Chapter 6

1591 Words
Barita mengamati lidah api yang menjilat-jilat ganas rumah tua Karmila. Api yang berkobar-kobar itu mengelilingi rumah tua Karmila seperti api unggun besar. Terbakarnya merata. Barita bisa menyimpulkan, kalau rumah Karmila ini bukan kebakaran, tetapi sengaja dibakar. "Selamat malam menjelang diri hari, Pak Simatupang. Profesi tak kenal waktu bukan?" Barita menyapa Pak Simatupang. Salah seorang petudaa pemadam kebakaran yang kebetulan ia kenal. Profesinya memang otomatis membuatnya bersinggungan dengan segala macam profesi. Salah satunya adalah petugas pemadam kebakaran. Saat ini Pak Simatupang yang terlihat kelelahan, sedang bertukar posisi dengan seorang rekannya yang baru tiba dengan mobil pemadam kebakaran lainnya. "Wah, ada Pak Barita. Benar, Pak Pengacara. Profesi dan nama saya itu sama tugasnya. SIMATUPANG yang merupakan singkatan dari Siang Malam Tunggu Panggilan." Pak Simatupang tertawa dengan wajah penuh jelaga. Barita meringis. Ia kagum pada Pak Simatupang masih bisa tertawa padahal tugasnya sangat berat dengan nyawa menjadi taruhannya. Ia angkat topi untuk para pekerja yang sifatnya rescue atau penyelamatan, atas dedikasi dan pengabdian mereka pada masyarakat. "Hehehe. Pak Sumatupang bisa saja. Oh ya, Pak. Kebetulan rumah yang terbakar ini adalah milik klien saya, yang saat ini tengah saya dalami kasusnya. Boleh saya menanyakan sesuatu, Pak?" Barita memulai sesi mengolah data untuk mengungkap fakta. Jiwa pengacaranya sudah mendarah daging. "Tanya saya, Pak. Selama itu berkaitan dengan kasus Pak Barita, dan untuk mengungkap kebenaran, saya akan membantu semampu saya." "Terima kasih. Menurut pendapat Bapak yang sudah puluhan tahun menjadi petugas pemadam kebakaran, ini memang murni kebakaran, atau dibakar?" tanya Barita hati-hati. "Kalau saya bilang, memang sengaja dibakar. Hal ini terlihat dari bekas bahan bakar dan beberapa titik api di TKP. Saya perhatikan semua jalan yang memungkinkan korban untuk keluar sudah terbakar serempak. Itu yang pertama. Yang kedua aroma khas yang tercium adalah aroma bensin. Dan yang ketiga, adalah ditemukannya jerigen bensin di belakang rumah yang sudah terbakar sebagian. Tapi sudah saya selamatkan, dan saya berikan pada salah seorang polisi. Karena saya tahu jerigen itu akan menjadi barang bukti." Barita mengangguk-angguk. Penjelasan Pak Simatupang itu sangat lugas dan masuk akal. "Sepertinya klien Pak Barita dalam bahaya. Karena si pembakar ini bertujuan untuk melenyapkan si pemilik rumah. Feeling saya si pembakar mempunyai rencana matang. Yaitu jikalau pun si korban tidak tewas karena terbakar, ia tetap akan kehilangan nyawa akibat menghirup karbon monoksida atau zat CO2," terang Pak Simatupang lagi. Barita mengangguk setuju. Setelahnya ia berjalan menuju tempat mobilnya di parkir. Ia harus hati-hati. Bisa saja musuh menyerang Karmila di saat situasi sedang chaos begini. "Saya melihat penjahat yang membakar rumah saya, Pak Pengacara! Tangkap dia!" Barita nyaris terjengkang saat Karmila mendorong keras pintu mobil, kala Barita melewatinya. "Anda ini kenapa? Tadi Anda stress tingkat dewa, dan sekarang Anda bagai orang kesurupan dengan menuduh-nuduh orang sembarangan!" Barita buru-buru memegang sisi mobil agar tidak terjatuh. Perempuan ini kepribadiannya unik sekali. Berubah-ubah seperti cuaca. "Bapak juga kenapa? Tadi sopan sekali menyebut saya Ibu Karmila dengan suara penuh rasa prihatin. Dan sekarang, Bapak kembali menyebut-nyebut dengan kata Anda. Pakai acara marah-marah lagi. Bapak ini laki-laki. Jadi tidak mungkin Bapak PMS karena akan datang bulan bukan?" balas Karmila pedas. Ya Allah Ya Robbi. Tolong panjangkan sabarku ini. "Tutup pintu mobilnya. Kita akan berbicara setelah saya duduk di mobil." Barita melewati pintu mobil Karmila, yang perempuan aneh itu tutup kembali setelah mendengar instruksinya. Barita kemudian membuka pintu mobil pengemudi. Setelah ia duduk dan menutup pintu mobil, barulah ia menghadap Karmila yang wajahnya jenuh jelaga. "Bersihkan wajah Anda terlebih dahulu dengan tissue basah di laci dashboard," perintah Barita Karmila mengikuti titah Barita. Ia membuka laci dashboard dan menarik dua lembar tissue basah di sana. Setelahnya ia mengusap wajahnya sembarang. Tissue basah yang tadinya putih bersih berubah menjadi hitam. "Hidupkan lampu, dan gunakan kaca di depan Anda agar lebih bersih. Anda itu perempuan, harusnya lebih rapi dalam segala hal." "Saya justru tidak suka terlihat rapi dan bersih," guman Karmila pedih. Ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya ia berbedak dan bergincu. "Biarkan saya begini saja. Kalau Bapak tidak suka melihatnya, pandang yang lain saja sebagai back groundnya." Karmila membuang tissue basah melalui kaca mobil geram. Untuk apa ia mempercantik diri? Ia sudah muak dengan yang namanya laki-laki. "Terserah dirimu saja. Sekarang katakan dengan jelas apa maksudmu dengan kalimat ; saya melihat pembakar rumah saya." "Nah itu dia!" Karmila menegakkan tubuh. Ia mendadak bersemangat kala membahas penjahat yang membakar rumahnya. "Saya melihatnya, Pak Pengacara. Laki-laki itu menggunakan jaket dengan penutup kepala!" "Baik. Sekarang saya tanya. Dari mana Anda tahu kalau laki-laki itulah yang membakar rumah Anda." Barita bersedekap seraya menyipitkan sebelah matanya. "Dari perasaan saya. Intuisi saya mengatakan bahwa dialah penjahatnya. Percayalah, Pak," ucap Karmila serius. Barita menghembuskan napas kasar seraya melempar tangannya ke udara. "Bu Karmila. Dengar baik-baik. Kita membutuhkan saksi-saksi dan alat bukti untuk menyatakan seseorang sebagai tersangka. Ingat ya, tersangka. Masalah bersalah tidaknya orang yang kita sangkakan, para penyidiklah yang akan bekerja. Kalau kita menuduh seseorang tanpa saksi dan alat bukti, itu namanya fitnah. Sampai di sini, Anda mengerti tidak?" "Jangan memanggil Anda lagi pada saya. Saya jadi merasa seperti sedang diinterogasi polisi. Sebut nama saya saja," imbuh Karmila. "Baik. Karmila. Lanjutkan." Barita mengikuti keinginan Karmila. Barita menyebut nama Karmila langsung tanpa embel-embek itu atau anda. "Tapi saya sungguh yakin, dia orangnya, Pak. Dia memandangi rumah terbakar saya dengan tatapan puas, dan juga pada saya yang ada di dalam mobil. Saya bersumpah, Pak! Bapak tidak percaya pada firasat saya?" Karmila gregetan karena Barita tidak mempercayainya. "Bukan masalah percaya tidak percaya, Mila. Tapi semua yang kamu katakan itu harus ada buktinya. Coba kamu pikir. Kalau kamu ditanya oleh pihak penyidik, berdasarkan apa kamu menuduh orang tersebut sebagai penjahat. Kamu jawab apa? Berdasarkan perasaan dan firasat saya. Begitu? Penjara bakalan penuh, dan profesi saya sebagai pengacara tidak akan dibutuhkan lagi, kalau proses hukum bisa segampang itu," terang Barita tegas. Karmila tertunduk. Barita benar. Ia memang terlalu dini untuk menuduh orang, walaupun ia yakin, memang dialah orangnya. "Tapi kita bisa memberi keterangan tambahan pada pihak penyidik, berdasarkan apa yang kamu lihat. Nanti merekalah yang akan bergerak dan menyelidikinya. Ingat kita boleh berprasangka, tapi jangan sembarangan menuduh orang," ancam Barita tegas. "Tarik resleting jaketmu lebih tinggi. Pihak penyidik sedang berjalan ke sini." Barita memindai beberapa anggota kepolisian yang menghampiri mobilnya di parkir. Api sudah mulai mengecil dan meninggalkan bara. Beberapa petugas bersiap memasang police line. "Mengapa mereka ke sini? Apa mereka akan menangkap saya?" Karmila ketakutan. "Tidak, Mila. Mereka akan meminta keterangan sehubungan terbakarnya rumahmu. Tetapi kalau memang ada indikasi kamu yang membakar rumahmu sendiri, demi mendapatkan ganti rugi dari pihak asuransi, itu lain cerita. Kamu tentu akan diadili karena sudah melakukan tindak kriminal dan penipuan." Barita memberi keterangan dengan kapasitasnya sebagai pengacara. Masyarakat awam harus lebih sering diedukasi dengan dalil-dalil hukum, agar mereka lebih memperhitungkan tindakannya. Tidak main asal tuduh dan hantam kromo lagi. "Selamat malam, Ibu Karmila Husin. Saya ingin meminta keterangan dari Ibu sehubungan dengan terbakarnya rumah Ibu ini." Salah seorang penyidik mengetuk perlahan kaca mobil di samping Karmila. "Saya--saya harus bagaimana, Pak Pengacara?" Karmila gugup. Seumur hidupnya ia tidak pernah berurusan dengan polisi. Di kepalanya, kalau diperiksa polisi artinya ia bersalah dan akan di penjara. "Kita temui saja. Sudah menjadi tugas mereka untuk memeriksamu." "Kita?" Karmila ingin memastikan apakah Barita akan menemaninya. "Iya, kita. Saya akan mendampingimu. Saya masih membutuhkanmu sehubungan dengan kasus Berman." Bohong besar. Karmila tidak ada hubungannya dengan Berman secara prosedur. Barita sendiri tidak tahu mengapa ia bersedia membantu Karmila sampai sejauh ini. Kasihan. Ya, mungkin ia kasihan. Karena nasib Karmila sebelas dua belas dengan dirinya. Yatim piatu dan tidak memiliki sanak saudara. Ya, pasti karena itu. "Ayo kita keluar." Barita membuka pintu mobil. Di sampingnya Karmila melakukan hal yang sama. "Aduh!" Karmila menjerit tertahan kala tumitnya terasa teriris. Sepertinya ia menginjak pecahan kaca. "Kenapa, Bu. Kaki Ibu terluka?" Sang petugas berjongkok. Ia bermaksud memeriksa kaki Karmila dengan penerangan ponselnya. "Rud, coba kamu senter kaki kaki Ibu ini. Sepertinya Ibu ini menginjak sesuatu. Kakinya terluka." Ketika petugas yang dipanggil Rudi itu menerangi kaki Karmila dengan senter terang, ada kesiap samar yang hanya dimengerti para pemilik hormon testoteron di sana. Tungkai kaki Karmila yang hanya ditutupi oleh lingerine dan bomber jaket sepaha, tampak begitu menggoda. Karmila seperti tidak mengenakan bawahan. Seketika suasana terasa canggung. Terlebih lagi petugas yang berjongkok di kaki Karmila. Ia seperti mengalami disorientasi. Ia hanya bengong memandangi tungkai Karmila, alih-alih mengobati lukanya. "Kaki Bu Karmila sedang terluka. Saya kira lebih baik kami ke rumah sakit untuk mengobati luka Bu Karmila terlebih dahulu. Setelahnya saya akan mengantar Bu Karmila ke kantor polisi, untuk memberi keterangan. Oh ya, saya Barita Bratadikara Sarjana Hukum. Pengacara Bu Karmila." Barita memutus moment tertegunnya para pemilik hormon testoteron dengan memapah Karmila duduk kembali di dalam mobil. Dirinya laki-laki. Sama seperti para petugas kepolisian itu. Ia sangat memahami apa yang ada dalam benak mereka semua. Makanya ia dengan cepat bertindak sebelum Karmila sadar dan akhirnya ketakutan. "Hah? Apa? Rumah sakit? Baiklah. Kami akan menunggu di kantor polisi saja." Setelah tersadar dari salah tingkahnya, para petugas itu pun berlalu. "Untuk apa kita ke rumah sakit, Pak Pengacara? Paling kaki saya hanya tertusuk beling. Saya bisa mencungkilnya dengan kuku saya sendiri." Karmila menolak keras usul Barita. "Pak, saya sekarang tidak punya rumah. Tidak punya uang. Tidak punya pakaian. Dari mana saya bisa membayar tagihan rumah sakit bukan? Sementara untuk sekedar tidur malam ini saja, ia tidak tahu harus menumpang di mana." "Saya beritahu satu hal lagi yang kamu tidak punya, Karmila." "Apa itu, Pak?" "Pilihan," sahut Barita tegas. "Sekarang kamu duduk diam dan ikuti saja apa yang saya perintahkan. Kamu masih ingin hidup dan bertemu dengan adikmu bukan?" Karmila mengangguk pasrah. Barita benar. Ia memang tidak punya pilihan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD