Dua Puluh Tujuh

1914 Words
Suara merdu milik Taylor Swift yang menyanyikan lagu lamanya dengan judul Love Story terdengar nyaring di kamar Alin. Sedang pemilik kamar tengah sibuk memoles lipstick merah merona di bibirnya sambil sesekali mengikuti alunan musik di ponselnya. "Kelihatan tua banget nggak sih?" Tanyanya pada diri sendiri didepan cermin. Bibirnya sengaja dikulum kedalam dengan kepala melenggak-lenggok kanan-kiri untuk menilai penampilannya sendiri. Merasa tidak setuju dengan pertanyaannya sendiri, Alin menggeleng. Tidak, dandanannya tidak kelihatan tua. Karena ia hanya sedikit menebalkan bedak saja. Ia lantas tersenyum pada diri sendiri. Senyum sumringah yang ia tunjukkan hari ini, hari pertamanya kembali masuk kerja. Ya, setelah beberapa hari menjadi pengangguran yang malas, hari ini ia bertekad untuk berangkat ke kantor lagi. Alin berharap keputusannya ini bisa membuat dirinya lebih dekat lagi dengan Ilham. Berharap Ilham melihatnya bekerja, menatap fokus pada layar monitor dan mengedit beberapa naskah. Pasti keren sekali. Tidak kalah keren dari profesi Sania. "MBAAAAK... Jadi berangkat kerja apa nggak? Kalo nggak jadi motornya mau dipake Aiden." Senyum Alin memudar, ia bergegas membuka pintu kamar. "Jadi!" Teriaknya bersamaan dengan membuka pintu. Nawang bengong memperhatikan penampilan Alin dari atas sampai bawah lalu ke atas lagi dan fokus pada riasan anak sulungnya. "Kamu mau ke kantor atau mau manggung?" "Ngamen sekalian. Ya ke kantor lah Ma..." "Tapi ini tebel banget lhoh riasan kamu." "Biarin!" Balasnya sambil berlalu melewati Nawang. Kepala Nawang menggeleng sambil mengelus d**a beberapa kali. "Sabar-sabar..." Ketika langkah Alin tiba di dapur, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Citra dan Aiden tengah berseteru tanpa suara memperebutkan ponsel milik Arsan. Pasti dua anak itu berebut ponsel Ayahnya untuk mengisi saldo Dana. Sedang si pemilik ponsel sibuk membaca koran tanpa mengetahui anak-anak nakalnya tengah adu kekuatan berebut ponselnya. Kalau sudah melihat pemandangan seperti itu membuat mood makan Alin jadi berantakan. Pasti nanti ujung-ujungnya mereka berantem pagi-pagi dan Alin tidak mau pagi ini menjadi buruk dengan melihat dua adiknya adu bacok. Jadi, untuk memulai hari pertama kembali bekerja, Alin putuskan untuk tidak ikut sarapan. Tiba di kantor, suasana masih sepi karena memang masih pagi sekali. Sambil berjalan menuju ruang divisinya, kepala Alin celingukan mencari para karyawan lain. "Ini gue nggak salah kantor kan, ya?" Tanyanya pada diri sendiri. Memasuki ruangan divisinya, Alin melihat hanya ada Jamal seorang diri disana. Pria berkacamata tebal, setebal kumisnya juga itu memang dikenal sangat pekerja keras. Jamal seringkali lembur seharian tanpa pulang ke rumah dan sepertinya kemarin Jamal tidak pulang karena dilihat dari pakaiannya, sangat kusut. Apalagi rambutnya yang berantakan. Sungguh mengenaskan penampilannya. Selesai menilai Jamal dari hati, Alin menghampiri Jamal. "Pagi Mas Jamal..." Sapanya berdiri disebelah kubikel Jamal. Jamal melirik Alin sekilas. "Saya kira kamu sudah sayonara, Lin." Sialan si Jamal! "Nggaklah... Saya kan masih butuh duit, hehe." Balasnya lantas berlalu menuju kubikelnya sendiri. Menit demi menit berlalu, para penghuni ruangan yang sama dengan Alin mulai terlihat batang hidungnya. Semuanya menyindir Alin yang beberapa hari belakangan tidak berangkat dan tahu-tahu hari ini berangkat pagi sekali. "Masih ingat kerja lo Lin?" Begitu isi sindiran Dinda. Tibalah saat Nisa memasuki ruangan dan melihat sosok Alin. "Wuiihh... Tumben udah berangkat duluan. Biasanya mepet pas dua menit sebelum bel." Sindirnya. "Mulai sekarang mau jadi karyawan teladan." Balas Alin tanpa melihat Nisa disampingnya. "Teladan, berangkat telat balik edan. Gitu dong berangkat, jangan angot-angotan." Tidak mau mood paginya berantakan, Alin memilih tak menyahuti ucapan Nisa lagi dan mulai fokus pada pekerjaan. Beberapa naskah sudah menanti untuk diliriknya. Baiklah, lebih baik ia segera selesaikan pekerjaan ini agar siangan nanti bisa santai mencari-cari keberadaan Ilham. Karena sekali bucin, tetaplah bucin. Tidak bisa ubah apalagi berpindah. Sedang fokus-fokusnya kerja, pintu ruang kepala divisi terbuka menampakkan sosok Husni disana. Membuat para pasang mata mengarah padanya. Sedang siempunya justru mengarahkan pandangan kearah Alin. "Lin, kamu disuruh ke ruangan Pak Rivaldo. Sekarang." Mata Alin melotot tak percaya. "Serius Mas?" Husni mengangguk. "Langsung kesana ya Lin, soalnya habis ini dia mau keluar." "I-i-iya Mas aku kesana sekarang." Putus Alin. Setelah Husni menutup pintu ruang kerjanya kembali, Alin merebahkan punggungnya dibahu kursi sambil menghela napas ketakutan. Iya, jelas ia takut. Mungkin bagi sebagian orang, dipanggil Pak Rivaldo sudah biasa karena pasti hanya menanyakan hal pekerjaan. Tapi jika ia yang dipanggil, sepertinya bukan lagi masalah pekerjaan yang akan Rivaldo tanya, melainkan hal pribadi. "Yaudah sih tinggal ke ruangannya aja. Kalau nggak ada masalah ngapain takut gitu. Atau... Ada sesuatu yang lain?" Ujar Nisa. Dari kemarin-kemarin ia juga penasaran. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Alin tentang Rivaldo. Alin melirik Nisa dan kembali menatap bingung pada layar monitor. "Dia tuh cuma teman Papaku Mbak, nggak lebih." Padahal Nisa tidak menanyakan hal itu tapi Alin justru memberitahu sendiri. Nisa tersenyum jahil. "Barangkali Ayah kamu mau jodohin Pak Rivaldo sama kamu." Selorohnya sambil cekikikan. Sepertinya akan lebih baik jika Alin segera keluar dari ruangan ini. "Dahlah males!" Sewotnya dan beranjak pergi. Kini Alin sudah berdiri diambang pintu ruang kerja Rivaldo. Berkali-kali Sekertaris Rivaldo menyuruhnya untuk segera masuk, tapi Alin menolaknya dengan alasan yang tak masuk akal. Dirinya malu. Tentu alasan itu membuat Sekertaris Rivaldo cuma bisa geleng-geleng kepala dan mengabaikan Alin yang diam berdiri diambang pintu. "Mana kebelet pipis pula!" Kesalnya sambil melirik Sekertaris Rivaldo yang tengah fokus bekerja. "Masuk aja deh!" Putusnya daripada menunda-nunda, lebih baik segera diatasi biar lega. Sebenarnya ada apa sih, kenapa Rivaldo segala panggil-panggil dirinya ke ruangan pria m***m itu! Bukankah sudah jelas alasan dirinya tidak berangkat kerja belakangan ini karena ingin resign. "Selamat pagi, Pak." Sapa Alin setelah berhasil masuk ke ruangan Rivaldo dan melihat pria itu duduk penuh wibawa di kursi jabatannya. Rivaldo mendongak, kedua alisnya terangkat melihat sosok Alin berdiri disana. "Oh kamu. Saya udah nunggu lama banget, akhirnya kamu punya nyali juga buat masuk. Sini duduk, pasti capek kan tadi berdiri lama di depan pintu." Ujar Rivaldo. Sekertaris sialan! Kalau Rivaldo bukan atasannya, sudah Alin abaikan perintah pria itu dan memilih kembali ke ruang kerja. Tak mau membuat masalah lagi, Alin menurut saja duduk di kursi depan pria itu. Sebelum mengeluarkan suaranya, ia menghela napas panjang. "Sebenarnya ada apa sih Bapak nyuruh saya kesini? Kalo Bapak mau bahas soal alasan saya nggak berangkat beberapa hari, bukannya Bapak sudah tau alasannya? Saya tuh sebenarnya mau resign, Pak. Tapi karena sepertinya Bapak susah buat melepas karyawan teladan seperti saya dan karena saya juga kasihan sama Bapak, jadi saya terpaksa hari ini berangkat lagi." Ungkapnya panjang lebar. Sedang Rivaldo, melihat amarah Alin justru ... Mau tau ekspresi Rivaldo saat ini? Pria itu justru tersenyum manis sambil menopang dagu memandang Alin tanpa kedip. "Kamu manis kalo lagi marah." Ucap tanpa mau melepas senyum menjijikan itu. Alin melirik kearah lain, berusaha tidak mengeluarkan ekspresi apapun setelah mendengar ucapan ngawur Rivaldo. Walau dalam hati memuji diri sendiri. 'Gini ya rasanya dicintai', begitu hatinya berbicara. Beberapa detik setelahnya, ia segera tersadar. Sialan! Dicintai Rivaldo? Pria yang suka main cewek dan memiliki hidup penuh kebebasan itu? Mati saja dirinya! Tidak! "Udah deh, langsung aja ke intinya. Bapak sebenarnya mau ngomong apa manggil saya kesini." Adakah karyawan di penjuru dunia ini yang berani berkata seperti itu kepada atasannya sendiri? Mungkin hanya Alin yang berani. Rivaldo mengganti posisi tangannya. Ia menumpu kedua tangannya diatas meja dan mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Alin. "Saya mau ngajak kamu makan siang diluar." Katanya. "Duh, tawarannya nggak tepat. Saya udah bawa bekal sendiri, Pak. Maaf." Walau sering berbicara blak-blakan pada atasannya, Alin yang masih memiliki hati tidak mau membuat atasannya ini sakit hati karena ucapan tolakannya. "Kamu bisa bawa bekal itu dan kita tetap makan bersama. Bagaimana?" Rivaldo masih berusaha mengajak. Sekarang giliran Alin yang bingung harus bagaimana caranya untuk menolak ajakan pria didepannya ini. "Eummm... Saya... Saya... Saya nggak bisa, Pak." "Kenapa?" "Karena saya mau nyari Mas Ilham!" Andai bisa berkata sejujurnya, sudah ia lontarkan jawaban itu. Tapi Alin takut jawaban jujurnya justru mengundang masalah. Bisa jadi Rivaldo akan memanggil Ilham dan mengancam Ilham untuk tidak dekat-dekat lagi dengan Alin. Sialan! Seolah dirinya Putri kerajaan saja. "Kerjaan saya banyak, Pak." Katanya lalu melirik jam tangannya, "Udah masuk jam istirahat, saya permisi." Pamitnya dan beranjak dari duduknya untuk segera keluar dari ketegangan ini. Klek! Alin melototkan matanya. Beberapa kali ia berusaha membuka pintu tapi tak kunjung terbuka. Tangannya berusaha menarik dan mengangkat kenop pintu berharap bisa terbuka, namun sekali lagi usahanya gagal. "Pak, kok pintunya nggak bisa dibuka?" Tanyanya pada Rivaldo sambil terus berusaha membuka pintu. "Tadi Bapak nggak ngunci pintunya kan?" Lanjutnya dengan wajah penuh ketakutan. Rivaldo mengangkat bahu acuh. "Itu tandanya kamu harus menemani saya makan siang disini." Lalu ia berdiri dari duduknya, menghampiri Alin, "Sebentar lagi makanannya sampai. Duduk dulu." Ajaknya untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruangannya. Apes! Sungguh apes sekali hari ini. Dengan pasrah Alin ikut duduk bersebelahan dengan Rivaldo di sofa panjang itu. Tak lama seorang OB datang membawa makanan. Alin melotot tak percaya ketika dengan gampangnya Rivaldo membukakan pintu untuk OB. Sangat gampang, tidak seperti dirinya yang harus penuh tenaga untuk berusaha membuka pintu sialan itu. Alangkah lebih sialannya si pemilik pintu itu. "Sialan! Gue dikibuli bule nyasar." Sungutnya. *** Senyum Nisa merekah kala melihat sosok Ilham dengan teman-temannya tengah duduk di kursi kantin untuk menyantap makan siang. Dengan nampan penuh makanan, ia menghampiri meja Ilham. "Hai... Boleh gabung nggak?" Sapanya pada rombongan itu. Niki yang sama-sama perempuan di kursi itu segera menyahut. "Boleh, silakan." Alangkah bahagianya Nisa kala mendapat persetujuan dari Niki. Ia mulai menyalami satu persatu teman-teman Ilham. Setelah menyalami Ilham, Nisa berbasa-basi dengan menanyakan pertanyaan sok kenal. "Kamu tetangganya Alin kan?" Ilham mengangguk saja. Memang benar adanya, ia bertetangga dengan Alin. "Saya temannya Alin, kita satu divisi." Walau tidak ada yang menanyakan hal itu, Nisa dengan percaya dirinya memberitahu. Niki yang memang sempat mengenal Alin, menyahut. "Oooh kalian satu divisi. Ohiya, dia nggak makan?" "Biasanya sih kita makan bareng. Tapi tadi sebelum istirahat dia dipanggil Pak Rivaldo dan sampai sekarang belum keluar dari ruangan Pak Rivaldo." Ilham menghentikan aktivitas mengaduk makanannya. Ia terdiam mendengar jawaban Nisa. Alin dipanggil Rivaldo dan sampai sekarang belum keluar juga? Jangan-jangan Alin di.... Ingat bahwa dirinya tetangga yang baik hati dan tidak sombong, tanpa pikir panjang Ilham beranjak bergegas untuk mencari tahu keadaan Alin saat ini. "Saya duluan." "Makanannya?" Tanya Nisa. "Sudah kenyang." Balas Ilham sekenanya dan melesat pergi begitu saja. Setahu Ilham, ruangan Rivaldo diatas satu lantai dari ruangannya. Dengan penuh tekad ia menuju ruangan itu. Walau sempat tersesat beberapa kali, akhirnya kini ia berhasil berdiri didepan pintu ruangan Rivaldo. Tidak ada Sekertaris disana, karena ini jam istirahat. Para karyawan tengah menikmati makan siangnya masing-masing. Langsung saja ia mengetuk pintu di depannya. "Masuk." Sahut seseorang didalam. Setelah mendapat persetujuan, Ilham membuka pintu dan masuk beberapa langkah. Baru dua langkah kakinya masuk, ia dikejutkan oleh pemandangan Alin tengah makan bersama Rivaldo. "Mas Ilham?" Itu suara Alin. "Ilham, ada apa?" Tanya Rivaldo. Dia sebenarnya sangat terkejut karena ternyata yang mengetik pintunya diwaktu istirahat adalah Ilham. Padahal dirinya mengira itu sekertarisnya. "Maaf Pak, saya salah ruangan. Permisi." Jawab Ilham. Sebelum benar-benar keluar, ia lirik sekilas ekspresi Alin dan segera pergi dari ruangan ini. Alin berdiri hendak mengejar Ilham. "Mas Ilham." Tapi dengan sigap Rivaldo menarik tangan Alin dan membawa wanita itu kembali duduk di sebelahnya. "Apaan sih!" Ketus Alin meronta meminta untuk dilepaskan tangannya. "Habiskan makananmu dulu." Alin memutar bola mata. "Gue tuh nggak selera makan didepan Lo!" Andai ucapan itu bisa ia lontarkan. Andai... Rivaldo tersenyum miring. Bukankah barusan adegan yang sangat mencengangkan? Sedang Ilham melangkahkan kakinya memasuki ruang kerja dengan otak dipenuhi ekspresi wajah Alin saat di ruangan Rivaldo tadi. Jelas sekali wanita itu sangat terpaksa untuk menemani makan siang Rivaldo. Ah sialan! Kenapa wajah memelas itu sekarang semakin berputar-putar di otaknya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD