Chapter 8

1659 Words
Barita melepas kaca matanya. Membaca belasan dokumen dengan teliti, serta mempelajari kasus perkasus dalam tiap file membuat matanya berair. Barita mencabut selembar tissue dari atas meja kerjanya. Mengusap matanya yang lelah sembari memijat-mijat pelan keningnya. Membuang tissue ke tempat sampah, Barita kini menyandarkan kepala pada sandaran kursi empuknya. Menggunakan kedua tangannya sebagai pengganti bantal, Barita melesakkan punggungnya kian dalam pada kursi kerja empuknya. Mendapati posisinya sangat nyaman, Barita memejamkan matanya. Tidur-tidur ayam seperti ini lumayan untuk meredakan stressnya. Saat Barita ingin mengosongkan pikiran, satu pemikiran lagi tiba-tiba muncul. Barita teringat pada perdebatannya dengan Budi beberapa hari lalu. "Cenayang sih cenayang. Tetapi logika kudu dipakai juga. Sekarang coba lo jelaskan kenapa gue harus menjauhi Karmila? Kalo alasan lo masuk akal, akan gue pertimbangkan. Inget, gue pertimbangkan. Bukannya gue iyain semua mau lo." "Oke. Sekarang gue tanya. Berman itu ditangkap karena apa? Masalah pengedaran n*****a internasional bukan?" "Betul." "Dan lo memaksanya "bernyanyi" di kantor polisi. Menurut lo apakah para dedengkotnya akan diam saja saat sumber pundi-pundi uangnya lo obrak-abrik? Ingat, Bar. Yang lo hadapi nantinya adalah para mafioso-mafioso kartel n*****a skala internasional. Bukan bandar n*****a ecek-ecek seperti kasus-kasus obat-obatan psikotropika biasa. Saran gue, urus Yanto agar segera keluar dari tahanan. Masalah Berman, biar dia tanggungjawabi dirinya sendiri. Lo nggak punya urusan dengan dia. Kecuali, lo mencoba mengajuk hati kakaknya dengan berperan sebagai pahlawan kesiangan. Nah itu baru lo jadi punya urusan dengannya. Ingat, Bar. Kalo lo nggak mau mati sia-sia, jangan mengurusi Berman. Lo itu cuma pengacara. Bukan polisi, bukan anggota BNN. Gue nggak mau tiba-tiba dipanggil ke rumah sakit untuk mengenali jasad lo yang udah dimutilasi." "Sadis amat doa lo, Bud?" "Bukan hanya sekedar doa, Bar. Tapi akan menjadi kenyataan kalo lo terus mengendus-endus masalah pemasok n*****a pada Berman. Ingat Bar, berapa banyak polisi Meksiko yang gugur saat mereka mengusik Kartel Gente Nueva dan Juarez pada Februari 2021 lalu? Kita sama-sama lihat beritanya bukan? Kepala para polisi yang gugur itu mereka penggal dan mereka kirim pada keluarga mereka masing-masing dalam bentuk paket. Seperti itulah sadisnya para dedengkot gembong n*****a. Itu di negaranya sono, Bar. Bagaimana dengan lo yang bukan apa-apa? Gue yakin lo bakalan ngilang tanpa gue tahu di mana jasad lo mereka buang. Itu pun kalo nggak mereka cincang-cincang menjadi makanan binatang buas." "Makin lama omongan lo makin menyeramkan, Bud." "Karena itulah kenyataan." "Oke, masuk akal. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiran gue. Mengapa sikap lo tiba-tiba berubah pada Karmila? Padahal sebelumnya lo kegirangan. Sampai kepingin menjadi Paman segala." "Karena nama belakangnya." "Kenapa dengan nama belakangnnya?" "Gue nggak ngeh sampai gue menjabat tangan Karmila, dan gue menyadari "sesuatu" setelahnya. "Dan apa sesuatu itu?" "Karmila itu anak Pak Husin. Seorang penjudi, pemabuk, pemakai g***a dan narkotika. Pada masa gue remaja, n*****a itu sebutannya masih g***a dan narkotika. Wajah Karmila, terutama tulang hidungnya yang khas Timur Tengah, sama persis dengan ayahnya. Wajah-wajah khas seperti mereka itu sulit dilupakan. Intinya gue mau bilang, pada dasarnya keluarga mereka itu sumber masalah. Jauhi mereka kalo lo nggak mau masuk ke dalam pusaran yang hitam dan kelam. Nanti lo akan menyesal. Percayalah!" Budi ternyata mengenal keluarga Karmila rupanya. Tidak heran mengingat profesi Budi kecil hingga remaja yang menjadi pengamen jalanan. Dirinya sendiri ditemukan Budi dalam keadaan kotor dan ketakutan di taman bermain. Ia tidak mengingat apapun waktu itu. Kecuali janji Budi yang mengatakan bahwa ia akan menyayangi dan melindunginya dari apapun. Jadi ia tidak perlu takut akan apapun lagi. Janji anak sebelas tahun pada dirinya yang waktu itu sangat membekas di hatinya. Menurut Budi, usianya saat ia temukan sekitar enam atau tujuh. Budi kemudian membawanya pulang ke panti asuhan Kasih Bunda. Setelah hari itu Budi memang memegang teguh janjinya. Karena setelah mengenal Budi, dirinya selalu disayang dan dilindungi oleh Budi. Termasuk Budi rela menggantikan posisinya selama dua tahun di penjara, atas fitnahan anak panti asuhan lainnya. Bu Asih mengatakan bahwa Budi menyayanginya lebih dari Budi menyayangi dirinya sendiri. Lamuanan Barita buyar ketika terdengar suara ketukan pintu. Asistennya muncul di ambang pintu dan mengatakan ada tamu yang ingin bertemu dengannya. Pada mulanya Barita bermaksud menolak. Menemui client yang jelas-jelas menambah pundi-pundi uangnya saja ia sedang tidak berminat, apalagi sekedar tamu. Ia sedang tidak mood menerima jasa curhat saat ini. Tetapi saat asistennya menyebut nama Rahmat Prakasa, ia langsung setuju. Karena Rahmat Prakasa ini adalah pemilik hotel yang ingin membeli tanah panti. Pasti Bu Asih telah memberikan kartu namanya. "Masuk!" seru Barita saat ketukan pintu terdengar kedua kalinya. Kantuk dan rasa lelahnya hilang sudah. Seperti inilah dirinya. Jika dihadapkan pada satu masalah, ia akan berjuang sampai akhir. Nasehat ini ia peroleh dari Budi. Dan tetap ia terapkan hingga kini. Rani, asistennya kembali muncul di ambang pintu. Namun kali ini ia tidak sendiri. Ada seorang laki-laki tua berusia sekitar awal tujuh puluhan namun tampak masih sangat sehat berdiri di sampingnya. Sebuah tongkat jalan mewah berukir, terlihat menyangga tangan kanannya. Di belakangnya seorang ajudan berdiri tegap menjaga sang majikan. Ia kedatangan tamu agung rupanya. Untuk sepersekian detik, keduanya saling melempar tatapan tajam. Menjajaki kekuatan tanpa ucapan. Sebelum mereka berdua akhirnya sama-sama membuang pandangan. "Silakan duduk Pak Rahmat, eh Opa Rahmat. Bolehkan saya memanggil demikian mengingat usia Opa yang sudah sepuh." Tanpa basa basi, Barita langsung memberikan umpan lambung. Ia sengaja memanggil Pak Rahmat dengan sebutan opa, demi menyindir, bahwa orang sesepuh dirinya tidak perlu lagi berambisi mengumpulkan harta. Sebaliknya amal ibadah saja. Mengingat telah sebegitu senjanya usianya. "Terserah saja, Anak Muda. Panggilan opa tidak asing untuk saya. Mengingat cucu saya di rumah juga memanggil saya dengan sebutan yang sama." Rahmat Prakasa menghempaskan bokongnya hati-hati ke kursi yang disediakan. Kedua lututnya sudah tidak sekuat dulu. Akhir-akhir ini ia kerap duduk dengan cara membanting diri. Beginilah kalau usia sudah berbicara. Namun di sini ia harus menjaga wibawanya. Makanya ia berusaha duduk dengan anggun, walau harus menahan sakit di kedua lututnya. Namun sebelumnya ia memberi kode pada ajudannya untuk menjauh. Ia tidak suka kalau masalah bisnisnya diketahui oleh orang ketiga. Meskipun itu adalah ajudannya sendiri. Ia berprinsip business is business. Begitu pintu tertutup dan hanya menyisakan mereka berdua, barulah Rahmat membuka mulutnya. "Ketahuilah, Anak Muda. Bahwa bisnis itu tidak memandang usia. Intinya selama otak kita masih bisa berhitung, artinya kita masih bisa bekerja. Usia hanyalah deretan angka. Tidak ada hubungannya dengan kinerja," sahut Rahmat dingin. "Bisa jadi. Namun sayangnya pengalaman hidup yang berupa deretan angka itu tidak serta merta menjadikan seseorang itu bijaksana." Barita menanggapi tak kalah dingin. Rahmat tersenyum kecil. Pengacara muda ini cerdas dan harsh alias kasar. Barita mengingatkan dirinya sendiri di kala muda. Sejujurnya ia sedikit menyukai anak muda ini jika saja, tidak berseberangan pendapat dengannya. "Baiklah. Langsung pada masalah saja. Saya ingin membeli tanah panti asuhan Kasih Bunda milik Bu Asih. Orang-orang saya telah melakukan penawaran dengan baik. Namun Bu Asih menolak. Bu Asih pada akhirnya memberika kartu nama saya, sehingga saya ada di sini." Rahmat langsung mengutarakan maksudnya. Rahangnya pegal karena terus berbasa basi busuk. "Baik. Kalau begitu saya juga akan langsung menjawab saja. Jawaban saya sama seperti jawaban Bu Asih, yaitu tidak. Panti Asuhan Kasih Bunda tidak akan dijual," sahut Barita tegas. "Berikan saya alasannya. Perkara alasan saya ingin membeli tanah panti, tidak perlu saya jabarkan lagi. Anda sangat pintar dan berpendidikan baik. Saya yakin Anda bisa menebak dengan tepat." Rahmat tidak ingin menyerah begitu saja. Ia sudah berkutat dengan masalah pembelian lahan sejak berusia awal dua puluhan. Seribu satu macam sifat manusia, sudah ia hadapi. Ia telah punya kesimpulan sendiri. Bahwa tidak ada yang namanya, saya tidak bisa dibeli, atau saya tidak berminat menjual. Yang benar adalah, semua akan dibeli atau dijual ; kalau harganya cocok. Titik. Barita bersedekap. Aki-aki ini boleh juga. Untuk ukuran kakek-kakek semangat juangnya patut diacungi jempol. Kalau saja Pak Rahmat ini bukan musuhnya, pasti seru sekedar bertukar pikiran dengannya. Sayangnya Pak Rahmat ini telengas dalam mengeksekusi pekerjaannya. Inilah hal yang paling Barita benci. Pak Rahmat memeras keringat orang hingga tetes terakhir. Kejam dan serakah. "Pertama, panti adalah rumah bagi anak-anak yang kurang beruntung. Akan ke mana mereka kalau panti dijual? Yang kedua, panti adalah kenangan bersejarah bagi Bu Asih. Di mana almarhum suaminya tinggal dan membangun panti dari nol. Ketiga, Anda ini pengusaha jenis apa yang membeli tanah di bawah pasaran, hingga bersisa seperempat harga?" tuntut Barita sinis. "Seperempat harga di bawah pasaran? Tunggu, tunggu. Ada yang salah di sini. Berapa harga tanah yang ditawarkan pekerja saya?" Pak Rahmat merasa ada yang salah di sini. Ia selalu membeli tanah sesuai dengan pasaran dan harga yang berlaku. Tanah itu harganya akan meningkat setiap tahun. "Dua juta lima ribu rupiah permeter. Di mana pasarannya adalah sepuluh juta permeter, karena lokasinya di jantung kota." Pak Rahmat memaki. Pasti ini semua pekerjaan Ardi. Putranya itu memang kerap curang, hingga nama baik perusahaan menjadi jelek di luaran. Parahnya lagi, Ardi selalu mengambil uang full dari perusahaan untuk membayar pemilik lahan. Ardi korupsi pada perusahaannya sendiri. Baiklah. Ia akan mengurus masalah ini pada Ardi dulu, sebelum kembali menemui anak muda ini. Ia akan menatar Ardi hingga otaknya lurus. Entah bagaimana nanti nasib perusahaan yang ia bangun dengan susah payah ini apabila ia mati. Putranya hanya tinggal Ardi seorang. Kepadanyalah ia menitipkan harapan. "Saya kira ada sedikit kesalahpahaman tentang harga penawarannya. Saya akan mengurusnya dengan orang-orang saya terlebih dahulu. Setelahnya saya akan kembali ke sini untuk menemuimu. Saya permisi dulu." Pak Rahmat berusaha beringsut dengan anggun dari kursi. Sayangnya kedua lututnya menolak untuk bekerjasama. Alhasil ia nyaris jatuh bersimpuh, kalau saja Barita tidak dengan sigap menahan tangannya. "Tongkat jalan ini gunanya untuk membantu Anda berjalan, Opa. Bukan hanya dijadikan pajangan karena mahalnya harganya. Satu lagi, kalau sudah tua, duduk dan berdirilah dengan pelan dan hati-hati. Tulang-tulang Opa sudah garing semua ini."Barita memang membantu Pak Rahmat berdiri. Namun tidak lupa ia juga menyindir aki-aki ini dengan sadis agar tahu kemampuannya sendiri. Sementara itu, tidak jauh dari kantor pengacara Barita, Budi Ardiansyah memasuki satu warung sederhana, di mana Karmila berjualan di sana. Budi ingin menyelamatkan masa depan Barita dengan berkolusi dengan Karmila. Semoga saja Karmila tidak mencium rencananya, agar baik Barita, Karmila maupun dirinya sendiri terhindar dari penderitaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD