Keduanya terdiam beberapa saat, mengatur deru napas yang masih sedikit memburu, sambil menatap langit-langit kamar dengan tatapan hampa. Perlahan, Hening menyentuh tangan Devan dan menggenggamnya, dan Devan membalasnya dengan mengeratkannya. “Aku tahu kamu yang sedih,” ujar Hening pelan, mengingat Devan yang banyak diam setelah kematian Arini, bahkan memilih menyibukkan diri di kantor dan menginap di apartemen, dan Hening yang memaklumi perasaannya. “Tapi aku sudah nggak sedih lagi, Ning. Dia memang sudah saatnya pergi. Dia sudah menderita lama, bertahun-tahun, dan dia sudah tidak sakit lagi,” balas Devan, dia merasa lebih tenang, lalu lanjut bicara, “Lagi pula, dia ingin kita semua bahagia ... dan aku bahagia denganmu.” Devan menarik tangan Hening dan mengecupnya dalam-dalam dengan mat

