Selamat membaca teman-teman!
….
Aku menyiapkan diri menuju tempat pesta pernikahan Dipta dan Melani diselenggarakan. Mengenakan gaun rancanganku sendiri berwarna merah darah, malam ini aku berdandan lebih menor dari biasanya. Aku ingin tampil cantik di pesta pernikahan suamiku. Aku sudah melatih bibirku untuk tetap tersenyum, menyiapkan mental untuk menghadapi apa pun kondisi di pesta nanti. Tentu saja, aku tidak ingin terlihat menyedihkan di sana.
Setelah memastikan penampilanku sempurna, aku keluar dari kamar untuk menuju ballroom di lantai bawah. Dadaku kian berdebar, meski sudah berkali-kali kuyakinkan diri jika semuanya akan baik-baik saja.
Aku sudah masuk ke dalam lift ketika pintu lift yang hampir menutup ditahan oleh sebuah tangan. “Tolong, tunggu,” kata seseorang itu.
Aku pun menekan tombol agar lift terbuka kembali. Begitu pintu terbuka, seorang pria yang mengenakan setelan formal memasuki lift. Aku menganggukan kepala dan tersenyum kecil, untuk membalas ucapan terima kasihnya yang diiringi senyuman kecil. Sekilas, aku seperti mengenalnya. Tapi aku memilih untuk tidak menyapanya, karena khawatir salah orang.
Rupanya pria itu juga hendak menuju pesta pernikahan Dipta dan Melani. Langkah kami hampir beriringan ketika memasuki ballroom hotel yang sudah dihias megah dengan dekorasi pernikahan modern.
Ketika akhirnya aku masuk lebih jauh ke tempat pesta, bisa kurasakan banyak pasang mata yang menatapku. Entah apa arti tatapan mereka, satu yang pasti aku tidak merasa terganggu dengan itu. Aku terus melangkah ke depan panggung pelaminan, di mana Dipta dan Melani tengah bersanding di sana.
Secara sekilas bisa kulihat tamu-tamu yang datang sebagian besar adalah para aktris dan selebgram yang wajahnya cukup familier bagiku. Dan kuduga tamu lainnya adalah rekan kerja Dipta, keluarga Melani atau mungkin para mantan perempuan itu.
Wajahku menatap lurus ke depan, berjalan penuh percaya diri untuk menghampiri suamiku yang tengah bersanding dengan istri keduanya. Aku tidak cemburu, aku tidak sakit hati. Aku berada di pesta pernikahan mereka, semata untuk membuktikan pada Dipta dan Melani jika aku bukan lah perempuan lemah.
Tiba di panggung pernikahan, kutatap tajam Dipta yang menatapku datar.
“Selamat, atas pernikahanmu, Suamiku.” Kuulas senyum terbaik untuk pria bermata bulat ini. “Selamat berbahagia.” Aku menyalaminya dengan erat.
“Terima kasih, Istri pertamaku.” Dipta tersenyum lebar, lantas mengedipkan satu matanya. Lantas Dipta mendekatkan bibirnya pada telingaku dan membisikkan, “Kalau kamu kesepian, kamu bisa bergabung dengan kami. Aku tunggu!”
Seketika kucubit pinggang Dipta hingga pria itu mengaduh. “Kamu meledekku?!” Kupelototokan mata padanya, dan justru membuat tawanya kian mengudara. Kurang ajar dia!
“Kak Dipta, nggak boleh begitu sama Sekar.” Melani yang sepertinya mendengar bisikan Dipta menepuk pelan bahu Dipta. “Sekar, maaf ya. Kak Dipta memang rese!” Lalu Melani tersenyum manis sekali padaku.
Tak ingin berlama-lama di atas panggung pernikahan, aku pun segera menyalami Melani dan setelahnya turun untuk duduk di kursi jamuan.
Mengabaikan tatapan dari tamu undangan lain, aku memilih meja samping food stall. Begitu aku duduk di salah satu kursinya, seorang pelayan membawakanku minuman dan makanan pembuka. Mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut, aku melihat sekeliling untuk mencari pria yang tadi bersamaku di lift. Pria itu rupanya duduk di sebuah meja di ujung ruangan, bersama para aktris.
Semakin mengamati pria itu, semakin yakin jika aku memang mengenalnya. Aku mencoba menggali ingatanku. Setelah beberapa lama berpikir, akhirnya kuingat jika pria itu adalah kawan SMA-ku dulu, bernama Mahameru.
Tapi kenapa dia tidak mengenaliku?
----
Suasana pesta sangat meriah. Seorang penyanyi solo yang sedang viral akhir-akhir ini menghibur kami semua dengan suara merdunya. Beberapa tamu juga turut bernyanyi dan berjoget di atas panggung sana yang membuat tamu undangan lain sangat terhibur.
Aku menghela napas dalam lalu menyesap minumanku, kemudian mulai menikmati makanan pembuka yang dihidangkan pelayan tadi. Sembari mendengarkan pembawa acara yang akan mengumumkan rangkaian acara pesta.
Musik kini mengalun lembut dan semakin membungkus atmosfer pesta kian sakral. Aku yang duduk seorang diri, menatap ke panggung pernikahan di mana Dipta dan Melani kini tengah memotong kue pernikahan dengan datar. Meski sudah melatih diri untuk tersenyum, nyatanya sulit juga ketika menyaksikan langsung kedekatan Dipta dan Melani.
“Dan sekarang, kita saksikan kedua mempelai untuk saling menyuapi.” Pembawa acara berseru riang di depan sana.
Detik berikutnya, terjadilah adegan saling menyuapi antara Dipta dan Melani. Aku tersenyum kaku dan bertepuk tangan pelan mengikuti tamu undangan lainnya. Aku tidak bahagia akan pernikahan mereka, namun juga tidak cemburu.
Setelah adegan suap menyuap, tiga orang staf menyingkirkan kue berwarna putih tersebut dari atas panggung.
“Jadi semunya, ternyata Mas Dipta dan Mbak Melani ini sudah bersahabat sejak kecil. Sepertinya mereka cinta berkedok sahabat ya, hingga akhirnya sekarang bisa menikah? Benar begitu Mas Dipta?” Pembawa acara kemudian mendekatkan mikrofonnya pada bibir Dipta.
“Benar.” Dipta menjawab dengan tenang dan cepat yang disambut gemuruh tepuk tangan oleh seluruh hadirin di ballroom ini.
“So, how about now we watch our newlywed couple's wedding kiss? Setuju?”
“Setujuuuu.” Gemuruh kembali terdengar di ballroom ini.
Aku menghela napas demi menyaksikan adegan selanjutnya di atas panggung sana. Dipta dan Melani yang tersenyum malu-malu akhirnya saling bergandengan tangan dan kemudian secara perlahan hendak mendekatkan bibir mereka.
Entah mereka benar-benar berciuman atau tidak, karena sebelum bibir mereka benar-benar menempel aku sudah beranjak pergi dari kursiku. Rupanya batinku tak sekuat yang aku pikir. Aku tak sanggup menyaksikan Dipta dan Melani melakukan kemesraan itu.
Aku memilih pergi meninggalkan tempat pesta itu masih dilangsungkan. Menahan gejolak perasaan yang melingkupi d**a, aku bertekad untuk segera mengajukan perceraian atau bahkan pembatalan pernikahan pada Dipta.
Aku yakin, aku tak mungkin sanggup berada pada pernikahan ini. Biarlah aku mendapat predikat janda atau apapun itu, asalkan aku tak menjadi bagian dari kehidupan Dipta dan Melani.
Ya, malam ini kuputuskan untuk berpisah dengan Dipta.
Bersambung