eummm... Aku.. aku kesini mau...mau...nyusul Citra! Iya, mau nyusul Citra, dia dicariin Neneknya dirumah. Oiya, Citra sama Tante Irma dimana ya?"
"Udah didepan."
"O-o-ooh, yaudah kita nyusul Tante Irma dulu ya. Mari Mbak Sania..."
"Iya, hati-hati Alin."
Gondola Alin melaju cepat untuk menyusul Citra. Kini ia merutuki dirinya sendiri yang selalu salah mencari alasan jika didepan Ilham. Lebih baik tadi ia bilang saja kedatangannya kemari untuk menemani temannya jalan-jalan. Bukan malah bawa-bawa Citra yang jelas-jelas musuhnya.
Akhirnya seperti sekarang ini, Citra menolak ikut pulang bersama Alin dan berujung tangis anak itu.
"Nggak mau... Aku nggak mau pulang Mbak...!"
Masih dengan mencekal kuat lengan sang adik, Alin berusaha mencari alasan. "Tapi Nenek udah nungguin kamu dirumah... Kamu nggak kasian sama Nenek, jauh-jauh datang pengin liat cucunya."
"Kan Nenek bisa nunggu aku pulang!"
"Citra... Dengerin Tante, mending kamu ikut Mbak Alin pulang. Nanti, kalo ada waktu kita kan bisa jalan-jalan lagi kesini. Kasihan loh Nenek kamu dirumah nungguin." Tante Irma ikut membujuk.
"Aku mau pulang tapi nunggu Oppa datang dulu. Aku harus izin dulu."
"Nggak usah...Dek! Udah minta izin ke Tante Irma, jadi nggak perlu tunggu Mas Ilham."
"Yaudah iya! Ayo pulang!" Pasrah Citra.
Setelah berhasil membawa Citra jauh dari jangkauan Tante Irma, Alin menyuruh Citra duduk di kursi.
"Huh... Akhirnya bisa duduk juga!!" Ucap Nisa yang sedari tadi dibuat lelah oleh Alin karena harus mengikuti teman sekantornya itu. Sungguh, baru kali ini ia jalan-jalan dan merasa lelah bukan bahagia.
"Kok kita malah duduk disini? Ayoo pulang..." Sungut Citra.
"Nggak jadi pulang." Ujar Alin.
"MBAAAAAAK..!"
"Jangan teriak-teriak! Kamu mau boneka BTS yang lucu-lucu itu kan?"
"Kenapa? Emang Mbak mau beliin? Lagian ya, namanya bukan boneka BTS tapi BT21!!"
"Yaa pokoknya yang itu deh. Mbak sih mau-mau aja beliin kamu boneka itu. Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
Alin membisikkan persyaratannya pada Citra. "Gimana?"
"OKE! Tapi bonekanya tujuh ya..."
"Satu aja!"
"Karakternya aja ada tujuh Mbak! Ada Koya, RJ, Shooky, Mang, Chimmy, Tata terus Chocky!"
"Lin adik kamu ngomong apa sih? Cimi-cimi itu apa?" Nisa yang bingung akhirnya bertanya.
Citra melirik Nisa, "Namanya Chimmy, bukan Cimi!" Lalu tatapannya beralih ke Alin. "Kalo belinya satu aku bakalan bocorin rencana Mbak ke Oppa!"
"Oppa tuh siapa sih?" Nisa mengajukan pertanyaan lagi.
"Oppa Ilham." Balas Citra.
Kepala Nisa geleng-geleng tidak percaya. "Yang satu manggilnya Mas, yang satunya lagi manggilnya Oppa."
"Oke..oke kita beli tujuh boneka. Deal! Sekarang, ayo kamu ikut Mbak, tapi ingat! Jangan ngomong ke Mas Ilham! Ngerti?" Putus Alin.
"Sippp!"
Rencana satu berhasil, kini Alin bisa kembali untuk mengintai Ilham lagi.
Baiklah, saatnya beraksi!