Part 5

585 Words
Sebulan sudah aku tinggal dirumah Mamah, sejauh ini progres induksi laktasiku berjalan lancar. Meskipun belum sampai tahap deras, tapi setidaknya asiku sudah lumayan kuantitasnya. Karna aku tidak bisa slalu menyusui Ahsan, maka memerah adalah pilihan yang tepat supaya asiku tetap berproduksi. Bukan hal mudah buatku sampai dititik ini, selain obat obatan, kontrol emosi, juga yang paling penting adalah dukungan Mbak Ratih. entah sudah berapa kali kami berdua melakukan pijat untuk merangsang asi. Saking seringnya dalam sebulan ini, aku bahkan sampai lupa menghitungnya. Mbak Ratih ga pernah lelah memberikan dukungan positif padaku, hingga pikiranku pun menjadi tenang. Juga, dia yang paling bawel mengontrol pola makanku agar asiku bertambah banyak tiap harinya. Siang ini Mamah memintaku untuk membantu membuat kue. Karna sore nanti keponakan Mamah yang baru saja lulus SMP akan bertandang ke rumah. Jadilah kini aku menyerahkan Ahsan sepenuhnya pada Mbak Ratih. Kebetulan hari libur, jadi ada Mas Arslan yang membantunya hingga aku tenang membantu Mamah di dapur. "Maaf ya Mah, Mey, aku ga bisa bantuin" Sontak, kami berdua kaget mendengar suara Mbak Ratih yang tiba-tiba. "Kok kamu turun sih sayang" buru-buru Mamah menghampiri Mbak Ratih. Kondisi Mbak Ratih yang masih belum membaik akibat tumornya, membuatnya mudah pusing dan lemah. Terlebih, kamarnya yang berada dilantai dua membuatnya makin kesulitan untuk sekedar turun makan kebawah. Meski begitu, masih belum ada yang tau kondisi Mbak Ratih yang seperti ini adalah karna tumor otaknya. Keluarga hanya tau, Mbak Ratih terlalu lelah mengurus Ahsan. "Aku bosan Mah diatas. Lagian Mas Arslan sama Ahsan juga tidur. sendirian disana bikin bete" keluhnya. "Kenapa kamu ga panggil Mey buat nemenin kamu sih?" Mamah begitu mengkhawatirkan kondisi Mbak Ratih, maka dari itu ia jadi lebih protektif pada Mbak Ratih. "Iya, Ratih minta maaf ya Mah" Mbak Ratih menundukkan kepalanya. Mamah menghela napas pelan. "Ga perlu sayang, kamu ga perlu minta maaf. Mamah cuma khawatir sama keadaan kamu. Itu aja, ga lebih" Mamah mengusap punggung tangan Mbak Ratih lembut. Melihat pemandangan ini, aku sungguh merasa beruntung bisa berada ditengah-tengah mereka. Keluarga yang sangat hangat. Terlebih, Mamah mertua. Dia sangat penyayang. Meski tak jarang mengomel, tapi itu caranya menegur kami yang salah. "Mah, Ratih boleh bantuin ga?" "Tapi kamu masih belum sehat sayang" tolak Mamah halus. "Tapi aku pengen banget Mah, boleh ya. Please" entah kenapa Mbak Ratih sangat memaksa kali ini. Padahal biasanya dia slalu menuruti kata-kata Mamah, terlebih jika itu demi kesehatan Mbak Ratih sendiri. Mamah terlihat berfikir sejenak, lalu kemudian mengangguk tanda mengiyakan permintaan Mbak Ratih. Bukan main senangnya Mbak Ratih sampai-sampai memeluk Mamah erat. "Makasih Mah. Aku sayang banget sama Mamah" Aku tersenyum melihatnya. Bahagia melihat Mbak Ratih bisa sesenang itu. "Ehm, sama aku ga sayang Mbak?" godaku padanya. Lalu Mbak Ratih pun beralih memelukku. "Mbak juga sayang banget sama kamu Mey" ucapnya riang membuatku senang. Namun kemudian aku terdiam setelah Mbak Ratih membisikkan kalimat selanjutnya. "Tolong jaga Ahsan ya Mey, sayangi dia seperti dia anak kamu sendiri". Lirih, begitu lirih ucapannya hingga hanya aku yang benar-benar mendengarnya. Aku terpaku ditempat setelah Mbak Ratih melepas pelukannya. Ekspresi wajah Mbak Ratih biasa saja, tersenyum seolah tidak membisikkan apapun padaku tadi. Sedang aku, masih terdiam mencoba mencerna perkataannya tadi. Bertiga, kami saling bercanda dan tertawa selama membuat kue. Suara kami bertiga memenuhi seluruh rumah, hingga membuat Mas Arslan turun kebawah sambil menggendong Ahsan. Bersungut karna terganggu oleh berisiknya suara kami. Membuat kami tertawa tanpa rasa bersalah. Sore pun tiba, Nadia, keponakan Mamah akhirnya datang bersama kedua orang tuanya. Adik dan adik ipar Mamah. Tante Yani dan Om Iqbal kami memanggilnya. Kami asik bercengkrama, hingga tidak sadar bahwa kondisi Mbak Ratih mulai aneh. Brukk "Ratih" "Sayang" "Mbak Ratih" Teriak kami bersamaan saat melihat Mbak Ratih jatuh dipangkuan Mas Arslan, serta darah yang mulai keluar dari hidungnya. *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD