Pagi harinya, sang mama tidak menemukan siapa pun di rumah Kalista. Tidak ada Kalista atau simbok. Berkali-kali dia mencoba menghubungi nomer ponsel Kalista, tapi tidak ada respon. Begitu pula saat dia mencoba menghubungi nomer ponsel simbok. Hasilnya sama saja!
Panik, sang mama akhirnya nekat membuka pintu kamar Kalista. Dia sejenak tertegun, saat melihat keadaan kamar itu. Sudah rapih. Bersih. Teratur.
Seprai yang semalam sebagai alas tidur Kalista, yang terkena noda darah, sudah diganti. Meja rias mahal hadiah pernikahan Kalista dan Kanu, juga sudah rapih tertata.
Curiga, sang mama membuka pintu kamar mandi, sambil memanggil nama putri kesayangannya dengan panik. Kamar mandi pun begitu. Semua sudah rapih.
Dibukanya walk in closet, juga tampak pakaian Kanu dan Kalista yang masih rapih tertata. Tidak ada yang berkurang. Tidak ada yang mencurigakan.
Bingung, sambil tetap memanggil-manggil nama putrinya, sang mama terduduk di pinggiran kasur. Dia sudah panik. Saat dilihatnya sebuah kertas bertuliskan hanya sebuah kata, yang dia tahu itu adalah tulisan tangan Kalista. Sebuah kertas yang bertuliskan kata : MAAF.
Hanya sebuah kata, tapi dia tahu apa artinya. Artinya putrinya sudah tidak ada lagi di rumah itu. Putrinya memutuskan untuk pergi dari rumah itu.
Berteriak histeris, sang mama akhirnya tersadar untuk mengecek kamera pengawas. Dan tangisnya semakin menjadi, saat dilihatnya dari kamera pengawas itu, Kalista yang berjalan tertatih, dipapah simbok, pergi dari rumah. Tidak begitu lama setelah Kelana pergi.
Badan sang mama meluruh. Padahal dia sudah wanti-wanti berpesan pada Kalista untuk tetap menunggu di rumah, sampai dia berhasil meluluhkan hati suaminya.
Segera ditelpon suaminya untuk datang. Dan tanpa perlu menunggu lama, sang mama langsung berteriak histeris pada suaminya, marah-marah, mengomel, mengeluarkan semua emosinya. Dia tahu itu tak boleh. Tapi dia tidak terima karena Kalista pergi. Kalista merasa diusir. Terusir. Dari keluarga dan suami.
"Lista salah apa papaaaa... Papa tega sama Lista! Mama benci papa...!!! Putri kita itu tidak bersalah pah, mama yakin. Kalista anak baik-baik. Dia selalu berpegang pada Al Qur'an dan sunnah. Dia tidak pernah melanggar norma!"
Pak Diningrat diam saja. Sebenarnya dia juga khawatir. Sekarang sudah siang. Dari jam yang ada di kamera pengawas, terlihat Kalista pergi sekira jam lima lewat. Sekarang jam sebelas. Sudah enam jam berlalu. Putrinya itu bisa ada di mana saja.
Dia khawatir, tapi tidak menunjukkan kekhawatirannya. Takut istrinya semakin panik jika dia juga tampak panik. Jadi sekarang, tugasnya adalah menenangkan istrinya agar tidak jadi semakin histeris. Nanti dia akan memikirkan langkah selanjutnya. Dia bisa minta tolong pada temannya yang ada di kepolisian untuk mencari keberadaan Kalista. Atau jika perlu, menyewa jasa detektif swasta yang sekarang banyak tersedia.
"Paaa... Kalista tidak pernah hidup susah. Sekarang dia pergi tanpa membawa uang. Dompetnya dia tinggal. Pakaiannya juga dia tinggal. Dia hanya membawa dirinya saja. Padahal dia masih luka-luka, pah. Papa tega sama Kalista... hu... hu... Lista..., di mana kamu nak? Jangan tinggalkan mama, sayang!"
Karena lelah menangis, sang mama akhirnya diam saja, terduduk di sofa di ruang keluarga. Dilihatnya suaminya sedang menelpon seseorang. Mungkin minta tolong untuk mencari tahu keberadaan Kalista.
Tubuh sang mama mendadak tegang, saat mendengar deru suara mobil memasuki halaman rumah, dan suara tergesa langkah kaki. Berharap, sungguh berharap putrinya berubah pikiran dan kembali ke rumah. Bahkan Pak Diningrat juga mendadak merasa tegang. Berharap hal yang sama dengan istrinya. Tapi mereka berdua menelan kekecewaan, saat melihat siapa yang masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Kelana dan kakak laki-lakinya serta seorang perempuan yang tidak mereka kenal.
Setelah mengucap salam, Kelana yang masih memakai kebaya merasa ragu untuk masuk. Dia lihat ada papa mama Kalista yang tampak bingung. Kelana melihat ke arah Dwi, berusaha meminta pendapat. Dwi mengangguk, dan memegang pundak Kelana, sedikit mendorong untuk masuk rumah Kalista.
"Nak Lana..." mama Kalista segera memeluk Kelana dan menangis lagi.
"Tante, ada apa? Kenapa menangis? Mana Kalista tante? Lana datang lagi bareng Kak Fatma. Bawa obat-obatan dan perban baru untuk mengganti yang kemarin." Kelana banyak bertanya dengan nada khawatir karena Bu Diningrat tak jua kunjung berhenti menangis.
"Kalista pergi... tidak lama setelah Nak Lana pulang. Dia pergi dari rumah ini bersama simbok. Tante gak tahu ke mana. Tidak ada surat. Hanya ada selembar kertas bertuliskan satu kata maaf. Itu saja. Tolong tante, Nak Lana, cari Kalista. Tolong tante..."
Kelana dan Dwi saling berpandangan. Kekhawatiran mereka terjadi. Kalista nekat pergi dari rumah itu. Semua itu karena satu penyebab, si panuan itu, Kanu!
"Boleh Kelana tahu apa sebabnya Om mengusir Kalista? Semalam Kalista memang bercerita tapi saya yakin tidak semua dia ceritakan. Alasan utamanya apa Om?" Kelana bertanya dengan nada tajam. Lupa sudah dirinya akan sopan santun yang selalu diajarkan mamanya, terutama jika harus bersikap pada yang lebih tua.
Pak Diningrat bercerita singkat alasannya. Awalnya karena Kanu yang mengeluh padanya. Kalista sudah berbohong padanya, pada mereka. Kalista tidak bisa menjaga dirinya. Merasa malu karena tidak dapat menjaga kehormatan keluarga, dia memarahi Kalista. Dan hatinya lebih hancur lagi saat putrinya itu mengkonfirmasi pernyataan Kanu. Terbawa emosi yang memuncak, hingga akhirnya dia terlepas bicara mengusir Kalista.
Kelana, setegar dan sekuat apapun dia tetaplah seorang perempuan yang berhati halus. Air matanya kembali menetes walau dia berusaha untuk tidak terisak. Membayangkan penderitaan Kalista selama lima bulan menikah dengan Kanu. Bukan kebahagiaan yang sahabatnya dapat layaknya pengantin baru, tapi malah penderitaan. Mereka, orang tua Kalista dan juga Kanu, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Kalista. Dia, Dwi dan Fatma yang tahu persis. Dia harus menjelaskan akan hal ini.
"Andai saja..., hiks... hiks... andai saja Om dan Tante tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Kalista, pastinya kalian akan sungguh sangat menyesal. Lana akan menjelaskan yang sesungguhnya terjadi. Tapi Lana juga ingin, suaminya Kalista, si panu-panu itu juga ada di sini. Biar dia dengar sekalian!" Kelana emosi.
"Lanaaa... gak boleh ganti nama orang seperti itu. Kesal boleh, tapi tetap jaga sopan santun!" Tegur Dwi.
"Habisnya Lana kesel, kak! Gara-gara dia, Kalista jadi menderita begini. Tukang tuduh! Gak mau nanya, bisanya malah nuduh perempuan sebaik Kalista!" Kelana merepet melepaskan semua kekesalannya pada Kanu, yang dia panggil panu.
Segera Pak Diningrat menelpon Kanu, tapi tidak ada respon. Bahkan hingga beberapa kali panggilan. Akhirnya Mamanya Kalista berinisiatif untuk menelpon besannya, mamanya Kanu.
"Nu... ini mertuamu ingin bicara, penting katanya!" Panggil mamanya Kanu, sambil mengetuk pintu kamar anak lelakinya itu. Merasa heran karena semenjak menikah, baru kali ini Kanu datang langsung menutup pintu kamar, sedikit membanting pintu itu malah, dan tidak mau keluar bahkan untuk makan siang. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres pada pernikahan putranya itu.
"Iya maa... sebentar..." Kanu tidak pernah bisa menolak permintaan mamanya. Walau sebenarnya enggan menerima telepon terutama dari mertua.
Kanu tampak manggut-manggut. Bergumam tidak jelas. Bahkan sekarang tangannya yang bebas malah meremas rambutnya, terlihat sangat bingung dan kesal. Bu Wit tak lepas memperhatikan Kanu. Penasaran, ingin tahu apa yang terjadi. Putranya itu tertutup, apalagi masalah pribadi. Tidak mau menyusahkan orang lain.
Selesai memberikan ponsel, Kanu berpamitan pada mama papanya.
"Mama ikut kamu, Nu! Jangan dibantah! Pokoknya mama ikut."
Setiba di rumah mungilnya, Kanu sedikit heran melihat ada beberapa mobil terparkir, bahkan hingga di pinggir jalan di komplek perumahan itu. Tiga mobil! Dua dia kenali milik mama papà mertuanya. Satu lagi jeep mahal warna hitam, dia tidak kenal. Entah mobil siapa, dia tidak peduli.
Mengucap salam, Kanu membuka pintu perlahan. Langkah kakinya terhenti saat melihat sudah ramai orang di ruang keluarga rumahnya. Satu perempuan muda seumuran Kalista, dia kenali sebagai sahabat istrinya itu. Satu pemuda tampan dan satu perempuan lagi dia tidak kenal. Yang membuatnya semakin heran, tiga orang ini memakai pakaian layaknya pulang pesta. Masih berkebaya dan memakai batik panjang. Tapi tidak dipedulikannya tiga orang ini. Dia langsung duduk di sebelah Pak Diningrat, dekat tembok, karena mamanya sibuk menenangkan besan yang masih menangis.
"Ada apa ini? Siapa kalian? Kenapa rumah ini jadi ramai begini?" Tanya Kanu dingin, pandangannya tajam melihat ke arah Dwi, yang balas menatapnya tak kalah tajam. Dia curiga pada Dwi, bisa jadi dia yang...
"Kalista pergi, Nu.... sama simbok." Yaa, dia sudah tahu itu tadi saat mertuanya menelpon memintanya untuk segera datang. Jadi dia diam saja.
"Heh kamu, panuan! Gara-gara kamu Kalista pergi, tahu! Gara-gara tuduhanmu!" Kelana menjadi emosi melihat ketidakpedulian Kanu.
"Lanaaa... jaga emosimu. Jangan menambah runyam!" Dwi dan Fatma berusaha menenangkan Kelana.
"Ini rumah saya! Harap kalian bersikap sopan!" Kanu tidak terima, dipanggil panu seenaknya oleh perempuan cantik di depannya yang masih berkebaya, tapi posisinya sudah memasang kuda-kuda mengajak berkelahi. Yang Kanu tidak tahu, Kelana jago kempo. Dia hanya lelaki biasa, hanya menang tenaga dibanding Kelana.
"Nu... mereka berdua, Kelana, dan Dwi kakaknya, anak dari salah satu rekan bisnis papa. Kelana bahkan bersahabat dengan Kalista sedari kecil. Bahkan mereka juga kuliah di kampus yang sama. Dan Kelana bilang, dia akan cerita apa yang sebenarnya terjadi pada Kalista saat masih kuliah di Auckland."
"Mau cerita apalagi? Percuma saja. Karena bukti sangat kuat. Kamu hanya emosi saja kan, makanya membela sahabatmu! Jangan-jangan kalian berdua menikmati hidup bebas di negeri orang. Sudah tidak peduli akherat lagi!" Jawab Kanu tajam.
"Heh... kamu panu!" Kelana maju, kesal bukan kepalang mendengar tuduhan itu, mendekati Kanu, meraih kerah baju Kanu. Untunglah dia pakai heels, tapi tetap saja kalah tinggi. Didorongnya tubuh Kanu ke tembok! Matanya bagai singa betina yang marah karena ada yang mengusik anaknya, menatap tajam Kanu bagai ingin mencincangnya.
Tanpa sadar, dia memakai salah satu jurus kempo, boshi-ken, tangannya terbuka, terlihat seperti pukulan yang tidak berbahaya, namun ternyata pukulan jenis ini cukup mematikan karena sasaran pukulan ini adalah titik lemah (kyusho) di wajah dan leher. *
Tapi, seketika Dwi menarik tubuh adiknya itu. Inti beladiri kempo adalah bertahan, bukan menyerang. Dilarang menyerang sebelum diserang. Jangan sampai Kelana kelepasan karena emosi.
Kanu tampak sangat kaget dengan kemampuan bela diri Kelana. Membuatnya harus sangat berhati-hati, jika sang adik yang perempuan saja bisa hebat seperti itu, apalagi si kakak yang laki-laki? Dia tak mau ambil risiko. Lebih baik dia mendengar saja apa kata sahabat Kalista ini.
"Jangan asal menuduh ya! Jangan dikira kami, yang kuliah atau merantau di negeri asing, terus semua terpengaruh sama budaya mereka yang bebas! Picik sekali otakmu itu! Tidak semuanya seperti itu!"
"Biar kalian semua yang ada di sini, Om, tante dan kamu, suami yang panuan di otak dan hatimu, tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Kalista saat masih kuliah di Auckland!" Dan Kelana pun memulai ceritanya penuh emosi. Dipandanginya satu persatu keluarga Kalista yang hadir di situ. Semua dia ceritakan. Tak lupa, Fatma juga sedikit bercerita yang dia tahu saat itu.
Usai mendengar cerita Kelana, Bu Diningrat histeris! Dilihatnya suaminya. Dia marah besar pada suami dan menantunya itu.
"Kalian... papa dan kamu, Kanu, sekarang... kalian sudah tahu kejadian yang sebenarnya kan? Kenapa? Kenapa kemarin kalian tidak bertanya dulu baik-baik pada Kalista? Sekarang Kalista pergi. Kita tidak tahu dia ada di mana sekarang. Papa jahaat!!! Mama benci papa!"
"Kami sudah cerita yang sebenarnya terjadi. Urusan kami sudah selesai. Kami pamit pulang, tante!"
Kelana, Dwi dan Fatma beranjak pergi. Tapi Bu Diningrat mencegah mereka.
"Nak Lana, sebentar. Tante minta tolong, tolong bantu kami mencari Kalista."
"Kalista sudah dewasa, tante. Sudah tahu mana yang baik dan buruk untuk dirinya. Kalaupun kami tahu, mungkin saya tidak akan memberi info pada kalian. Biarkan dia memilih jalan hidupnya tante."
Padahal tanpa diminta pun, Kelana pasti akan mencari keberadaan sahabatnya itu. Hanya saja, Bram, kakak tertuanya yang bisa dia andalkan sedang sangat sibuk dengan persiapan pernikahannya.
Kelana mendekati Kanu dan kemudian terdengar bunyi... PLAAAKKK!!! Sangat keras! Tamparan itu sungguh keras, hingga membuat kepala Kanu sedikit pusing. Bahkan mamanya langsung memeluk Kanu. Kelana menampar Kanu sekuat tenaga.
"Terima itu! Itu untuk Kalista karena sudah kamu tuduh yang bukan-bukan. Seharusnya kamu didera 80 kali cambukan! Ah ya... satu lagi, nikmati penyesalan kalian. Kalista sedang hamil. Dia sedang hamil anakmu, heh panu! Kalista sedang mengandung cucu Om dan tante!"
Badan Pak Diningrat bergetar hebat karena menangis, menyesali perbuatannya. Sementara Kanu terdiam di sofa, memegang pipinya yang merah karena ditampar Kelana, tampak kaget dengan informasi yang dia dengar barusan.
Sementara itu, Bu Diningrat kembali menangis. Menyesali keputusan Kalista yang pergi. Menyesali keputusan Kanu yang mengembalikan Kalista. Menyesali keputusan suaminya yang mengusir Kalista. Dia berdiri. Menatap suaminya penuh kekecewaan. Tidak ada kata terucap. Dia sungguh sangat marah.
Dia melangkah pergi, tapi sebelumnya didekatinya Kanu dan terdengar bunyi PLAAKK... lagi. Untuk kedua kalinya Kanu ditampar. Tapi dia tahu dia salah. Dan dia hanya bisa diam saja.
Menyesal. Yaaa..., penyesalan memang selalu datang terlambat.