Panik, itu yang kami semua rasakan saat melihat Mbak Ratih pingsan dengan darah yang mengalir dari hidungnya. Buru-buru Mas Arslan menggendong Mbak Ratih menuju mobil. Mamah duduk ditengah memangku kepala Mbak Ratih, sedang Aku memegangi kakinya.
Sampai di IGD, Mbak Ratih langsung ditangani oleh dokter jaga. Sedangkan Mas Arslan pergi mengurus administrasinya.
"Maaf Pak, Bu, tolong beri kami ruang untuk memeriksa pasien ya"
Kami pun mundur beberapa langkah menjauhi brankar Mbak Ratih. Menunggu dengan cemas saat dokter memeriksa denyut jantung dan Respon mata Mbak Ratih.
"Apa pasien sudah menikah?" tanya dokter tersebut.
"Sudah Dok" jawab Mamah.
"Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada suaminya. Bisa saya bicara dengan suaminya?" tanyanya lagi.
"Tolong tunggu sebentar Dok, anak saya sedang mengurus administrasinya".
Untunglah, Mas Arslan datang beberapa menit kemudian. Lalu setelahnya dokter berbicara empat dengannya.
Tak lama kemudian brankar Mbak Ratih pun didorong entah menuju kemana oleh tiga perawat, karna belum ada yang menjelaskan apapun pada kami. Jadi, kami hanya mengikuti langkah mereka saja.
RUANG ICU
Ruangan itulah yang dituju oleh mereka. Namun kami tidak diperkenankan masuk, hingga kami hanya bisa menunggu diluar.
Entah kemana Mas Arslan pergi, karna mulai dari berbicara dengan dokter tadi hingga Mbak Ratna dibawa ke ICU, tak sedikitpun aku melihatnya.
"Mey"
Panggilan Mas Arslan yang tiba tiba membuatku kaget. Entah darimana munculnya, tiba tiba dia sudah berada dibelakang kami.
"Bisa kita bicara berdua?" tanyanya yang langsung aku angguki.
"Gimana kondisi Mbak Ratih Mas?" sungguh, hati ini begitu khawatir dengan kondisi Mbak Ratih.
"Tumor diotaknya menyerang beberapa saraf otaknya, termasuk saraf motorik. Kemungkinan besar Ratih akan lumpuh"
Lututku lemas, air matapun tak bisa ku bendung lagi.
"Ternyara tumor menyerang otaknya lebih cepat dari perkiraan dokter. Bahkan kini, kondisi Ratih dinyatakan kritis. Entah sampai kapan kondisinya akan membaik, dokterpun tak tau. Untuk itu, saya ingin minta tolong sama kamu. Tolong pulanglah"
"Enggak, saya ga mau pulang" tolakku cepat memotong omongannya.
"Dengar saya dulu Mey"
"Saya bilang enggak ya enggak" aku tetap pada pendirianku.
"Demi Ahsan, tolong pulang dan jaga dia" intonasi yang sedikit tinggi membuatku berjengkit kaget.
"Tolong Mey, ini permintaan terakhir Ratih pada saya pagi tadi. Entah memang dia sudah merasakannya atau hanya sekedar berbicara saja. Tapi, pagi tadi dia meminta saya untuk memastikan kamu menjaga dan menyusui Ahsan dengan baik. Bahkan Ratih juga meminta saya memperhatikan pola makan kamu agar asimu tetap bagus kualitasnya"
pelan Mas Arslan mengucapkannya, dan membuatku tersadar bahwa aku telah melupakan Ahsan. Bayi kecil yang saat ini pasti membutuhkan aku bukan hanya sekedar untuk menjaganya, tapi juga untuk menyusuinya.
"Maaf Mas, maafkan saya yang melupakan Ahsan disana" makin menjadi tangisanku. Merasa bersalah pada bayi kecil itu.
"Tak apa Mey, saya mengerti. Tapi saya harao kamu segera pulang dan temani Ahsan. Karna saya akan lama berada disini mendampingi Ratih"
"Saya mengerti Mas. Kalau begitu, saya pamit dulu sama Mamah, Papah juga yang lain".
"Baiklah"
Kami kembali ke depan ruang ICU, lalu aku berpamitan pada semua dengan alasan menjaga Ahsan. Alhamdulillah mereka merasa senang karna aku akan menjaganya. Mereka ingin tetap disana hingga kondisi lebih baik.
"Terima kasih Mey. Hati hati dijalan" ucap Mas Arslan saat mengantarku keluar rumah sakit.
Berat rasanya hati untuk pulang ke rumah. Inginku berada disini sampai kondisi Mbak Ratih lebih pasti. Tapi sayang, aku ga bisa egois. Disana ada Ahsan yang lebih membutuhkan ku dibanding Mbak Ratih.
Allah, jaga Mbak Ratih. Sembuhkan dia.
*******