"Aku hanya bertanya dan .... fiuhhh," terdengar helaan napas Rendra. Rendra tahu semua ucapannya hanya akan dianggap sebagai pembelaan diri saja. Rendra lalu berdiri dan meninggalkan ruang meeting tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah Rendra meninggalkan ruang meeting barulah Ratu terduduk di lantai dengan tubuh menggigil dan ketakutan. Airmatanya langsung tumpah tanpa bisa ia tahan. Ratu mengeluarkan tisu basah dari dalam tasnya dan kembali menghapus bekas pegangan Rendra di tangannya.
"Kotor! Apapun yang disentuh b******n itu hanya menyisakan kotoran! Aku nggak mau ada kotoran di tanganku."
Setelah merasa bersih barulah Ratu berdiri dan menghapus airmatanya. Ratu menatap panjang pintu ruang meeting dan kembali mengepalkan tangannya.
"Ini airmata terakhirku dan genderang perang sudah mulai aku tabuh, aku akan mencoba bertahan di sampingnya meski aku jijik melihat dan berada satu ruangan dengannya. Aku ingin dia hancur seperti dia menghancurkan aku," gumam Ratu masih dengan tangan terkepal.
Di ruang kerja Rendra
Rendra membuka jas serta dasinya lalu berdiri menatap langit biru melalui jendela ruang kerjanya. Perubahan Ratu membuat Rendra bingung untuk melangkah, rencananya gagal total bahkan sebelum dimulai. Rendra mengeluarkan ponselnya dan melihat foto Ayunda yang diambilnya sebelum mereka berpisah.
"Ayu, apa yang ibumu rencanakan? Ayah kehilangan kata-kata melihatnya muncul secara tiba-tiba," gumam Rendra.
Tok tok tok
Rendra langsung menyimpan ponselnya dan kembali duduk di kursi kerjanya.
"Masuk," ujar Rendra. Pintu terbuka dan terlihat Margareth sedang berdiri di luar ruangan Rendra bersama Ratu yang terlihat dingin dan tanpa ekspresi. Margareth lalu masuk bersama Ratu dan berdiri persis di depan Rendra.
"Ada apa Margareth?" tanya Rendra meski matanya masih tertuju ke Ratu. Margareth hendak menjawab tapi ia hentikan saat Ratu menyela ucapannya.
"Saya mulai kerja hari ini saja, Pak," ujar Ratu menyela Margareth tanpa basa basi dan langsung duduk di meja kosong yang khusus disediakan Rendra untuk sekretaris barunya.
"Pak!" Margareth terlihat tidak menyukai kelancangan Ratu yang mengacuhkannya sejak tadi.
"Saya mengerti dan tolong tinggalkan kami berdua. Terima kasih atas bantuannya Margareth, selanjutnya saya yang akan tanggung jawab. Kamu lanjutkan saja pekerjaan kamu," ujar Rendra dengan sopan dan ramah.
Margareth pun tersenyum ramah dan meninggalkan ruang kerja Rendra. Setelah kepergian Margareth barulah Rendra mendekati Ratu dan ingin mengajaknya bicara empat mata.
"Kamu sadar di sini itu kantor? Tolong bersikap profesional, aku menerima kamu bukan karena hubungan kita tapi aku ingin memberi kesempatan kamu untuk berkarir tapi aku nggak akan tinggal diam kalau kamu membuat kegaduhan di kantor ini. Margareth itu ..."
"Simpanan Bapak?" tanya Ratu to the point. Kesimpulan itu ia dapat setelah melihat interaksi antara Rendra dan Margareth terlihat berbeda jika dibandingkan interaksi Rendra dengan karyawan lainnya.
"Apapun jawaban yang akan aku katakan akan selalu salah di mata kamu. Margareth itu hanya karyawan di perusahaan ini, sama seperti kamu dan tolong bersikap sopanlah kepadanya, jabatannya bisa dibilang lebih tinggi dibandingkan kamu." Nada suara Rendra sedikit meninggi, Ratu memelototkan matanya dan Rendra sadar ia terlalu terbawa emosi.
"Sabar Rendra, emosi tidak akan memperbaiki hubungan kalian. Dia sengaja memancing emosiku untuk melancarkan rencananya, lebih baik aku tenang dan ikuti saja semua keinginannya," ujar Rendra dalam hati.
"Bapak terlihat santai dengan jabatan setinggi ini ya dan sepertinya Bapak terlalu cepat akrab dengan karyawan baru. Tolong jangan tatap saya dengan tatapan m***m seperti itu! Saya bukan anak kecil lagi yang akan diam meski dilecehkan, saya tidak akan segan-segan mencongkel mata Bapak jika berani menatap saya seperti itu lagi," ujar Ratu dengan tatapan panjang dan mematikan. Rendra membuang napasnya dan merasa keputusannya membiarkan Ratu kerja di kantornya adalah keputusan paling bodoh yang pernah ia lakukan.
Rendra menutup mulutnya saat Ratu mengungkit masa lalu mereka lagi. Hal yang sangat ingin ia lupakan. Rendra kembali duduk di mejanya dan Ratu pun bersikap biasa. Ratu sibuk memainkan ponselnya, sesekali ia melirik Rendra yang sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya.
"Saya digaji hanya untuk duduk-duduk saja? Atau Bapak tidak percaya dengan hasil kerja saya? Walau saya hanya lulusan SMA tapi saya bukan anak kemarin sore." Ratu akhirnya memecahkan keheningan dengan sengaja menyindir Rendra.
Lagi-lagi terdengar helaan napas dari mulut Rendra.
"Buatkan saya kopi," pinta Rendra. Ia sengaja menyuruh Ratu agar ia bisa menghirup udara, sejak tadi dadanya terasa sesak.
"Nah gitu dong." Ratu memutuskan keluar untuk membuat kopi untuk Rendra dan juga dirinya. Menunggu tanpa melakukan apa-apa membuatnya mengantuk dan minum kopi adalah obat agar rasa kantuknya hilang.
Ratu tidak peduli dengan sapaan karyawan lain dan hanya membalas dengan senyum dingin. Tujuannya masuk ke perusahaan Rendra hanya untuk balas dendam dan Ratu tidak ingin ada yang tahu kalau ia adalah istrinya Rendra dan untuk itu ia memutuskan menjaga jarak dari karyawan lainnya.
Setelah membuat kopi dan meletakkannya di atas meja Rendra, Ratu kembali keluar dan kali ini tujuannya ke toilet karyawan untuk membasuh mukanya agar rasa kantuk benar-benar hilang dari wajahnya.
"Sekretaris baru Pak Rendra belagu banget dan gayanya itu loh seolah Pak Rendra akan bertekuk lutut di kakinya." Ratu acuh meski ia mendengar karyawan lain menggosipkannya.
"Iya, bahkan gue dengar dia hanya lulusan SMA dan gilanya Pak Rendra langsung menerimanya tanpa ngajuin pertanyaan saat interview. Menurut lo mereka ada hubungan nggak? Jangan-jangan dia adiknya Pak Rendra?" tanya karyawan lainnya.
Ratu masih mendengarkan tanpa berniat menyela. Ia masih duduk di closet sambil mendengarkan karyawan itu membicarakannya.
"Kayaknya nggak deh. Lo tau sendiri kalo Pak Rendra anak tunggal dan menurut gosip yang gue dengar kalo Pak Rendra itu nggak doyan perempuan. Buktinya sampai umurnya segini nggak pernah dengar tuh dia jalan sama perempuan," balas karyawan lainnya.
"Iya juga ya," jawabnya.
"Andai mereka tahu kalau bos yang mereka bangga-banggakan itu pernah melecehkan ..." Ratu menggelengkan kepalanya dan menghapus kenangan buruk di masa lalunya.
"Pokoknya kalau ada kesempatan gue mau coba tanya siapa dia dan kenapa gayanya selangit."
Ratu lalu berdiri dan keluar dari tempatnya bersembunyi tadi. Dua karyawan tadi langsung kaget melihat Ratu berdiri di belakang mereka.
"Kalian boleh tanya sekarang," ujar Ratu masih dengan nada dingin dan menatap dua karyawan tadi dengan gaya angkuhnya.
"Gue ... kami ... eh biasa aja dong natap gue. Lo cari lawan ya?" gerutu salah satu karyawan.
Ratu melewati mereka dan sengaja menyenggol bahu dua karyawan itu.
"Hey!" teriak yang lain.
"Apa!" balas Ratu dengan wajah dinginnya.
"Lo! Jangan ngerasa hebat ya mentang-mentang lo sekretaris bos!" teriak karyawan satunya lagi.
"Terus masalah buat elo?" balas Ratu tidak mau kalah.
Mendengar ucapan Ratu membuat salah satu karyawan itu langsung menarik rambut Ratu. Ratu tertawa dan tidak mengeluarkan satu patah katapun. Ia membiarkan dua karyawan itu menganiayanya, bahkan dua karyawan itu tak segan-segan memukul dan menendangnya. Ratu masih diam dan tidak membalas sedikitpun.
Setelah puas barulah dua karyawan itu meninggalkan Ratu yang terduduk di lantai kamar mandi dengan kondisi babak belur. Ratu menghapus darah yang keluar dari mulutnya.
"Sudah puas? Rasa sakit ini belum seberapa dan terima kasih sudah memuluskan rencanaku." Ratu lalu berdiri dan kembali ke ruang kerjanya dengan terpincang-pincang. Beberapa karyawan lain sibuk memperhatikannya, bahkan dua karyawan yang menganiayanya tadi masih tersenyum penuh kemenangan saat Ratu melewatinya.
Ratu membuka pintu dan baru beberapa langkah masuk, ia sengaja menjatuhkan diri agar terlihat oleh Rendra. Rendra yang melihat Ratu jatuh langsung menghampiri Ratu.
"Ratu! Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa babak belur kayak gini sih. Ya Tuhan!" teriak Rendra saat melihat kondisi Ratu. Ratu masih tetap melancarkan aksinya meski tubuhnya kembali bereaksi keras saat Rendra menyentuhnya.
"Tahan Ratu ... ini semua demi memuluskan rencanamu kan?" ujarnya dalam hati.
Rendra lalu mengangkat tubuh Ratu dan membaringkannya ke atas sofa. Rendra sangat panik dan kacau, baru satu hari Ratu kerja di kantornya dan sekarang Ratu terbaring tak sadarkan diri dalam kondisi babak belur.
"Ayo, pecat semua karyawan itu! Apa yang kamu tunggu lagi hah! Bodoh! Pecat satu persatu dan setelah itu kamu akan hancur. Aku akan menghancurkan kamu sampai mati!"
Rendra lalu keluar dari kantornya dan semua karyawan terlihat takut saat wajah Rendra seperti ingin membunuh siapapun pelaku yang menganiaya Ratu.
"Siapa pelakunya!" teriak Rendra dengan nada tinggi.
****