“Bahwa kamu sudah tidak perawan lagi saat malam pertama kalian! Benar itu Kalista?"
"Siapa laki-laki b******n itu, Lista? Siapa? Jawab papa!!! Kamu berani berzina, Lista! Kenapa kamu lakukan ini? Pada papa? Pada suamimu? Kenapa kamu mempermalukan papa?"
Kalista menutup telinganya. Tidak mau mendengar teriakan sang papa yang sangat emosi.
"Kalista tidak tahu pah... Siapa dia Kalista tidak tahu..." Kalista menangis, menggelengkan kepalanya, tidak mau mengingat kejadian itu.
"Apa maksudmu dengan tidak tahu ha?!! Jadi kamu berzina dengan lelaki yang bahkan kamu tidak kenal? Begitu maksudnya? Papa sekolahkan kamu di negara asing bukan untuk membuatmu hidup bebas, Kalista! Free s*x, free life. Kamu bahkan lebih murahan daripada p*****r!"
Plaak..!!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kurus itu, membuat Kalista terjatuh. Percuma saja jika dia berkata yang sejujurnya. Emosi sudah menutupi hati dan pikiran papanya.
"Aduuh... sakit pah..." Kalista memegang pipinya yang terasa panas. Kepalanya berkunang. Reflek, segera dia melindungi perutnya, melindungi apapun yang ada di situ. Dan tidak ada yang menyadari gerakan tangan Kalista.
Ctaarr...!!! Ctaaarrr...!!! Bunyi cambukan beberapa kali mengagetkan Kanu yang larut dalam lamunannya. Lamunannya terhenti seketika. Dia melihat sekeliling. Kenapa suasana tampak asing? Tapi dia tersadar segera, ini di Boyolali, di rumah Eyang Sastro. Galeri Eyang Sastro lebih tepatnya. Saat ini dia sedang menunggu Kalista dan Kei.
"Astagfirullah... Ya Allah... Ya Allah... kupikir ada apa. Ternyata anak-anak kecil bermain kuda lumping. Masya Allah... aku kaget sekali. Kupikir tadi Kalista...." Kanu berbicara sendiri sambil mengurut dadanya. Jantungnya masih berdegub kencang akibat mendengar bunyi lecutan tadi. Semua karena dia sedang teringat betapa sakitnya Kalista malam itu. Masih teringat jelas semua perkataannya dan papa Kalista malam itu, seakan baru saja terjadi.
"Kamu tahu apa hukuman berzina kan Lista? Dicambuk 100 kali!" Dan entah kapan sang papa sudah mencopot tali pinggangnya, gesper kulit kesayangannya, dan mulai memukuli punggung Kalista, layaknya mencambuk.
Entah sudah berapa kali, Kalista tak tahu, dia tidak mau menghitungnya. Dia terduduk, pasrah pada tindakan papanya yang masih tetap mencambuknya dengan gesper kulit itu ke punggungnya. Jangan tanya rasa sakitnya. Tidak dapat dikatakan. Kalista diam saja, pasrah. Yang dia dapat lakukan sekarang hanyalah berusaha melindungi janinnya.
Dia menatap pilu ke arah Kanu, yang tampak sangat dingin, juga melihat ke arahnya. Air mata dengan lancangnya meluruh di pipi kurus itu, yang sekarang tampak lebam karena tamparan sang papa. Tapi Kanu tak menggubrisnya. Suami tampannya itu diam saja, mematung. Seperti tidak ada niatan untuk membelanya, atau menolongnya. Entah apa yang dipikirkan Kanu, Kalista tak tahu.
Tersenyum, Kalista mengucap kata maaf ke arah Kanu. Kedua tangannya ditangkup di depan d**a. Hingga akhirnya dia merasa tubuhnya dipeluk dari belakang oleh seseorang. Terdengar isakan keras dari orang itu. Simbok!
"Sudah pak, berhenti! Ampuni Mbak Lista, pak. Bapak cambuk saya saja. Jangan Mbak Lista, pak... Mbak Lista sudah kurus begini, kenapa bapak tega? Mbak Lista sedang sakit. Mbak Lista putri kandung bapak! Darah daging bapak!" Simbok erat memeluk Kalista, tak mau melepaskan pelukannya walau sang papa mengusir simbok berkali-kali. Ditariknya tubuh renta simbok. Hingga Kalista tidak ada lagi yang melindungi.
Kembali sang papa mencambuk Kalista. Tidak ada yang tahu, apa yang dirasakan olehnya. Dalam hatinya, dia juga menangis! Kalista putri kesayangannya. Kecintaannya, kebanggannya! Tapi, setiap pezina dihukum cambuk 100 kali. Dan Kalista sudah berzina. Putri tercintanya mengakui hal itu. Betapa hancur hatinya mendengar pengakuan Kalista tadi. Dia tidak percaya pada pendengarannya. Tapi Kalista sudah mengakuinya!
"Papaaaa... apa-apaan ini! Hentikan! Hentikan kubilang!"
Sebuah suara nyaring menghentikan cambukan itu. Tampak sang mama, berlari tergopoh mendekati Kalista. Memeluk putrinya erat. Yang sudah bersimbah air mata, dan baju yang melekat di punggungnya sudah memerah karena darah! Cambukan tali pinggang itu, membuat kulit punggung Kalista luka, berdarah. Sakit? Jangan ditanya, tapi tentu saja lebih sakit hati Kalista karena menjadi seorang tertuduh. Karena dihakimi tanpa papa dan suaminya mau memcari tahu permasalahan yang sebenarnya terjadi.
Sang mama menjerit keras. Tidak terima dengan perlakuan suaminya itu.
"Ada apa ini? Ya Allah... istighfar pah... istighfar... Kesalahan apa yang Kalista perbuat hingga papa menghukum Kalista seperti ini?" Mamanya berdiri, menghadang sang papa yang masih memegang tali pinggang itu.
"Mama minggir! Kalista berzina. Dia harus dihukum. Dia mempermalukan kita, mempermalukan papa. Dia membohongi kita, bohong pada Kanu juga!" Pak Diningrat berusaha menyingkirkan badan istrinya yang tidak mau bergerak sedikit pun.
"Kalau mama tidak mau minggir, jangan salahkan papa! Pergi!"
Saat tangan sang papa terayun hendak kembali mencambuk, tiba-tiba ada seorang pemuda tampan yang menahan laju tangan itu.
"Jangan pernah papa menyakiti mama! Adek tidak tahu Kak Lista salah apa, tapi adek yakin, kakak tidak mungkin mempermalukan nama keluarga Diningrat! Kakak orang baik!"
"Kamu masih kecil, jangan ikut campur!"
"Berani papa sekali lagi mencambuk Kalista, mama tidak akan segan menelpon polisi!" Ancam sang mama.
"Ma...ma... su.. sudahlah... Kalista memang yang sa...lah. Biarkan papà menyelesaikan hukuman ini, ma. Biar papa dan Mas Kanu puas." Lirih, terisak, Kalista berkata.
"Tidak, Lista. Apapun kesalahanmu, papa dan suamimu tidak berhak main hakim sendiri. Kalau Kanu menuduhmu berzina, dia harus punya bukti yang sangat kuat!"
"Kalista sudah tidak suci lagi, pada saat kami melakukan hubungan suami istri yang pertama kali. Dan itu adalah suatu bukti yang sangat kuat. Tidak terbantahkan." Desis Kanu, akhirnya bersuara juga. Kalista menggeleng, menangis sedih. Pantas saja saat malam pertama itu, Kanu terlihat sangat kecewa dan marah padanya.
"Mama sudah dengar apa kata Kanu kan? Yang lebih membuat emosi lagi, Kalista tidak tahu lelaki itu, pada siapa dia menyerahkan kesuciannya. Dia berzina, mah. Dan mama tahu hukuman seorang pezina di dunia ini! Sekarang lebih baik mama minggir, biarkan papa menyelesaikan hukuman yang pantas untuk seorang pezina." Kembali Pak Diningrat bersuara. Tapi tubuhnya dihalangi oleh anak lelakinya. Adik Kalista.
"Mama yang hamil Kalista! Mama yang melahirkan Kalista! Mama yang menyusui Kalista! Mama yang ikut mendidik Kalista sesuai norma! Kalau kalian ingin menyakiti Kalista, langkahi mayat mama dulu!" Sang mama berteriak penuh emosi. Ibu manapun pasti tidak akan rela anaknya disakiti, bahkan oleh ayah kandungnya!
"Kenapa mama membela orang yang salah?"
"Kalau papa tetap ngotot ingin menghukum Kalista, cambuk mama saja. Sudah berapa kali papà mencambuk putri papa ini? Masih kurang berapa banyak lagi? Mama yang akan menanggung!" Sang mama berkata dengan linangan air mata. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia akan mencari tahu kejadian yang sebenarnya. Dia yakin, Kalista tidak seperti itu.
"Silakan papa cambuk mama!"
"Cambuk saya juga pak!" Simbok kembali maju memeluk momongannya. Melindungi Kalista dari Pak Diningrat.
"Adek saja yang akan menanggung sisanya, mah. Mama dan simbok perempuan yang sangat adek hormati. Adek laki-laki! Adek kuat! Adek yakin Kak Lista tidak seperti apa yang papa katakan! Biar adek saja." Ucap si adek, kemudian membuka kemeja sekolahnya. Dia baru pulang les saat melihat mamanya tergesa menuju mobil sambil menerima telpon dari simbok. Saat itu juga, dia diajak mamanya untuk ikut. Tak disangka, dia melihat kakak satu-satunya sedang dihukum oleh papa mereka.
"Pak Darmin juga laki-laki. Bapak akan ikut menanggung. Tolong jangan lakukan pada Mbak Kalista, pak." Pak Darmin, supir keluarga, juga ikut membela. Bagi mereka, Kalista orang baik, tidak pantas dihukum seperti itu.
"Se..seemuanya... te.. terima kasih. Tapi ini Kalista yang salah. Kalian tidak boleh ikut menanggung hukuman dari kesalahan Kalista."
Sang papa merasa dikeroyok. Orang-orang terdekatnya membela Kalista. Tak tahukah mereka, dalam hatinya dia menangis pilu? Melihat kondisi putrinya yang sudah dia hukum? Tidak mudah memang, tapi dia berusaha sesuai aturan.
"Kamu... Kanu, apakah kamu sudah bertanya sebabnya pada Kalista? Apakah ada bukti dan saksi kalau Kalista berzina? Datangkan empat orang saksi kepada kami, baru kamu bisa menuduh Kalista berzina. Karena kalau tidak, kamu tahu hukuman bagi orang yang menuduh seorang perempuan baik-baik berzina, adalah kamu didera 80 kali cambukan." Kembali mamanya bertanya pada Kanu. Naluri seorang ibu, yang tidak mau anaknya disakiti. Seburuk apapun kesalahan anaknya, seorang ibu pastilah akan menjadi pembela utama. Apalagi sang mama sangat yakin bahwa Kalista tidak bersalah.
"Kalista selama ini tidak mau bilang sebabnya! Tapi, Kalista sudah membohongi saya! Saya capek dengan semua kebohongan ini. Dia bukan lagi seorang Nyonya Arkanu Witjaksana. Saya kembalikan Kalista pada mama papa." Kata Kanu dingin, kemudian berjalan pergi, meninggalkan Kalista yang menatapnya tak percaya. Tak percaya dengan kalimat yang baru saja diucapkan mulut suaminya. Saat itu Kanu tak tahu, itu terakhir kali dia melihat Kalista. Dia mengambil keputusan dengan gelap mata, pikiran dan hati. Kelak, penyesalan akan selalu menghantuinya.
Badan Kalista meluruh. Untunglah simbok sudah memeluknya sedari tadi. Semua yang ada di situ terdiam.
"Kamu memalukan papa, Lista! Kamu m*****i kepercayaan yang kami berikan. Papa tidak percaya kamu tega berbuat seperti ini. Kamu bukan anak papa! Papa tidak punya anak yang berzina, seperti kamu! Kamu bukanlah seorang Diningrat!" Papanya tergesa berjalan ke luar.
"Aku pulang dulu. Mama dan adek, papa tunggu di rumah. Kita akan bicarakan ini di rumah."
"Dek, kamu temani papa ya. Mama sama kakak dulu. Tolong dinginkan kepala papa, jangan ditambahi panas."
Si adek mengangguk, berjalan menuju Kalista dengan wajah sedih. Memeluk kakaknya erat dan berbisik, "Adek percaya sama kakak!"
Tinggallah Kalista, mama dan simbok. Ketiga perempuan ini mendadak menjadi cengeng, apalagi si mama yang tak sanggup melihat luka-luka di tubuh Kalista. Dibersihkannya luka-luka itu perlahan, sesekali berhenti ketika mendengar Kalista mengaduh. Tangannya bahkan sampai bergetar, seperti tak tega menyentuh luka itu.
"Lista... sayang... maafkan papamu ya nak, papa pasti juga menangis. Lista tahu papa sangat sayang sama Lista. Entah apa yang Kanu katakan hingga papamu jadi emosi seperti itu." Mamanya ikut terisak. Demi Tuhan, hati ibu mana yang tidak akan teriris melihat luka di tubuh anak yang disayangi?
"Mama... terima kasih mama tetap percaya pada Kalista. Terima kasih mama. Lista sayang mama."
"Sekarang kamu istirahat ya nak, posisinya miring saja. Mama akan segera panggil dokter ke sini. Mama akan pulang dulu untuk menenangkan papa. Besok kita bicara lagi ya sayang. Mama percaya Lista! Mama percaya kamu tidak seperti yang Kanu tuduhkan."
"Papà mengusir Lista mah... Kalista sudah bukan anak papa lagi. Kalista bukanlah seorang Diningrat lagi. Kalista memang salah telah mempermalukan mama papa."
"Huss... jangan berkata seperti itu. Tadi papamu sangat emosi. Tapi mama yakin, papa tidak bermaksud mengusir Lista. Kamu tetaplah Kalista Fayya Diningrat. Kamu anak kami, anak mama papa, nduk. Mama akan bicara pelan-pelan ke papa ya. Tenanglah. Sekarang istirahat. Ditemani simbok. Tapi kalau Lista butuh sesuatu, segera telpon mama."
Mamanya mencium kening anak perempuan satu-satunya itu, tanpa dia tahu, itu kecupan terakhir sebelum Kalista pergi. Dia tidak akan memaksa Kalista untuk bercerita malam ini. Cukup sudah penderitaan Kalista. Dia tidak mau menambahnya. Tapi besok pagi, saat mereka sudah tenang, dia pasti akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
~~~
"Eengguuh... maaf papa... maaf Mas Kanu. Lista yang salah. Maaf..."
Simbok yang setia menunggui Kalista, terbangun saat mendengar Kalista mengigau untuk yang kesekian kali. Sepertinya rasa bersalah itu sungguh dalam. Karena tak jua berhenti, simbok bermaksud untuk membangunkan Kalista. Tapi dia terkejut saat menyentuh tangan Kalista, merasa badan momongannya itu sangat panas. Kalista demam, badan dan kepalanya bergoyang kanan kiri.
Tadi dokter sudah datang dan segera melakukan tindakan yang dirasa perlu agar luka di punggung Kalista tidak infeksi. Kalista tapi belum minum obat yang dokter beri.
Panik, akhirnya simbok berinisiatif untuk menelpon Kelana. Dia tahu siapa itu Kelana karena mereka berdua bersahabat. Dan dia menyimpan no ponsel Kelana. Segera ditelponnya nomer itu, butuh beberapa kali hingga akhirnya Kelana menjawab panggilannya. Simbok maklum, karena sudah malam.
"Assalamualaikum simbok.. tumben nelpon malam-malam. Ada apa? Mana Kalista?"
Dengan nada sedih, simbok bercerita tentang Kalista dan meminta Kelana untuk segera datang. Dia takut jika terjadi sesuatu pada Kalista. Segera Kelana mengiyakan permintaan simbok, dia juga ikut khawatir.
"Kak Dwi... tolong anterin Lana buruuuu..."
"Kamu mau ke mana malam-malam gini, Lista? Lagian besok pagi kan acara lamaran Mas Bram loh!" Ternyata di rumah Kelana sedang sibuk persiapan lamaran Bram.
"Ke rumah Kalista mah. Barusan simbok menelpon. Sepertinya gawat. Ada sesuatu yang terjadi pada Kalista. Lana ijin dulu ya mah. Kak Dwi manaaa siih!!!" Dilihatnya Dwi datang sambil mengucek mata.
"Apaan sih dek? Malam-malam gini mau ke mana? Besok kan lamaran Mas Bram mosok kita keluyuran?"
"Duuuh udah deh cepetan, anterin Lana pakai motor. Ke rumah Kalista. Kakak pasti mau kan?"
Mata Dwi langsung membuka mendengar nama gadis yang dia sukai diam-diam. Sahabat adiknya. Selama perjalanan, Kelana bercerita seperti yang dibilang simbok. Membuat Dwi menyetir motor ugal-ugalan.
Kelana langsung berlari menuju kamar Kalista. Untunglah tadi dia sudah bilang pada simbok agar mau menunggunya jadi tidak perlu menggedor pintu.
Dan saat berada di depan pintu kamar Kalista, Kelana terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjerit. Membuat Dwi segera menghambur berlari ke arah suara, takut Kelana kenapa-napa. Adiknya itu jago bela diri, jadi kalau sampai Kelana menjerit pastilah hal Itu menakutkannya!
"Lana... dek, kamu di mana? Ada apa?" Dwi bingung mencari Kelana, tapi didengarnya sayup-sayup suara tangis adiknya. Dia jadi semakin khawatir. Dicarinya sumber suara itu. Tapi saat pintu sudah sedikit terbuka, Kelana berkata, "Kak Dwi jangan masuk!"
"Eeh... kenapa?" Dia langsung berhenti mendorong pintu.
Kelana menuju pintu itu, memeluk kakaknya sambil teriak histeris.
"Kalista kak... tubuhnya penuh luka! Punggungnya penuh luka, berdarah, memar. Tolong minta Kak Fatma untuk datang. Tadi sudah ada dokter yang mengobati kata simbok. Tapi kan Kak Fatma juga tahu kejadian waktu itu, kak. Tolong kak... Lana takut Kalista kenapa-napa."
"Siapa yang melukai Kalista? Apakah suaminya? Kalau iya, kakak akan mencarinya! Dia tidak tahu kejadian itu, dia tidak berhak menyakiti Kalista!" Wajah Dwi memerah. Tangannya terkepal. Kalau Kelana bilang Kalista luka, pastinya Kelana tahu bahwa sahabatnya itu butuh pertolongan.
"Bukan suaminya yang memukuli Kalista tapi papanya."
"Haa... apaa? Kok bisa? Kenapa?" Dwi bingung.
"Udahlah Kak Dwi tolong cepetan telpon Kak Fatma. Lana takut kak!"
Dwi segera menelpon Fatma, salah satu dokter kenalannya.
"Lana... " Dwi mengetuk pintu kamar Kalista, memanggil adiknya.
"Iya kak... Gimana Kak Fatma?"
"Sepulang dari jaga di rumah sakit akan langsung ke sini. Lana, bolehkah kakak melihat Kalista?" Pinta Dwi memohon.
Kelana menggeleng. "Jangan dulu kak, nanti saja setelah Kak Fatma datang."
Tak berapa lama, Fatma datang. Mengobrol sebentar dengan Dwi dan Kelana. Segera memeriksa Kalista. Dia ingat, dulu pernah bertemu Kalista saat masih di Auckland.
"Iyaa Kak, dia Kalista. Yang dulu itu." Jelas Kelana. "Oiyaa Kak, kemarin Kalista bilang kalau dia hamil. Apakah kehamilannya baik-baik saja?"
"Iyaa... semoga tidak apa-apa. Tapi lebih baik tetap dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut. Kakak hanya bisa bantu sebatas ini. Toh tadi sudah ada dokter yang mengobati luka-luka."
"Kalista tidak mau ke rumah sakit, Kak. Tapi nanti coba Lana bujuk lagi."
"Malam ini, lebih baik kamu temani Kalista. Besok setelah subuhan kakak jemput karena kita harus ke rumahnya Mbak Winda, lamaran Mas Bram." Dwi bersuara. Dia tak tega melihat kondisi Kalista, akan lebih baik jika Kelana menemaninya.
Usai subuhan, Dwi sudah menjemput Kelana. Kelana duduk di sebelah Kalista, mengajaknya ngobrol sebentar.
"Lista... aku pulang dulu ya. Pagi ini ada acara lamaran Mas Bram. Tapi aku janji, selesai acara akan langsung ke sini. Berjanjilah kamu akan kuat! Demi anakmu! Berjanjilah kamu akan tetap ada di sini. Kamu masih punya kami, Lista. Kalau papamu mengusirmu, tinggallah di rumah kami. Kata mama jangan sungkan. Kamu juga sudah dianggap anak sama mama kan?" Kelana berucap hati-hati. Semalam Kalista cerita apa yang terjadi. Mereka menangis berdua.
"Terima kasih, Lana. Untuk semuanya. Sampaikan salam untuk mama papamu, Kak Dwi dan Kak Fatma. Aku sayang kalian. Terima kasih."
Entah kenapa Kelana merasa itu seperti sebuah salam perpisahan.
"Lista, nanti kita akan bicara ya. Sekarang kamu harus istirahat lagi. Ingat, ada kehidupan di rahimmu, yang sudah dipercayakan oleh-Nya." Kalista mengangguk, membuat Kelana menjadi tentram untuk pergi. Dititipkannya Kalista pada simbok. Berjanji akan secepatnya kembali untuk menjenguk Kalista.
Usai Kelana pulang, hanya tinggal simbok dan Kalista yang masih tiduran dengan posisi miring. Punggungnya masih sakit. Masih terasa nyeri.
"Mbok... sekarang, hanya simbok yang Lista punya. Papa mengusir Lista mbok. Lista tidak tahu harus ke mana."
"Iyaaa Mbak Lista... mbok akan selalu bersama Mbak Lista." Jawab simbok yang baru tahu kalau momongannya sedang hamil muda.
"Mbak Lista mau ngapain? Dokter sudah pesan untuk banyak istirahat. Ibu dan Mbak Kelana juga pesan seperti itu." Kata simbok melihat Kalista yang berusaha berdiri.
"Kalista sudah diusir mbok. Sama Mas Kanu dan papa. Ini rumah Mas Kanu. Lebih baik kita segera pergi dari sini mbok, secepatnya. Simbok ikut Lista ya. Temani Lista. Kita pergi." Simbok mengangguk saja, menuruti keinginan Kalista. Dia bisa merasakan kesakitan Kalista. Dituduh, dihina dan pada puncaknya, diusir, dibuang.
Kalista hanya membawa baju beberapa potong, tas ransel dan jaket milik Kanu. Ada jejak harum tubuh Kanu yang tertinggal di situ. Semoga cukup untuk mengobati rindunya, di manapun dia berada nantinya.
Diletakkannya amplop berisi alat test pack di kasur di atas kertas bertuliskan kata Maaf.
Sudah dia putuskan semalam. Dia akan pergi dari rumah ini. Dia sudah bukan istri Arkanu Witjaksana ataupun seorang anggota keluarga Diningrat.
Dia bukan siapa-siapa lagi sekarang. Dia pergi, hanya membawa diri dan janin di rahimnya.
Berharap, akan mendapatkan ketenangan di tempat baru, jauh dari Jakarta, jauh dari Kanu. Entah di mana itu.