Sedangkan Nabilla terus mengikuti Briyan sampai parkiran, karena ia tatak punya jalan lain selain mengikuti Briyan.
"Ngapain lo ngikutin gue?"
"Gue ikut lo." Ucap nya dengan kepala di tunduk kan.
"Masuk." Ucap nya dingin.
Setelah masuk ke dalam mobil tangis yang sedari tadi Nabilla tahan pun pecah. Ia menggunakan kedua tangan nya untuk meutup wajah nya.
"Nangis sekenceng yang lo mau, kalau itu bisa buat lo tenang." Ucap Briyan dengan nada dingin nya. Sebenarnya ia tidak tega melihat Nabilla menangis seperti itu, namun hati dan fikiran nya tidak sejalan. Akhirnya ia hanya membiarkan Nabilla terus menangis dan memfokus kan diri nya ke jalan.
Setelah berhenti menangis, Nabilla hanya diam pandangan nya pun kosong, di dalam kepala nya banyak yang sedang ia fikir kan. Ia tak menyangka orang tua nya akan seegois ini pada nya. Ia benar-benar bingung harus berbuat apa, ia sudah hafal watak kedua orang tua nya. Apa yang mereka mau harus terkabul, dan itu yang Nabilla bingung kan sampai saat ini.
"Arrrgghh!!" Teriak Nabilla frustasi.
Briyan pun yang kaget reflek menginjak rem nya mendadak.
"Lo apaan sih teriak-teriak, mau mati bareng?!" Ucap nya kesal.
"Maaf." Ucap Nabilla pelan sambil menunduk kan kepaala nya.
Briyan pun kembali menjalan kan mobil nya dengan kecepatan sedang.
"Lo mau pulang apa kemana?" Tanya nya.
"Gue ngikut kemana pun lu pergi." Ia sedang malas bertemu orang tua nya.
Briyan pun meng 'iya' kan saja apa yang Nabilla mau, ia tau bagaimana perasaan Nabilla saat ini yang sedang kacau. Akhirnya ia melaju kan mobilnya menuju apartemen nya yang jarang ia kunjungi.
Sesampai nya di apartemen Briyan yang tak terlalu besar, mereka sama-sama menenangkan fikiran mereka yang sama-sama sedang kacau karena keputusan orang tua mereka.
"Gimanapun cara nya kita harus batalin perjodohan ini! Gue masih pengen lanjut sekolah sampai tinggi." Ucap Briyan dengan nada dingin.
"Emang lo pikir, lo doang yang masih pengen sekolah? Gue juga kali!"
Briyan berdiri dari duduk nya dan langsung meninggalkan Nabilla tanpa suara menuju kamar nya. Saat ini otak nya tidak bisa di ajak kerja sama sama sekali, biasa nya dalam kondisi apa pun otak nya selalu bisa di ajak bekerja namun untuk saat ini otak nya beku tak bisa di ajak kerja.
Saat ini hanya satu yang ia takut kan bila ia menolak perjodohan yang telah di buat orang tua nya, yaitu jantung mami nya yang tidak kuat. Ia takut terjadi apa-apa dengan mami nya, namun ia juga tidak bisa menerima prrjodohan konyol ini.
Ia mengacak rambutnya kesal dan menjatuh kan tubuh nya di ranjang.
Bahkan hari-hari biasa nya ia tak pernah sebingung dan sebimbang ini, di dalam fikiran nya hanya ada pelajaran-pelajaran dan pelajaran saja tidak ada yang lain.
Saat otak nya masih terus berfikir, pintu kamar nya terketuk dari depan.
Ia bediri dari rebahan nya dan membuka kan pintu.
"Apa?"
Ia melihat raut khawatir dari wajah Nabilla yang sedang berdiri kaku di depan pintu kamar nya.
"Mami mami kamu emm. . . mami kamu masuk rumah sakit." Ucap Nabilla gugup di sertai rasa bingung nya.
"Jangan bohong lo! Mami gue tadi baik-baik aja." Elak Briyan yang masih tidak percaya.
"Buat apa gue bohong, nggak guna kalau nggak percaya lo bisa cek hp lo!"
Briyan pun langsung masuk kembali ke dalam kamar nya dan mengaktifkan kembali handpone nya. Sudah banyak notifikasi yang masuk dari papi nya.
Ia pun langsung meraih kunci mobil yang berada di nakasnya dan melangkah dengan cepat keluar kamar nya, ia sangat takut terjadi apa-apa dengan mama nya.
Langsung saja ia menarik tangan Nabilla yang masih berdiri di depan kamar nya dengan handpone yang masih berada di genggaman nya. Wajah nya pun juga tak kalah panik dengan Briyan.
Setelah mengunci pintu apartement nya, ia langsung berlari menuju tangga darurat agar cepat sampai ke bawah.
Briyan mengemudikan mobil nya seperti orang kesetan, ia sudah tidak peduli lagi pada rambu-rambu lalu lintas yang telah terpasang rapi di jalan. Sekarang yang terpenting ia harus cepat sampai di rumah sakit.
Di samping nya Nabilla hanya diam saja sesekali memjamkan mata nya karena takut.
Mereka telah sampai di rumah sakit di mana Deta di rawat. Briyan berjalan cepat meninggal kan Nabilla yang masih berusaha menyamakan langkah nya yang lebar-lebar.
Mereka menelusuri koridor rumah sakit dalam diam sambil sesekali mereka melihat nomor di pintu ruangan.
Akhir nya setelah melewati lorong yang panjang mereka telah sampai di depan ruang rawat Deta. Dengan segera Briyan membuaka pintu ruang rawat nya dan berjalan menuju brankar yang tengah Deta tiduri.
Sedangkan Nabilla hanya berdiri kaku di belakang nya, melihat Briyan yang sangat panik dengan keadaan mami nya.
"Bil kamu dari mana saja?" Tanya Renata panik.
Nabilla hanya diam enggan membuka suara. Ia tidak marah pada orang tua nya, namun ia kecewa dengan keputusan nya.
Renata menghembuskan nafas berat nya, dan mengajak Nabilla keluar ruangan. Mereka berdua duduk di kursi panjang depan ruangan yang sepi hanya beberapa perawat dan dokter yang berlalu lalang.
"Maafin mama sama papa Bil, bukan nya kita egois tapi... " Ucapan Renata di potong terlebih dulu oleh Nabilla.
"Kalau bukan egois terus apa ma? Mama sama Papa nggak mikirin perasaan aku!" Suara nya bergetar menahan tangis yang sebentar lagi keluar.
"Kamu liat tante Deta tadi? Kamu nggak kasian, tante Deta cuma mau liat Briyan nikah sebelum dia pergi." Jelas nya membuat Nabilla terkejut. Raut wajah Renata pun juga sudah berubah menjadi sangat sedih.
"Tapi kenapa harus Billa ma? Emang nggak ada yang lain, Billa nggak suka sama Briyan ma." Air mata yang sedari tadi ia tahan pun akhir nya tumpah.
"Cuma kamu yang tante Deta mau, selain itu juga ada alasan lain Bil kamu harus tau itu." Suara Renata pun semakin merendah "Mama sama Papa mau pindah buat sementara ke Singapore Bil."
Tangis Nabilla pun semakin pecah karena Ucapan mama. "Singapore? Mama mau ninggalin Billa?!"
"Bukan gitu Bil, di sana perusahaan Papa terkena masalah besar kakak mu juga tidak sanggup mengurus nya sendiri." Jelas nya. "Mama harap kamu bisa menerima ini. Mama tau kamu nggak cinta sama Briyan, tapi seiring berjalan nya waktu pasti kamu bisa." Setelah itu Renata memeluk tubuh Nabilla erat.
Di sela tangisan nya pun Nabilla mengangguk samar, saat ini ia sudah benar-benar pasrah dengan keputusan orang tua nya.
Renata melepas pelukan hangat nya dan menghapus sisa air mata di pipi dan pelupuk matanya.
"Yaudah yuk masuk." Di dalam ternyata Deta sudah sadar dan tengah duduk di atas ranjang bersama Briyan. Sedangkan Riyan dan juga Karren tengah berbincang di sofa.
Deta memberi isyarat agar Nabilla mendekat padanya.
Nabilla pun menurut dan berjalan mendekati brankar dan teraenyum kikuk.
"Billa kamu mau kan menikah dengan Briyan?" Tanya nya to the point. Nabilla diam setelah itu mengangguk samar, sama dengan Briyan.
"Re panggil mereka suruh kesini." Titah Deta. Renata pun segera memanggil Riyan dan Karren untuk mendekat.
Semuanya tengah berdiri mengelilingi brankar Deta. Senyum di bibir pucat nya pun tak pernah luntur, Deta menyrahkan kotak beludru berwarna biru tua ke tangan Briyan.
Briyan pun mengerut kan keningnya tak mengerti, dan mmandang Deta penuh tanya. "Itu cincin, pakein ke tangan Nabilla."
Perlahan namun pasti Briyan membuka kotak tersebut, dan terpampanglah dua cincin emas putih dengan berlian di tengah nya. Dengan ragu Briyan mengambil satu cincin itu dan mengamit tangan Nabilla yang mendadak sangat dingin dan memakaikan cincin itu ke jari manis Nabilla.
"Sekarang ganti kamu yang pakein buat Briyan." Intruksi Deta.
Nabilla pun menurut dan segera mengambil satu cincin yang masih berada di dalam kotak dan memakaikan nya untuk Briyan. Ia baru tersadar kalau baru saja ia bertunangan dengan Briyan.
"Sini mami mau peluk kalian." Nabilla dan Briyan pun mendekat ke arah Deta. Setelah berpelukan Deta mengucap kan kata yang membuat mereka ikut jantungan "Satu minggu lagi kalian nikah." Ucap nya dengan Nada enteng, namun sungguh berat bagi mereka yang akan menjalan kan nya.
"Yaudah kalau gitu kalian pulang aja, Yan anterin Billa ya Om sama Tante masih mau ngurus yang lain nya dulu." Ucap Karen yang langsung di patuhi oleh mereka.
Setelah berpamitan mereka keluar dari ruang rawat Deta dan berjalan menuju parkiran dengan raut wajah sedih.
Namun berbeda dengan para orangtua mereka yang masih berada di ruang rawat Deta. Mereka bersorak senang karena berhasil membuat mereka menyetujuinya.
"Maafin mami mu ini nak." Ucap Deta yang sudah kembali sehat.
Renata terkekeh di sampingnya. "Ampuh juga ya sampai Briyan langsung mau gitu aja."
"Yaudah pulang yuk, nanti aku alasan aja ke Briyan udah sembuh." Ucap Deta setelah itu mereka keluar dari kamar rawat bersama-sama.
••••