Dua Puluh Delapan

2349 Words
Hari yang sangat menyebalkan! Sialan! Semua rencananya berantakan. Dan penyebabnya adalah pria bernama lengkap Rivaldo Hendriksen. Dengan langkah lebar Alin menuju ruang divisinya. Ya, akhirnya Alin bisa keluar dari jeratan bos sialannya itu. Tentu setelah ia berhasil memaksa mulutnya menghabiskan makan siang itu. "Abis diapain sih kamu, lama banget di ruangan Pak Valdo." Tanya Nisa ketika melihat Alin duduk di kursi kubikelnya. Nisa memberi pertanyaan yang jelas-jelas memancing emosi Alin. "Abis dimarahi lah!" Balasnya nyolot tanpa melirik sedikitpun pada Nisa. "Makanya kerja tuh yang bener. Absen di perhatikan. Dikira ini kantor punya Bapak kamu apa." Si Jamal yang biasanya diam tidak suka mencampuri urusan orang, sekarang ikut-ikutan menimpali pembicaraan Alin dan Nisa. Nisa tertawa tanpa suara melihat ekspresi wajah Alin yang menahan emosi pada Jamal. "Dia nggak tau aja kalo Pak Rivaldo temanan sama Om Arsan." Bisiknya. Alin melirik Nisa cepat kilat. "Awas aja kalo orang-orang sini tau! Mbak Nisa orang pertama yang akan aku musuhi seumur hidup, setelah Sania minyak goreng kelapa sawit!" "Ampunnnnn bang Jago. Ohiya, btw aku nggak percaya sama jawaban kamu yang abis dimarahi Pak Bos. Abis dienak-enakin kan pasti?" Sungguh sialan sekali si calon pengantin satu ini! Mentang-mentang mau dihalalin, kalau ngomong suka bikin anak orang keselek ludah sendiri. "Apaan! Yang ada dibuat emosi sama dia." "Mana berani Pak Valdo bikin kamu emosi. Dia bentak kamu aja nyeseknya berminggu-minggu." Alin diam saja. Kalau Nisa sudah mengajaknya bicara, pasti tidak ada ujungnya. Jadi lebih baik sekarang ia segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa tidur pulas nanti malam. "Ohiya, tadi aku makan siang sama rombongannya Ilham dong." Kata Nisa sambil tangannya mengetikkan sesuatu diatas keyboard. Secepat kilat Alin menoleh. Persetan pada naskah-naskah yang terbengkalai belum ia edit, kalau sudah ada yang membicarakan soal Ilham, ia harus menyahutinya. "Serius?" Nisa tersenyum dan mengangguk bangga. "Kenalan sama Ilham juga." "Terus, dia ada nanyain aku nggak?" Dengan percaya dirinya ia bertanya. Sebelum menjawab, Nisa melirik sok jijik kearah Alin. "Siapa kamu? Nggak guna nanyain kamu." "Ooh... Kirain. Soalnya tadi waktu istirahat Mas Ilham ke ruangan Pak Rivaldo." "Ngapain?" Sebagai jawaban Alin mengangkat bahu. "Waktu ditanya ada apa, dia malah jawab salah ruangan. Aneh." Katanya. *** "Kayaknya besok gue nggak usah bawa motor deh." Ucap Alin pada diri sendiri sambil matanya menatap mobil Ilham yang kini memasuki area rumah pria itu. Alin menstandar motornya dan berdiri masih dengan memantau Ilham dari pekarangan rumahnya. "Berangkat, bareng. Pulang, bareng. Kita juga sekarang sekantor. Ngapain gue bawa motor? Mending berangkat bareng Mas Ilham." Katanya, seolah-olah Ilham sudi saja menebenginya setiap hari. Terlihat dari kejauhan, Ilham tengah menatap kearahnya. Segera Alin membalas dengan lambaian tangan dan tak lupa memberi pria itu senyuman manis. Tapi Ilham sepertinya abai saja, karena setelahnya dia segera masuk rumah. "Tumben pulangnya agak sorean, Mbak?" Nawang bertanya ketika melihat Alin melintas di sampingnya. Melihat sang Mama, ia ikut gabung duduk disebelah Nawang yang tengah menyuapi Citra memakan bubur. "Tadi ada briefing sebentar sebelum pulang. Jadi agak telat." Jawabnya sambil menjahili Citra dengan menaikkan satu kakinya di meja yang tengah Citra gunakan untuk bermain laptop. "Ampunnn deh Mbak, jangan bikin perkara sore-sore. Adek kamu lagi sakit gigi, kasihan ih." Ujar Nawang dengan tangan menurunkan kaki Alin yang sembrono itu. "Masih kecil udah sering sakit gigi. Makanya, sikat gigi yang rajin. Jangan cuma hobinya bucin oppa-oppa mulu." Kalau saja Citra sedang tidak sakit gigi, gadis itu pasti sudah membalas ucapan Alin dengan menjambak rambut kakaknya itu dan mengancam untuk memporak-porandakan kamar Alin. Tapi karena terhambat oleh sakit giginya, alhasil dia diam saja walau dalam hati ingin sekali berdebat dengan Alin. Nawang menyentil dahi Alin yang tidak tau diri itu. "Dulu kamu juga sering sakit gigi." "Mana ada aku pernah sakit gigi. Gigiku sehat ya, nggak ada yang bolong. Nih..." Dengan bangganya Alin memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih bak berlian. "Tanya aja sama ayah kamu kalo nggak percaya." "Tetap nggak akan percaya." Balas Alin. "Maaaaa ...." Suara teriakan lain terdengar. Aiden datang dengan wajah lesu dan penuh peluh. "Pulang bukannya ucap salam malah teriak-teriak. Ada apa sih?" Sahut Nawang. Jujur, ia heran pada anak-anaknya. Usia sudah pada beranjak dewasa tapi kelakuan masih kekanak-kanakan. Apa ia salah mendidik? "Motorku rusak lagi, Ma... Nggak bisa di starter." "Terus, motornya dimana?" "Bengkel." Alin menjentikkan jarinya. "Kamu besok pake motor Mbak aja, Den." "Terus kamu pake apa ke kantornya?" Tanya Nawang yang otaknya sudah panas karena bingung soal kendaraan. "Nebeng Mas Ilham. Hehehe." Mendengar nama Ilham disebut, Citra yang memang sudah dinobatkan sebagai adik tiri Ilham melirik sarkas pada Alin. Hanya melirik, lalu kembali fokus pada laptop. "Mama keberatan. Mama tuh nggak enak Mbak, kalo kamu sering nebeng ke Ilham." "Kalo Mama ngerasa nggak enak, nanti aku kasih uang bensin deh ke Mas Ilham." "Emang dia mau nerima." Alin menghela napas. Susah juga. "Lagian ya Ma, kita tuh sekarang satu kantor." "Kok bisa? Kalian kan beda bidang." "Mas Ilham lagi dapat proyek di kantorku, sementara waktu dia kerjanya disana gitu, Ma. Jadi kita sekarang satu kantor, cuma sementara." Jelas Alin. "Ooh..." "Gimana? Boleh kan nebeng Mas Ilham?" "Boleh-boleh aja kalo searah. Tapi coba tanya lagi ke Ayah kamu." "Bantu tanyain ngapa, Ma." "Ogah! Males ngomong sama Ayah kamu." "Udah pada tua juga masih aja berantem kayak anak ABG." "Ayah kamu tuh yang suka mancing emosi." "Siapa yang suka mancing emosi?" Tiba-tiba suara Arsan menyahut. Pria yang baru pulang mengajar itu menghampiri keluarga kecilnya yang tengah berkumpul di ruang tengah. "Kamu lah!" Sahut Nawang. Baik. Drama antara Nawang dan Arsan akan segera dimulai, daripada Alin muntah-muntah tidak jelas melihat drama sialan itu, lebih baik ia segera ke kamar dan mandi. *** "Eummm.... Mas Ilham ikhlas kan nebengin aku?" Tanya Alin penuh kehati-hatian. Pagi ini ia benar-benar nebeng Ilham. Awalnya pria ini sempat menolak permintaan Alin, karena Ilham ingin berangkat kerjanya agak siangan. Tapi tiba-tiba Tante Irma datang dan membantu Alin agar bisa berangkat bersama. Alhasil kini keduanya berangkat bersama dengan perasaan Ilham yang sungguh dongkol. "Menurut kamu?" Jawab Ilham. "Iiih gitu banget sama tetangga sendiri." Alin mencolek lengan Ilham sok centil. Saat mobil Ilham melewati rumah Sania begitu saja, Alin mengerutkan dahi dan bertanya, "Kok rumah Mbak Nia dilewati?" Satu detik sampai lima detik lamanya Alin harus menunggu jawaban dari pertanyaannya. "Dia lagi cuti." "Kenapa?" "Sakit." Sania sakit? Alhamdulillah... Alin ber-oh ria sambil menganggukkan kepala. Kini keduanya terdiam. Ilham fokus mengendarai, sedang Alin sibuk mencuri-curi pandang pada Ilham. "Kamu nggak jadi resign?" Alin mengerutkan keningnya lagi. Suara siapa itu? Diliriknya Ilham, lalu melirik ke belakang dan sekelilingnya. "Tadi suara siapa sih?" Tanyanya entah pada siapa. Terlihat Ilham memutar bola mata malas. Sindiran Alin sungguh menyebalkan. "Saya tanya, kamu nggak jadi resign?" Barulah Alin menoleh pada Ilham. "Oooh suara Mas Ilham. Tumben nanya duluan. Hehehe. Eumm... Sebenarnya sih pengin resign, tapi...." Tapi .... Ilham menunggu penjasan Alin yang sepertinya sengaja di gantung. "Tapi... Kayaknya hari gini nyari kerja sudah, jadi aku tunggu ada lowongan aja resign-nya." Lanjut Alin. Ilham mengangguk kecil. Alin menginginkan resign dari tempat kerja, tapi wanita itu harus menunggu ada lowongan pekerjaan yang baru. Itu artinya, jika ia ingin melindungi Alin dari sosok Rivaldo yang asal-usulnya tidak terlalu diketahui, ia harus mencarikan lowongan pekerjaan untuk Alin. Tapi dimana? Bidang mereka berbeda. Di kantornya memang ada lowongan, tapi di bagian resepsionis. Apa Alin mau? Tiba di basemen kantor, Ilham menyuruh Alin untuk masuk lebih dulu. "Kok gitu? Kita masuk sama-sama aja.." "Kamu duluan. Saya mau ke toilet." Balas Ilham dan meninggalkan Alin. Sialan! Pasti hanya akal-akalan Ilham saja agar tidak jalan bersama memasuki kantor. Aaaahhh... Padahal Alin ingin menunjukkan keakrabannya bersama Ilham. Ia ingin digosipkan kalau ia tengah dekat dengan Ilham. Ditinggal begitu saja oleh Ilham, Alin akhirnya pasrah memasuki kantor seorang diri. Bukankah setiap hari juga seperti ini? Selalu sendiri. Memasuki waktu istirahat, kali ini Alin sedikit bahagia karena akhirnya ia bisa ikut makan di satu meja yang sama dengan rombongan Ilham. Tentu bersama Nisa juga. Sepertinya hari ini tidak terlalu mengenaskan. Selain ia berhasil bisa berangkat ke kantor bersama Ilham, kini ia benar-benar bisa makan siang bersama Ilham. Lihatlah sekarang, bahkan tempat duduknya sangat berhadap-hadapan dengan Ilham. Usai makan siang, semuanya kembali ke ruangan masing-masing. Disinilah kebahagiaan Alin berakhir untuk hari ini. Ya, karena satu jam setelah istirahat, Sekertaris Rivaldo dengan langkah tergesa-gesa menghampiri kubikelnya dan memberi perintah yang sangat tidak ingin Alin dengar. "Lin, kamu disuruh ke rumah Pak Rivaldo sekarang juga." Begitu kata Sekertaris Rivaldo. Alin yang sedang asyik-asyiknya mengedit naskah sambil membayangkan masa depannya dengan Ilham sontak menekan tombol keyboard berlebihan dan menatap Sekertaris Rivaldo nyalang. Alin berdiri dari kursinya. "Ke rumah Pak Rivaldo? Kok saya? Yang sekertarisnya dia kan Mbak-nya." Jawabnya mulai emosi. "Iyaaaa, tapi ini perintah langsung dari Pak Rivaldo. Dia minta kamu untuk rumahnya sekarang juga." "Ogah!" Bantah Alin sambil membuang muka. "Pak Rivaldo sakit, Lin. Dan itu gara-gara kamu. Masih ingat kan waktu kalian makan siang dengan menu seafood di ruangan Pak Valdo. Dia alergi seafood." Jelas Sekertaris Rivaldo. Alin masih terdiam mendengar penjelasan Sekertaris Rivaldo. Matanya melirik ke penjuru ruangan, semua pasang mata rupanya tengah menatapnya. Ada juga yang sambil bisik-bisik tetangga. Tak terkecuali Nisa. Wanita itu juga menatap Alin tanpa kedip setelah mendengar penjelasan Sekertaris Rivaldo yang bilang bahwa Alin sempat makan siang bersama di ruangan Rivaldo. "Nggak usah pada liatin gue!! Gue bukan tontonan!" Teriak Alin tanpa malu lalu kembali mengajak Sekertaris Rivaldo bicara. "Saya pamit ke kepala divisi dulu." "Nggak usah Lin, kamu langsung kesana aja. Beresi meja kamu terus langsung turun, sopir Pak Valdo udah nunggu didepan." Sialan! Pasti sudah direncanakan oleh Rivaldo. "Yaudah ayo!" "Kamu sendirian, Lin. Saya nggak ikut." Jancok!!!! Baiklah, akan Alin hadapi Rivaldo seorang diri. Ia berani. Tidak ada kata takut dalam kamus hidupnya. Megah dan mewah adalah dua kata yang Alin gambarkan saat kali pertama matanya menatap rumah di depannya ini. Ia baru saja tiba di rumah, emm... Ya, katanya sih rumahnya Rivaldo. Seorang pria berusia setara dengannya membukakan pintu. "Mbak Alin ya? Saya Cecep, pembantu disini. Ayo masuk, Mas Rival udah nunggu di kamar." Ujar pria itu. Mata Alin sontak mendelik. Sudah di tunggu dikamar? Memangnya Alin ini disebut apa? p*****r? Sialan! Dan lagi, siapa pula Rival itu. "Rival siapa ya?" Tanya Alin dengan nada ketus dan raut yang sengaja ia buat sejutek mungkin. "Eumm.. pemilik rumah ini, Mbak. Masa nggak tahu sih... Nama panjangnya... Eum... Rivaldo Hendriksen!" Rival? Rivaldo? Valdo? Aldo? Banyak juga ya sebutannya. Satu nama berjuta sebutan. Alin mengangguk paham. Si Cecep mempersilakan Alin untuk masuk. Semakin memasuki rumah megah ini, semakin membuat Alin seperti Upik abu yang tak ternilai harganya. Cecep mengantarnya sampai di depan pintu kamar Rivaldo yang berada di lantai dua. Lantas pria itu berlalu untuk melakukan pekerjaan yang lain. Alin mengetuk pintu kamar Rivaldo beberapa kali sampai seseorang di dalam sana menyerukan kata, "Masuk." Begitu membuka pintu dan memasuki kamar Rivaldo, pemandangan mengenaskan yang kini tengah ia saksikan. Rivaldo terbaring lemas diatas ranjang. Alin mendekat untuk melihat lebih jelas keadaan Rivaldo. "Hai.." sapa pria itu tak lupa memberi Alin senyuman. Lagi sakit masih saja sempat-sempatnya tebar pesona. Alin tak membalas sapaan sok akrab itu. Ia lebih ke memperhatikan wajah Rivaldo yang terlihat berbeda dari biasanya. Wajah yang biasanya bersinar kini terlihat pucat dan lemah. Di bagian kiri kelopak mata pria itu juga terdapat ruam cukup menonjol. Suara yang biasanya terdengar berwibawa sekarang bahkan untuk menyapa 'hai' saja terdengar serak-serak becek. Tidak enak didengar. "Orang kayak Bapak juga bisa kena alergi ya?" Tanya Alin sambil meletakkan tas dan tanpa pikir panjang melepas selimut yang kini tengah Rivaldo kenakan untuk menutupi tubuhnya. Alin menempelkan punggung tangannya diatas dahi Rivaldo. "Sedikit demam." Katanya dan hendak beranjak pergi dari kamar. Tapi tindakannya di cegat oleh Rivaldo. "Mau kemana?" "Cari madu. Bapak punya madu?" Rivaldo melepas tangan Alin. "Ada. Di dapur. Tanya aja ke Cecep." Alin mengangguk. Kembali memasuki kamar dengan tangan membawa sehelai lidah buaya yang sudah di belah dan madu. "Duduk dulu." Perintahnya. Rivaldo menurut, ia mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar pada punggung ranjang. Dengan telaten Alin menuangkan madu di sendok dan menyerahkannya pada Rivaldo. "Diminum." Suruhnya. "Saya nggak suka madu." "Ooh, yaudah. Nggak usah diminum juga nggak apa-apa. Nanti juga ilang sendiri alerginya." Balas Alin sok cuek. Takut Alin betulan marah, Rivaldo terpaksa membuka mulut. "Minum sendiri!" Dibalas gelengan kepala oleh Rivaldo. Dan terpaksa Alin harus menyuapi madu itu ke mulut Rivaldo. Setelah berhasil meminum madu, Alin beralih mengompres ruam di kelopak mata Rivaldo dengan irisan lidah buaya. Posisi yang membuat keduanya terlihat sangat dekat. Posisi yang selama ini Rivaldo inginkan. Dengan posisi seperti ini, membuatnya lebih leluasa dalam mengagumi wajah Alin. Wajah penuh make-up dan bibir yang selalu dipoles lipstik merah menyala. Mungkin sebagian pria tidak terlalu menyukai wanita yang berpenampilan glamour seperti Alin. Tapi berbeda dengan pria lain, ia justru terpikat oleh Alin. "Mana lagi yang ada ruamnya?" Tanya Alin selesai mengompres dibagian mata. Bukannya menjawab, Rivaldo justru hendak membuka kaos yang dikenakannya. "Bapak mau ngapain?" Tanya Alin penuh was-was, takut-takut Rivaldo berbuat yabg tidak-tidak. Tak menggubris suara Alin, Rivaldo melanjutkan buka kaosnya dan memperlihatkan beberapa ruam di sebagian tubuhnya. "Ya ampun! Pak, kita ke rumah sakit sekarang! Ini parah banget." Ucap Alin panik. Lebih panik dari ia yang sempat memergoki Ilham dan Sania cipokan dibawah pohon rindang. Sungguh. Ini mengerikan. Dibagian d**a Rivaldo ada beberapa ruam yang bisa dibilang cukup besar dan, ah! Lihatlah, bahkan sekarang roti sobek Rivaldo ternodai oleh ruam sialan itu. Alin menatap prihatin pada bos besarnya ini. "Harusnya kamu yang mengobati ini, buka  rumah sakit." Ujar Rivaldo justru mengundang emosi pada diri Alin. "Kok saya? Saya kan nggak salah apa-apa. Bapak sendiri yang ngasih makan siang ke saya dengan menu seafood. Yaudah, saya makan. Lagian, kalo tau ada alergi seafood harusnya Bapak nggak usah ikut makan, biar saya aja yang ngabisin." "Saya nggak mau tau, kamu harus merawat saya." Putus Rivaldo sambil berusaha menahan senyum kala melihat wajah marah Alin. "Mulai besok sampai saya benar-benar sembuh, kamu harus merawat saya." "Saya kan harus kerja, Pak. Lagian, Bapak kan punya pembantu, ngapain dianggurin." "Urusan kerja biar saya bicarakan ke atasan kamu. Cecep laki-laki kalau kamu nggak tau jenis kelaminnya." "Makanya cepetan nikah, biar ada yang ngurusin! Jangan main sama cewek-cewek mulu." "Memangnya kamu mau saya ajak nikah?" "Diiihh ogah!" "Kenapa?" "Bapak mukanya kayak penjahat kelamin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD