Dalam keadaan terduduk lemas di tanah, Karmila memandangi kesibukan di sekelilingnya. Lampu-lampu merah menyala di mana-mana. Para tetangganya tidak lagi menyiramkan air ke rumahnya yang kini telah menjadi lautan api. Mereka sibuk menyiram rumah mereka sendiri. Tujuan mereka adalah agar rumah menjadi lembab, sehingga apa tidak akan mudah untuk menyambar. Sementara sebagian lagi tetangga membentuk barikade manusia, dan menonton kesibukan para petugas pemadam kebakaran yang berupaya memadamkan api.
"Kamu... kamu... Kak Mila bukan? Kak Karmila Husin maksud saya. Soalnya rumah yang sedang terbakar itu milik Kak Mila." Seseorang memanggil namanya ragu-ragu.
Karmila yang tengah memandangi para petugas pemadam kebakaran bekerja, menoleh. Faisal Maulana. Tetangganya.
"Iya, Sal. Kakak ini Mila. Kamu ini kenapa? Masa kamu tidak mengenali Kakak?" Karmila bingung. Faisal ini adalah anak Pak Saiful dan Bu Fatimah. Tetangga sebelah rumahnya persis. Mengapa Faisal tidak mengenalinya ya? Padahal hampir setiap hari mereka berinteraksi. Berdebat lebih tepatnya. Faisal adalah pemuda alim yang sangat membenci keluarganya. Kelakuan Berman yang kerap mabuk-mabukan dan bernyanyi asal-asalan tengah malam, membuat Faisal sangat antipati terhadap Berman dan juga padanya. Menurut Faisal, dirinya adalah kakak yang buruk karena tidak bisa mendidik adiknya.
"Antara kenal dan tidak kenal. Selain wajah Kak Mila penuh jelaga, penampilan Kakak juga berbeda. Rambut Kakak tidak keriting sewarna rambut jagung lagi. Tapi lurus, hitam dan panjang. Kakak juga jadi--jadi, bagaimana saya mengatakannya ya?"
Faisal menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia ingin sekali mengatakan bahwa kakak si biang kerok Berman ini ternyata sangat menarik. Tidak kurus kerempeng seperti biasanya. Melainkan sangat seksi dengan lekukan dan tonjolan di tempat yang tepat. Walau dalam keadaan penuh jelaga begini, Mila ehm, sangat menggiurkan. Faisal adalah laki-laki biasa. Melihat perempuan cantik dan seksi tentu saja membuat darah mudanya berdesir. Hanya saja Faisal tidak berani terang-terangan mengatakannya. Ia dididik untuk tidak berbicara yang tidak pantas. Ayahnya seorang pemuka agama. Dirinya juga sedang belajar seperti ayahnya. Untuk itu lisannya harus ia jaga.
"Faisal mau bilang kalau Kak Mila itu sangat seksi. Iya 'kan, Sal?" Sebuah suara menggoda terdengar dari belakangnya. Karmila berbalik. Rizky. Teman Faisal. Kedua anak muda ini adalah tetangga terdekatnya. Usia mereka sekitar enam atau tujuh tahun di bawahnya.
"Sek--seksi?" ulang Karmila terbata. Ia sangat tidak nyaman ditatap dan digoda seperti ini oleh kaum laki-laki. Walaupun usia mereka jauh di bawahnya.
"Iya, seksi. Saya tadi juga sempat tidak mengenali Kak Mila. Soalnya biasa rambut Kak Mila itu keriting kuning jagung. Tapi sekarang lurus dan panjang. Terus baju Kakak juga tidak kedodoran dan panjang seperti biasa. Tapi gaun tidur tali satu yang pas badan dan pendek. Jadi Kak Mila tampak seksi." Rizky yang orangnya ceplas-ceplos lebih santai mengutarakan pendapatnya.
Karmila terkesiap. Seksi? Bukannya ia selalu berpakaian sopan. Heran, Karmila menatap tubuhnya sendiri. Setelahnya ia kaget sekaget-kagetnya. Astaga! Karmila lupa. Ternyata ia masih menggunakan lingerie tipis sepaha tanpa penutup d**a dan luaran. Oh iya, Karmila ingat, luarannya tadi ia pakai untuk melapisi tangannya saat akan membuka handle pintu yang panas.
Karmila memeluk dirinya sendiri. Penyamarannya telah terbuka tanpa ia sengaja. Sekarang ia takut! Ia takut melihat sorot mata kagum bercampur nafsu pada kedua pemuda belia di depannya. Karmila panik!
Jangan lagi, oh jangan lagi!
Karmila panik. Sontak ia berlari pontang panting menghindari Faisal dan Rizky yang kebingungan. Kedua pemuda itu heran karena ditatap horor oleh Karmila. Padahal mereka berdua tidak merasa melakukan apa-apa.
"Riz, Kak Mila kenapa ya? Kok tiba-tiba jadi aneh begitu?" Faisal meminta pendapat Rizky.
"Aku juga nggak tahu, Sal. Jangan-jangan Kak Mila jadi gila karena rumahnya terbakar. Mana Bang Berman sedang di penjara lagi. Kasihan. Ayo kita kejar Ris. Nanti Kak Mila bunuh diri pula." Rizky membelalakkan mata. Ia ngeri sendiri memikirkan kebenaran dugaannya.
Sementara Karmila berlari lintang pukang ketakutan. Ia makin panik karena ada dua orang laki-laki jahat yang mengejarnya. Pasti ayahnya kalah berjudi. Makanya ayahnya menjual dirinya sebagai jaminan hutang agar ayahnya bisa menebus kekalahannya. Menurut teman-teman ayahnya sesama pemabuk, ia sangat cantik. Oleh karenanya mereka bersedia meminjamkan ayahnya lebih banyak uang, asal Karmila bersedia melayani mereka. Karmila membenci kecantikannya. Karena kecantikannya telah menghancurkan hidupnya. Karmila pernah berharap seandainya ia terlahir jelek saja. Dengan begitu teman-teman ayahnya tidak akan menaruh perhatian padanya. Ia benci ayahnya! Ia benci teman-teman m***m dan pemabuk ayahnya! Ia benci laki-laki!
"Kak Mila! Kak Mila mau ke mana?" Faisal dan Rizky ngeri melihat Karmila berlari tak tentu arah. Istimewa pakaian Karmila sangat minim. Gaun sepahanya tersingkap-singkap karena Karmila terus berlari. Selain itu Karmila juga bertelanjang kaki. Kakinya sepertinya terluka karena mereka sempat melihat noda merah pada telapak kakinya.
"Jangan mendekat! Saya tidak cantik! Saya tidak cantik!" Karmila menceracau dengan airmata yang terus mengalir. Ia putus asa karena tahu akan dipaksa melayani para laki-laki b***t ini lagi.
"Jangan meminjami ayah uang lagi. Saya mohon. Saya mohon."
Karmila merangkapkan kedua tangannya di d**a. Memohon-mohon dengan suara bergetar, antara ketakutan bercampur kemarahan. Ia kehilangan asa. Selalu begini. Ke mana pun ia berlari, para gerombolan laki-laki pemabuk itu akan mengejarnya. Ia takut! Sangat takut!
Berman! Berman ada di mana? Bola mata Karmila dengan liar memindai sekeliling. Ia mencari-cari keberadaan adiknya. Biasanya Berman akan menolongnya. Walaupun setelahnya Berman akan babak belur dikeroyok oleh para pemabuk ini.
"Kak Mila kenapa sih?" Akhirnya Faisal dan Rizky berhasil menangkap Karmila. Mereka berencana membawa Karmila pada ibu mereka untuk ditenangkan. Keduanya kasihan melihat Karmila yang stress seperti orang gila.
"Lepaskan! Lepaskan!" Karmila mengamuk. Ia memukul, mencakar, menjambak laki-laki yang akan kembali mengotorinya. Ia melawan sekuat tenaga.
"Kalian pemabuk jahat! Jahat!" Karmila mengamuk. Ingatan bahwa teman-teman ayahnya tertawa-tawa sementara ia menangis ketakutan dan kesakitan melukai harga dirinya.
Seperti inilah pandangan yang Barita saksikan saat tiba di rumah Karmila yang tengah dilalap si jago merah. Di mana Karmila dengan pakaian seadanya dan bertelanjang kaki, meronta-ronta hebat dalam rangkulan dua pemuda bertubuh tinggi besar.
Airmata Karmila, tatapan horror dan ketidakberdayaannya, menggedor sisi kemanusian Barita. Setelah mengamati sekian menit pergulatan Karmila dan dua pemuda yang bermaksud menolongnya, Barita sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Karmila trauma karena pernah dijadikan alat barter oleh ayahnya. Barita ikut prihatin dengan masa lalu Karmila yang sangat hitam.
Sejurus kemudian Barita menghampiri Karmila yang terus melawan seraya membuka bomber jaketnya.
"Bu Karmila. Sadar, Bu. Sadar. Tidak akan ada orang yang bisa melukai Ibu. Tidak seorang pun. Karena saya, Barita Bratadikara Sarjana Hukum akan melindungi Ibu dengar? Saya akan melindungi Ibu."
Barita mengeraskan suaranya, demi mengimbangi sirene pemadam kebakaran. Ia bahkan sengaja berbicara tepat di sisi telinga Karmila, agar gadis malang itu bisa mendengarnya dengan jelas.
"Pak Barita?" bisik Karmila pelan. Ia seperti mengenal nama itu.
"Iya. Saya Barita. Pengacara Berman, adik Bu Karmila. Ingat tidak?" Seraya terus berbicara Barita menyampirkan bomber jaketnya ke sekeliling bahu telanjang Karmila. Syukurlah Karmila menurut. Ia bahkan dengan sukarela merentangkan kedua tangannya, kala Rajata mencoba memakaikan jaket secara benar. Sementara Faisal dan Rizky menjauh setelah tahu bahwa Karmila akan aman bersama pengacara Berman.
"Ayo, kita berbicara di dalam mobil saya saja. Dengan begitu Ibu akan menjadi lebih rileks," bujuk Barita. Seperti tadi, Karmila menurut. Ia mengikuti langkah Barita. Hanya saja ia memberi jarak. Karmila masih takut berdekatan dengan laki-laki.
Sesampainya di mobil, Barita membuka pintu mobil dan mempersilakan Karmila masuk. Karmila ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia masuk juga. Kesadarannya perlahan-lahan mulai kembali. Ia sudah ingat akan siapa dirinya dan juga Barita.
"Saya juga masuk ya, Bu? Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Ibu. Tapi Ibu tidak perlu khawatir. Kedua pintu mobil ini akan tetap saya buka," bujuk Barita hati-hati.
Karmila mengangguk canggung. Setelah semua momok masa lalunya usai, Karmila malu. Ia telah membuka masa lalunya yang kelam, walaupun ia lakukan dalam keadaan tidak sadar.
"Ceritakan awal mula kebakaran di rumah Ibu,' ucap Rajata hati-hati.
"Saya tidak bisa tidur karena kepanasan. Lantas saya melihat cahaya merah di jendela. Padahal saya tidak membuka lampu teras. Ternyata lidah api sudah menjilat-jilat jendela," terang Karmila ngeri.
"Apakah Anda melihat sesuatu atau seseorang di sekiar rumahmu setelah kebakaran?"
Karmila berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ingat kejadian dalam sepersekian menit yang menakutkan dalam hidupnya. Ia nyaris terpanggang atau dipanggang hidup-hidup di rumahnya sendiri.
"Tidak. Saya tidak melihat sesuatu atau seseorang yang mencurigakan. Sesaat setelah saya berhasil keluar dari rumah, yang saya lihat hanya tetangga yang sibuk menyiram air. Tidak lama kemudian mobil pemadam kebakaran datang. Itu saja yang saya ingat."
"Baiklah. Kalau begitu Ibu istirahat saja dulu di mobil ini. Saya akan mengamati keadaan rumah dan berbicara dengan beberapa saksi mata. Saya memang bukan polisi. Hanya saja saya tidak suka melihat kejanggalan dalam suatu kasus. Istimewa kasus tersebut ada kaitannya dengan saya."
"Saya mengerti, Pak Pengacara. Saya juga mempunyai dugaan yang sama. Namun kita tidak boleh menuduh tanpa bukti bukan?" imbuh Karmila.
"Benar, oleh karenanya saya akan mencoba mencari benang merah antara bernyanyinya adik Ibu di kantor polisi, dengan peristiwa kebakaran rumah Anda ini. Saya akan keluar. Tutuplah pintu mobil ini, dan tunggu di dalam sampai saya kembali. Ibu tidak punya tempat lain yang akan dituju bukan?" tanya Barita.
Setelahnya ia menghidupkan mesin mobil dan menyalakan pendingin udara agar Karmila tidak kepanasan sendirian di dalam mobil. Barita juga menurunkan sedikit jendela mobil agar udara segar bisa keluar masuk.
Karmila mengangguk lesu. Ia memang tidak punya siapapun lagi di dunia ini, kecuali Berman. Ayahnya sudah lama menghilang. Berman di penjara dan kini rumahnya terbakar. Ia tidak punya tempat bernaung lagi.
"Baik. Selagi saya masih membutuhkan Berman, saya akan melindungi Ibu. Saya mencari tempat yang aman untuk Ibu nantinya. Sekarang duduk diam dan cobalah mengingat hal apa yang sekiranya ganjil, dalam peristiwa ini. Saya keluar dulu."
Karmila mengangguk patuh. Setelah rumahnya terbakar ia tidak punya apa-apa lagi sekarang. Bahkan pilihan pun ia tidak punya.
Karmila menguap dan meringkuk nyaman dalam mobil. Bomber jaket yang melapisi tubuhnya terasa hangat dan nyaman. Aroma samar parfum dan tembakau menguar di sana. Jaket ini menjelaskan dengan rinci siapa pemiliknya.
Karmila memandangi rumahnya yang mulai terbakar habis dengan perasaan masygul. Semua kenangan seumur hidupnya ada di sana. Juga photo-photo terakhir ibunya sebelum meninggal. Semuanya hangus terbakar.
Dengan pikiran nelangsa Karmila mengamati bagaimana para petugas pemadam kebakaran berusaha keras agar api tidak menyebar ke rumah-rumah di sebelahnya. Hawa di sekitarnya sangat panas. Sejurus kemudian terdengar bunyi gemuruh dinding rumahnya yang runtuh. Mengakibatkan percikkan percikkan api yang berkilat-kilat.
Cahaya terang itu tiba-tiba menyinari satu wajah. Wajah seorang laki-laki di tengah-tengah keramaian orang-orang yang menonton kebakaran. Sosok itu mengenakan jaket hoodie, dengan tangan yang terselip di dalam saku. Topi hoodienya ia tarik hingga menutupi kepala. Karmila tidak mengenal sosok itu. Hanya saja ada sebersit perasaan tidak enak kala ia menatap sosok itu. Ada satu keanehan lagi. Tidak seperti para penonton lainnya, laki-laki itu tidak mengamati semburan api. Tetapi menatap kearah mobil yang ia duduki. Ya, tepat kearahnya.
Untuk sepersekian detik, Karmila mengamati bahwa sosok itu menatap rumahnya yang terbakar dengan penuh kemenangan. Karmila yakin sosok tersebutlah pelakunya.