Rendra terkejut setelah mendengar permintaan Ayunda, Rendra menghirup udara untuk mencari jawaban terbaik agar Ayunda tidak kecewa dan tidak terlalu berharap permintaan itu bisa ia penuhi.
"Hahahaha kamu tahu pernikahan itu apa? Seharusnya anak sekecil kamu tidak membahas masalah itu. Apalagi kita baru bertemu dan belum saling mengenal. Kalau Om orang jahat gimana?" tanya Rendra.
Ayunda memanyunkan bibirnya dan mengaduk ice cream dengan lesu. Ucapan Rendra tadi berarti penolakan secara halus oleh Rendra. Usahanya untuk membuat Ratu kembali ceria gagal total.
"Jadi Om nggak mau bantu aku?" tanya Ayunda lagi.
"Andai aku bisa jawab, mungkin aku akan langsung berteriak 'mau' tapi aku tidak bisa mengabulkan keinginan putriku. Ratu membenciku dan menjadi suaminya hanyalah impian di siang bolong, meski secara hukum dan agama kami masih terikat tali penikahan," gumam Rendra dalam hati.
Rendra tersenyum dan mengacak rambut Ayunda, "maaf ya, kayaknya kalau itu Om nggak bisa bantu. Om sudah punya istri loh dan nggak mungkin nikah sama kakak kamu," jawab Rendra sambil menunjukkan jarinya yang terpasang cincin kawin.
"Beuhhhh aku kira Om jomblo! Nyebelin!" Ayunda lalu meletakkan sendoknya dan berniat meninggalkan cafe. Rendra yang masih ingin bersama Ayunda kembali menahan kepergian Ayunda.
"Ih dengerin Om dulu, jangan ngambek dulu. Om memang nggak bisa penuhi permintaan kamu tapi Om bisa bantu dengan cara lain supaya kakak kamu mau kembali seperti dulu." Mendengar ucapan Rendra membuat Ayunda membatalkan kepergiannya, tawaran Rendra terdengar menggiurkan walau dalam hatinya Ayunda berharap Rendra mau menikah dengan Ratu.
"Bantu apa?" tanya Ayunda.
****
"Gimana kondisi kamu?" tanya Hana saat melihat Ratu mulai beranjak dari kasurnya. Ratu menghela napas dan menatap Hana dengan mata sayunya.
Hana mencoba membaca mata Ratu dan terlihat masih ada kebencian di mata itu, Hana membuang napasnya dan merasa usaha pertamanya gagal total.
"Aku sudah berpikir dua hari ini," ujar Ratu pelan.
"Terus?"
"Aku mau balas dendam, Ma. Laki-laki itu hidup dengan tenang seperti tidak ada masalah, dia sehat ... dia angkuh ... dia berdiri melihatku seolah aku ini bukan korban yang dia hancurkan hidupnya. Aku muak memikirkan selama enam tahun ini hanya aku yang menderita, merana, dan merasa kotor. Aku mau dia merasakan hal yang sama, aku ... ingin menghancurkan dia." Suara Ratu terdengar penuh dendam.
"Bukan ini yang kami mau," ujar Hana dalam hati.
"Bagaimana caranya?" tanya Hana penasaran. Hana berjanji akan memberitahu Rendra jika Ratu memberitahunya, agar Rendra waspada dan mencari jalan agar rencara balas dendam Ratu tidak berjalan dengan baik.
Ratu tidak menjawab dan untuk pertama kalinya mengeluarkan senyum dari mulutnya meski senyum itu terlihat licik.
"Jangan panggil namaku Ratu andai aku gagal membuatnya hancur dan memilih mati daripada hidup sebagai sampah!" rutuk Ratu dengan tegas dan keras.
"Ratu ... rencana apa yang sedang kamu susun? Mama takut nantinya kamu sendiri yang akan menderita, walau bagaimana pun Rendra itu masih suami serta ayahnya Ayunda. Mama nggak mau ..."
"Stop! Ayunda tidak punya ayah! Aku juga tidak punya suami! Pernikahan itu palsu! Setelah aku menghancurkannya, aku akan langsung menceraikannya!" Hana menegang dadanya yang terasa sakit. Ia memang mengharapkan Ratu berubah tapi tidak seperti ini. Ratu bersikap seperti monster kejam dan Hana takut mereka berdua saling bunuh dan ujung-ujungnya Ayunda kembali menjadi korban.
"Ratu."
"Aku harap Mama mendukungku," pinta Ratu.
Dua hari ini ia berpikir dengan kepala dingin, sudah cukup baginya mengurung diri dari dunia luar. Sudah saatnya ia berbuat sesuatu untuk hidupnya, dan hal pertama yang ingin ia lakukan adalah menghancurkan hidup Rendra.
Melihat Rendra dalam kondisi baik-baik saja membuat darahnya mendidih. Ratu pikir selama di penjara Rendra hidup dengan menderita tapi pertemuan dua hari lalu membuat darahnya mendidih.
Rendra terlihat baik seolah tidak pernah menderita dan yang semakin membuat emosi Ratu naik saat Rendra menatapnya. Tatapan itu masih sama dan Ratu tidak menyukainya.
"Rendra Abimanyu Suryo! Tunggu pembalasanku!" gumam Ratu sambil mengepalkan tangannya.
****
"Mas baik-baik saja?" tanya Pak Satria saat Rendra hampir mengeluarkan semua minuman dari mulutnya. Rendra memberi kode dengan tangannya. Pak Satria menuangkan air putih dan menyuruh Rendra meminumnya.
"Sepertinya ada yang kesal sama saya dan memanggil nama saya dengan keras," ujar Rendra diiringi gelak tawanya. Pak Satria pun ikut tertawa dan setelah Rendra mulai baik barulah ia menyerahkan map yang diminta Rendra.
"Di dalam ini daftar calon karyawan yang akan menjadi sekretaris baru Mas," ujar Pak Satria. Rendra memotong roti bakarnya dan mengambil map itu dari tangan Pak Satria.
"Terima kasih, Pak Satria boleh sarapan dulu. Nanti saya panggil lagi," ujar Rendra. Pak Satria mengangguk lalu meninggalkan Rendra sendiri di meja makan.
Setelah Pak Satria pergi barulah Rendra membuka file calon sekretaris barunya. Kandidat pertama lululan universitas ternama dan CV-nya sangat membanggakan tapi Rendra langsung mencoret kandidat pertama itu dengan alasan Rendra tidak ingin nanti muncul gosip baru jika ia memilih sekretaris muda dan cantik.
Kandidat kedua pun ia coret dengan alasan yang sama.
"Kenapa aku menolak mereka ya, astaga Rendra! Ratu tidak akan peduli dengan ini semua, kamu pikir dia akan cemburu? Marah?" gerutu Rendra sambil membuka file lainnya. Semua kandidat pasti akan dicoretnya jika masih berpikir seperti tadi.
"Lebih baik aku serahkan ke pihak HRD saja." Rendra hendak menutup map itu namun ia batalkan saat CV kandidat terakhir mengusik matanya.
"Ratu ... kandidat ini sangat mirip dengan Ratu. Ya Tuhan! Aku bermimpi lagi dan kali ini mimpiku di siang bolong. Mana mungkin Ratu mau menjadi sekretarisku. Hahaha sepertinya aku butuh tidur lebih cepat." Rendra mengucek-ucek matanya dan melihat sekali lagi CV kandidat terakhir dan sialnya kali ini ia bisa membaca dengan sangat jelas kalau kandidat terakhir ini benar-benar Ratu, bahkan alamatnya pun sama. Rendra langsung mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Raja untuk bertanya kenapa ada file Ratu di dalam map calon sekretarisnya.
"Tidak, aku berjanji akan menyelesaikan semua janjiku tanpa bantuan siapa pun. Menghubungi Tuan Raja sama saja mengatakan kalau aku menyerah. Lebih baik aku tunggu permainan apa yang sedang dilakukan Ratu." Rendra kembali menyimpan ponselnya dan bergegas meninggalkan rumahnya.
Rendra mengemudikan mobilnya dengan brutal, rasa penasaran membuatnya tidak mempedulikan hal lain dan ia sangat ingin mewawancarai Ratu langsung.
Sesampainya di kantor Rendra langsung bergegas ke ruang meeting yang sudah dipenuhi calon sekretarisnya. Matanya mencari sosok yang sangat ingin ia temui. Rendra mencoba menormalkan jantungnya yang berdetak tak karuan agar terlihat normal.
"Pak Rendra ikut meng-interview mereka?" tanya Margareth, kepala HRD yang ditugaskan Rendra untuk mencari sekretaris baru untuknya.
"Ya, saya hanya ingin melihat proses interview ini saja kok. Semua keputusan masih di tangan kamu," balas Rendra. Margareth mengangguk lalu mempersilakan Rendra duduk di tempat yang telah disediakan.
"Kandidat pertama silakan masuk," ujar Margareth. Kandidat pertama lalu masuk dan mulai memperkenalkan dirinya, Rendra terlihat acuh dan sibuk mencoret-coret kertas kosong yang ada di depannya.
"Kandidat kedua."
"Kandidat kelima."
"Kandidat kedelapan."
Rendra membuang napasnya berkali-kali dan rasa bosan mulai menyerangnya. Masih ada dua kandidat lagi dan barulah nama Ratu akan terpanggil.
"Bapak bisa menunggu hasilnya di ruangan Bapak," ujar Margareth saat melihat Rendra terlihat gelisah dan kertas putih tadi penuh dengan coretan.
"Saya baik-baik saja," tolak Rendra. Margareth pun berhenti bertanya dan kembali melanjutkan tugasnya.
"Kandidat terakhir," panggil Margareth.
Rendra mulai tegang dan menatap pintu masuk ruang meeting tanpa berkedip. Ia ingin memastikan apa benar Ratu yang dikenalnya melamar jadi sekretarisnya atau ini hanya khayalannya saja.
"Kandidat terakhir," teriak Margareth sekali lagi.
"Mungkinkah dia membatalkan niatnya?" tanya Rendra dalam hati.
"Sepertinya kandidat terakhir sudah menyerah. Lebih baik kita akhiri ..."
Kreekkkkk
Margareth baru akan menutup sesi interview ini saat melihat pintu terbuka. Napas Rendra langsung terhenti saat melihat sepasang kaki mulai melangkah masuk dengan berani. Perlahan demi perlahan Rendra mulai mengangkat wajahnya untuk memastikan kandidat yang masuk benar-benar Ratu yang dikenalnya.
"Maaf saya tadi ke toilet dulu," ujar Ratu.
Lagi-lagi lidah Rendra tercekat dan ia sangat mengenal suara itu.
Ya, Ratu berdiri di depannya seperti orang asing yang saling tidak mengenal.
"Silakan duduk," ujar Margareth. Rendra kembali menormalkan detak jantungnya dan menatap Ratu yang terlihat cantik dengan setelan kemeja berwarna baby pink dan rok berwarna hitam. Wajah Ratu dipolesi make up minimalis dan rambut panjangnya ia sanggul ala kadarnya.
"Terima kasih," balas Ratu. Margareth mulai membaca CV Ratu dan langsung kagum karena tidak menemukan satu pengalaman kerja pun tertulis di CV itu. Bahkan di CV itu hanya tertulis nomor ijazah SMA tanpa ada embel-embel lainnya.
"Kamu hanya tamatan SMA?" tanya Margareth.
"Iya," jawab Ratu santai. Dendam membuat Ratu bertahan meski sedang bertatap langsung dengan Rendra yang dibencinya.
"Pak," Margareth menyerahkan CV Ratu ke tangan Rendra. Rendra membaca raut muka Ratu dan akhir ia menarik kesimpulan kalau Ratu sengaja melakukan ini semua untuk membalasnya.
"Saya suka pegawai baru tanpa pengalaman kerja, saya lebih mudah mengatur dan mengajarinya. Saya mau dia sebagai sekretaris saya," ujar Rendra dengan tegas.
"Aku mau tahu apa rencana kamu." gumam Rendra dalam hati.
"Kamu akan menyesal telah menerimaku, tunggu saja pembalasanku." Ratu tersenyum dan mendekati Margareth lalu menyalaminya, Ratu juga mengulurkan tangannya ke arah Rendra.
"Semoga kerjasama kita menyenangkan," ujar Ratu diselingi senyum licik. Margareth meninggalkan ruang meeting dan meninggalkan Rendra dan Ratu berdua.
Mereka masih saling menatap tanpa kata dan Ratu melepaskan uluran tangannya lalu menghapus bekas tangan Rendra dengan tisu basah.
"Apa yang kamu rencanakan?" tanya Rendra.
"Jangan sok akrab, ini kantor dan bersikaplah profesional. Bapak itu atasan saya dan saya bawahan Bapak. Jadi tolong jangan pernah membahas apapun diluar masalah pekerjaan," ujar Ratu.
"Ratu,"
"Bapak terlalu cepat memanggil nama saya. Jangan sok akrab atau memang sudah kebiasaan Bapak untuk akrab denga wanita muda?"
****