Part 8

679 Words
Seminggu sudah aku melihat Mamah lebih banyak diam. Pun kadang aku memergoki Mamah tengah menangis dipelukan Papah. Entah apa yang membuat Mamah seperti itu. Apakah ada hubungannya dengan omongan Bu Asih minggu lalu?, tentang statusku dan Mas Arslan yang kini sama-sama menyandang status janda dan duda?. Apa yang mereka khawatirkan?, toh kami juga tidak melakukan apa-apa disini. "Mey". "Hah, i-iya Mas" aku yang tengah melamun kaget mendengar panggilan Mas Arslan. "Bisa kita bicara sebentar?" tanyanya. "Bicara apa ya Mas?" "Ehm.." Mas Arslan tampak menggaruk lehernya seperti orang yang bingung. Hening slama beberapa menit kurasakan, tak sedikitpun Mas Arslan membuka mulutnya. "Maaf Mas, kalau ga ada yang dibicarakan saya mau pamit liat kondisi Ahsan" aku hendak pergi demi menghindari suasana canggung ini. Karna jujur saja, hubungan kami memang tidak dekat sama sekali. Dan aku pun merasa tak nyaman jika hanya berdua saja dengannya. "Tunggu Mey" cegahnya saat aku berdiri. "Huft.." Embusnya pelan. "Sejujurnya ini bukan keinginan saya untuk berbicara hal ini sama kamu Mey. Tapi, melihat kondisi Mamah seminggu ini, juga kondisi Ahsan nantinya. Maka saya terpaksa berbicara hal ini sama kamu" Aku yang tak tau arah pembicaraan Mas Arslan hanya mengernyit bingung. Apa hubungannya kondisi Mamah dengan Ahsan. Bukankah Ahsan baik-baik saja. Bukankah hanya Mamah yang kondisinya membingungkan akhir-akhir ini. "Oh, oke. Jadi Mas Arslan mau ngomong apa?" lebih baik tanya langsung kan, daripada aku hanya menduga-duga. "Ehm, Mey, mau kah kamu, ehm, menjadi I-ibu untuk Ahsan yang sesungguhnya?" Aku semakin bingung, bukankah dengan aku menyusui Ahsan itu berarti aku sudah menjadi Ibunya? Menjadi mahromnya? Atau, aku yang memang salah pengertian selama ini?. "Tapi Mas, bukankah dengan saya menyusui Ahsan itu artinya saya memang menjadi Ibunya?" tanyaku heran. Maa Arslan menggaruk alisnya sambil menampakkan ekspresi yang entah apa artinya. "I-iya sih. Ta-tapi maksud saya bukan seperti itu?" Aku mengangkat alisku. "Lalu? Maksud Mas Arslan apa?" "Mau kah kamu nikah sama Mas. Menggantikan posisi Ratih sebagai Ibunya Ahsan?" ucapnya cepat. Aku hanya bisa terbengong mendengarnya. "Untuk Mas ketahui, bahwa saya memang sudah menggantikan posisi Mbak Ratih sebagai Ibu bagi Ahsan. Jadi, saya rasa kita tidak perlu terikat dalam hubungan pernikahan?" Dia diam, tak menjawab pertanyaanku. Akupun berdiri meninggalkannya. Apa yang ada dipikirannya saat ini. Tiba tiba mengajak nikah. Hah, yang benar saja. Kalau hanya untuk jadi Ibu Ahsan, aku memang sudah melakukannya bukan. Bahkan tanpa kami menikahpun, aku tetaplah Ibunya. "Tunggu Mey" Mas Arslan ternyata mengejarku. "Apalagi Mas? Semua udah jelas kan?" aku mulai jengkel dibuatnya. "Kita masuk kamar kamu" ditariknya tanganku masuk bersamanya, tanpa bisa aku lepas. "Oke, sekarang jelaskan" tuntutku setelah melepas tanganku dari genggamannya. "Kamu pasti tau kalau akhir-akhir ini Mamah sering menangis" aku mengangguk mengiyakan. "Bukan tanpa alasan Mamah menangis, Mamah hanya sedih memikirkan kamu dan Ahsan" jelasnya. "Apa maksudnya?". "Beberapa warga sempat mendatangi Mamah dan meminta salah satu dari kita untuk keluar dari rumah ini". Aku terbelalak kaget mendengarnya. Kenapa bisa sampai seperti itu. "Warga hanya tidak ingin ada hal-hal buruk terjadi antara kita secara tidak sengaja. Mungkin dilihat dari status kita, pikiran mereka menjadi negatif. Dan Mamah, ga bisa melepas saya ataupun kamu" "Kenapa sulit? Saya bisa mengalah dan keluar dari sini" "Mamah ga ingin Ahsan kehilangan kasih sayang kamu, juga ASI kamu. Mamah juga ga ingin saya yang keluar dan Ahsan ga bisa ketemu saya setiap hari. Maka dari itu, Mamah meminta saya untuk menikah dengan kamu" ucapnya ragu. Aku hanya bisa diam. Entah harus seperti apa mencerna semuanya. Disatu sisi, aku membenarkan ucapan Mas Arslan tadi. Tapi disisi lain, aku masih belum ingin terikat dalam hubungan pernikahan lagi. "Saya beri kamu waktu sampai besok Mey. Saya harap, kamu sudah memiliki jawaban terbaik untuk kita semua" Mas Arslan pun keluar meninggalkan aku sendiri dengan pikiran yang tak menentu. Aku berjalan menuju nakas, tempat dimana fotoku dan Mas Farhan terpajang disana. Kami tersenyum saling memandang. Tanganku melingkar hingga tengkuknya. Sedangkan tangannya, merangkul pinggangku mesra. Panorama gunung yang menjadi latar belakangnya, menambah sempurna foto kami. Indah, dan romantis menurutku. Kutatap foto itu lekat, sambil memikirkan keputusan yang harus aku ambil. Rasa sayangku terhadap Ahsan bukan hanya sebagai keponakan, tapi lebih dari itu. Dia anakku, meski tak terlahir dari rahimku. Kebersamaan kami, membangun suatu ikatan yang kuat dihatiku. Haruskah aku mengorbankan Ahsan dan semua harapan Mbak Ratih serta Mamah padaku. Ataukah, mengorbankan egoku demi kebahagiaan semua. Lagi-lagi, aku terjebak dalam pilihan yang sulit untukku ambil. *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD