“I want a divorce.” Kuucapkan kalimat pahit tersebut, begitu kubuka pintu kamar hotel untuk Dipta.
Ini baru pukul lima pagi, ketika pria itu tiba-tiba mengetuk pintu kamar hotelku entah dengan tujuan apa. Dan tanpa basa-basi, begitu wajahnya muncul di hadapanku, aku segera mengucapkan kalimat yang ditunggu-tunggunya selama ini. Bercerai.
“Listen to me, Sekar.” Dipta bergerak maju dan menutup sekaligus mengunci pintu kamar.
Dia menatapku tidak seceria di pesta malam tadi. Pria itu seperti sedang kalut. Padahal seharusnya Dipta berbahagia bukan? Karena sudah resmi memperistri Melani?
“We can’t get divorced now. Mama terkena serangan jantung, Sekar. Dan sekarang sedang di rumah sakit. We should back to Jakarta right now. Aku sudah memesan tiket untuk kita berdua.”
Untuk beberapa saat aku hanya mematung mendengar informasi yang disampaikan Dipta. Apa katanya? Mama serangan jantung? Mama Saraswati, yang selama ini menjalani hidup sehat, terkena serangan jantung? Kenapa bisa? Pikirku bertanya-tanya.
“Come, on, Sekar. Kita harus cepat. Kita berangkat satu jam lagi.” Dipta memecah lamunan sesaatku.
“Tapi bagaimana kondisi Mama sekarang?” tanyaku tak bisa menutupi kepanikanku.
“Untuk sekarang, Mama masih dalam penanganan dokter.” Dipta menjawab pelan penuh keputusasaan. “Kita harus cepat, Sekar. Kamu siap-siap sekarang ya.” Usai mengatakan kalimat itu, Dipta berlalu dari kamar ini.
Tak ingin membuang waktu, aku pun segera merapikan semua barang-barangku. Salah satu keuntungan mandi saat sebelum shalat Shubuh yakni seperti saat ini, ketika sedang diburu waktu, aku tidak perlu mencemaskan soal mandi. Selain tentu saja membuat tubuh lebih sehat.
Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk mengemas seluruh barang-barang pribadiku ke dalam koper. Duduk di sofa kuputuskan untuk menghubungi Ibu dan pada dering kedua, panggilanku diterima. Aku ingin tahu kondisi Mama Saraswati saat ini.
“Assalammu’alaikum Ibu,” sapaku begitu panggilanku dijawab.
“Wa’alaikumsalam, Nak.” Ibu menjawab dari seberang sana.
“Ibu, bagaimana keadaan Mama Saras sekarang?” tanyaku kemudian.
“Mama Saras masih ditangani dokter, Nak. Kamu dan Dipta kapan pulang, Sayang?”
“Tiga puluh menit lagi kami berangkat ke bandara, Bu,” jawabku.
“Ya sudah, kalian hati-hati ya. Tenang, dan jangan panik. Nanti langsung ke rumah sakit saja, Ibu tunggu di sini,” pesan Ibu padaku.
“Baik, Bu. Ya sudah, kami siap-siap berangkat ya, Bu. Assalammu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Begitu kututup panggilan telepon, aku menuju pintu yang diketuk oleh seseorang. Rupanya Dipta yang kali ini datang bersama Melani.
“Kamu sudah siap?” tanya Dipta begitu pintu terbuka.
“Sudah,” jawabku singkat.
“Kita jalan sekarang ya,” kata pria itu lagi.
“Aku juga mau ikut sebenarnya, tapi sayangnya tiket pesawatnya hanya tersisa dua.” Melani berujar memperlihatkan wajah sedihnya.
Dipta memandang Melani, dan menyentuh pipi wanita itu. “Maaf ya, aku harus ninggalin kamu,” ucap Dipta terlihat berat sekali meninggalkan Melani. “Kamu liburan dulu di sini sama teman-teman kamu. Nanti kalau aku sudah nggak begitu sibuk, aku jemput. Kita pulang bersama ke Jakarta.”
Suara Dipta terdengar sangat lembut. Begitu pula dengan tatapannya yang begitu tulus dan memuja pada Melani. Jauh berbeda ketika pria itu tengah berbicara dan menatapku yang seperti sedang menatap rivalnya.
Aku tidak cemburu. Tentu tidak. Hanya saja, aku merasa seperti tidak berharga bagi Dipta.
Bodoh kamu, Sekar! Seharusnya sejak awal kamu jangan mau dijodohkan dengan Dipta!
“Iya, Kak. Aku akan tunggu Kak Dipta di sini. Kak Dipta dan Sekar hati-hati ya. Dan aku titip salam buat Mama Saras,” sahut Melani.
Aku hanya mengangguk kecil pada Melani lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil koper milikku. Mengabaikan sepasang pengantin baru di depan kamar hotelku yang masih berbincang mesra, yang membuatku muak.
Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di bandara. Tidak ada yang berbincang di antara kami, meski kami duduk bersebelahan. Aku hanya memandangi orang-orang yang berlalu lalang, sementara Dipta sendiri sibuk dengan iPadnya.
Aku tengah berpikir, bagaimana nanti nasib pernikahanku dengan Dipta. Di saat aku sudah memantapkan hati untuk berpisah, namun sakitnya Mama Saraswati sekarang seperti memberikan sebuah sinyal jika aku dan Dipta tidak diperkenankan untuk berpisah.
Ya Allah, apa aku sanggup menjalani pernikahan poligami ini?
….
Kami tiba di rumah sakit tiga jam kemudian. Ibuku dan Bibi Ivana menyambutku dengan sendu, begitu pun dengan Papa Susilo. Kami semua menunggu di ruang tunggu di depan ruangan ICCU.
“Mama belum siuman, Pa?” aku mendengar Dipta bertanya pada Papa Susilo. Suara pria itu terdengar pelan dan putus asa.
“Belum, Nak. Kita hanya bisa berdoa, semoga kondisi Mama tidak memburuk.” Papa Susilo menjawab dengan penuh putus asa juga.
Kami semua kemudian duduk di bangku tunggu, kecuali Dipta yang meminta izin pada perawat untuk menjenguk Mama Saraswati.
Dari info yang kudengar dari Bibi Ivana, Mama mertuaku terjatuh di dapur saat sedang mengambil air minum. Lalu Papa dan Bibi Ivana segera membawa Mama ke rumah sakit dan hingga serkarang, Mama Saraswati belum sadarkan diri pasca pingsan karena serangan jantung Shubuh tadi.
Aku, aku tentu saja sangat mengkhawatirkan kondisi Mama Saraswati. Tapi aku juga mengkhawatirkan diriku sendiri. Jika aku harus berada diantara Dipta dan Melani, apa aku akan sanggup? Apa aku akan sanggup menyaksikan bagaimana Dipta bersikap begitu lembut dan memuja pada perempuan muda itu?
Bersambung