Part 7

996 Words
Lelah, itu yang kurasakan saat memasuki kamar. Begitu sampai dirumah tadi, ternyata Ahsan tengah menangis kencang. Langsung saja aku ambil alih dia dan menyusuinya dikamar. Kurebahkan dia untuk ku susui, namun dia menolak. Hingga terpaksa ku susui dia sambil berdiri dan bertahan hingga sejam lamanya. Baru saja aku merebahkan tubuh diranjang, ponselku berdering kencang. Segera saja ku tekan tombol hijau begitu melihat nama pemanggil yang tertera adalah Mamah. "Assalamu'alaikum Mah" Salamku tak dijawab olehnya, hanya isakannya yang terdenger. Pikiran buruk langsung menghantuiku. Jantung berdebar kencang, tanganpun tiba tiba menjadi dingin. Takut kalau-kalau akan ada kabar buruk yang akan ku terima. "Wa-wa'alaik-kumsalam Mey" terbata Mamah menjawab salamku. "Mamah kenapa Mah?" Tak menjawab pertanyaanku, namun ucapan Mamah selanjutnya membuat hatiku hancur berkeping keping. "Mey, to-long bilang ke se-mua ART buat beresin ru-mah. Ratih akan pulang sebentar lagi. Tolong si-apin tempat tidur-nya di ru-ang tamu ya" isakan Mamah semakin menjadi disebrang sana. Dan aku, ikut menangis mendengarnya. Allah, mengapa Engkau mengambil Mbak Ratih begitu cepat. Batinku menangis pilu. Segera aku membantu semua ART membereskan rumah demi menyambut kepulangan Mbak Ratih. Meski kadang sulit, karna pandanganku kabur tertutup cairan bening yang tak berhenti. Bahkan semua ART pun ikut menangis setelah mendengar kabar ini dariku. Betapa Mbak Ratih orang yang sangat baik, tidak pernah membedakan bahkan kepada ART maupun satpam rumah ini. *** Tengah malam, mobil jenazah sampai di rumah. Kami menyambut jenazah Mbak Ratih dengan tangisan. Beberapa warga terutama Bapak-bapak sudah menunggu diluar rumah. Membantu menyiapkan tenda dan lainnya. Kami mengaji secara bergantian disamping Mbak Ratih, bahkan Mas Arslan tak beranjak sedikitpun dari sisinya. Pagi menjelang, kami langsung memulai proses memandikan. Lanjut mengkafani hingga menyolatkan Mbak Ratih. Mas Arslan meminta untuk menyegerakan penyelesaian pengurusan jenazah Mbak Ratih, seperti permintaan Mbak Ratih sebelumnya. Jam sembilan pagi, semua prosesi sudah selesai. Begitu cepat karna bantuan banyak orang yang sangat tanggap. Hingga kami merasa sangat terbantu karnanya. Sorenya, Mas Arslan menghampiri ku yang tengah mengambil minum di dapur. "Mey, boleh saya bicara berdua sama kamu?" tanyanya pelan. Hanya anggukkan yang kuberi sebagai jawaban. Aku mengikutinya berjalan keluar rumah. Sepertinya Mas Arslan tidak ingin ada yang tahu pembicaraan kami nanti. "Ini" ucapnya sambil menyodorkan sebuah kertas. "Apa ini Mas?" "Sepertinya Ratih memang mempunyai firasat bahwa waktunya tidak akan lama lagi. Seminggu yang lalu, dia membuat surat ini. Dan memerintahkanku untuk memberikan surat ini padamu jika dia meninggal nantinya" jelasnya yang membuatku menangis kembali. "Apa Mas sudah membacanya?" Dia menggelengkan kepalanya. "Ratih bilang, setelah kamu baca surat itu baru aku bisa membacanya. Jadi, tolong kembalikan padaku setelah kamu membacanya nanti" "Baik Mas" "Masuklah. Ahsan pasti membutuhkan mu" Aku pun masuk kembali dan langsung menuju kamarku. Tak sabar rasanya hati ingin membaca surat Mbak Ratih. *** Untuk Mey tersayang.. Beribu ucapan terima kasih, rasanya belum cukup untuk Mbak menggambarkan betapa bersyukurnya Mbak atas bantuan kamu sekarang. Ga mudah pasti buat kamu mengambil keputusan jadi ibu s**u untuk Ahsan. Bukan perkara mudah semua perjuangan kamu dari awal. Dan, dengan lancangnya Mbak minta tolong padamu untuk menyusui Ahsan lebih lama lagi. Entah kenapa, Mbak merasa waktu Mbak ga akan lama lagi. Maka dari itu Mbak ingin menuliskan surat ini untukmu. Smoga kamu berkenan membacanya. Mey, Mbak harap kamu bersedia menjaga Ahsan selamanya. Jadikan dia seperti anakmu sendiri. Tolong berikan kasih sayang yang tulus untuknya. Jangan biarkan dia merasa kehilangan sosok seorang Ibu. Karna Mbak merasa ga akan sanggup menemaninya lebih lama lagi. Susui dia dengan penuh cinta, hingga ASImu memberikan manfaat luar biasa baginya. Hanya itu permohonan Mbak sama kamu Mey. Mungkin akan sulit. Tapi Mbak mohon berjuanglah Mey. Sampaikan salam sayang dan cinta Mbak ke Ahsan. Titip peluk dan cium untuknya setiap pagi. Sampaikan juga maaf Mbak karna ga bisa menemani dia lebih lama lagi. Mbak sayang Ahsan. Begitu juga kamu. Mbak juga sayang kamu Mey. Terima kasih untuk semuanya. Salam sayang untukmu, Ratih. *** Aku terisak. Menahan perih dihati. Membayangkan betapa Mbak Ratih sudah berjuang selama ini menahan sakitnya. Sedang aku ga bisa meringankan sakitnya sama sekali. Mey berjanji Mbak, Mey akan menjaga Ahsan. Menyayangi dia sepenuh hati Mey seolah dia adalah anak Mey sendiri. Ucapku dalam hati. Setelah puas membaca suratnya, seperti permintaan Mas Arslan aku mengembalikan surat itu padanya tanpa mengucapkan apapun. *** Beberapa hari setelah kematian Mbak Ratih, akhirnya Mas Arslan memberitahu semua keluarga bahwa Ahsan akan tidur dikamarku. Mas Arslan juga jujur jika slama ini aku ikuti membantu menyusui Ahsan. Awalnya mereka semua kaget. Terlebih Mamah yang sedikit tak terima jika aku menyusui Ahsan. Karna menurut Mamah aku harus menjaga bentuk tubuhku untuk calon suamiku nanti. Tapi aku meyakinkan, bahwa aku tidak masalah dengan itu. Seseorang yang akan menjadi suamiku, harus bisa menerimaku apa adanya. Hingga semuapun pasrah dengan keputusanku. Dan kini, dua bulan sudah berlalu. Ahsan tumbuh menjadi anak yang gembil dengan pipi seperti bakpao. "Duhh, cucunya gemesin banget ya Bu" ucap salah satu teman arisan Mamah. Hari ini jadwal Mamah ketempatan arisan bulanan. Dan aku, sibuk di dapur membantu menyiapkan makanan. Dari dapur sini, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Dan terdiam ketika mendengar ucapan salah satu teman Mamah tentang diriku. "Bu Nara, sebelumnya saya minta maaf nih ya jika lancang. Cuma, saya pengen nyampein pesan dari tetangga yang resah aja". "Tentang apa ya Bu Asih?" tanya Mamah. "Ehm, dirumah ini kan ada janda dan duda yang tinggal bersama. Dan, udah mulai banyak omongan miring tentang mereka". "Tapi mereka ga ada hubungan apapun kok Bu. Mey disini karna memang menjalankan amanah Ratih untuk mengurus Ahsan" elak Mamah. "Iya sih. Cuma gimana ya Bu, orang-orang tetep ngomongin mereka". "Maaf agak lama ya Ibu-Ibu saya bawain cemilannya. Silahkan dicicipi buatan saya" ucapku seraya tersenyum. Mereka terkesiap saat melihatku datang membawa makanan. Sengaja, aku keluar agar Mamah terhindar dari obrolan tadi. Beberapa dari mereka terlihat salah tingkah begitu melihatku. Aku hanya tersenyum, pura-pura tak mendengan omongan mereka tadi. Obrolanpun berlanjut dengan topik lain. Lebih dominan membicarakan kue buatanku yang menurut mereka enak. Beberapa bahkan minta resep untuk mereka coba. Dan aku, dengan senang hati membagi resep itu pada mereka. Selesai acara, Mamah terlihat lebih banyak diam. Saat kutanya ada apa, Mamah hanya berkata tidak ada apa apa. Aku pun pasrah tak bisa memaksa Mamah. Ahh, segitu rawannya kah status janda yang ku sandang ini? Hingga sangat menarik untuk dijadikan bahan omongan mereka. Aku pun memutuskan untuk tidur melepas lelah bersama Ahsan. Entah mengapa, tidur saat menyusui Ahsan terasa begitu nikmat untukku. *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD