Alley menatap sendu kertas perjanjian menjadi boneka mainan Arlen. Dia merebahkan diri di kasur king size yang disediakan Arlen di kamarnya yang mewah.
Sekarang aku akan tinggal disini menjadi.... bonekanya?
Batin Alley terasa ngilu. Seluruh kejadian mengubah dirinya menjadi boneka pajangan Arlen. Memang di perjanjian itu tertulis tidak akan ada hubungan badan, yah-kalian tahu kan maksud dari hubungan badan itu? Tapi tetap saja, Arlen telah menggajinya dengan sangat tinggi dan itu hanya untuk pajangan saja? Rasanya mustahil!
Tubuh Alley menegang ketika dia mendengar suara ketukan pintu dan Alley segera memposisikan tubuhnya terduduk tegak.
"Tu-tuan Arlen?" Alley tergagap terasa oksigen paru-parunya tercuri saat Arlen masuk ke dalam kamarnya.
"Kamu harus terbiasa memanggilku Arlen saja. Tanpa tambahan kata 'tuan'. Kamu sudah di gaji dengan sangat tinggi, jangan kecewakan aku."
"Baik... Ar... len"
"Ulangi sekali lagi!"
"Baik, Arlen!" jawab Alley dengan gugup.
"Gadis penurut. Aku suka itu." kekeh Arlen sambil menyentuh helaian rambut Alley.
Karena sedikit sentuhan Arlen itu, seketika membuat wajah Alley merona hingga sangat merah. Arlen suka dengan reaksi Alley yang tidak seperti wanita lainnya selama ini.
"Rasanya, aku jadi ingin melanggar perjanjian kita." ucap Arlen dengan menyeringai nakal.
"Ja-jangan macam-macam ya! Surat perjanjian kita sudah berkekuatan hukum! Jika kamu coba-coba saja-"
"Menyentuhmu, maksudnya?" Arlen menaikkan satu alisnya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Alley, "Aku tidak mengira bahwa kamu berpikiran aku akan menyentuhmu."
"Loh? Yah-bisa saja seperti itu. Anda laki-laki normal kan?"
"Kamu mau aku buktikan malam ini apakah aku pria yang normal? Akan aku buat kamu menjerit malam ini..."
Alley semakin panik!
.
.
.
.
.
Alley membuka mata dan menemukan dirinya terbaring di ranjang milik Arlen. Menurut ingatannya semalam, terakhir dirinya langsung digendong oleh Arlen yang ingin menguji soal apakah Arlen itu normal sebagai seorang pria atau tidak.
Alley memberontak dan Arlen terus memeluknya erat hingga tertidur. Padahal hanya itu yang dilakukan Arlen padanya malam itu, tapi...
Kenapa dirinya masih diatas ranjang hingga kini? Apalagi dengan dekapan seperti ini... terasa nyaman...
Tidak!
Alley! Sadarlah! Kamu tidak boleh jatuh cinta dengan 'penyewa' mu!
Aku dan Arlen... adalah dua orang dari dunia yang berbeda.
"Grace... aku merindukanmu..."
Alley membeku saat mendengar gumaman Arlen dalam tidurnya. Dirinya hampir saja merasa nyaman dengan Arlen yang baru saja dikenalnya, untunglah dia mengetahui di awal bahwa Arlen sudah memiliki seseorang di hatinya.
Alley perlahan melepaskan dekapan hangat Arlen dan meninggalkan kamar dengan perlahan. Tanpa rasa penasaran tentang siapa Grace dalam hidup Arlen.
.
.
.
.
.
Malam kedua setelah tinggal di rumah Arlen, Alley mulai sedikit terbiasa. Alley tetap mengunjungi ayahnya dirumah sakit dan ditemani oleh beberapa pengawal yang diperintahkan oleh Arlen. Masih banyak teka-teki yang mengganggu pikiran Alley soal menjadi tunangan yang di gaji ini tanpa adanya hubungan badan yang diminta oleh Arlen, tapi daripada Alley dipeluk semalaman lagi oleh Arlen, dia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.
"Nona Alley mau disiapkan makan malam?" tanya Kika, asisten pribadi Alley yang diperintahkan oleh Arlen.
"Tidak usah. Saya tidak lapar. Kamu lebih baik istirahat saja di kamarmu. Saya juga mau istirahat saja."
"Baik, nona."
Alley segera menghempaskan dirinya di ranjang kamarnya. Mata Alley menyusuri aplikasi berita di smartphone miliknya dan membaca artikel tentang Arlen yang bertunangan dengan dirinya.
Tunangan seorang Arlen adalah seorang wanita yang merupakan anak dari perusahaan yang dibeli olehnya.
Hah?
Alley membaca artikel itu sampai selesai. Kini Alley sadar bahwa Arlen adalah pembeli perusahaan milik ayahnya dan Alley menyimpulkan bahwa Arlen memilihnya menjadi tunangannya karena Arlen tahu siapa Alley yang sebenarnya.
Tanpa sadar, Alley menitikkan air mata. Teringat masa lalu dimana ayahnya menyatakan bahwa perusahaannya harus dijual untuk membayar hutang dan juga sisa harta mereka harus terjual juga karena untuk membiayai pengobatan ibu Alley yang jatuh sakit-sakitan karena tidak menerima kenyataan kejatuhan perekonomian keluarganya.
Alley tidak menyalahkan Arlen yang telah memiliki perusahaan milik ayahnya sekarang tapi yang saat ini Alley ingin tahu adalah...
Kenapa dia harus memilih Alley sebagai tunangannya?
.
.
.
.
.
"Apa Alley sudah makan malam?" Arlen bertanya pada Kika yang membukakan pintu utama saat tuan rumahnya itu telah pulang.
"Belum, tuan. Nona Alley mengatakan bahwa dia tidak lapar." jawab Kika dengan takut.
"Suruh dia untuk turun makan malam. Aku yang memerintahkannya. Dia tidak boleh menolaknya."
"Ba-baik, tuan."
Arlen menghela nafas berat. Dia tahu bahwa Alley tidak bisa untuk tidak makan malam. Dia akan tidak nyenyak tidur dan juga... tubuh Alley sudah sangat kurus. Dia terlihat sangat lemah. Arlen tidak mau jika tunangannya itu akan jatuh sakit.
Beberapa menit kemudian, Alley turun menyusul Arlen ke ruang makan, "Kau mengganggu tidurku!" ketus Alley sambil melipat tangannya di depan d**a.
"Aku yakin kamu tidak bisa tidur karena lapar. Kamu tidak bisa untuk tidak makan malam kan?" ucap Arlen tenang.
"Kenapa kamu tahu aku harus selalu makan malam? Apa kau menyelidiku lagi?"
"Hah~ kau tidak perlu tahu hal itu."
"Jadi, aku juga tidak perlu tahu bahwa kau adalah pembeli perusahaan milik ayahku? Lalu kamu menyewaku untuk menjadi tunanganmu? Lelucon apa ini?" Alley semakin ketus.
"Kau ternyata sama sekali tidak mengingatku? Kau benar-benar serius tidak mengingatku?"
Alley semakin bingung, "Maksudmu itu apa, tuan Arlen?"
Arlen beranjak dari kursi dan melangkah mendekati Alley. Tanpa permisi, Arlen mencium Alley dengan penuh nafsu hingga oksigen di paru-paru Alley seperti terkuras habis.
"Hentikan..." lirih Alley mencoba melepaskan bibirnya dari.bibir Arlen. Sia-sia. Tenaga Arlen lebih kuat dan dekapan Arlen semakin erat.
"Aku akan membuatmu mengenalku lagi, Alley. Aku memang berjanji tidak akan menyentuhmu, tapi ingatanmu tentangku yang menghilang itu ingin aku bangunkan lewat sentuhan yang akan aku berikan padamu lagi seperti dimasa lalu."
Arlen melanjutkan ciumannya pda leher Alley hingga meninggalkan jejak kepemilikan disana. Alley sudah meneteskan air mata karena merasa dilecehkan oleh Arlen.
"Ke-kenapa kamu menangis?" Arlen mengusap air mata Alley. "Aku tidak pernah tahan jika melihat kamu menangis seperti dulu. Hentikan."
"Aku bukan p*****r. Kau memperlakukanku seperti itu."
"Tidak. Aku hanya ingin tubuhmu mengingatku kembali." Arlen memeluk Alley kembali.
"Ini baru pertama kalinya aku bertemu denganmu, Arlen."
"Tidak." Arlen menatap wajah Alley. "Kau adalah tunanganku yang hilang. Kau adalah milikku dari awal, Alley."