Chapter 4

2003 Words
"Jadi bagaimana, Bar? Yanto tidak bersalah bukan? Kapan Yanto boleh pulang?" Pintu panti langsung terbuka padahal Barita belum sempat mengetuknya. Bu Asih sudah lebih dulu membuka pintu, diiringi dengan berondongan pertanyaan seputar Yanto. "Sabar ya, Bu? Mengurus kasus di kepolisian itu ada prosedurnya. Tapi saya sudah mengupayakan agar kasus Yanto cepat dinaikkan. Semua butuh proses." Barita melewati ambang pintu, dan menjatuhkan bokongnya ke kursi plastik. "Tapi Yantonya tidak bersalah bukan?" Bu Asih mengekori dan menarik kursi di sampingnya. "Bersalah atau tidaknya Yanto, pihak penyidiklah yang memutuskan. Perbanyak doa dan sabar ya, Bu?" Barita mencoba memberi pengertian pada Bu Asih. Kecemasan di mata tuanya membuat hati Barita menghangat. Tatapan mata seperti itu, dulu kerap ia dapatkan setiap kali ia mendapat masalah. Dan orang yang selalu Bu Asih tugaskan untuk menolongnya waktu itu adalah Budi. "Oh begitu ya? Ibu cemas sekali, Bar. Astaga, Ibu sampai lupa memberimu minuman. Kamu sudah makan belum, Bar?" Bu Asih beringsut dari kursi. Saking cemasnya akan nasib Yanto, ia sampai melupakan adab kesopanan. "Saya sudah makan, Bu. Ibu duduk saja di sini. Tidak usah repot-repot." Barita menahan lembut bahu Bu Asih. Wanita berhati malaikat ini adalah hadiah bagi para anak yatim piatu di panti asuhan ini. Dirinya dulu juga mendapat kasih sayang dari wanita bertubuh mungil namun memiliki hati yang besar ini. "Oh iya, tumben panti sepi. Anak-anak ke mana, Bu?" Barita celingukan. Biasanya setiap ia datang, anak-anak panti akan menyambutnya dengan riuh. "Anak-anak ikut dengan Budi. Banyak wahana-wahana permainan baru di Paradise Holiday katanya. Makanya Budi membawa anak-anak menikmatinya lebih dulu, sebelum di buka untuk umum," terang Bu Asih dengan senyum teduh. Inilah hadiah yang ia dapatkan setelah berpuluh-puluh tahun mendirikan panti asuhan. Yaitu keberhasilan anak-anak asuhannya di masa depan. Seperti Barita yang kini sukses menjadi seorang pengacara tenar, Alfred menjadi polisi, serta Budi yang berhasil mewujudkan impian masa kanaknya. Budi kecil mempunyai cita-cita ingin memiliki taman bermain yang luas. Di mana semua anak-anak panti bisa bermain sepuasnya tanpa harus membayar. Puluhan tahun berlalu. Dan kini Budi telah menjadi pemilik wahana permainan Paradise Holiday. Taman bermain modern yang ia kelola bersama beberapa investor asing. Syukurnya lagi, setelah anak-anak asuhannya ini berhasil menjadi orang, mereka tetap menyambangi sekaligus menyupport kelangsungan hidup panti. Bu Asih tidak henti-hentinya mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa. "Baguslah, anak-anak memang membutuhkan hiburan sekali-sekali. Oh ya, Ranti jadi bekerja tidak, Bu?" Barita teringat pada Ranti. Gadis remaja panti yang ingin bekerja paruh waktu pada satu hotel baru. Ranti ingin mengumpulkan uang sendiri untuk biaya kuliahnya tahun depan katanya. Ranti memang remaja yang cerdas dan gigih. "Jadi, Bar. Ranti bekerja pada bagian housekeeping di Hotel Nusantara Persada. Dia mendapat shift sore. Masuk kerja pada pukul dua sore sampai sepuluh malam. Karena jam itu tidak berbenturan dengan sekolahnya. Anak itu memang gigih sekali." Bu Asih menggelengkan kepalanya. Ia yakin, kelak Ranti juga akan sesukses Barita atau Budi. "Oh iya, Bar. Tadi ada dua orang laki-laki kantoran menemui Ibu. Katanya mereka akan membangun hotel baru," adu Bu Asih gelisah. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Barita. Ia teringat pada dua laki-laki muda yang terus memaksanya menjual panti. "Lantas," air muka Barita menegang. Terbiasa menghadapi konflik-konflik clientnya, membuatnya tanggap setiap mencium masalah. "Mereka memaksa Ibu menjual panti ini. Kata mereka Pak Sanip, Bu Mawar, Pak Sutris dan tetangga-tetangga kita lainnya sudah menandatangani akad jual beli." "Ibu tidak berniat menjual panti bukan?" Barita memastikan sikap Bu Asih terlebih dahulu. "Tentu saja tidak, Bar. Panti ini adalah peninggalan alharhum bapak. Bapak mendedikasikan panti ini sebagai bentuk kepedulian terhadap anak-anak yatim piatu. Sampai mati pun Ibu tidak akan menjualnya!" pungkas Bu Asih sungguh-sungguh. "Kalau begitu, biarkan saja. Negara ini negara hukum. Mereka tidak akan bisa memaksa orang menjual sesuatu yang tidak mereka kehendaki. Ibu tidak usah khawatir." Barita mencoba menenangkan Bu Asih. "Kalau mereka memaksa dan bertingkah macam-macam, Ibu berikan saja kartu nama saya. Tegaskan bahwa urusan panti ini adalah urusan saya." "Baiklah. Ibu percaya padamu." Bu Asih tersenyum lega. Ia sangat mempercayai Barita. Lihatlah, anak kecil cengeng yang dibawa ke panti dulu oleh Budi, sekarang menjelma menjadi sosok yang sangat kuat dan kharismatik. Bu Asih bangga menjadi bagian dalam perjalanan hidup Barita. "Sepertinya Budi dan anak-anak sudah pulang." Bu Asih berdiri. Suara beberapa kendaraan yang berhenti yang diikuti dengan riuhnya suara langkah-langkah kaki terdengar dari teras panti. Tebakan Bu Asih benar. Pintu panti terbuka lebar didorong oleh anak-anak. Di belakang belasan anak-anak itu tampak Budi mengekor. Namun kali ini Budi tidak sendiri. Ada Pita yang berjalan bersisian dengannya. "Kalian sudah pulang. Ayo anak-anak segera mandi dan istirahat. Mandinya gantian ya?" ucap Bu Asih lembut namun tegas kepada anak-anak panti yang rata-rata berusia di bawah dua belas tahun. "Satu lagi, jangan rusuh dan membuat kamar kalian basah oleh tetesan air. Keringkan tubuh kalian dulu di kamar mandi, baru masuk ke dalam kamar. Kalian tidak mau dimarahi Mbok Tatik 'kan?" "Baik, Bu." Koor kompak anak-anak menghadirkan senyum di bibir Bu Asih. Dirinya memang divonis dokter tidak bisa mempunyai keturunan. Namun lihatlah. Ia bisa mengasuh berpuluh-puluh anak yang dibuang oleh keluarganya, dan ia rawat seperti anak sendiri. Allah memang maha adil. "Lo udah lama nyampe, Bar?" Budi menyapa Barita dengan tepukan ringan di bahu. Ia kemudian menarik dua kursi dari tumpukkan kursi plastik yang disusun rapi di sudut ruang tamu. Satu kursi untuk ia duduki sendiri, dan satu lagi untuk Pita. Mereka duduk bersisian. "Nggak lama-lama banget. Gimana wahana permainan lo yang baru? Seru nggak prospek ke depannya?" Barita membuka pembicaraan dengan topik netral. Firasatnya mengatakan Budi tidak dalam keadaan baik-baik saja. Air muka Budi tegang, begitu juga dengan Pita. Dua sejoli yang telah lama berpacaran ini sepertinya sedang berselisih. "Ya begitulah. Gue rasa ke depannya bakalan rame. Apalagi sebentar lagi musim liburan." Budi menimpali seadanya. "Bu, saya ke sini karena ingin pamit." Sekonyong-konyong Pita beringsut dari kursi. Ia kemudian berjongkok separuh bersimpuh di depan Bu Asih. "Kamu sudah mau pulang, Pita? Kok buru-buru? Lagian kenapa cara pamitmu aneh begini, Nduk? Seperti kamu akan pergi jauh saja. Ayo berdiri." Bu Asih memegang kedua bahu Pita. Meminta kekasih Budi itu untuk berdiri. "Saya memang akan pergi jauh, Bu. Saya... saya telah berpisah dengan Mas Budi," ungkap Pita lirih. "Lho, kenapa? Ada masalah apa Pita, Budi? Kalian ini sudah berpacaran tiga tahun lamanya. Ibu menunggu-nunggu kabar pernikahan kalian, alih-alih perpisahan." "Saya juga maunya begitu, Bu. Tapi apa boleh buat. Prinsip Mas Budi tidak bisa saya ubah, walau saya sudah mencoba melenturkannya selama tiga tahun," cicit Pita lirih. "Jangan mulai lagi, Pita." Budi menggeleng jengah. Ia tidak nyaman masalah pribadinya diungkap di depan orang lain. "Prinsip apa itu, Pita?" tanya Bu Asih penasaran. Sungguh, ia menyayangkan hubungan anak asuhnya yang kembali gagal. Budi sudah berusia tiga puluh lima tahun. Sudah sangat matang untuk membina rumah tangga. "Mas Budi tidak menginginkan anak apabila kami menikah." "Cukup, Pita. Sebelum kita berpacaran, saya sudah mengatakannya bukan? Saya tidak menginginkan anak biologis. Saya sudah punya cukup banyak anak di panti ini dan panti-panti lainnya. Bagi saya, anak biologis, anak asuh, anak angkat atau apapun, sama saja. Kita jangan terlalu egois sebagai manusia." Barita bangkit dari kursi. Sebaiknya ia menjauh dari masalah yang tidak memiliki solusi ini. Ia paling menghindari drama yang masalahnya mbulet begini. "Saya permisi dulu ya, Bu? Saya masih memiliki pekerjaan lain. Mengenai masalah Yanto, bila ada perkembangan saya akan menghubungi Ibu." Barita pamit pada Bu Asih dan dua bakal tidak sejoli yang masih saja saling debat kusir. "Kamu mau ke mana, Bar? Tidak bisakah kamu membantu saya meyakinkan Budi?" Pita menghalangi jalan Barita. "Kamu yang selama tiga tahun, makan, minum dan berpeluk cium dengannya saja tidak bisa mengubah prinsipnya. Apalagi saya, Pita. Saya hanya bisa memberi saran ; lepaskan, atau terima dia apa adanya. Kamu bukan orang bodoh. Dewasalah, Ta." Barita berlalu setelah pamit sekali lagi pada semuanya. Bukannya dirinya tidak mempunyai rasa empati pada Pita. Ia hanya ingin memberi Pita pelajaran, bahwa jangan pernah berharap untuk bisa mengubah seseorang. Karena satu-satunya orang yang bisa kita ubah adalah diri kita sendiri. *** Karmila terbangun karena merasa kepanasan. Di saat sedang musim kemarau seperti ini ia memang kerap terbangun dalam keadaan mandi keringat. Padahal ada sebuah kipas angin kecil yang bergerak ke kanan dan ke kiri semampunya. Ya semampunya, mengingat kipas angin ini bisa dikategorikan sebagai barang antik saking tuanya. Usianya saja hampir separuh umurnya. Tidak heran kalau kipas angin antik ini bergetar hebat setiap kali berputar. Anginnya sedikit namun berisiknya sebelas dua belas dengan mesin generator. Tidak tahan panas, karmila meraih majalah di samping nakas. Sembari duduk bersila di atas ranjang, ia berkipas dengan media majalah bekas. Beginilah nasib orang yang tidak memiliki pendingin ruangan. Perlu berbagai usaha untuk menyejukkan dirinya sendiri. Dua menit, tiga menit, Karmila terus mengipas tubuhnya. Namun herannya, bukannya makin sejuk, udara malah kian panas. Karmila makin kencang berkipas. Kantuknya pun sirna sudah. Karmila menyipitkan mata. Ada satu pemandangan ganjil yang membuatnya penasaran. Rasa-rasanya ada lampu berkedap-kedip di jendela kamarnya. Padahal seingatnya ia tidak menyalakan lampu teras, demi menghemat tagihan listrik. Sejurus kemudian terdengar suara dentuman yang cukup keras di bawah jendela. Karmila kaget. Ia segera melompat dari tempat tidur dan menghampiri jendela. Namun ia kembali mundur saat sambaran hawa panas menyerbunya. Untungnya ia sempat melihat sekilas ke bawah jendela. Pemandangam di sana membuatnya panik. Cahaya merah menari-nari dalam bentuk kobaran api. Rumahnya kebakaran! Dalam situasi panik Karmila mencoba berpikir taktis. Ia harus keluar dari rumah sebelum api bertambah besar. Karmila berlari ke kamar mandi. Ia menyambar handuk di gantungan dan membasahinya. Ketika ia kembali ke kamar, asap sudah mulai masuk melalui celah-celah pintu dan jendela. Karmila terbatuk dengan d**a seperti terbakar. Ia kesulitan meraih udara. Sekarang atau mati konyol! Karmila melilitkan handuk basah ke wajahnya agar ia bisa sedikit bernapas. Ia mulai pusing dan lemas. Sementara rasa panas seperti membakar kulitnya. Dengan lingerine tipis yang menutupi tubuhnya, Karmila menyambar kunci dan mengenakan sandal. Ia bersiap-siap membuka pintu ruang tamu. Ia tidak mungkin keluar dari pintu belakang, karena cahaya merah sudah naik hingga ke atap rumah. Itu artinya bagian belakang rumahnya juga telah dilalap api. Satu-satunya jalan adalah ruang tamu dan pintu utama. Ia bisa menghirup udara segar di luar, jika ia beruntung selamat dari kebakaran ini. Karmila berlari ke pintu dan bermaksud membuka kunci serta memutar handle pintu. Pintu berhasil ia buka. Namun ia menjerit kesakitan ketika akan memutar handle pintu. Handle pintu yang terbuat dari bahan stainless steel itu panas sekali. Tidak kekurangan akal. Karmila menyambar luaran lingerine untuk melapisi telapak tangannya. Ia kemudian memutar handle pintu dan berlari ke teras. Orang-orang sudah menyambutnya di luar. Sebagian tetangganya menyiramkan air dengan media seadanya. Mereka beramai-ramai hilir mudik mengangkat ember berisi air, yang mereka siramkan ke rumahnya yang terbakar. Karmila terduduk lemas di tanah seraya memandangi rumahnya yang telah menjadi lautan api. Tidak ada satu benda pun yang bisa ia selamatkan. Bahkan dompet dan ponselnya juga pasti hangus terbakar. Sejurus kemudian terdengar sirene pemadam kebakaran dan juga petugas kepolisian. Ketika salah seorang penyidik menanyakan apakah ia ingin menghubungi kerabat untuk mengabarkan tentang peristiwa ini, tiba-tiba saja Karmila teringat pada Barita. Berman sedang di penjara. Karmila tidak mau membebani pikiran adiknya. Satu-satunya orang yang bisa ia harapkan pertolongannya hanya Barita. Dengan tangan gemetar karena masih shock, Karmila menghubungi Barita. Karmila kini sadar pentingnya nomor ponsel yang gampang dihafal. Salah satu kegunaannya adalah agar orang bisa mengingat nomor tersebut di luar kepala. "Hallo, kasus besar apa yang membuat siapa pun Anda menghubungi saya di pagi buta seperti ini?" "Hallo, Pak Barita. Saya Karmila Hu--Husin, kakak Berman." Terbata-bata Karmila menjawab kalimat sarkas Barita. "Anda ada di mana dini hari seperti ini? Ponsel siapa yang Anda pakai? Jangan bilang Anda sedang diculik dan Anda menggunakan ponsel penculik Anda untuk meminta pertolongan pada saya." "Saya ada di teras rumah. Ini bukan ponsel penculik. Tapi ponsel bapak polisi. Rumah saya kebakaran, Pak Pengacara. Saya bukan diculik, tapi mau dibakar!" Karmila meneriakkan ketakutannya. Ia bukan orang bodoh. Dalam hitungan detik rumahnya terbakar secara adil dan merata. Jelas itu bukan kebakaran. Tapi dibakar! "Saya akan segera ke sana. Sekarang dekati salah seorang aparat di sana. Menempellah padanya seperti lintah sebelum saya datang. Ingat, tujuan pembakar rumah Anda, adalah Anda. Jadi jangan gegabah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD