“Astaga, bocah tengik ini nggak ada bosan-bosannya mengganggu ketenangan orang lain!” Batin Dylan saat membuka pintu rumahnya. Tetanggaknya sejak tadi menggedor-gendor pintu dan berteriak memanggil nama Dylan, sama seperti kemarin pagi.
“Mana handphone aku?!” Virly menegadahkan kedua tangannya, seperti kemarin
Dylan berdecak. “Aku baru bangun, belum sempat beli handphone!” Jawabnya menahan kantuk.
“Kalau gitu, sini duitnya, biar aku aja yang beli!” Pinta Virly kemudian.
“Enak aja! Nanti kamu menipu saya lagi.” Tolak Dylan enggan.
Gadis itu memutar bola mata semakin kesal. “Jadi, kapan kamu ganti?! Aku udah bosan make handphone butut ini!” Virly menunjukkan handphonenya.
“Nanti sore.” Balas Dylan malas sembari menggaruk kepalanya.
Virly cemberut. “Awas kalau nggak, ya! Aku beneran laporin kamu ke polisi!!” Ancamnya menuduh dengan telunjuk kanan. “Minggir! Aku mau masuk! Aku mau melihat rumah tetanggaku.” Ucap Virly mendorong tubuh Dylan yang berada di pintu, lalu menyelonong masuk.
“Yang punya rumah siapa? Kenapa dia masuk sembarang?!” Gerutu Dylan sembari mengikuti Virly dari belakang.
“Waw…! Rumah kamu besar juga, ya. Dekorasinya cantik” Puji Virly manggut-manggut, memeriksa sudut ruang tamu kemudian melangkah ke arah dapur, lebih tepatnya di ruang makan.
“Apa bedanya sama rumah kamu? Kayaknya sama saja, dari luar aja udah sama, apalagi dalamnya” Oceh Dylan, meraih gelas dan menuangkan air mineral dari mesin pendingin.
Gadis itu menggeleng. “Beda, dapur kamu arahnya ke sana, sedangkan dapur rumahku ke sini.” Ujar Virly polos, menunjuk ke kiri dan ke kanan. Dylan menghela nafas panjang, dia duduk di meja makan sambil memainkan handphone miliknya dan membiarkan gadis itu takjub akan rumahnya.
“Kamu mau nyewain salah satu kamarmu nggak buat aku?” Dylan tersedak
“Apa??”
Virly kembali berdecak. “Aku nanya, kamu mau nyewain kamarmu? Berapa satu bulan? Aku mau pindah ke sini!” Ulang Virly memperjelas pertanyaanya.
Dylan menatapnya kesal. “Dasar bocah tengik! Kamu pikir rumahku kos-kosan? Kenapa kamu mau pindah ke sini? Rumahmu juga besar!”
Gadis itu menghela nafas panjang tanpa merasa terbebani. “Iya, kamu benar, tapi aku kesepian tinggal sendiri di rumah. Aku nggak punya teman. Kalau aku tinggal di sini, aku nggan akan kesepian lagi, kan ada kamu.” Ucap Virly nyengir lebar.
“Aku nggak sudi tinggal serumah denganmu!! Sekarang juga pergi dari rumahku, bocah tengik!” Usir Dylan kasar
Virly berdecak, memandang Dylan serius. “Huh, ini yang kutakutkan dari dulu. Aku nggak pengen jadi orang dewasa, semuanya sama aja. Egois!!”
Dylan semakin kesal. “Kamu bilang apa? Egois? Kamu! Umurmu berapa sekarang? kenapa kamu kekanak-kanakan banget? Bukannya kamu udah kuliah? Seharusnya kamu sudah dewasa, bocah tengik. Seharusnya kamu udah tau gimana hidup orang dewasa itu!!” Kata Dylan panjang lebar.
Gadis itu mengorek telinganya. Bosan pada perkataan lelaki tersebut yang sangat sering sekali di dengarnya. “Heleh, sudahlah. Aku nggak mau menjadi dewasa jika seperti dirimu!!” Virly mencibir dan kembali memeriksa sudut rumah lelaki tersebut.
“Handphone kamu keren, coba aku lihat!” Virly duduk di samping Dylan, kemudian menegadahkan tangannya. Benda kecil di tangan Dylan menarik perhatiannya dari ruangan tersebut.
Dylan kembali menghela nafas, kemudian menatap Virly sebelum menyerahkan handphonennya pada gadis itu.
“Iya, ini bagus.” Guman Virly tersenyum sembari mengutak-atiknya. Dylan yang melihatnya hanya menggeleng dan berdecak. “Hhmm…, kamu belinya kayak gini aja, ya?! Aku mau kayak gini.” Kata Virly menatap harap. Gadis itu langsung menyukainya, terutama pada logo apel setengah gigitan di belakangnya.
“Apa? Nggak bisa!” Dylan menggeleng. “Aku akan tetap mengganti kayak punya kamu kemarin! Kamu sendiri yang bilang padaku, nggak maungga lain. Harus sama persis seperti handphonemu dulu!!” Ucap Dylan enggan.
Virly mengelak dengan cepat. “Yah, itu kemarin, sekarang udah beda!! Salah kamu sendiri kenapa belum ganti handphone aku sampe sekarang! Dan sekarang aku udah berubah pikiran! Pokoknya aku mau kayak gini. Tipe, warna, dan merek yang sama. Titik!” Ujar Virly panjang lebar dan tak terbantahkan.
“Kalau aku nggak mau gimana?!” Tanya Dylan menaikkan alis kirinya yang tebal.
Gadis itu menyeringai penuh kemenangan. “Aku akan menerormu tiap hari. Tiap pagi dan malam aku akan datang ke sini!!” Jawab Virly enteng.
“Emangnya kamu nggak punya kerjaan lain?”
Virly berdecak. “Aku sudah bilang sama kamu. Aku nggak punya kesibukan lain, karena sahabatku nggak ada lagi!”
Dylan berdecak dan menatap kasihan padanya. Padahal dia lebih kasihan daripada Virly.
“Kalau gitu, aku pergi kuliah dulu. Nanti malam aku datang lagi. Pokoknya harus ada, sama persis kayak gini!!” Ucap Virly menunjukkan handphone milik Dylan, kemudian gadis itu berlalu. Dylan yang masih galau, tidak mengubrisnya, malas mengeluarkan suara.
“Ish..! Kalau nanti malam dia belum mengganti handphoneku. Habislah dia!!” Batin Virly menggeram, menatap pintu rumah Dylan sekali lagi sebelum keluar dari pagar.
Virly menunggu taksi langganannya sembari berjalan santai. Tidak perlu buru-buru, gadis itu memang bangun lebih awal karena berniat mengunjungi rumah Dylan pagi ini. Memang sama seperti rumahnya, namun keinginannya untuk pindah ke rumah Dylan semakin menggemu setelah memasukinya tadi.
Virly akan mencoba lelaki itu lagi hingga luluh dan membiarkannya tinggal di sana. Virly bosan tinggal sendirian di rumahnya. Jika dia berada di rumah Dylan, setidaknya Virly memiliki seorang teman dan setiap malam menunggu kepulangan lelaki tersebut.
Menghela nafas panjang setelah tiba di kelas, Virly menatap satu persatu teman-temannya, mencari bangku kosong yang jauh dari mantan sahabatnya. Dia kemudian memilih duduk di dekat Laura. Virly dia tidak pernah dekat dengan geng Laura, karena sebelumnya mereka pernah salah paham.
Sebenarnya Virly tidak ikut. Itu semua karena kesensitifan Lala, ia tidak menyukai style Laura, Jessy, Tia, dan Vila. Memang tidak diragukan lagi menengenai style yang mereka kenakan, selalu menor dan tidak nyambung satu dengan yang lain.
“Lagi??” Lagi-lagi Raisa mengernyit bingung pada Virly yang sudah beberapa hari menjauh dari ketiga mantan sahabatnya. Gadis itu duduk d belakang Virly.
Gadis itu mengguk pelan. “Ya, lagi pengen sendiri.”
“Hai, kenapa nggak bareng geng kamu Vir?” Tanya Laura menyerngit
“Nggak apa-apa, lagi pengen sendiri.” Jawab Virly kecut
“Ada masalah?”
“Hanya salah paham.”
“Oh, tumben? Kayaknya nggak pernah.”
“Iya, ini pertama kalinya.” Jawab Virly malas. Dia menyibukkan diri dengan menulis ringkasan yang dijelaskan dosen di depan mereka.
Sesekali melirik ke arah mantan sahabatnya lalu senyum mengejek. Amarahnya belum juga terkendali saat melihat mereka. Dia berjanji dalam diri sendiri, kalau nilai semesternya kali ini akan lebih baik dari mereka. Mengalahkan ketiga mantan sahabatnya.
“Mulai sekarang, aku bukan lagi babu kalian! Rasakan sediri, kalian kesusahan ngerjain tugas!” Batin Virly mengejek. Mengingat kenangan mereka selama ini, tidak di pungkiri lagi, kalau selama ini Virly lebih sering mengerjakan tugas ketiga sahabatnya. Dia berbaik hati karena menurutnya sahabat itu saling tolong menolong dan saling mengisi.
Nyatanya bukan seperti harapannya yang dia dapatkan. Virly seperti mengemis persahabatan dengan ketiganya, ia tidak dihargai dan sering diremehkan. Selama ini dia bisa bersabar dan berusaha menerima kekurangan ke tiga sahabatnya. Tetapi jika terus seperti ini, dia tidak tahan. Virly memiliki batas kesabaran.
Ketika kesabarannya terhenti, Virly memutuskan persahabatan dengan ketiganya. Dia tidak ingin lagi menjadi Virly yang lemah dan terus-terusan terintimidasi dan terus dimanfaatkan dengan semena-mena.
Sejak memutuskan berpisah dari ketiganya, Virly selalu pulang lebih awal. Menghabiskan waktu di rumah dengan bermalas-malasan dan menunggu sore tiba. Tidak sabar lagi ke tetangganya untuk menangih handphone barunya.
“Kemana dia? Kenapa jam segini belum pulang juga?” Batin Virly. Sudah tiga jam dia menunggu kepulangan Dylan di depan rumah lelak itu. Nyamuk-nyamuk berpesta ria di sekelilingnya, siap memangsa setiap sudut tubuhnya karena ia memakai pakaian yang terbuka.
“Jangan-jangan dia lari!” Virly melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kanannya, waktu menunjukkan pukul 21.45.
Kemarin dia datang pukul 18. 05, dan baru sepuluh menit menunggu, Dylan sudah kembali. Sekarang dia menunggu tiga jam, sengaja datang lebih lambat dari kemarin. Tetapi orang yang ditunggu belum menunjukkan batang hidungnya.
“Awas kalau dia nggak ganti handphone aku.” Virly kembali menggerutu. Lalu berdiri dan beranjak meninggalkan rumah Dylan.
Namun penantian Virly belum membuahkan hasil. Dua hari menunggu, lelaki itu sama sekali tidak kembali pulang. Virly mulai khawatir, meremas kedua tangannya hingga memutih.
Tanpa sepengetahuan Virly, Dua hari yang lalu Dylan mengajukan diri untuk melakukan pertemuan dengan beberapa klien di Medan. Awalnya Luthfi yang bertanggung jawab atas pertemuan tersebut, tetapi Dylan berbaik hati menggantikan lelaki itu. Dylan ingin merefreshkan pikiran, membutuhkan liburan di sela-sela pekerjaannya.
“Kayaknya aku harus beneran lapor polisi, deh tu anak!” Guman Virly. Kembali lagi ke rumahnya dengan wajah kusut. Kecewa seperti kemarin.
“Handphone aku. Kesayangku.” Virly mulai cemberut, beberapa kali mengerutkan dahi dan mengerucutkan bibir. Berguling di atas ranjang sambil berpikir keras. “Nggak mungkin aku minta dibelikan lagi. Bisa di gantung aku hidup-hidup.” Tambahnya
Yah, handphone itu keluaran terbaru dua minggu yang lalu, salah satu merek yang tengah naik dawn. Ia masih ingat betul bagaimana senangnya ketika mendapatkannya, dan bagaimana bahagianya memamerkan handphone barunya pada ke tiga sahabatnya.
Kalau saja harganya tidak selangit, dia tidak akan sefrustasi ini. Virly berusaha menggantinya dengan uang bulanandari kedua orangtuanya. Tapi, mengingat harganya yang tinggi, dia tidak yakin bisa menggantinya dalam waktu tiga bulan.
Meskipun dia dari keluarga berada, tetapi kedua orang tuanya masih selalu memantau setiap kegiatannya sehari-hari. Virly tidak pandai mengatur waktu dan mengatur keuangan. Dia termasuk gadis yang boros. Berapapun yang diberikan kedua orang tuanya dalam sebulan, pasti sudah habis sebelum waktunya. Virly terlalu polos dan senang mentraktir teman-temannya.
Kedua orang tua Virly menarik kembali mobilnya sekitar satu tahun yang lalu, Semenjak masuk kuliah, kedua orangtuanya menghadiahi sebuah mobil Jazz berwarna merah. Namun, sejak memilikinya, Virly selalu pulang malam. Kerjaannya keluyuran bersama ketiga sahabatnya.
Mengetahui kegiatan putrinya yang semakin hari semakin menjadi-jadi, kedua orangtuanya menarik semua fasilitas yang pernah mereka berikan. Sehingga semenjak saat itu, Virly menggunakan angkutan kemana pun pergi
***