Chapter 3

1614 Words
"Aku sama sekali tidak menyangka kalau Kakak adalah seorang penghianat!" Berman meneriaki Karmila. Ia sama sekali tidak menyangka kalau kakaknya sendirilah yang menyeretnya ke penjara. "Penghianat katamu? Kamu yang menghianati dirimu sendiri! Selama ini siapa yang menjadi tamengmu setiap kali kamu membuat masalah? Kakak, Man. Kakak! Sejak ayah kabur entah ke mana, Kakak pontang-panting bekerja demi mencukupi kebutuhan kita berdua? Sementara kamu, apa yang kamu lakukan? Putus sekolah, berjudi, berhutang, mabuk-mabukan. Bantah Kakak kalau kamu bisa!" Karmila menggebrak meja. Ia sudah lelah sekali menjalani hidup ini. Ia lelah berjuang sendiri, sementara perjuangannya tidak pernah dihargai. "Maaf karena aku belum berhasil," tukas Berman datar. "Maaf karena kamu belum berhasil menjadi kaki tangan pengedar narkoba maksudmu?" bentak Karmila gusar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau tanggapan adiknya sedingin ini. Setelah ia gemetar panas dingin, takut terjadi sesuatu pada Berman, ketakutannya dibalas sedatar ini. Kurang ajar! "Berman, berhasil menjadi gembong narkoba itu bukan pencapaian. Tapi keterpurukan!" Karmila histeris melihat kedegilan Berman. Barita yang duduk di sudut ruangan, mengamati perseteruan kakak beradik ini sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Semakin mereka berdua ribut, semakin besarlah peluangnya untuk mengorek keterangan. Karena hukumnya, jika dua orang pecah kongsi, bersiaplah mendengarkan hamburan rahasia. Ia hanya perlu diam, mengamati, dan menunggu sampai gilirannya. Ketika waktunya tepat, ia akan membabat mereka berdua. "Dengar baik-baik, adik sialan. Selama ini Kakak tidak pernah sekalipun mengeluh. Walau Kakak harus bekerja di tiga tempat setiap hari sejak Kakak berusia tujuh belas tahun, Kakak ikhlas menjalaninya. Tapi apa yang kamu lakukan? Setelah judi dan mabuk-mabukan, kini kamu mulai berurusan dengan narkoba? Kamu sungguh tidak tertolong lagi, Berman!" teriak Karmila putus asa. "Aku melakukan semua ini juga karena ingin menolong, Kakak! Seperti yang Kakak bilang, Kakak bekerja di tiga tempat sejak Kakak berusia tujuh belas tahun. tetapi Apa hasilnya, Kak? Sampai hari ini kita tetap melarat dan Kakak jadi perawan tua. Aku capek hidup miskin, Kak!" Berman balas berteriak tak kalah keras. Karmila tergugu. Ia sudah kehabisan ide untuk menasehati Berman. Adiknya sudah berubah, sejak keluar dari rumah setahun yang lalu. Ia nyaris tidak mengenali adik kecilnya lagi. Dengan langkah terhuyung, Karmila meninggalkan ruangan Juru Periksa, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Berman. Ia memasrahkan segalanya pada prosedur hukum. Mudah-mudahan saja selama menjalani hukuman nanti, adiknya bisa berubah. "Kak! Kakak mau ke mana? Jangan tinggalin aku di sini. Tolong keluarkan aku! Aku janji, aku akan berubah kalau Kakak mengeluarkan aku dari tenpat pesakitan ini. Tolong aku sekali, Kak!" Berman histeris saat melihat kakaknya menjauh. Di dunia ini mereka hanya memiliki satu sama lain. Kalau kakaknya pergi, siapa lagi yang akan membantunya? "Kakak sudah muak mendengar janjimu untuk berubah, Man. Sekarang Kakak pasrah. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Kakak tidak akan melarangmu lagi," desah Karmila lirih. "Aku bohong, Kak. Aku memang memberi Yanto sabu-sabu. Itu semua atas perintah Tuan Robert. Katanya sebagai pancingan dulu, agar selanjutnya Yanto akan membeli kalau sudah kecanduan. Aku belum pernah menjual barang haram itu apalagi menikmati hasilnya. Aku omong besar pada Kakak. Aku malu pada Kakak karena sampai sekarang aku masih jadi keroco. Aku ingin tampak hebat di mata Kakak. Kakak percaya kan?" teriak Berman lagi. Ini dia! Barita mematikan rokok yang baru setengah dihisapnya. Ia percaya pada Berman. Manusia labil seperti Berman ini cenderung memang suka berbohong supaya dianggap hebat. Padahal kebohongan seperti inilah yang akan membuat mereka sengsara selamanya. "Aku percaya padamu." Barita berdiri dan menghampiri Berman di kursi Juru Periksa. "Aku yang tidak percaya padamu. Kamu yang membawaku ke tempat ini. Lantas apa maksudmu dengan kalimat aku percaya padamu? Dasar pengacara licik!" Berman meneriaki Barita geram. Ia paling benci dengan manusia-manusia berjas rapi yang kerjanya hanya ikut campur masalah orang. "Oh, jadi kamu tidak mau dikeluarkan dari sini? Baiklah. Saya tidak akan memaksa membantumu. Nikmati saja hari-harimu dibalik dinginnya lantai penjara. Eh, tapi sepertinya bisa tidak dingin juga, kalau kamu menjadi pacar baru para penghuni sel. Semoga kamu menikmati digilir oleh teman-teman sejenismu di sel nanti." Barita meraih tas kerjanya. Pura-pura akan keluar menyusul Karmila. "Jangan pergi, Pak Pengacara!" pekik Berman panik. Kakaknya sudah pergi. Kalau pengacara ini pergi juga, siapa yang akan membelanya? Lagi pula ia tidak mau menjadi pacar laki-laki lainnya. Ia masih normal. Membayangkannya saja ia ingin muntah! Akan halnya Karmila, mendengar pengakuan Berman, serta kesediaan Barita membela adiknya, memberinya harapan baru. Semoga adik satu-satunya ini masih bisa diselamatkan. "Benarkah Pak Barita mau menolong adik saya? Itu artinya Bapak akan menjadi pengacara adik saya bukan?" Karmila kembali memasuki ruangan. Dadanya membuncah oleh harapan. "Tentu saja, Bu Karmila. Silakan Bu Karmila duduk dulu," bujuk Barita lugas. Beginilah irama kerjanya. Kenali musuhmu, gertak, tarik ulur, dekati, baru kemudian habisi. Tidak masalah ia memberi bantuan pada Berman. Selama hal itu bisa menyelamatkan Yanto, dan generasi-generasi muda lain tentunya. Memberi makan ikan kecil demi menangkap ikan besar, adalah hal yang kerap ia lakukan. "Baik," Karmila buru-buru duduk. Demi mendengar lebih jelas rencana Barita untuk membebaskan adiknya, Karmila mengikat rambut kriting semak belukarnya. Sialnya, saking semangatnya ia malah melakukan satu kecerobohan. Wig-nya lepas! Akibatnya rambut asli lurus sepunggungnya menjuntai indah. "Wah... wah... wah... ternyata Anda menyimpan banyak rahasia ya, Bu Karmila?" Barita menjungkitkan satu alisnya. Mendapati kenyataan bahwa Karmila menutupi keindahan rambut aslinya, dengan wig keriting semak belukar, mengindikasikan sesuatu. Perempuan ini menutupi semua yang indah-indah di dirinya dengan segala hal yang jelek. Saat Barita menelisik lebih dalam dengan menatap Karmila dalam-dalam, ia kembali menemui banyak kejanggalan. Mata gadis ini sesungguhnya sangat indah. Bulat, bening dihiasi dengan bulu-bulu mata yang lentik. Ia tadi sempat melihat sekilas mata telanjang Karmila saat mengusap air mata. Namun sengaja dirias asal dengan warna biru tebal. Karmila masih menambahi kejelekannya dengan kaca mata setebal pantat botol. Keindahan yang ditutupi Karmila bukan itu saja. Alisnya yang sebenarnya indah, digambar asal dengan warna sehitam arang. Karmila juga menggambari bibirnya dengan lipstik hingga keluar dari garis bibir aslinya. Intinya Karmila berusaha tampil sejelek mungkin. Jikalau pada umumnya para wanita akan berusaha tampil separipurna mungkin, Karmila adalah kebalikannya. Pasti ada sesuatu yang salah dalam diri gadis ini. "Ja--jangan membahas apa yang bukan menjadi urusan Anda. Fokus saja pada topik permasalahan." Karmila memotong pembicaraan Barita gugup. Selalu begini. Setiap kali ia mendapati pandangan kagum dari laki-laki, trauma kembali membanjiri benaknya. Ia takut akan menjadi objek seksual laki-laki lagi. Demi Tuhan, ia tidak mau menjalani hari-hari buruk itu lagi. Tidak mau! Sorot horor dan ketakutan pada air muka Karmila, membuat Barita tidak meneruskan kalimatnya. Ia menghormati privacy Karmila. "Jangan ganggu, Kak Mila!" Berman menggebrak meja. Ia sangat mengetahui apa yang membuat kakaknya takut memperlihatkan kecantikannya pada dunia. Karena ia ada dalam masa-masa terburuk kakaknya. Waktu itu ia masih berusia dua belas tahun dan kakaknya lima belas tahun. Yang bisa ia lakukan adalah memeluk kakaknya erat. Membisikkan kata, kalau ia sudah besar, ia akan melindunginya dari monster-monster jahat itu. "Tidak masalah. Saya menghormati privacy orang. Lagi pula masalah client-client saja sudah berjibun. Untuk apa saya mengurusi masalah orang lain. Tanpa bayaran pula. Saya tidak sekurangkerjaan itu," balas Barita pedas. Biasanya jika ia sudah mengeluarkan kalimat sarkas seperti itu, masalah akan selesai dengan sendirinya. "Baik. Sekarang kita fokus pada masalahmu. Ketahuilah Berman, saya hanya akan menolongmu, jikalau kamu menolong saya juga. Ingat, kalau Yanto masuk, maka kamu akan masuk juga. Lebih lama lagi. Karena kamu akan dianggap dalangnya." "Tapi bukan saya dalangnya!" bantah Berman keras. "Katakan itu nanti di persidangan. Bukan pada saya. Ingat Berman, jika kamu sudah ada di kantor polisi, semua hal akan menjadi sulit," ungkap Barita. Berman kembali lemas. Ia baru menyadari konsekuensi dari kebodohannya. "Tapi, ada satu celah yang bisa membebaskanmu dan Yanto sekaligus," lanjut Barita lamat-lamat. "Apa itu?" sergah Berman cepat. "Kamu harus bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk menangkap Robert, beserta jaringannya. Kalau kamu berhasil, kemungkinan kasusmu dan Yanto tidak akan naik. Karena pihak yang berwajib akan fokus pada masalah yang lebih besar. Yaitu menangkap gembong narkoba dan jaringannya. Sampai di sini kamu paham, Berman?" Berman terdiam. Ia sangat mengerti akan maksud si pengacara ini. Namun ia juga ngeri membayangkan Konsekuensi apa yang akan ia terima dari Tuan Robert, kalau sampai ia bernyanyi di kantor polisi ini. Ia bisa dimutilasi atau bahkan dikubur hidup-hidup oleh gembong mafia yang sadis itu. Pilihan yang ada padanya sama sulitnya. "Sulit sekali pilihannya Pak Pengacara," keluh Berman. "Jangan merengek seperti banci, Berman! Kemarin-kemarin tingkahmu sudah menyerupai kepala preman. Sekarang kamu seperti curut yang plin plan. Segera tentukan pilihanmu, kemudian lakukan!" Karmila menggebrak meja. Ia gemas sekali melihat tingkah ragu-ragu adiknya. Karmila sangat memahami karakter orang seperti Barita. Mereka tidak akan mengulangi permintaan hingga dua kali. "Aku juga ingin keluar dari sini, Kak. Sangat ingin sekali. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Jika aku bernyanyi di sini, aku memang bisa keluar. Masalahnya sampai di luar nanti aku bisa mati, Kak. Ada perjanjian di antara aku dan Tuan Robert. Di mana salah satu poinnya adalah aku tidak boleh berhianat, atau pun keluar dari dunia mafia. Seperti itulah perjanjiannya, Kak," erang Berman putus asa. Barita berdecih. Ia paling ifleel melihat seorang laki-laki merengek. Apalagi rengekannya itu ia tujukan pada seorang perempuan. Banci! "Begini, Berman. Saya ini bukan orang tuamu. Bukan pula keluargamu. Apalagi temanmu. Saya hanya tidak bisa mentolerir laki-laki cengeng yang merengek-rengek seperti anak kecil, setelah petentengan di luaran. Dengar Berman, pelajaran pertama menjadi laki-laki itu adalah bertanggung jawab. Maka pertanggungjawabkan semua perbuatanmu. Ingat tidak asap kalau tidak ada api. Kamu tidak akan ada dalam situasi ini, kalau kamu tidak membuat masalah. Paham?" tandas Barita geram. "Paham, Pak Pengacara. Saya hanya sedang bingung menentukan pilihan," kilah Berman lagi. "Memilih apa lagi? Situasi sudah seperti ini, kamu masih bimbang memilih. Ketahuilah Berman, sebenarnya saat kamu ingin membuat pilihan, sebenarnya kamu sudah tidak punya pilihan," cecar Barita taktis. "Baiklah. Anda benar, Pak Pengacara. Saya sebenarnya sudah tidak punya pilihan. Pertemukan saya dengan Juru Periksa. Saya akan menjawab semua hal yang saya ketahui."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD