Hari pernikahan Dipta dan Melani akhirnya tiba. Aku terbang ke Pulau Bali seorang diri, karena kedua sahabatku tidak bisa menemani. Dipta dan Melani berangkat menggunakan pesawat di jadwal penerbangan pagi, sedangkan aku memilih jadwal penerbangan sore.
Aku dan Dipta beralasan pada orang tua kami, jika kepergian kami ke Bali untuk berlibur. Tanggapan mereka tentang liburan bohongan kami kali ini tentu saja begitu heboh. Dan mereka mendoakan, begitu kami pulang ke Jakarta membawa kabar baik soal kehamilanku.
Sepanjang perjalanan, aku banyak berpikir. Untuk apa bertahan di pernikahan ini. Dan mengapa, aku rela terbang ke Bali untuk menyaksikan pernikahan suami dan calon maduku. Secara sadar kuakui, aku belum mencintai Dipta. Tetapi entah mengapa rasanya aku tidak rela jika harus berpisah di saat pernikahan kami baru memasuki bulan kedua.
Setiba di Bandara, staf dari hotel yang dipesankan oleh Dipta menjemputku. Aku segera menaiki mobil SUV berwarna putih menuju hotel tempatku menginap, sekaligus akan menjadi tempat pesta pernikahan Dipta dan Melani digelar. Pesta keduanya sendiri akan digelar esok malam, yang konon hanya dihadiri 50 tamu undangan saja.
Tak kusangka, Dipta sudah menungguku di lobby hotel begitu aku tiba. Tak kuduga pula, pria itu memelukku singkat.
“Mau langsung istirahat atau makan dulu?” tanyanya kemudian, yang membuatku semakin mengerutkan kening. Tumben sekali!
“Langsung istirahat saja, tadi sudah makan di pesawat,” jawabku, menatap bingung pada sikap Dipta kali ini.
“Ayo, kuantar ke kamar kalau begitu,” ucapnya sembari menunjukkan kartu akses kamar yang akan kutempati.
Kami berjalan beriringan, dengan Dipta yang membawakan koperku dalam diam. Aku masih cukup terkejut dengan sikap Dipta sekarang. Yang menyambutku di lobby, tersenyum ramah dan sekarang membawakan koper milikku. Dua bulan lalu, ketika kami berada di Lombok untuk berbulan madu, Dipta bahkan sengaja memesan dua kamar, agar kami tidur di kamar yang terpisah. Dia bahkan tidak berniat membantu membawakan koper milikku.
Kami tiba di kamarku. Lagi-lagi Dipta memperlakukanku dengan sangat amat berbeda. Dipta membukakan pintu untukku, dan memastikan kamar hotel dalam keadaan bersih, juga suhu ruang yang pas untukku.
“Ok, everything is perfect. Let me know, if you need something, Sekar,” ucap Dipta, setelah memastikan fasilitas di kamarku dalam kondisi prima.
“Thank’s.” Aku mengangguk saja seraya tersenyum kecil. Kami memang tinggal di unit apartemen yang sama, tetapi ini adalah kali pertama kami berada di kamar yang sama. Sehingga kau merasakan kecanggungan luar biasa.
Dipta mengangguk, lantas melangkah keluar dari kamarku. Meninggalkanku yang termenung beberapa saat, sebelum melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Jujur saja, sikap Dipta kali ini aneh sekali. Tidak seperti biasanya. Pria itu selama ini cenderung dingin dan abai padaku.
“Sekar, dia hanya menyambutmu di lobi dan membawakan kopermu sampai kamar. Bukan mengorbankan nyawanya demi kamu. Jadi, jangan berpikir dia sudah mulai berubah! Berubah pun, statusnya kamu dimadu, bukan menjadi istri satu-satunya!” Gumamku seorang diri.
Aku terbangun pada pagi harinya, ketika pintu kamarku diketuk. Rupanya aku kembali tertidur masih mengenakan mukena seusai shalat Shubuh. Tanpa melepas mukena, aku menuju pintu. Dari lubang kecil pada pintu aku bisa melihat sosok di balik pintu kamarku, yang ternyata adalah Dipta.
Ada apa pria itu kemari?
“Hi, morning, Sekar,” sapanya setelah kubuka pintu kamar.
“Morning, Dipta,” sahutku dengan berdiri di ambang pintu.
“Kamu baru bangun?” tanyanya kemudian. “Aku mau ngajak kamu sarapan.”
“Duluan saja, nanti aku menyusul,” kataku, karena tak ingin makan bersama dengan Dipta dan Melani.
“Kita bisa duduk di meja berbeda kalau kamu tidak ingin semeja dengan kami.”
“Ya memang itu yang akan aku lakukan,” sahutku cepat.
Dipta menganggukkan kepala. “Ya sudah kalau begitu. Aku hanya berusaha bersikap adil padamu dan Melani. Kalau kamu memang tidak nyaman, aku tidak akan melakukan perhatian sekecil apapun padamu lagi.”
Dipta mengatakannya dengan datar, namun cukup membuatku merasakan denyutan kecil di sudut hatiku sana.
Aku sudah melepas mukena dan tengah berias, ketika pintu kamar kembali diketuk. Kali ini ketukannya lebih kencang dari sebelumnya. Suara Dipta juga terdengar panik dari balik pintu sana.
Aku bergegas menuju pintu. Begitu pintu terbuka, Dipta menerobos masuk ke kamar, sebelum aku sempat persilakan.
“Mama barusan minta video call,” infonya, yang membuatku akhirnya paham akan kepanikannya. “Kamu sudah siap aku hubungi Mama lagi?”
Aku mengangguk patuh, kemudian menutup pintu dan tak lupa menguncinya. Kemudian aku menyebelahi Dipta duduk di sofa dengan d**a berdebar. Ini pertama kalinya kami duduk sedekat ini, setelah menikah.
“Assalammu’alaikum anak-anak Mama yang sedang berbulan madu,” ucap Mama Saraswati dari seberang sana dengan sumringah.
“Wa’alaikumsalam, Mama,” sahutku dan Dipta bersamaan. Duduk sedekat ini, membuatku bisa menghidu aroma parfum dari tubuh Dipta yang mengusik ketenanganku.
“Kalian sudah rapi mau ke mana?” tanya Mama lagi.
“Kami mau sarapan, Ma.” Kali ini Dipta yang menjawab.
“Kenapa nggak sarapan di kamar saja? Supaya Sekar nggak kecapean, jadi bisa lanjut lagi bulan madunya.” Dapat kulihat Mama tersenyum penuh arti di layar ponsel.
“Mama, kami cuma mau sarapan saja, bukan mau keliling Bali jalan kaki. Jangan berlebihan lah.” Dipta nampak memrotes Mama Saraswati.
“Mama kan cuma mau Sekar nggak kelelahan. Dan berharap, sepulang dari Bali, ada kabar baik soal kehamilan Sekar.”
“Iya, Ma, mohon doanya ya, Ma,” ujar Dipta dengan wajah tertekan yang membuatku menahan tawa.
Bagaimana aku bisa hamil, sedangkan berduaan di kamar saja baru kali ini.
“Sekar, kamu kenapa diam saja dari tadi? Kamu sakit, Nak? Atau Dipta nakalin kamu?”
Dipta menyerahkan ponselnya padaku, hingga kini di layar ponsel hanya ada wajahku dan Mama Saraswati.
“Sekar baik-baik saja, Ma,” kataku tersenyum lebar.
“Syukur lah kalau begitu. Mama cuma nggak mau terjadi sesuatu dengan menantu kesayangan Mama. Pokoknya kalian harus gunakan waktu sebaik mungkin di sana. Lupakan soal Jakarta dan pekerjaan. Mama tunggu kabar baiknya.”
“InsyaAllah, Ma. Doakan saja,” kataku tersenyum kecil.
“Ya sudah, enjoy your honeymoon. Assalammu’alaikum,” Kata Mama mertuaku mengakhiri pembicaraan kami.
“Wa’alaikumsalam. Terima kasih, Ma.”
Kukembalikan ponsel pada Dipta, begitu sambungan video benar-benar telah terputus. Dipta menerimanya lantas meletakkannya begitu saja di sofa.
“Kalau suatu hari keluarga kita akhirnya tahu tentang pernikahanmu dengan Melani bagaimana?” tanyaku, ingin mengetahui pendapatnya.
Dipta menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi yang menyebalkan. “Bagaimana apanya? Kalau mereka semua marah ya aku terima saja. Kalau mereka meminta aku menceraikanmu, akan kulakukan. Lagi pula, dari awal aku pun sudah memberikan opsi untukmu, Sekar. Kalau kamu memang tidak ingin ….”
“Kamu benar-benar tidak ingin aku menjadi istrimu, Dipta?” tanya memotong kalimatnya.
“Apa maksud kamu, Sekar?”
“Kamu bersedia menerima perjodohan kita, semata demi membahagiakan Mama dan Ibu, tidak ada alasan lain?”
“Alasan apa yang kamu pikirkan, Sekar? Cinta? Tentu saja tidak mungkin. Kita kenal dekat juga tidak.” Dipta terkekeh di ujung kalimatnya.
“Aku tidak berpikir seperti itu.”
“Lalu apa yang kamu pikirkan, Sekar?” tanya Dipta dengan nada menuntut.
Aku diam, karena tak memiliki jawaban.
“Sudah lah, kita jalani dulu sekarang takdir kita. Kalau kamu masih mau bertahan, aku akan berusaha merubah sikapku padamu. Kalau kamu tidak ingin bertahan, kamu tinggal katakan padaku, dan akan kuurus semuanya.”
Sekar, seharusnya kamu tidak perlu bertanya apapun padanya!
Bersambung