Chapter 7

1796 Words
"Setelah ini kamu ingin saya antar ke mana?" ucap Barita pada Karmila yang duduk ngelangut di sampingnya. Mereka baru saja melapor pada pihak penyidik mengenai terbakarnya rumah Karmila. Sebelumnya mereka lebih dahulu ke rumah sakit untuk mengobati kaki Karmila yang terluka. Mengalami beberapa kejadian buruk dalam waktu yang bersamaan pasti membuat Karmila stress dan kelelahan. Tidak heran kalau sekarang Karmila tampak kuyu dan lesu. "Ke mana ya?" ujar Karmila bingung. Sambari berpikir Karmila memutar-mutar gelang akar bahar kepala naga di tangan kanannya. Gelang ini adalah gelang peninggalan ibunya. Ibunya dulu membuat empat buah gelang yang sama persis untuk ibunya kenakan sendiri, ayahnya, dirinya dan juga Berman. Ibunya kerap berpesan agar gelang-gelang mereka jangan sampai hilang. Karena gelang kepala naga ini menggambarkan kekompakan keluarga mereka. Sebelum ayahnya kecanduan judi dan alkohol, keluarga mereka memang sangat kompak. Barita mendecakkan lidah saat Karmila menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan. Ia paling benci setelah mengajukan pertanyaan pada seseorang, ia malah ikut disuruh berpikir. Hah, yang benar saja. Sementara Karmila sendiri tengah kebingungan. Saat ini otaknya terlalu penuh hingga tidak bisa diajak berpikir. Selain itu ia memang tidak mempunyai teman dekat. Seumur hidup yang ia tahu hanya bekerja dan bekerja. Ia tidak mempunyai waktu untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya apalagi hang out bersama. Yang ada di kepalanya hanya bagaimana ia dan adiknya bisa makan, serta memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Jadi kamu tidak punya tujuan saat ini?" Barita memastikan. Karmila menggeleng pasrah. "Baiklah. Sebelum saya menjalankan kendaraan, saya akan memberi dua pilihan padamu. Pertama, panti asuhan Kasih Bunda. Di sana ada Bu Asih sebagai pemilik panti dan tiga puluh delapan anak-anak asuhnya. Kedua, mess Paradise Holiday. Ini adalah mess para staff taman bermain dengan penghuni sekitar lima puluh sampai enam puluh orang, yang kesemuanya adalah perempuan." "Ke mess yang semuanya adalah perempuan saja," sahut Karmila cepat. Di mana pun tempatnya, asal tidak ada lawan jenisnya, sudah dipastikan ia akan nyaman. "Baik. Saya akan menghubungi teman saya dulu untuk meminta izin." Barita meraih ponsel pada phone holder di mobil. Ia memilih untuk berbicara secara pribadi dengan Budi. Budi ini kalau berbicara tidak ada remnya. Dikhawatirkan Budi akan mengoceh macam-macam kalau ia berbicara langsung via speaker ponsel. "Hallo, Bar. Ada apaan lo nelpon dini hari begini? Rumah lo kebakaran?" "Rumah cliet gue, alias kakak si Berman yang kebakaran." "Heh, lagi-lagi tebakan gue nyaris bener ya? Kayaknya lo bener deh. Gue emang punya bakat alami jadi cenayang. Hehehe. Eh tapi apa urusannya sama lo? Bukannya Berman di penjara? Urusan kakaknya, bukan tanggung jawab lo. Kecuali kalo lo hamilin dia tentu saja. Tapi gue seneng juga bakalan dipanggil Om Budi. Hehehe." Barita mendengkus. Beginilah Budi adanya. Bahasanya selalu nyerempet-nyerempet bahaya. "Udah lo nggak usah banyak bacot. Kalo kakak si Berman numpang malem ini di mess, boleh nggak?" "Nggak boleh kalo lo ikutan nginep. Ntar bisa melendung perut anak gadis orang. Tapi kalo doi doang, boleh dong. Kapan gue bisa nolak cewek?" "Sialan lo, Bud. Gue serius ini. Lo jangan macem-macem ya? Gue otw ke sana sekarang." Barita langsung menutup telepon setelah mendapat persetujuan dari Budi. Karmila yang sedari awal mendengarkan percakapan Barita dan temannya kecut. Katanya mess dihuni oleh para pekerja perempuan. Tetapi mengapa Barita mengancam temannya agar tidak macam-macam? "Saya hanya meminta izin pada Budi, teman saya sebagai pemilik mess. Budi tidak tinggal di mess. Tetapi di rumah utama. Jadi buang tatapan khawatir berlebihan itu dari matamu." Karmila mengangkat bahu. Mungkin seperti inilah para pengacara. Mereka bisa menebak isi hati seseorang tanpa yang bersangkutan menyuarakannya. Kurang lebih empat puluh menit kemudian, mobil memasuki satu kawasan yang cukup luas. Di depan pagar tinggi tampak sebuah rumah bercat putih yang megah. Sementara di samping kanan dan kiri rumah tersebut dibangun rumah-rumah kecil dengan model dan ukuran yang sama. Seperti yang dikatakan Barita tadi, sang pemilik Paradise Holiday tinggal di rumah utama. Sementara sayap kanan dan kirinya, mess para staffnya. Satu hal yang membuat Karmila kagum adalah penempatan semua ornamen-ornamen rumah yang sangat presisi. Baik itu bentuk bangunan, pagar, sampai dengan pohon-pohon dan tanaman. Semua tempat selaras dan sebangun. Secara kasat mata rumah ini seperti lukisan. Pemilik Paradise Holiday ternyata memiliki jiwa seniman sejati sampai ke tempat tinggalnya. Luar biasa. "Selamat malam, Pak Ali. Maaf, saya sudah mengganggu dini hari seperti ini." Barita membuka kaca mobil dan berbasa-basi dengan Satpam rumah Budi. "Ndak apa-apa, Nak Bari. Memang sudah tugas Bapak. Den Budi juga sudah memberitahu Bapak soal kedatangan Nak Bari. Ayo masuk, Nak." Pintu gerbang kian dilebarkan oleh Pak Ali. Barita melajukan kendaraannya tepat di teras rumah Budi. Ketika Barita mematikan mesin mobil, pintu teras terbuka. Seorang pria dewasa dengan tubuh tinggi menjulang menyambut kehadiran Barita. Si Pria masih mengenakan piyama. Wajar mengingat waktu berkunjung mereka yang tidak biasa. "Selamat datang ke istana saya, wahai gadis cantik pujaan hati--" Budi menghentikan kalimatnya, ketika memindai Barita melotot. Bagaimana Budi tidak menggoda sahabatnya ini. Barita yang biasanya dingin terhadap kaum perempuan, tiba-tiba membawa seorang perempuan ke rumahnya pada pukul tiga dini hari lagi. Keadaan tidak biasa ini tentu mengundang tanya di hatinya. Pasti ada sesuatu di diri perempuan ini, makanya Barita mau repot-repot mencarikan solusi seseorang yang bukan apa-apanya ini. Wajar kalau jiwa jahilnya meronta-ronta bukan? "Jangan berlebihan, Bud. Geli gue ngeliat tingkah alay lo," decih Barita seraya turun dari mobil. Barita memindai ke samping. Karmila ikut turun walau tampak ragu-ragu. "Seperti yang gue bilang tadi. Rumah Karmila kebakaran dan ia membutuhkan tumpangan untuk hari ini." "Jangankan untuk hari ini. Kamu boleh tinggal selama waktu yang kamu butuhkan sebelum akhirnya tinggal permanen di rumah Bari--" "Jangan bercanda kelewatan, Bud. Nggak semua orang menganggap becandaan lo itu lucu." Barita memelototi Budi kesal. Barita tahu Budi menggodanya karena mau repot-repot mengurus Karmila. Sialan memang. "Saya menumpang sehari ini, Pak--" Karmila menghentikan kalimatnya. Ia lupa akan nama sahabat Barita ini. "Budi. Budi Ardiansyah tepatnya." Budi mengangsurkan tangannya. Mengajak bersalaman seraya memperkenalkan diri. Karmila melirik Barita. Setelah melihat anggukan samar Barita, Karmila menyambut uluran tangan Budi. "Mila. Karmila Husin tepatnya." Ragu-ragu Karmila menyambut uluran tangan Budi. "Karmila siapa?" Budi mengernyitkan keningnya. "Husin," sahut Karmila sedikit lebih keras. Budi mengangguk samar. "Baiklah. Kalian berdua silakan masuk dulu. Sebentar lagi ART saya akan mengantar Karmila ke mess perempuan untuk beristirahat. Kamu akan menginap sehari saja bukan?" pungkas Budi. Ia ingin menegaskan berapa lama Karmila akan menginap. Karmila mengangguk mengiyakan. "Benar. Saya hanya menginap untuk malam ini. Besok pagi setelah bank buka, saya akan mengurus ATM saya dan beberapa hal lainnya. Selanjutnya saya sudah bisa mengurus diri saya sendiri." Karmila menegaskan maksudnya. "Baguslah kalau begitu. Ayo masuk, Mila, Bari." Budi mempersilakan Barita dan Karmila memasuki rumahnya. Barita mengekori langkah Budi bersama Karmila di sampingnya. Sambil berjalan Barita melirik Budi entah mengapa mendadak jadi pendiam. Entah itu hanya perasaannya, tapi Barita merasa Budi terlihat tegang. Bukan itu saja, Budi bahkan terkesan keberatan menerima Karmila menginap lebih dari sehari. Padahal di telepon dan barusan, Budi memperbolehkan Karmila tinggal selama yang ia butuh. Ada apa dengan Budi? Barita penasaran. "Lo boleh pulang, Bar. Semua urusan Karmila nanti biar Mbok Ipah yang mengurusnya. Percayakan semuanya sama gue dan Si Mbok. Urusan lo dengan Karmila anggap saja sudah selesai." Kalimat pertama Budi setelah mereka bertiga duduk di ruang tamu membuat Karmila dan Barita saling bertukar pandang dengan. Karmila merasa Budi ini seperti ingin memisahkannya dengan Barita. "Apa maksud lo, Bud?" Barita mengernyitkan kening. "Maksud gue, biar Mbok Ipah saja yang mengurus Karmila. Sesama perempuan pasti akan lebih nyaman untuk menyampaikan kebutuhannya. Toh besok pagi, Karmila sudah akan pergi. Benar begitu 'kan, Mila?" Budi menatap Karmila tepat di matanya. Memaksa tanpa kata-kata agar Karmila mengiyakan pertanyaannya. "Benar," jawab Karmila tegas. Ia memang tidak berencana membuat Barita, Budi atau siapa pun susah karenanya. Walau tidak banyak, ia masih mempunyai simpanan di bank. Setelah ia mengurus ATM dan t***k bengek lainnya di bank, ia bisa mengurus hidupnya sendiri. Baginya bertahan hidup di tengah tekanan bukanlah hal yang sulit. Separuh hidupnya ia habiskan dengan terus berjuang dan bertahan. Sampai diusianya yang ketigapuluh tahun ini, ia tidak pernah menyusahkan siapa pun. "Urusan lo adalah dengan Berman. Bukan Karmila. Lo pasti paham maksud kalimat gue." Kali ini Budi menatap Barita dalam-dalam. Ada pesan yang tersirat dalam tajamnya kedua bola matanya. Bertepatan dengan itu, seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan. Karmila menduga wanita ini adalah ART yang dipanggil Mbok Ipah oleh Budi. "Nah, Mbok Ipah sudah datang." Budi membuang pandangan. "Mbok, Ini Karmila yang tadi saya ceritakan. Antarkan Karmila ke mess belakang dan berikan semua yang ia butuhkan. Kalau ada hal lainnya, Mbok boleh menanyakannya pada saya," pungkas Budi. "Saya masuk dulu, Pak Pengacara." "Pak Barita," pungkas Barita pendek. Ia memang suka dipanggil dengan sebutan bapak. Tapi tidak bapak pengacara juga. Pak Barita lebih enak didengar dan sopan di telinga. "Baik, Pak Barita, Pak Budi." Karmila beringsut dari sofa. Dirinya bukan orang bodoh. Ia tahu kalau Budi tidak menyukainya. Walaupun sebenarnya ia heran, apa yang membuat Budi berubah pikiran. Karena tadinya Budi terlihat sangat bahagia dan dengan jahilnya menggoda Barita. Karmila mengibaskan kepala. Mencoba membuang segala pikiran tentang Budi dan Barita. Sebaiknya ia lupakan saja masalah tidak penting ini. Masalahnya sudah banyak. Ia tidak mau menambahi persoalan yang jalan keluarnya bukan didirinya. Budi tidak menyukainya? Bukan masalah. Dirinya toh tidak minta makan padanya. Setelah malam ini, ia akan segera keluar dari hidup Budi dan Barita. Budi benar. Urusan Barita adalah pada Berman. Bukan padanya. "Lo ini kenapa sih, Bud? Nggak biasanya lo kasar begini?" Barita memuntahkan rasa penasarannya setelah bayangan Karmila dan Mbok Ipah tidak terlihat lagi. "Lo yang kenapa? Nggak kayak biasanya lo mau ngurusin hal yang bukan urusan lo," pungkas Budi pedas. "Karmila menelepon gue pada saat rumahnya terbakar. Makanya gue ke sana," dalih Barita. Ia sadar bahwa mengelabuhi Budi itu tidak mudah. Pikirannya dan Budi itu nyaris sama. Namun apa yang harus ia katakan, karena sesungguhnya ia memang tidak tahu mengapa ia peduli pada Karmila. "Sewaktu rumah Mbak Desi kebakaran bahkan mengalami luka bakar sekian persen, kenapa lo nggak ngurusin dia? Padahal lo sedang menghandle kasusnya. Sedangkan Karmila, kakinya cuma terluka sedikit, tapi sampai lo bawa ke rumah sakit segala. Lo temenin membuat laporan ke kantor polisi tengah malam buta. Apa bedanya Mbak Desi dengan Karmila?" Barita bungkam. Budi tidak salah mengajukan pertanyaan itu. Karena sebenarnya ia juga heran, mengapa ia kerajinan sekali mengurusi Karmila. "Dan lo sendiri? Mengapa lo ikut campur dalam urusan pribadi gue?" Alih-alih menjawab Barita malah balik menyerang Budi. Naluri alami manusia memang seperti itu. Mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain. Wajar bukan kalau ia membela diri? "Gue ikut campur karena gue peduli pada lo. Bukannya gue bermaksud mengungkit-ungkit masa lalu. Tapi lo ingat kan, gue tanpa rasa menyesal, bersedia di penjara dua tahun lamanya demi lo? Semua hal gue lakuin agar lo bahagia. Dan dekat dengan Karmila jelas tidak akan membuat lo bahagia. Percayalah. Lo pernah bilang sendiri kalo gue kayak cenanyang bukan? Untuk itu gue peringati lo sekali lagi. Jauhi Karmila!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD