“Waktu Bu Anggun cuma 15 menit,” ujar suster yang mendorong kursi rodanya ke dalam ruangan Sabda dan berhenti di samping ranjang pasien. “Setelah itu, Ibu harus kembali ke kamar untuk istirahat. Saya permisi.” Anggun mengangguk. Belum-belum, air matanya sudah tumpah ketika melihat kondisi Sabda dengan semua alat yang menempel di tubuhnya. Kamar tersebut terasa sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor yang berdetak pelan mengikuti denyut jantung Sabda. Anggun duduk diam di kursi roda, tepat di sisi ranjang Sabda. Tatapannya kosong, tetapi air mata tidak henti mengalir membasahi pipi penuh rasa bersalah. Sabda terbaring tidak bergerak. Tubuhnya diselimuti selang dan alat bantu. Wajahnya terlihat tenang, tetapi itu bukanlah ketenangan yang Anggun harapkan. Anggun menatap suaminya dengan

