12. Menciptakan Peluang

1465 Words
Aldric sadar ia melakukan sebuah tindakan impulsif yang sangat gila. Pria itu kini melangkah memasuki sebuah unit apartemennya yang tidak pernah terpikirkan olehnya untuk ia design interiornya karena Aldric tidak pernah berpikir untuk menempati apartemen itu. Aldric membeli apartemen ini hanya untuk investasi namun otaknya memproses sebuah ide yang melibatkan apartemen ini dan ide gila itu muncul karena Aldric mendengar rencana Launa yang akan kembali bertemu dengan Rafael. Aldric melangkat masuk diikuti oleh Launa dan Aaron. Keduanya sudah siap dengan peralatan yang mereka butuhkan. Launa menggunakan tabletnya untuk mencatat dan mengambil foto sementara Aaron membawa alat ukur dan buku catatannya. Disaat Launa dan Aaron fokus untuk bekerja, Aldric saat ini sedang fokus untuk menciptakan peluang. Aldric mulai berpikir apa lagi yang bisa ia lakukan setelah ini. "Ini apartemennya. Saya akan memberikan akses pada Launa sebagai pic project ini. Kamu bisa berdiskusi dengan saya mengenai desain yang akan kamu berikan untuk apartemen ini." Aldric berucap sambil menatap Launa lalu pria itu menjeda ucapannya menoleh menatap ke arah Aaron, "Kamu bisa menyampaikan ide kamu sama Launa dan Launa yang akan berkomunikasi dengan saya. Cukup satu orang saja yang berkomunikasi dengan saya." Launa dan Aaron menganggukkan kepalanya spontan mendengar arahan Aldric. Keduanya memulai pekerjaan mereka seperti biasa dengan Aldric yang berada di sana memperhatikan pekerjaan keduanya. Launa dan Aaron fokus mengerjakan yang harus mereka kerjakan hingga ponsel Launa kembali berbunyi. "Ya, Raf... Belum... Besok saja kita ketemu sekalian aku ambil tasnya di kamu... Maaf sudah bikin kamu repot ya, Raf..." Aldric menatap ponselnya namun telinganya mendadak tajam mendengar kata Raf yang keluar dari mulut Launa. Aldric tau apa yang ia lakukan ini salah tapi ia merasa tidak bisa membiarkan Launa bersama dengan pria bernama Rafael itu. Hatinya tidak nyaman memikirkan Launa dan Rafael bersama. "Aku masih kerja, Raf. Nanti aku hubungi kamu lagi setelah pekerjaan aku selesai." Aldric masih fokus menatap ponselnya dengan jari yang menyentuh layar ponselnya sesekali. Orang lain yang melihat Aldric pasti berpikir kalau Aldric sedang serius dengan ponselnya namun sesungguhnya Aldric hanya berpura-pura. Ia tidak berfokus pada ponselnya melainkan pendengarannya. Aldric meletakkan perhatiannya pada pendengarannya agar ia bisa mendengar dengan jelas ucapan Launa. Aldric membiarkan Launa dan Aaron kembali fokus bekerja hingga saat keduanya selesai satu setengah jam kemudian. Ketiganya pulang. Aaron turun lebih dulu di lantai dua karena pria itu memarkirkan motornya di parkir motor yang letaknya di dalam gedung letaknya berada di lantai dua sementara itu Aldric turun di lantai satu karena pria itu memarkirkan mobilnya di parkir mobil yang terletak di lantai satu. Aldric memberi isyarat pada Launa untuk mengikutinya turun namun Launa menggelengkan kepalanya, "Aku pulang sendiri aja, Mas. Aku bisa telepon-" "Jangan merepotkan orang lain malam-malam, Lala... Kamu bisa pulang sama aku kenapa mau malah cari orang lain..." Aldric mengenggam tangan Launa dan mengajak Launa ikut turun di lantai satu. Aldric melepaskan genggaman tangannya pada Launa dan menatap Launa yang kini memasang ekspresi sungkan, "Aku pulang sendiri aja deh, Mas. Aku enggak mau ngerepotin Mas Aldric. Rumah kita soalnya berlawanan dan ini sudah malam." "Semakin lama kita membahas ini semakin lama kita pulang, La... Aku juga lapar. Nanti kita makan dulu ya. Kamu mau makan apa, La?" Aldric mengabaikan ucapan Launa dan pria itu kembali menggandeng tangan Launa agar wanita itu mengikutinya keluar menuju mobilnya berada. Tanpa Aldric sadari Launa kini sedang mengatur detak jantungnya sendiri. Jantung Launa berdetak kencang bukan main. Sementara itu Aldric yang tidak mendengar respon Launa pun mengeratkan genggaman tangannya pada wanita itu sambil menggoyangkannya sedikit. "La... Kenapa kamu jadi diem aja?" *** Febby duduk di atas ranjang rawat inapnya. Sebagai seorang dokter Febby paham betul apa yang ia alami saat ini. Febby memilih untuk tidak memberi tau kedua orang tuanya mengenai kondisinya saat ini karena Febby tidak ingin membuat orang tuanya khawatir dan Febby merasa yakin bahwa ia mampu melewati kondisinya ini dengan baik terlebih ia sudah berada di rumah sakit. Ada para petugas medis yang memantau kondisinya. Namun entah bagaimana Tante Reva mengetahui kondisi Febby sehingga mengutus Kenzo untuk datang ke rumah sakit. Febby sadar betul seharusnya tidak lama lagi ia akan mulai masuk fase kritis dimana demam yang tadinya Febby alami akhirnya turun. Kehadiran Kenzo jelas tidak akan membuat kondisinya lebih baik tapi justru sebaliknya. Kenzo hanya akan membuat Febby semakin sakit kepala dengan segala ocehan yang pria itu keluarkan. Febby berhasil lepas dar Kenzo Namun siapa sangka diluar dugaan Febby ada pria lain yang kini berada di sisi Febby. "Kamu merasa lebih baik?" Febby menatap pria yang kini berdiri didekatnya. Pria itu menatapnya dengan lekat dan ada gurat khawatir yang Febby lihat dari wajah pria itu. "Apa yang sedang anda lakukan saat ini?" Khavi mengerutkan alisnya mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Febby. Ya... Pria yang ada bersama dengan Febby adalah Khavi. Khavi yang kemarin malam diusir Febby untuk pulang namun karena rasa kemanusiaan yang pria itu miliki Khavi memilih kembali ke dalam ruang rawat inap Febby. Wanita itu sendirian tidak ada siapapun yang menjaganya dan dengan alasan kemanusiaan Khavi kembali. Febby sedang demam tinggi dan bagaimana jika terjadi sesuatu pada wanita itu dan tidak ada siapapun yang bisa menolong wanita itu karena wanita itu sendirian? "Saya hanya ingin membantu." Khavi menjawab sambil tersenyum. Lesung pipi di wajah pria itu muncul seiring dengan senyum yang pria itu tunjukkan pada Febby. Febby melihat hal ini dan tanpa sadar Febby mengepalkan tangannya. "Terima kasih untuk niat baik anda tapi untuk saat ini saya tidak perlu bantuan anda. Saya baik-baik-" "Demam tinggi yang kamu alami tidak membuat kamu baik-baik saja. Kamu bahkan terlelap semalaman dan mengigau..." Khavi dengan cepat angkat suara memotong ucapan Febby. Febby memejamkan matanya beberapa saat mengatur nafas dan emosinya. Febby kesal dengaan Khavi yang bersikap menyebalkan. "Ada suster jaga di rumah sakit ini. Demam saat terkena demam berdarah adalah hal yang wajar dan mengigau saat demam pun bukan hal yang aneh sehingga saya bisa mengatakan saya baik-baik saja." Khavi diam menatap Febby dan menggelengkan kepalanya lalu berdecak perlahan, "Sikap kamu banyak berubah tapi aku menemukan satu hal yang tidak berubah dari kamu. Kamu keras kepala." Khavi memutar tubuhnya hendak meninggalkan Febby disaat Febby membulatkan matanya mendengar ucapan pria itu. Febby sudah membuka mulutnya hendak memberikan respon namun Khavi sudah lebih dulu membalik tubuhnya kembali menatap Febby sambil buka suara, "Hubungi keluargamu. Pasien lebih baik di dampingi karena apapun bisa terjadi saat sakit." Febby berdecak kesal dan mata Khavi spontan membulat kaget karena respon yang ia terima dari Febby. Pria itu memasang wajah galak pada Febby dan ia ikut-ikutan berdecak kesal, "Kamu sudah dewasa dan kamu seorang dokter, Feb. Bagaimana bisa kamu bersikap menyebalkan melebihi pasien anak-anak." Khavi yang kesal melenggang pergi dan meninggalkan Febby bergitu saja. Khavi keluar dan mampir ke nurse station untuk menyapa para suster yang berjaga pagi itu. Kemarin malam adalah malam yang melelahkan untuk mereka semua. Siapa sangka kalau tiba-tiba IGD ramai dan kamar rawat inap rumah sakit menjadi penuh. Banyak pasien yang harus mereka periksa dan Khavi disana ada untuk membantu. Khavi baru sampai di area nurse station ketika seseorang yang ia kenali keluar dari dalam lift dengan langkah tergesa-gesa. Khavi berusaha abai namun rasa penasaran membuatnya membuat keputusan dengan sangat cepat. Khavi menatap suster senior untuk pamit. Khavi dengan cepat pergi namun langkah kakinya bukannya menuju lift tapi kembali menuju kamar rawat inap Febby. Dengan perlahan tapi pasti langkah kaki Khavi mendekati kamar rawat inap Febby dan untuk pertama kalinya rasa penasaran membuat Khavi menguping pembicaraan orang lain. Khavi berdiri tepat di sisi pintu rawat inap Febby sehingga ia masih bisa mendengar percakapan di dalam ruangan. Tunangan Febby sepertinya terburu-buru sehingga pria itu masuk tapi tidak kembali menutup pintu dengan rapat. "Sudah aku bilang jangan membuatku melakukan hal yang membuang waktu. Kamu-" "Aku tidak menghubungi siapapun, Ken. Orang tuaku saja tidak tau kalau aku di rawat." "LALU BAGAIMANA MAMA BISA TAU?!" "Jaga suara kamu, Ken! Ini rumah sakit! Kamu bisa mengganggu-" "Aku peringatkan sekali lagi untuk tidak menghubungi mamaku! Kalau kamu..." Khavi mendengarkan dari luar ruang rawat inap dengan seksama. Jelas keduanya sedang bertengkar namun bunyi trolly makanan yang dibawa petugas rumah sakit membuat Khavi berjengkit kaget. Khavi pun melangkahkan kakinya kembali ke arah lift dengan kepala yang penuh dengan pertanyaan mengenai Febby dan tunangannya. Saat melewati nurse station, langkah kaki Khavi terhenti mendengar percakapan yang sedang terjadi. Beberapa suster dan seorang dokter jaga sedang berdiskusi mengenai seorang pasien. Khavi yang sedang menunggu lift tidak senagaja mendengar diskusi itu dan Khavi mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam lift yang terbuka. Khavi malah kembali ke nurse station. "Maaf atas kelancangan saya. Saya mendengar apa yang kalian diskusikan." Khavi berucap sambil berdiri bertumpu pada meja di nurse station. "Saya dokter spesialis anak. Saya bisa mengecek kondisi pasien dokter Febby. Anak itu jelas membutuhkan pengecekan segera. Waktu satu jam menunggu ke datangan Dokter Alby bisa membuka peluang banyak hal bisa terjadi pada pasien."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD