Lima hari sudah Dipta tidak kembali ke apartemen. Pria itu menginap di rumah sakit untuk menemani Mama Saraswati setelah pulang bekerja. Aku tidak merasa kesepian tinggal sendiri di apartemen ini. Adanya Dipta di apartemen ini pun, aku tetap merasa seperti hidup seorang diri. Karena memang kami jarang berinteraksi.
Pukul lima sore tadi, aku sudah tiba di apartemen setelah berbelanja lebih dulu stok makanan dan sempat mampir ke rumah sakit untuk melihat kondisi Mama Saras. Saat ini, aku sedang mencincang bawang putih yang akan kugunakan untuk menumis kangkung. Untuk malam ini, aku ingin menyantap makanan rumahan. Selain menumis kangkung, aku juga akan mengolah cumi yang akan kubalur dengan tepung lantas kugoreng.
Aku tengah mengaduk sayuran berwarna hijau yang banyak disukai orang-orang di atas kuali, ketika kudengar pintu apartemen terbuka. Tak lama kudengar langkah kaki dan kursi meja makan yang diseret.
Dan seseorang itu kemudian bertanya padaku. “Kamu sedang masak?”
Aku membalikkan badan, setelah menaruh garam dan sedikit penyedap ke dalam masakanku dan mendapati penampilan kusut Dipta. Pria itu duduk di salah satu kursi di meja makan dan menatapku.
“Kamu sudah makan?” aku bertanya balik.
“Belum sempat. Aku lelah.”
“Sebentar lagi masakanku selesai. Lebih baik kamu mandi dulu, nanti kita makan malam bersama,” ucapku padanya.
Dipta menganggukkan kepala sebagai jawaban, lantas beranjak duduk dari meja makan menuju kamarnya. Sepeninggal Dipta, aku kembali melanjutkan kegiatan masakku. Tumisan kangkungku sudah masak, dan kini aku tinggal menggoreng cumi.
Lima belas menit kemudian, Dipta sudah kembali duduk di meja makan. Aku pun sudah selesai menyiapkan makan malam kami. Ini merupakan momen pertamaku menyiapkan makan malam dan kami akan makan malam bersama-sama. Tentu saja, aku tidak berniat untuk memasak untuk Dipta. Tadinya kupikir Dipta akan menginap di rumah sakit atau mungkin pulang ke rumah orang tuanya.
“Enak,” komentarnya begitu suapan pertama. “Aku pikir kamu tidak masak makanan seperti ini.”
“Maksud kamu?” tanyaku mengerutkan kening. Apakah Dipta sedang meremehkanku?
“No offense, Sekar. Kamu wanita karir dan sangat sibuk, jadi kupikir kamu tidak ada waktu untuk belajar memasak seperti ini.”
“Aku dulu kuliah di luar dan hidup seorang diri di apartemen. Jadi, mau tidak mau harus belajar mandiri, karena Bapak dan Ibu tidak menyiapkan ART untukku.”
Dipta mengangguk mendengar penjelasanku dan kami kembali melanjutkan makan malam kami. Tidak lama, makanan di piring kami masing-masing telah tandas. Dipta menawarkan diri untuk mencuci piring, sebagai timbal balik karena aku telah memasak untuknya. Pria itu memintaku untuk menunggu di ruang TV karena ingin membahas sesuatu hal.
Aku menunggu Dipta menyelesaikan cucian piringnya seraya menonton tayangan kartun. Sesekali aku tertawa melihat tayangan lucu di televisi.
Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Dipta datang dan menyebelahiku duduk. Kami duduk dengan jarak cukup dekat, membuatku bisa menghidu harum sabun dari tubuhnya.
“Maaf, Sekar.” Dipta membuka pembicaraan kami dengan permintaan maafnya. “Mempertimbangkan kondisi Mama yang seperti sekarang, aku tidak bisa mengabulkan permohonan ceraimu. Aku harap kamu mengerti, Sekar.”
Aku sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan kami. Aku tentu saja paham kondisi Mama Saraswati. Tapi sekali lagi, aku sepertinya tidak akan sanggup jika harus berada di pernikahan poligami ini. Meskipun aku dan Dipta tidak saling mencintai, tetapi tetap saja aku akan merasa tersisih, setiap kali melihat kedekatan Dipta dengan Melani.
“Kondisi Mama sudah jauh lebih baik. Saat ini Mama juga sudah dipindah ke kamar perawatan, bukan lagi di ICCU. Tapi menurut dokter, Mama tidak boleh mendengar kabar yang akan membuat kondisinya memburuk lagi,” terang Dipta yang membuatku lega sekaligus gamang. “Salah satunya tentang perceraian kita, tentunya.”
“Aku tahu.” Aku mengangguk. Lalu kutatap dengan serius matanya, seraya berkata, “Untuk itu, aku memiliki syarat jika kamu tidak bisa menceraikanku.”
“Tell me, Sekar! What do you want from me?”
“There is only one thing that i want you to know, Dipta. Never ever again flirting with Melani in front of me.”
“Hanya itu?”
“Hanya itu.” Aku mengangguk cepat tanpa ragu. “Selebihnya, terserah kamu mau bagaimana dengan Melani. Kamu tidak pulang dan terus menginap di unit Melani pun, aku tidak peduli, Dipta. Aku bersedia berada di pernikahan ini semata karena aku menyayangi Mama Saras dan tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk dengan beliau.”
Dipta mengangguk tanpa ekspresi. “Terima kasih, Sekar. Sebagai imbalannya, aku akan menambah uang bulananmu. Dan tentu saja, porsi uang bulananmu lebih banyak dibanding Melani.”
“Thank’s. Aku tidak akan menolaknya, karena sudah kewajibanmu sebagai suami untuk menafkahiku. Meski sejauh ini, aku belum menggunakan uangmu satu rupiah pun.”
Manik Dipta melebar, mungkin dia terkejut dengan ucapanku yang cukup frontal. Tapi aku tidak peduli. Aku memang belum pernah memakai uang nafkah yang diberikan Dipta. Uang dari pria itu, masih kusimpan utuh di salah satu rekening tabunganku.
“Aku suka kemandirianmu, Sekar.”
“Apa kamu sedang memujiku?”
“Ya, tentu saja. Kamu pantas dipuji. Kamu cantik, pintar, sukses dan begitu mandiri. Hanya pria bodoh saja yang tidak tertarik padamu.”
“Apa pria bodoh itu salah satunya adalah kamu?” tanyaku menantang.
“Jangan memancingku, Sekar!” Dipta nampak marah. Wajahnya yang putih terlihat memerah. “Sudah pernah kukatakan alasan mengapa aku menjaga jarak darimu. Apa perlu kubuktikan jika aku bukan salah satu pria bodoh itu?”
“Apa maksud kamu?”
“Sudah lah. Kamu benar-benar masih polos sekali.” Dipta mengibaskan tangannya. “Ayo tidur, aku tidak bisa berlama-lama denganmu di sini.”
“Memangnya kenapa denganku?”
“Kamu tidak memakai hijabmu, dan itu sangat menggangguku.” Setelah mengatakan Dipta pergi begitu saja menuju kamarnya.
Dan aku, aku hanya mematung, merenungi ucapannya barusan. Yang baru kusadari setelah beberapa waktu, jika Dipta tengah menahan hasratnya.
Refleks kusentuh kepalaku. Aku memang tidak mengenakan hijabku sejak pulang tadi, karena kupikir Dipta juga tidak akan pulang secepat tadi. Dan ini memang kali pertama, Dipta melihatku tanpa mengenakan hijab.
Tapi aku hanya tidak mengenakan hijab, bukan sedang naked. Lantas mengapa Dipta harus bereaksi seperti barusan?
Bersambung