“Kenapa kamu bersikap seperti tadi, Sekar?” Dipta bertanya dengan intonasi dingin begitu kami memasuki apartemen.
Setelah makan malam dan berbincang-bincang singkat, aku, Dipta dan Melani kemudian berpamitan. Aku pulang bersama dengan Dipta, menggunakan mobilku. Karena terpaksa tentunya. Sedangkan Melani pulang dengan mengendarai mobil milik Dipta.
“Seperti apa sih, Dipta?” Jika sedang berdua dengan Dipta, maka embel-embel Mas tak kugunakan. Entah mengapa, hatilu belum sepenuhnya ikhlas memanggil Dipta dengan sebutan Mas Dipta.
“Kamu menyindir Melani terus-terusan. Dan jangan dikira aku tidak tahu, kamu sering menatapnya dengan sinis!” Dipta terang-terangan menyalahkanku. Memprotesku.
“Aku tidak menyindir Melani, Dipta. Apa yang aku ucapkan sepenuhnya benar. Kita masih berstatus sah suami istri. Seharusnya, Melani lah yang lebih paham posisi dia siapa. Dia belum menjadi istrimu, tapi sudah belagak seperti istrimu.” Aku tak terima disalahkan oleh Dipta. Meskipun pernikahan kami masih berjalan dingin, aku tetap istri sah dari Dipta. Dan sudah seharusnya aku yang melayani Dipta, bukan Melani.
“Dan kamu harusnya paham, Melani adalah sahabatku dari kecil. Dia lebih mengenalku, ketimbang kamu!” Tak kusangka, Dipta membentakku. “Kalau kamu memang terganggu dengan kedekatan kami, kamu bisa mengajukan perceraian kita secepatnya!”
Lagi-lagi, Dipta menawarkan sebuah perceraian. Aku tahu, jalinan rumah tangga ini memang sangat rapuh. Meski sah secara agama dan negara, tetapi ada sebuah perjanjian yang mengikat kami. Kami diizinkan berpisah, jika dalam satu tahun tidak ada perkembangan dalam hubungan kami. Tetapi sekali lagi, bukan secepat ini perpisahan yang kuinginkan.
“Apa salahku, Dipta? Sampai kamu bersikap setega ini padaku?” Aku berteriak dengan suara bergetar. Marah bercampur sedih yang tak bisa kuhindari. Mengapa harus seperti ini jalinan rumah tanggaku? Mengapa harus aku yang akan dipoligami?
“Ini bukan soal tega atau tidak tega, Sekar. Ini soal bayi di kandungan Melani. Bayi itu butuh seorang ayah. Dan aku adalah ayah dari bayi itu. Jadi mau tidak mau, kamu harus merelakan aku menikahi Melani.”
“Tapi kamu bahkan baru memberitahuku seminggu sebelum pernikahanmu dengan dia! Kamu tidak mendiskusikannya lebih dulu padaku, Dipta!” aku berteriak marah padanya. Aku berhak marah bukan, karena baru dua bulan menikah aku akan dipoligami?
“Karena aku tidak membutuhkan izinmu untuk menikahi Melani, Sekar. Itu sebabnya aku memberitahumu secara mendadak. Kamu paham itu?”
“Tega sekali kamu, Dipta. Apa salahku? Selama pernikahan kita, apa pernah aku merepotkanmu? Apa pernah aku menuntut apa-apa darimu? Tidak pernah, bukan? Tapi kenapa kamu setega ini?”
Akhirnya, luruh juga air mataku. Ada sakit yang tak bisa kujelaskan menghadapi pernikahan seperti ini. Seharusnya mungkin memang sejak awal aku tidak menyetujui perjodohanku dengan Dipta. Tetapi semua sudah terjadi. Waktu sudah tidak bisa ditarik mundur.
“Jangan berdrama, Sekar!” Kembali Dipta membentakku dengan suara yang lantang. “Sudah kukatakan, jika kamu tidak ingin berada di pernikahan ini, silakan gugat cerai.”
“Jahat sekali kamu, Dipta!” kataku lirih. Lantas kutinggalkan begitu saja pria itu di ruang tamu.
Aku masuk ke kamar dan menangis semalaman.
…
Pada pagi harinya, tak kulihat sosok Dipta di manapun. Kupikir dia bangun siang karena ingin menghindariku. Rupanya dugaanku salah. Ketika aku berada di basemen, menuju mobilku, Dipta berada di sana bersama dengan Melani. Mereka sepertinya baru saja tiba, dan Dipta tengah menurunkan koper-koper besar yang kuduga milik Melani.
Tak ingin dihantui rasa penasaran, aku menghampiri mereka. Suara ketukan sepatuku membuat mereka membalikkan badan dan seketika menghentikan tawa seru yang sejak tadi kudengar.
“Pagi Sekar.” Melani menyapaku lebih dulu dengan ramah, sembari mengusap perut yang sedikit membuncit secara samar.
“Pagi, Mel,” sahutku. “Ini siapa yang pindahan? Banyak sekali barang-barangnya?” tanyaku pada Dipta dan Melani.
“Aku yang akan pindah ke sini, Sekar,” jawab Melani dengan senyum sumringah.
“Apa?” tanyaku terkejut. “Kamu juga tidak mendiskusikan ini denganku, Dipta!” tuntutku pada Dipta yang sedari tadi sibuk menurunkan barang-barang milik Melani.
“Melani, tunggu aku di unit. Aku mau bicara dengan Sekar dulu,” kata Dipta seraya mengusap pelan lengan Melani yang terbuka karena perempuan itu memakai gaun tak berlengan.
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Melani dengan patuh mengikuti perintah Dipta. Kini hanya tinggal aku dan Dipta yang berdiri persis di sisi mobil milik pria itu.
Dipta menatapku marah, seperti singa yang ingin mencabik-cabik mangsanya. Namun aku tak gentar dengan tatapan penuh amarahnya.
“Kenapa kamu membawa Melani ke sini?” tanyaku dingin.
“Tenang saja, dia tidak tinggal bersama kita. Dia akan tinggal di unit samping kita. Lagi pula ini juga bukan urusanmu, Sekar! Sekali lagi, kalau kamu tidak ingin berada di pernikahan ini. Silakan pergi!”
“Bukan itu poinnya, Dipta. Kamu kan bisa memberitahuku lebih dulu soal kepindahan dia ke sini? Kenapa lagi-lagi kamu tidak mendiskusikannya denganku? Aku ini istrimu, bukan patung!”
“Oh jadi, kamu sekarang mengakui kalau kamu istriku?”
“Sejak awal aku pun mengakuinya, Dipta. Kamu yang sejak awal kita menikah sudah menjaga jarak denganku.”
“Dan kamu ingin tahu, kenapa selama ini aku menjaga jarak denganmu?” tanya Dipta dengan senyum samar di ujung bibirnya.
“Katakan, kenapa?” tanyaku penasaran.
“Karena aku tidak ingin merenggut sesuatu yang berharga darimu, Sekar.”
“Maksud kamu apa?” Aku paham maksud kalimat Dipta, tetapi entah mengapa justru pertanyaan itu yang keluar dari bibirku.
“Kamu tahu maksudku, Sekar. Aku tidak ingin membuatmu semakin kecewa dengan merenggut kesucianmu, lalu pernikahan kita berakhir di persidangan. Aku pria normal dan kamu adalah wanita cantik. Bohong, jika aku tidak tertarik padamu,” ujar Dipta yang membuatku mematung.
Bibirku tak bisa mengucapkan sepatah kata lagi, hingga pria itu meninggalkanku setelah mengusap pipiku untuk pertama kalinya setelah pernikahan kami.
Bersambung