“Maaf ...” Sembari memegang nisan yang bertuliskan nama Sabda, Anggun menunduk. Hatinya kembali terkoyak saat mengingat masa-masa yang dihabiskan bersama Sabda, baik saat bahagia maupun dalam perdebatan-perdebatan yang tidak terhindarkan. Meskipun singkat, setiap detik bersama pria itu tetap membekas di hatinya. Terutama rasa sesal yang sampai saat ini masih saja menghantui. Walaupun sudah mulai berdamai dengan semua yang telah terjadi, ada kalanya kenangan itu datang tanpa permisi. Merayap dalam kesendirian dan membuat Anggun kembali merasa sesak dengan kenangan yang kembali merajai. “Aku sudah nggak bisa berandai-andai lagi, karena semua itu makin terasa menyakitkan.” Anggun menarik napas panjang untuk menguatkan diri. Namun, pertahanannya tetap saja runtuh. Air mata itu kembali menit

