Sebelas

2019 Words
Resmi memiliki kekasih, Ilham akhir-akhir ini selalu berangkat kerja bersama Sania, jika wanita yang berprofesi sebagai dokter anak itu mendapat shift pagi. Saat makan siang, jika Sania tidak sedang sibuk, ia akan menjemput kekasihnya itu dan makan siang bersama. Ilham yang dulunya selalu berangkat pagi-pagi seorang diri dan meninggalkan waktu makan siang hanya untuk sholat saja, kini berubah menjadi Ilham yang sering keluar masuk saat waktu istirahat. Pertemuannya dengan Sania yang sangat tidak sengaja itu membuahkan hasil kebahagiaan untuk diri Ilham sendiri. Ia tidak menyangka akan menjalin hubungan dengan teman satu tempat ngajinya dulu. Begini kisah awalnya menemukan Sania. Beberapa bulan lalu ia mendapat proyek di rumah sakit Kasih Bunda untuk mengerjakan website yang mereka pesan. Ia akhirnya mengunjungi rumah sakit tersebut untuk mempresentasikan design website dan lain sebagainya. Singkat cerita, setelah meeting bersama direktur rumah sakit dalam rangka memperkenalkan design website yang akan mereka pesan, Ilham tak sengaja menabrak seorang suster tengah asyik mengobrol bersama dokter disebelahnya yang tak lain dan tak bukan adalah Sania. Sedang posisi Ilham pun sama seperti suster tersebut, sama-sama mengobrol sehingga tidak fokus saat melihat jalanan koridor rumah sakit. Awalnya Ilham tidak sadar kalau disebelah suster yang ia tabrak itu adalah Sania. Namun Sania menyadari hal itu lebih dulu, wanita berjas putih itu menyapa Ilham. Dari pertemuan tak sengaja itu, lambat laun Ilham dan Sania semakin dekat. Ilham rasa, Sania sosok yang baik, lemah lembut dan ramah. Sangat sama dengan Sania kecil jaman ngaji bareng. Tidak butuh waktu lama untuk Ilham jatuh cinta pada wanita sebaik dan secantik Sania. Tak kurang dari sebulan mengenal Sania dewasa, ia merasakan nyaman ada didekat Sania. Rasa nyaman yang lambat laun berubah menjadi cinta. Kepala Ilham menggeleng tegas untuk menghilangkan bayang-bayang wajah Sania. Sungguh, ini Minggu kedua ia resmi menjadi kekasih Sania dan selama itu wajah Sania selalu saja memenuhi pikirannya. Sekali lagi Ilham menyugar rambut depannya dan tersenyum samar pada layar monitor yang menayangkan berbagai kode pemrograman. Baru saja ingin kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena terlalu sibuk membayangkan Sania, ponselnya berdering memberitahu bahwa ada pesan masuk. Saat dibuka, ternyata dari Sania. Wanita itu memberitahu kalau makan siang kali ini tidak bisa diluar karena ada beberapa pekerjaan yang harus wanita itu kerjakan sebelum jam istirahat selesai. Lantas Ilham membalas. Ilham : Yaudah, aku ke kamu sekalian bawa makan siang, ya? Atau kita makan di kantin rumahsakit aja? Sania : Oke, kita makan di kantin aja. See u Hanya itu balasan dari Sania namun mampu membuat pria yang jarang dan sulit sekali untuk senyum ini, sekarang mengulas senyum. Seperti inikah rasanya dimabuk cinta? Terakhir merasakan, dulu saat ia masih kuliah semester dua. Namun hubungannya kandas ditengah jalan karena orang ketiga. Berbeda dengan Ilham yang tengah berbahagia akhir-akhir ini, Alin justru dibuat uring-uringan karena jarang bertemu sosok Mas Ilham-nya. Bukan jarang, tapi sama sekali tidak pernah bertemu. Terakhir melihat wajah tampan Ilham, saat ia tak sengaja memergoki Ilham menjemput Sania. Hari-hari berikutnya, Alin sudah tidak pernah melihat Ilham karena memang ia berangkat pagi-pagi sekali demi menghindari macet Ibu kota. Bahkan mungkin saat Alin berangkat kerja, Ilham masih tidur. Ah sial! Haruskah ia resign saja dari pekerjaan ini dan fokus mendekati sekaligus merebut Ilham dari Sania? Sayangnya ia menyukai pekerjaannya yang satu ini. "Eh Lin, Minggu kemarin Pak Bos nggak jadi kesini kan ya? Terus katanya hari ini dia mau kesini." Ujar Nisa. Perempuan berambut panjang ini selalu mengajak ngobrol Alin saat jam kerja. Kata Husni, Nisa ini tipe cewek yang suka ngegosip dan tidak bisa diam. Tanpa melirik Alin menyahut, "Ohya? Kapan Mbak?" "Habis istirahat kayaknya." "Ooh.. jadi penasaran, kayak apa sih mukanya," padahal Alin sudah melihat wajah Rivaldo Hendriksen di internet. Ia sempat browsing mengenai pendiri penerbit ini dan ternyata rupa Rivaldo memang tampan. Bahkan teramat tampan, tapi entah jika dilihat langsung, apakah ketampanannya akan tetap terlihat atau hanya tampan di foto saja. Bisa jadi kan. "Beuuuhhh nggak bakal mengecewakan mata deh Lin kalo meototin dia seharian! Pokoknya ganteng maksimal. Bibit unggul banget!" Alin terkekeh melihat ekspresi wajah Nisa saat menjelaskan bagaimana nanti rupa Rivaldo. "Kerja Nis, kerja... Lama-lama gue lakban itu mulut!" Sambar Husni. "Apaan sih Mas Husni! Orang ini udah masuk jam istirahat kok disuruh kerja mulu." Balas Nisa lantas mengalihkan pandangannya pada Alin, "Makan yuk?" Masih fokus pada layar monitor, Alin menggelengkan kepalanya. "Aku bawa bekal. Mau makan disini aja." "Titip jajan nggak?" "Hmmm... Titip deh, permen ya." Beginilah sikap Alin saat di tempat kerja. Ia lebih memilih makan di kubikel dengan bekal yang sudah Mamanya siapkan. Karena malas juga kalau makan di kantin. Selain makanannya itu-itu saja, harganya juga lumayan menguras kantong. Untung saja Mamanya baik hati dan tidak pemalas, jadi seringkali Alin meminta dibuatkan bekal. Setelah semua para pekerja di divisinya keluar, Alin gegas mengeluarkan kotak bekal dan ponsel dari tas. Sebelum menyentuh ponsel dan memainkannya, lebih dulu Alin menyantap makan siang. Lantas beralih bermain ponsel. Membuka i********: adalah hal pertama yang Alin lakukan. Bukan untuk melihat postingan idola, Alin membuka akun i********: hanya untuk melihat postingan apa yang diunggah Sania siang ini. Ya, ia membuka akun i********: semata-mata hanya untuk memantau Sania dan juga Ilham. Disana, ia melihat username Sania membuat story Boomerang. Bukan wajah Sania yang menjadi boomerang, melainkan Ilham. Ilham yang tengah membuka kotak sterofom dan dibuat boomerang oleh Sania. Biasanya Sania hanya memposting foto makanannya saja jika makan siang. Tapi ini, lihat! Ada wajah Ilham disana dan itu menunjukkan bahwa keduanya sangat romantis. Malas melihat postingan Sania, Alin memilih untuk menyimpan ponsel dan kembali menyibukkan diri dengan mulai lanjut bekerja. Tak lama, Nisa dan para karyawan lain mulai memasuki ruangan satu persatu. "Lin-Lin, kamu tau nggak—," "Enggak Mbak," balas Alin saat melihat Nisa duduk di kursi sebelah dan heboh sendiri. "Yeee.. kan belum ngomong! Tadi nih ya, aku lihat Pak Rivaldo makan di kantin kantor!" Bola mata Alin berputar jengah. Mau Rivaldo kek, Ayahnya Rivaldo atau bahkan Kakek Rivaldo sekalipun ia tidak peduli!  Ia sedang dalam mode malas ngomong. Tapi untuk menghargai Nisa yang usianya lebih tua, Alin terpaksa merespon ucapan Nisa sok antusias. "Ohya? Yaah.. aku rugi dong karena nggak ikutan makan di kantin! Dia pake pakaian apa Mbak?" "Masih sama, pake celana selutut warna mocca.. tapi, tumben banget kali ini bajunya pake kemeja berlengan panjang. Asli ganteng maksimal pokoknya." "Serius? Waaah.. aku jadi penasaran sama mukanya dia." Husni yang duduk disebelah kiri kubikel Alin terkekeh lirih melihat raut Alin yang terlihat sangat malas menanggapi ucapan Nisa, namun kata-katanya seolah wanita satu ini sangat antusias. "Sabar-sabar aja Lin kalo duduk disebelah Nisa." Bisiknya pada Alin yang ditanggapi senyuman masam. "Kamu mau lihat Pak Rivaldo?" Tanya Nisa lagi. "Iya Mbak. Kira-kira dia pulangnya sama nggak kayak kita?" "Nggak perlu nunggu pulang, tuh dia orangnya." Alin menolehkan kepalanya pada Nisa untuk memastikan. "Mana?" Bukan melalui lisan, Nisa justru memberi kode melalui mata pada Alin. "Mana orangnya Mbak?" Tanya Alin yang masih belum ngeh dengan kode mata Nisa. "Ada Pak Rivaldo, jangan pada berisik!" Husni menginterupsi keduanya. Kontan saja Alin beralih untuk melihat situasi sekelilingnya. Dan benar saja! Tak jauh dari jarak deretan kubikel yang ia duduki, Hardi dan Rivaldo berdiri disana. Alin terdiam mengunci pandangannya pada sosok bernama Rivaldo Hendriksen. Keduanya saling tatap satu sama lain. Alin akui, pria itu lebih tampan dari yang ia lihat di foto internet. Wajah keturunan bulenya sangat mendominasi dengan wajah ke-indonesiaannya. Sangat tampan. Adam Levine dan Calvin Harris jika disejajarkan dengan Rivaldo, Alin rasa Rivaldo yang akan terlihat sangat tampan. Bahkan Ilham akan berada diurutan sekian jika dibandingkan dengan Rivaldo. Tunggu, Ilham? Tidak! Kepala Alin menggeleng samar. Ia tidak boleh membanding-bandingkan Ilham dengan pria lain. Mas Ilham-nya hanya satu dan itu milik Alin. Sadar akan kebodohannya Alin segera memutuskan kontak mata dan beralih menyibukkan diri pada layar monitor. Jantungnya berdetak kencang kala baru menyadari bahwa barusan ia ditatap balik oleh pemilik penerbitan ini. Dan semakin berdetak kencang ketika suara Rivaldo terdengar menanyakan sesuatu pada Hardi. "Katanya disini ada editor baru untuk pengganti Chaca, yang mana orangnya Har?" Tanya Rivaldo. Tentu saja tanpa banyak kata Hardi menunjuk Alin, "itu Pak orangnya." Kepala Rivaldo mengangguk-angguk mengerti. Lantas kakinya melangkah mengelilingi setiap kubikel divisi genre Romance yang diketuai oleh Hardi. Sesekali Rivaldo menanyakan beberapa hal pada pekerjanya dan memberi nasehat kerja. Giliran deretan kubikel Alin yang diintrogasi oleh Rivaldo. Menilik layar monitor Husni, kepala Rivaldo mengangguk paham lantas beralih menilik pekerjaan Alin. Dengan posisi tangan berpegangan bahu kursi Alin, Rivaldo diam memperhatikan kinerja Alin yang tengah sibuk mengedit naskah. Posisi Rivaldo yang seperti itu membuat keduanya terlihat sangat dekat bahkan tanpa jarak. "Siapa nama kamu?" Tanyanya tiba-tiba. Kontan membuat Alin terkejut dan hampir berdiri dari duduknya namun segera rileks kala menyadari seseorang yang bertanya adalah Rivaldo. "A-a-Alin Kartika Putri, Pak." Jawabnya gugup. "Saya nggak tanya nama panjang kamu." "Nama saya Alin," "Sudah berapa hari ngedit naskah itu?" Rivaldo bertanya sambil menunjuk layar monitor Alin. "Empat hari ini, Pak." "Dapat berapa bab?" "Sudah 30 persen." "Empat hari ngedit naskah hanya dapat 30 persen? Kamu ngeditnya sambil tidur atau gimana?" Tidak ada nada bentakan tapi ucapan Rivaldo mampu membuat bulu kuduk Alin meremang. Alin membantah dengan gelengan kepala. "Enggak Pak. Maksud saya, saya sehari nggak ngedit satu naskah aja tapi tiga naskah. Diselang-seling, Pak." "Ooh, begitu ya teknik kerja kamu? Saya sarankan jangan pake teknik itu. Hanya akan memperlambat kerja dan bikin pusing. Lebih baik kamu kerjakan satu naskah dulu dan setelah selesai, baru kamu ganti ke naskah berikutnya." Rivaldo mencoba memberi nasehat pada Alin. "I-iya Pak, nanti akan saya coba." Lantas pandangan Rivaldo beralih melihat kinerja Nisa, tanpa mengganti posisi tubuhnya saat ini. "Nisa, kamu lagi ngedit naskah siapa?" Nisa menoleh, "Naskahnya penulis Lilis Prikitiw, Pak." "Sudah berapa persen?" "90 persen." "Dalam berapa hari?" "Delapan, Pak." "Bagus, hari ini harus di selesaikan biar besok langsung naik cetak." "Kayaknya besok baru bisa selesai, Pak." "Kenapa nggak hari ini aja?" "Nggak bisa, Pak. Saya lagi datang bulan. Kalo lagi datang bulan begini saya nggak bisa ngedit cepat." Apa hubungannya? Dulu Rivaldo yang me-interview Nisa saat perekrutan editor. Rivaldo pikir, Nisa akan menjadi editor andalan di kantor ini melihat riwayat pekerjaan yang Nisa miliki sangat banyak pengalaman. Tapi setelah mendengar ucapan Nisa barusan, Rivaldo rasanya ingin mendepak wanita yang memiliki t**i lalat di dagu itu. "Yasudah, terserah kamu saja. Yang penting jangan mengulur waktu." Pesannya. Lantas Rivaldo beralih memperhatikan cara kerja Alin. "Untuk kamu, Alin. Kalau tiga naskah yang saat ini kamu kerjakan penjualannya bisa menembus pasar lebih dari yang diprediksi, saya akan langsung memberimu projek naskah milik penulis terkenal. Tapi kalau malah sebaliknya yang terjadi, mungkin lebih baik kamu belajar lebih giat lagi dirumah." Menghentikan aktivitas membaca naskahnya, Alin memilih menanggapi ucapan Rivaldo. "Maksudnya Pak?" "Kamu dipecat!" Sahut Nisa. Barulah Alin memutar kursi yang diduduki, sehingga posisinya saat ini terlihat sangat dekat dengan tubuh bagian perut milik Rivaldo. Namun Alin belum menyadari itu karena ia sedang emosi saat ini. "Kok gitu?! Bukannya kalo masalah pemasaran urusannya sama anak pemasaran ya? Kok editor juga ikut-ikutan sih!" Katanya tanpa gentar apalagi malu pada atasan. "Untuk di kantor ini berbeda, kalo kamu belum tau. Bukankah begitu, Hardi?" Kepala Hardi mengangguk patuh. "Iya Pak, betul." Dengan posisi tangan menggaruk rambut kepala, Alin menatap sewot pada Hardi karena tidak bilang sistem kerja di kantor ini sejak awal. "Kalo gitu sistem kerjanya, tadi saya nyari cerita wetped yang viewers-nya banyak!" Rutuknya. Setelah puas menatap garang pada Hardi, Alin berniat untuk memutar kembali kursi duduknya. Namun ia dibuat terkejut saat menurunkan pandangan dan menyadari bahwa posisi dirinya saat ini sangat dekat dengan tubuh Rivaldo. Buru-buru Alin semakin menundukkan kepala dan berucap maaf, "Maaf Pak." Sekali lagi Alin melanjutkan aktivitasnya. Bukan mengedit naskah, melainkan menggaruk rambut kepala. Entahlah, akhir-akhir ini kepalanya jadi semakin gatal karena ia jarang memakai shampo saat mandi. Bukan malas, tapi ia tidak memiliki waktu untuk berlama-lama dikamar mandi, tidak seperti sebelum kerja. Mengerutkan kening adalah reaksi Rivaldo saat melihat Alin menggaruk rambut kepala. Rivaldo sering melihat orang menggaruk rambut kepala dan itu bukan suatu hal yang aneh. Tapi kali ini berbeda. Yang Rivaldo lihat, Alin sepertinya menggaruk rambut kepala dengan sangat keras. Bahkan kini rambut gadis itu sudah mulai acak-acakan. Dalam hati Rivaldo bertanya-tanya, apa yang membuat Alin menggaruk rambut kepala sampai sekeras itu. Apa sangat gatal dan tidak nyaman?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD