13. Mission status : In Progress

1300 Words
"Terima kasih sudah mau memeriksa Eryn, Dokter Khavi. Saya tidak menyangka kalau Eryn sakit disaat Dokter Febby juga sakit. Saya khawatir Eryn tidak mau di periksa oleh dokter lain karena Eryn sulit bertemu dengan orang baru tapi untungnya Eryn tidak memberontak saat Dokter Khavi periksa." Khavi tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, Bu. Eryn akan baik-baik saja. Saya sudah meresepkan beberapa obat yang sama dengan yang sudah pernah di resepkan oleh Dokter Febby." "Terima kasih banyak, Dok." Khavi kembali menganggukkan kepalanya dan pria itu meninggalkan bilik rawat inap Eryn yang ada di ruang IGD sambil tersenyum. Senyum yang tidak hilang bahkan setelah pria itu pergi meninggalkan ruang IGD karena Khavi baru saja membuat sebuah alasan. Dengan begini Khavi bisa mendatangi Febby dan rasa penasarannya tentang Febby mungkin akan terjawab. Khavi hendak kembali ke poli dan lagi-lagi pria itu berpapasan dengan Cindy. Cindy yang melihat sosok Khavi pun tersenyum. Keduanya kembali bertemu di lift dan kali ini Cindy hendak turun membeli makanan. "Bagaimana kondisi kakak kamu?" Cindy tersenyum lebar, "Kakakku sudah melahirkan satu jam yang lalu. Sekarang kakakku dalam masa observasi. Setelah masa observasinya selesai baru kakakku akan dipindahkan ke ruang rawat inap dan rencananya setelah itu aku akan menjenguk Febby." Khavi menganggukkan kepalanya. "Selamat untuk kelahiran keponakan kamu. Semoga bayi dan kakak kamu sehat-sehat selalu." Cindy tersenyum semakin lebar karena ucapan yang Khavi berikan, "Terima kasih, Kak Khavi. Aku akan merekomendasikan kakak pada kakakku nanti." Ekspresi Cindy perlahan berubah, "Kak, soal Febby... Aku sebenarnya khawatir..." Cindy menjeda kalimatnya, "Pertemuan terakhir aku dengan Febby tidak begitu baik. Febby mengabaikan aku... Dia berubah dan aku takut dia menolak dijenguk." Khavi yang mendengar ucapan Cindy ikut menghela nafas panjang. Apa yang Cindy ucapkan memang mungkin terjadi karena Khavi sendiri merasakan itu. Febby jelas bersikap berbeda padanya dan penolakan terang-terangan dari Febby jelas ia rasakan. Hal ini yang membuat Khavi penasaran namun terus mendekati Febby karena rasa penasarannya tanpa alasan jelas maka bisa membuat wanita itu salah paham sehingga Khavi mencari alasan untuk memuluskan niatnya. "Kamu mau saya temani? Kita bisa menjenguk Febby bersama-sama..." Cindy tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu, Kak. Aku akan coba mendatangi Febby sendiri. Kami perlu banyak bicara dan akan lebih nyaman kalau kami hanya berdua saja." Khavi mengaanggukkan kepalanya mendengar jawaban Cindy bersamaan dengan lift yang terbuka. Keduanya sudah sampai di lantai lobby. Khavi memberi isyarat pada Cindy untuk keluar dari dalam lift lebih dulu sambil berucap, "Baiklah kalau begitu. Hubungi saya jika kamu berubah pikiran." Cindy menganggukkan kepalanya, "Kakak sekarang sering bertemu dengan Febby, kalau kakak butuh bantuanku untuk bicara dengan Febby seperti dulu, kakak juga jangan sungkan hubungi aku. Aku akan berusaha mencoba walau hasilnya tidak bisa aku tentukan pasti berhasil tapi setidaknya aku akan mencoba." Khavi mengangguk dan keduanya berpisah. Khavi pergi ke arah poli sementara Cindy pergi ke arah kantin rumah sakit. Cindy membeli makanan dan ketika kembali Cindy melangkahkan kakinya ke kamar 8208. Cindy berdiri di depan pintu kamar itu dan dari kaca bening yang terdapat di pintu Cindy menatap lurus ke arah dalam dimana ada Febby yang tertidur lelap di atas ranjang rawat inapnya. Cindy berdiri menatap beberapa saat dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan sebelum akhirnya wanita itu beranjak dari tempatnya berdiri dan wanita itu pergi kembali ke tempat dimana kakak perempuannya berada. "Yang jual antri, Cin? Kok belinya lama banget?" Papa Cindy bertanya sambil menatap makanan yang dibeli oleh Cindy. Cindy yang mendengar pertanyaan dari papanya pun spontan mengangguk, "Iya, antri banget, Pa..." *** Pasca selesai memeriksa pasien Febby di IGD, Khavi melanjutkan pekerjaannya dengan melakukan praktek di poli. Ketika jam prakteknya selesai, Khavi mampir ke nurse station. Khavi hendak pamit berbarengan dengan suster Ani yang juga ingin pamit ingin meninggalkan poli anak. Keduanya meninggalkan poli anak bersamaan. "Sudah mau pulang, Sus?" Khavi bertanya pada Suster Ani yang berjalan bersisian dengannya meninggalkan poli anak. Suster Ani menganggukkan kepalanya, "Iya, Dok. Tapi saya mau mampir dulu ke kamar rawat inap Dokter Febby. Saya belum jenguk Dokter Febby." Suster Ani menjeda ucapannya dan tiba-tiba wanita itu menghentikan langkahnya, "Oh ya, Dok. Saya mau berterimakasih atas bantuan Dokter pagi ini. Eryn adalah pasien yang hanya mau diperiksa oleh Dokter Febby tapi karena Dokter Febby sedang sakit kami sempat kebingungan karena khawatir dengan kondisi Eryn." Khavi menganggukkan kepalanya, "Sama-sama, Sus. Tadi mamanya Eryn juga bercerita kalau Eryn agak sulit dengan orang baru. Tapi semua sudah selesai. Kondisi Eryn baik-baik saja. Hasil test darahnya tidak menunjukkan terjangkit DBD. Memang ada bakteri tapi Eryn tidak perlu sampai dirawat." "Terima kasih, Dok. Dokter sudah membantu Eryn, saya dan Dokter Febby juga." "Dokter Febby junior saya waktu kuliah dulu. Saya membantu karena saya bisa." Suster Ani menganggukkan kepalanya. Khavi yang sedang menatap ke arah Suster Ani tidak sengaja ikut menangkap sosok yang ia kenali. Sosok itu adalah pria yang ia tau sebagai tunangan Febby. Pria itu baru saja keluar dari lift dengan langkah terburu-buru dan wajah kesal. Khavi yang melihat pria itu spontan mengerutkan alisnya dan Suster Ani seakan menyadari kemana arah pandangan Khavi. "Lho itu kan... Tunangan Dokter Febby." Khavi spontan menoleh mendengar ucapan Suster Ani dan keduanya saling bertukar pandang. Khavi menganggukkan kepalanya. Suster Ani pun buru-buru pamit dan akhirnya keduanya berpisah. Khavi menuju ruang dokter sementara Suster Ani melangkah menuju lift untuk melanjutkan rencananya. "Gimana kondisi Dokter? Saya panik melihat Dokter pucat dan untungnya ada Dokter Khavi yang ikut memeriksa ruangan praktek Dokter Febby. Dokter Khavi yang membantu saya membawa Dokter Febby ke IGD." Febby yang mendengar informasi yang Suster Ani sampaikan jelas kaget namun ia berusaha menyembunyikan rasa kagetnya itu. Khavi sama sekali tidak menyinggung hal ini. Febby mendengarkan cerita rekan kerjanya mengenai apa yang sudah Khavi lakukan hari ini. Khavi bahkan mengajukan diri untuk memeriksa Eryn padahal Eryn bisa saja diperiksa oleh rekannya yang lain dan wanita itu jelas kebingungan atau apa mungkin Khavi memang seorang dokter yang memiliki loyalitas yang tinggi? Khavi yang ia tau di masa lalu tidak seperti ini. Khavi enggan berurusan dengannya tapi seharian ini pria itu selalu berputar di sekitarnya. Jelas ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sini. *** Aldric menahan diri untuk tidak melakukan hal bodoh lainnya melihat Launa yang lebih banyak diam sambil menatapi ponselnya. Aldric dan Launa sedang dalam perjalanan pulang namun keduanya hendak mampir untuk makan malam sebelum Aldric mengantarkan Launa pulang. "La..." Launa menoleh menatap ke arah Aldric. "Kenapa kamu liatin ponsel kamu terus?" Aldric menatap Launa sesaat sebelum pria itu kembali menatap lurus ke arah depan fokus mengemudi. Launa tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya, "Enggak apa-apa, Mas." Namun Aldric bukan remaja kemarin sore yang tidak paham arti tidak apa-apa yang keluar dari mulut seorang wanita. Melihat keterdiaman Launa dan wanita itu yang terus melihat ke arah ponselnya, Launa pasti kepikiran sesuatu dan itu berhubungan dengan ponselnya, "Ada yang kamu pikirin? Kamu nunggu telepon dari seseorang?" dan tiba-tiba Aldric teringat akan Rafael dan mendadak pria itu kesal sendiri. "Kamu menunggu kabar dari Rafael?" Mendengar nama Rafael disebut Launa spontan menoleh menatap Aldric dan dengan cepat menggelengkan kepalanya. Aldric yang kebetulan menoleh sesaat untuk melihat jawaban Launa dan gelengan kepala Launa membuat badai kesal yang Aldric rasakan langsung lenyap seketika. "Aku enggak nungguin telepon dari siapa-siapa. Aku cuma kepikiran sesuatu." Aldric lagi-lagi penasaran. Penasaran dengan apa yang Launa pikirkan. Sambil memarkirkan mobilnya di sebuah restoran yang biasa ia datangi bersama dengan Launa dan Khavi pun Aldric mencoba mencari tau. "Apa yang kamu pikirkan?" Aldric bertanya tanpa melihat Launa sama sekali. Pria itu bertanya dengan mata dan perhatian fokus pada kendaraan yang saat ini sedang ia parkirkan. Launa menatap Aldric dengan pandangan ragu, "Mas Aldric enggak ketemu sama Mbak Adel aja? Tadi Mbak Adel nanyain Mas Aldric, kan?" Launa menjeda kalimatnya beberapa detik, "Aku ini bukan lagi anak SMA yang mesti diantar kalau mau pulang atau dijemput kalau mau pergi, Kak. Sekarang usia aku udah tiga puluh tahun lebih dan aku bisa pulang sendiri kok."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD